
Bab 1
188Please respect copyright.PENANA7AeHL5SQ1N
Lukisan abstrak berjajar menempel di dinding dekat pintu kaca. Entah apa makna dari lukisan yang hanya berupa goresan cat warna-warni itu. Namun sangat bagus dan punya nilai seni yang tinggi. Bikin ruangan kafe ini jadi terlihat sangat estetik. Ditambah di atasnya ada sejumlah lampu dengan cahaya kuning yang menyorot ke arah lukisan.
Tak berselang lama, dari pintu masuk itu muncul seorang wanita berkacamata bulat dengan rambut pirang dan lurus, panjangnya sepunggung. Penampilannya feminim dengan memakai mini dress warna putih yang punya kesan mewah, panjangnya sampai di bawah lutut. Sehingga terlihat betisnya yang kecil, putih, dan mulus.
Ia menjinjing tas warna hitam bermerek terkenal yang saya tahu harganya lumayan mahal. Dengan memakai sepatu heels warna hitam mengkilap, ia berjalan pelan-pelan sambil matanya memperhatikan setiap sudut kafe.
“Dissa….” teriak istriku, memanggil wanita itu sambil berdiri dan melambaikan tangan. Dia adalah sahabat istriku.
“Hai… Sinta…” Dia ikut melambaikan tangan, lalu segera berjalan ke arah tempat duduk kami.
Pagi ini, aku mengantar istriku yang sudah bikin janji dengan Dissa yang sudah beberapa bulan tidak berjumpa. Mumpung ia pulang ke Surabaya. Ketiga anak kami yang masih kecil juga ikut. Sekaligus family time yang memang selalu kami lakukan setiap Hari Minggu.
“Bagaimana kabarnya, sehat-sehat semua kan?” tanya Dissa, sambil memeluk istriku dan cipika-cipiki.
“Alhamdulillah, sehat semua. Kok sendirian?” tanya istriku.
“Iya, suami masih di Jakarta, masih ada kerjaan. Mungkin lusa baru nyusul ke Surabaya,” jawab Dissa, lalu duduk di kursi samping istriku. Keduanya melepas kangen. Karena sudah lama tidak bertemu.
Sementara anak-anak duduk di sebelahku sambil menikmati kentang dan sosis goreng yang sudah kami pesan.
“Maaf ya telat, baru pulang dari gereja,” ucap Dissa, sambil membolak-balik buku menu. “Gak mau nambah makanan atau minuman lagi?”
“Sudah cukup Dissa. Tambah cantik aja ya kamu,” puji istriku.
“Cantik darimana?” Dissa merendah. “Ini berat badan lagi nambah.”
“Kayaknya masih kurus deh. Masih langsing. Masih seksi,” puji istriku lagi.
Sebagai cowok normal, ku akui Dissa memang sangat cantik dan manis. Dia wanita adalah keturunan Cindo. Kulitnya putih, matanya sedikit sipit. Badannya lebih tinggi dari istriku. Kira-kira 165 cm. Tapi masih tinggi aku.
Bentuk tubuhnya, menurutku juga sangat ideal. Dia langsing, kira-kira beratnya 50 kg. Karena dress yang dipakainya terbilang ketat, jadi lekuk tubuhnya bisa terlihat. Pinggulnya tak terlalu besar.
Pantatnya bulat dan berisi, ukurannya sedang tapi menggoda. Sementara kedua payudaranya juga terlihat padat dan menonjol, meski ukurannya tak terlalu besar. Kira-kira 34B, sama seperti milik istriku.
Jadi tak salah, jika istriku memuji kecantikan dan bentuk tubuh Dissa. Faktanya memang begitu.
“Tambah lucu-lucu ya anak-anak kamu… Gemesin semua,” kata Dissa, lalu menyapa anak-anak. “Hai adik-adik. Mau makan apa lagi? Ayo tante belikan,” tanya Dissa, sambil tersenyum manis..
“Sudah mbak, cukup,” jawabku. Karena kami memang sudah memesan makanan dan minuman yang cukup. Tidak perlu nambah lagi.
“Iya Dissa. Pesan buat kamu aja,” timpal istriku.
“Gimana perutnya sudah isi (hamil)?” tanya istriku, sambil mengelus-elus perut Dissa.
Pertanyaan istriku membuat raut muka Dissa jadi mendadak berubah. Dari yang awalnya ceria, jadi nampak sedih.
“Belum ini Sin,” jawabnya, lemas.
Istriku nampaknya salah menanyakan hal itu. Tapi kemudian Dissa malah antusias bercerita tentang masalahnya. Ia bercerita sudah periksa dan konsultasi ke sejumlah dokter kandungan. Juga menjalankan berbagai program kehamilan, namun masih belum ada yang berhasil.
“Sabar ya Dissa… Nanti kalau rezekinya, pasti dikasih kok,” istriku berusaha menenangkannya.
“Enak ya, anak kamu udah tiga. Saya satu aja masih belum,” kata Dissa, sambil menyerahkan catatan pesanan ke pelayan kafe yang menghampiri kami
“Gimana kalau kamu bawa satu anakku?” celetuk istriku, bercanda. Nampaknya dia berniat mengubah suasana, biar tidak sedih seperti ini.
“Hahaha… jangan deh. Sebagai wanita, aku mau merasakan hamil dan melahirkan,” katanya, mulai tertawa.
“Ada yang mau ikut tante? Enak tinggal di Jakarta?” godaku pada anak-anak.
Ketiga anakku kompak menggelengkan kepala.
“Tuh kan, gak ada yang mau ya mas. Haha,” Dissa tertawa lagi. Istriku ikut tertawa. Suasana pun berubah jadi kegembiraan lagi.
Dissa dan Sinta lalu terus mengobrol. Dissa kulihat memang banyak omong. Sama dengan istriku. Jadi jika keduanya bertemu, pas banget. Bisa mengobrol panjang yang tidak henti-henti. Tidak akan kehabisan topik obrolan.
Istriku pernah bercerita, ia dan Dissa sudah menjadi sahabat sejak masih di SMA. Meski keduanya beda agama, persahabatan mereka sangat langgeng. Karena persahabatan sejati tidak bisa dihalangi apapun, kecuali maut. Setelah lulus SMA pun, persahabatan mereka tidak renggang.
Bahkan ketika sudah berkeluarga, komunikasi mereka tetap intens walau jarang bertemu. Sekitar 5 tahun lalu, kami hadir di acara pernikahannya yang digelar secara mewah di Jakarta.
Setiap Dissa pulang ke Surabaya, ia dan istriku selalu ada janji untuk bertemu. Kadang istriku pergi sendirian untuk menemui Dissa. Pernah juga dijemput oleh Dissa ke rumah. Mereka biasanya ke mall atau nongkrong di kafe.
Aku hanya beberapa kali saja menemani Sinta menemui Dissa. Karena kalau aku ikut, aku tidak mau lama-lama. Jadi mending Sinta ku izinkan main berdua dengan Dissa. Untuk anak-anak biar sama aku dan pembantu di rumah.
Sekitar 3 jam di kafe, kami pun kemudian pulang. Dissa membayar semua pesanan kami. Aku dan istriku sudah menolaknya. Tapi Dissa tetap memaksa untuk membayar semuanya.
“Terimakasih ya sudah ditraktir. Hati-hati ya pulangnya,” kata istriku, sambil berpelukan dengan Dissa penuh hangat dan cipika-cipiki di tempat parkir.
“Besok-besok ketemu lagi ya,” ucap Dissa, sebelum masuk ke dalam mobil Mercedes Benz terbaru warna merah.
“Mas… pulang dulu ya…” Dissa juga berpamitan ke aku.
Kami pun berpisah di parkiran itu. Dissa melambaikan tangan dari jendela mobilnya. Begitu pun dengan kami, melambaikan tangan dari dalam mobil Ayla yang kami tumpangi. ###
188Please respect copyright.PENANADymOW12elg