
Suparjo atau yang akrab disapa Pak Parjo menyandang sapu di pundak sambil menatap langit senja yang mulai memerah. Di kompleks Perumahan Taman Asri, ia lebih dari sekadar kepala pengelola; ia adalah tulang punggung yang menyambung keretakan pipa, listrik yang tiba-tiba mati, hingga tangisan anak-anak yang terlantar menunggu orang tua mereka.
Memiliki wajah tegas namun tampan dan juga tubuhnya yang tegap dengan tinggi 180 cm dan berat badan badan 80kg serta perut kotak-kotak yang bertahan meski usia sudah setengah abad adalah bukti disiplin masa lalunya sebagai tentara. Tapi seragam loreng itu sudah lama ia lepas, digantikan kaos oblong kusam dan celana cargo yang selalu ternoda cat atau oli. Komandannya dulu memberinya pekerjaan ini sebagai balas budi, setelah Pak Parjo menjadi kambing hitam dalam sebuah insiden yang membuatnya dipecat.
Rumahnya, yang terletak di ujung kompleks, selalu terbuka bagi siapa saja. Pagi tadi, ia sudah memperbaiki keran bocor di rumah Bu Surti, mengantar anak Pak Didit ke sekolah karena ayahnya harus buru-buru ke bandara, dan membetulkan selokan yang mampet.
Dari jendela, ia melihat istrinya, Bu Lastri, sedang memotong sayur untuk makan malam. Usia mereka terpaut lima tahun, tapi menopause yang datang setahun lalu seperti membawa dinding tak terlihat antara mereka. Bu Lastri tak lagi mau bercinta sejak mengalami monopause, dan Pak Parjo dengan kesabaran seorang prajurit hanya mengangguk ketika istrinya berbalik memberi alasan: "Aku sudah tua, Parjo. Badan sering sakit."
Ia mengerti. Tapi di kegelapan malam, ketika desiran angin menerpa jendela kamar, kadang ia merasakan kesepian yang lebih dalam daripada hutan saat ia masih bertugas. Dan tak jarang tanpa sadar dia sudah mengocok kontolnya yang memiliki panjang 20 cm.
Matahari masih belum tinggi ketika Bu Inayah menyaksikan suaminya, Pak Arif, mengemasi koper untuk dinas luar kota yang seperti biasa memakan waktu berbulan-bulan. Kenaikan jabatan sebagai manajer proyek konstruksi memang membawa berkah finansial, tapi juga menjauhkannya dari rumah lebih lama dari yang Inayah harapkan.
"Awas di jalan, ya. Jangan lupa telpon kalau sampai," ujarnya, memaksakan senyum sambil menggendong Tasya, putri mereka yang baru kelas 3 SD.
"Iya, Sayang. Ini cuma tiga bulan. Nanti aku bawain oleh-oleh," jawab Pak Arif, mencium kening mereka berdua sebelum mobil dinasnya menghilang di ujung jalan.
Pintu rumahnya yang nomor 27 di Perumahan Taman Asri menutup perlahan. Inayah, 32 tahun, berdiri di teras dengan tangan menggusap pundak anaknya. Kesepian itu sudah seperti tembok tebal yang ia rasakan setiap kali suaminya pergi.
Langit senja di Perumahan Taman Asri memancarkan jingga temaram ketika Inayah Syarifah menutup jendela kamar tidurnya. Hijab lebar warna krem yang ia kenakan bergerak perlahan, menyapu udara yang mulai dingin. Matanya besar dan berbinar karena peninggalan darah Arab dari ibunya melirik jam dinding. Sudah pukul 3 sore, tapi rumah masih senyap. Tasya, putrinya yang baru kelas dua SD, sedang bermain di rumah teman.
Inayah menarik napas dalam. Tangannya yang mungil dengan kuku dipotong rapi meraih remote TV, tapi ia urung menyalakannya. Drama sinetron hanya akan membuatnya semakin kesepian.
Inayah masuk kekamar dan mulai mancari keseibukan dikamar, dan tiba-tiba Ia berdiri di depan cermin lemari pakaian, menatap sosok di balik refleksi itu. Tubuhnya masih ramping, 55 kg dengan tinggi 168 cm seperti saat pertama kali dinikahi delapan tahun lalu. Tapi payudaranya yang berukuran 35C kini terasa lebih berat, seakan menyimpan beban yang tak terucap.
"Lulus cumlaude, langsung dinikahi, jadi ibu rumah tangga. Itu yang diinginkan, kan?" bisiknya pada bayangannya sendiri.
Pikirannya melayang ke masa lalu. Gelar S1 Ekonomi Syariahnya yang sekarang hanya jadi hiasan lemari. Proposal skripsinya tentang fintech syariah bahkan sempat dilirik sebuah bank, tapi semua pupus ketika Arif melamarnya tiga hari setelah wisuda.
"Kamu nggak perlu kerja. Aku yang akan mencukupi," kata Arif waktu itu, dengan senyum yakin yang dulu membuatnya tersipu.
Tapi sekarang, senyum itu lebih sering ia lihat melalui layar WhatsApp, dikirim dari kamar hotel berbagai kota.
Inayah mengalihkan pandangan ke ranjang king size mereka. Sprei warna sage yang ia ganti seminggu dua kali terlihat terlalu rapi, terlalu sepi.
Inayah menatap cermin kembali didepan lemari pakaiannya. Bayangan dirinya terpantul jelas, seorang wanita berhijab lebar dengan gamis longgar yang seharusnya menutupi segala bentuk tubuhnya. Sore ini, dalam kesunyian rumah, segalanya terasa berbeda.
Matanya menatap payudaranya yang terlihat jelas meski tertutup hijab lebarnya. Ukuran 35C itu membuat lekuk tubuhnya tak sepenuhnya tersamarkan. Tanpa sadar, tangannya meraih sisi payudaranya sendiri, jari-jarinya menekan pelan melalui bahan gamis katun yang tipis.
"Ah..."
Napasnya mulai berat.
Ia melirik ke ranjang king size di belakangnya masih rapi, masih kosong. Seperti biasanya.
"Arif..."
Namanya terucap pelan, tapi hanya diikuti oleh kesunyian.
Jemarinya mulai bergerak lebih berani, meremas payudaranya sendiri dengan tekanan yang membuatnya menggigit bibir. Sensasi itu aneh, asing, tapi sekaligus membuatnya tak bisa berhenti.
"Kenapa... aku seperti ini?"
Tangannya turun perlahan, menyusuri pinggang rampingnya, hingga mencapai pahanya yang halus. Gamisnya yang lebar memudahkannya menyelipkan tangan ke dalam.
Dan saat jarinya menyentuh vaginanya, tubuhnya gemetar.
"Aku... aku tidak boleh..."
Tapi sore ini, dalam rumah yang sunyi, larangan itu terasa semakin kabur.
Ia menutup mata, membayangkan ada tangan lain, tangan yang lebih besar, lebih kasar, bukan miliknya sendiri.
Dan tanpa ia sadari, gamisnya sudah tersingkap, hijabnya sudah melonggar.
Di depan cermin, terpantul seorang wanita yang mulai melupakan segalanya, kecuali kebutuhan akan sentuhan yang sudah terlalu lama ia pendam lama.
"Assalamualaikum, Bu Inay!"
Suara Pak Parjo dari luar pagar tiba-tiba menyadarkannya. Pria itu sedang memeriksa meteran air seperti biasa. Inayah cepat-cepat merapikan hijabnya, tangan gemetar tak jelas alasannya.
"Waalaikumsalam, Pak," balasnya melalui jendela, berusaha suaranya tidak terdengar serak.
Dari balik tirai, matanya tak sengaja mengikuti gerakan Pak Parjo yang membungkuk. Kaos ketatnya memperlihatkan punggung berotot bekas latihan militer.
Inayah segera menunduk, pipinya memanas.
"Astaghfirullah," gumamnya, tapi jantungnya berdegup kencang.
Esok harinya, Inayah berdiri di dapur sambil mencuci piring di wastafel.
"Aku harus minta maaf... atau pura-pura lupa?"
Belum sempat ia memutuskan, suara azan Zuhur berkumandang. Inayah bergegas mengambil air wudhu, berharap bisa menenangkan diri.
Tapi saat sedang menyentuh muka dengan air, bayangan Pak Parjo yang terkejut muncul lagi di kepalanya.
"Astaghfirullahaladzim..."
Ia menyelesaikan sholat dengan cepat, tapi konsentrasinya terus buyar.
Pagi berikutnya, ketika sedang menjemur pakaian di belakang rumah, Inayah mendengar langkah kaki familiar.
"Bu Inayah..."
Suara itu membuatnya nyaris menjatuhkan jepitan baju. Pak Parjo berdiri di balik pagar, topi kerjanya diturunkan menutupi matanya yang biasanya berani.
"Saya... mau minta maaf untuk kemarin," ujarnya, suara serak. "Saya tidak seharusnya"
"Tidak!" potong Inayah cepat. "Saya yang salah. Bapak tidak…"
Mereka saling memandang, lalu sama-sama menunduk. Udara antara mereka terasa panas meski angin sore berhembus.
"Pompa air di pos ronda perlu diperbaiki," ujar Pak Parjo tiba-tiba, mengubah topik. "Bapak Arif pulang kapan?"
Inayah menggigit bibir. "Masih tiga bulan lagi."
Ada sesuatu yang berubah di mata Pak Parjo, sekilat keberanian, atau mungkin keputusasaan.
"Kalau begitu..." Ia menghela napas. "Kalau ada apa-apa, saya selalu siap membantu."
Kalimat itu menggantung di udara, penuh makna ganda.
Inayah hanya bisa mengangguk, merasakan denyut nadi di lehernya yang semakin kencang.
"Terima kasih, Pak Parjo," bisiknya, sambil menyadari beberapa garis terlarang mungkin sudah terlewati karena kejadian sore kemarin. Dan entah mengapa, Inayah tidak menyesal.
Siang hari ketika sedang mencucui piring, air meluap dari wastafel, membasahi lantai dapur dan membasahi ujung kain hijab Inayah. Ia menghela napas, menatap wastafel yang masih penuh dengan air keruh. Sudah dua kali ia mencoba membersihkannya sendiri, tapi bukannya lancar, malah semakin mampet.
"Aduh, ini aku harus bagaimana..." gumamnya, merasa kesal pada dirinya sendiri.
Matanya menatap telepon di meja. Sebenarnya, ia ragu untuk menguhubungu Pak Parjo. Tapi entah mengapa, jarinya sudah terlebih dahulu menekan nomor Pak Parjo.
"Pak Parjo, maaf ganggu. Wastafel saya mampet..." suaranya terdengar kecil, hampir seperti bisikan.
"Saya langsung ke sana, Bu," jawab suara di seberang sana, tegas dan tanpa keraguan.
Hanya lima menit kemudian, Pak Parjo sudah berdiri di depan pintu dapurnya. Tubuhnya yang tinggi membuat Inayah harus sedikit mendongak. Ia memakai kaos lengan pendek yang memperlihatkan otot lengan kekarnya, celana kerja yang sudah kusam, dan sepatu boots yang terlihat sering dipakai.
"Di sini, Pak," ujar Inayah, menunjuk wastafel yang masih menggenang.
Pak Parjo mengangguk, langsung berlutut di samping wastafel. Tangannya yang besar dan kasar memegang penyedot pipa dengan mahir.
"Ini mungkin ada sisa makanan yang nyangkut," ujarnya sambil mulai bekerja.
Inayah berdiri tak jauh, tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Suara penyedotan pipa dan tetesan air memenuhi kesunyian dapur.
"Tasya di rumah temannya?" tanya Pak Parjo tiba-tiba, mencoba mengisi keheningan.
"Iya, main sampai maghrib," jawab Inayah.
Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, suaranya tiba-tiba bergetar.
"Kadang... rumah ini terasa sangat besar, Pak. Terlalu sunyi."
Pak Parjo berhenti sejenak, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa menoleh.
"Saya mengerti," ujarnya pendek.
Tapi Inayah tahu, ia benar-benar mengerti.
"Arif... suami saya, selalu sibuk. Dinas ke luar kota, meeting, proyek. Saya tahu itu untuk kami, tapi..." Ia berhenti, menelan ludah. "Terkadang saya merasa seperti perabotan. Hanya ada ketika dibutuhkan."
Tangannya mengepal di sisi roknya.
"Dulu, saya pikir menjadi istri dan ibu akan membuat saya bahagia. Tapi sekarang, saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali seseorang menanyakan bagaimana perasaan saya."
Suara air yang mulai turun dari wastafel seakan menjadi latar yang ironis.
"Dan anehnya, saya baru menyadarinya sekarang, saya kesepian, Pak. Sangat kesepian."
"Sudah," ujar Pak Parjo, berdiri dan membersihkan tangannya dengan lap yang diberikan Inayah. "Coba nyalakan airnya, Bu."
Inayah memutar keran, dan air mengalir lancar.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak," ujarnya, mencoba tersenyum.
Pak Parjo mengangguk, matanya menatap lantai basah.
"Nanti saya lap dulu, Bu. Jangan sampai terpeleset."
Ia mengambil lap dan mulai membersihkan lantai tanpa diminta. Inayah hanya bisa memandang, perasaannya campur aduk.
"Kenapa Bapak selalu baik seperti ini?" tanyanya tiba-tiba.
Pak Parjo berhenti, lalu berdiri. Wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lelah.
"Karena saya tahu bagaimana rasanya tidak ada yang peduli, Bu," jawabnya, suaranya dalam. "Dan saya tidak mau orang lain merasakan itu."
Mereka berdiri berhadapan, diam. Di antara mereka, ada pengertian yang tidak perlu diucapkan, dua orang yang sama-sama haus akan perhatian, tapi terhalang oleh tembok norma.
"Saya pulang dulu," ujar Pak Parjo akhirnya, mengumpulkan peralatannya.
Inayah mengangguk. "Terima kasih, Pak."
Ketika pintu tertutup, ia menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap langit-langit.
Air wastafel sudah lancar.
Tapi hatinya masih tersumbat.
ns18.218.61.200da2