Sandra lahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang mapan di Jakarta. Ayahnya, seorang pengusaha properti ternama, dan ibunya, seorang mantan model yang kini menjalankan butik mewah, memberikan Sandra kehidupan yang nyaman sejak kecil. Tumbuh di lingkungan elit, ia terbiasa dengan perhatian dan fasilitas terbaik, dari pendidikan di sekolah internasional hingga liburan ke berbagai belahan dunia. Namun, di balik kemewahan, Sandra dididik untuk mandiri dan memiliki prinsip kuat. Orang tuanya selalu menanamkan nilai bahwa kecantikan dan kecerdasan harus berjalan seimbang, membuatnya tumbuh menjadi wanita yang percaya diri dan ambisius.
Sebagai anak kesayangan, Sandra selalu menjadi pusat perhatian keluarga. Ia memiliki paras yang memukau, mewarisi kecantikan ibunya dengan sentuhan karisma yang sulit diabaikan. Rambut panjangnya yang berkilau, mata yang tajam, dan senyum yang menawan membuatnya menonjol di mana pun ia berada. Di usia remaja, ia sudah terbiasa dengan pandangan kagum dari teman-teman prianya, namun ia belajar untuk tidak membiarkan pujian mengaburkan fokusnya. Sandra lebih memilih menonjolkan prestasinya, seperti lulus dengan predikat terbaik dari universitas ternama di luar negeri, jurusan manajemen bisnis, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta untuk memulai kariernya.
Di dunia kerja, Sandra bergabung dengan sebuah perusahaan konsultan ternama di kawasan Menteng. Kecantikannya yang seksi dan gaya berpakaiannya yang elegan namun profesional membuatnya menjadi magnet bagi rekan-rekan pria di kantor. Tak jarang, ia menjadi bahan fantasi, dari obrolan ringan di ruang kopi hingga pandangan penuh kekaguman saat ia mempresentasikan ide-ide cemerlangnya. Namun, pesonanya juga memicu kecemburuan di kalangan rekan wanita, yang sering salah menafsirkan sikap ramahnya sebagai upaya mencari perhatian. Sandra, dengan kecerdasannya, memilih untuk mengabaikan bisik-bisik negatif dan fokus pada pekerjaan, di mana ia dikenal sebagai konsultan yang andal dan inovatif.
Meski begitu, kehidupan pribadi Sandra tidak selalu mulus. Sebagai anak tunggal, ia merasakan tekanan besar dari orang tua untuk segera menikah, terutama karena usianya yang kini menginjak 32 tahun. Sandra pernah menjalin hubungan serius, namun kandas karena pasangannya tidak mampu memahami ambisinya. Ia menginginkan pasangan yang tidak hanya mencintai kecantikannya, tetapi juga menghormati visi dan kemandiriannya.
-----------------------------------------------------------
Senin pagi di kantor konsultan ternama di Menteng, Sandra berjalan masuk dengan langkah tegas, mengenakan blazer biru tua yang mempertegas auranya yang elegan. Bosnya, Pak Bima, seorang direktur berusia 50-an, menyapanya dengan senyum lebar yang sedikit berlebihan. “Sandra, presentasi minggu lalu luar biasa. Makan malam bareng yuk, kita bahas strategi baru,” katanya dengan nada yang terlalu ramah, matanya tak lepas dari wajah Sandra. Sandra menjawab sopan, menolak dengan alasan sibuk, tapi tetap ramah agar suasana tak canggung. Di sudut ruangan, dua rekan wanita, Rina dan Maya, berbisik sambil melirik. “Lihat deh, pasti dia sengaja pake baju ketat biar dilupain istri Pak Bima,” cibir Rina, nada irinya tak tertutupi.
Selasa, giliran Andi, atasan Sandra yang sudah menikah, mendekatinya di ruang rapat. Pria 40 tahun itu, yang dikenal sebagai family man di depan umum, tiba-tiba memuji penampilan Sandra saat menyerahkan dokumen. “Kamu ini bikin orang susah fokus, San,” katanya sambil terkekeh, jari-jarinya sengaja menyentuh tangan Sandra sedikit lebih lama dari seharusnya. Sandra menarik tangannya dengan halus, mengalihkan pembicaraan ke proyek, tapi tatapan Andi tetap menyelami. Di pantry, Rina dan Maya kembali mengomentari. “Lihat tuh, Andi sampe lupa istrinya. Sandra emang jagonya main mata,” ujar Maya, matanya penuh cemburu, seolah Sandra sengaja mencuri perhatian.
Rabu pagi, suasana kantor sedikit lebih santai. Fajar, anak baru berusia 24 tahun yang baru lulus kuliah, mendekati meja Sandra dengan wajah gugup. “Kak Sandra, boleh nanya soal laporan ini nggak? Eh, tapi Kakak kok selalu cakep sih,” katanya, wajahnya memerah. Sandra tersenyum kecil, menjawab pertanyaan Fajar dengan sabar, tapi tak menghibur rayuannya. Fajar, yang jelas-jelas naksir, terus mencuri pandang sepanjang hari. Di lorong, Rina menyenggol Maya, “Anak baru aja udah klepek-klepek. Sandra ini sihir apa, sih?” Nada mereka penuh sindiran, seolah kecantikan Sandra adalah dosa.
Kamis, suasana berubah saat Sandra memimpin rapat tim. Pak Bima kembali mencoba peruntungannya, kali ini dengan pujian berlebihan di depan semua orang. “Sandra ini aset kita, cantik dan cerdas, paket lengkap!” katanya, disambut tawa canggung dari yang lain. Sandra hanya mengangguk, fokus pada presentasi, tapi bisa merasakan tatapan Rina yang menusuk dari ujung meja. Setelah rapat, Rina berbisik pada Maya, “Pasti dia sengaja cari muka biar naik jabatan. Cantik doang mah gampang.” Iri mereka semakin kentara, meski Sandra tak pernah meminta perhatian itu.
Jumat, Andi mencoba lagi, kali ini mengajak Sandra untuk “diskusi santai” di kafe setelah jam kerja. “Cuma ngobrol, San, nggak ada apa-apa,” katanya dengan senyum yang mencurigakan. Sandra menolak dengan tegas, mengatakan ia punya janji lain, meski sebenarnya ia hanya ingin pulang dan bersantai. Di belakang, Maya yang mendengar percakapan itu langsung menggunjing, “Lihat, Andi sampe rela nyanyi-nyanyi buat Sandra. Kalau aku sih, ogah jadi penutup.” Cemburu mereka makin memuncak, seolah Sandra adalah penyebab setiap pria kehilangan akal.
Sabtu, meski kantor libur, Fajar mengirimi Sandra pesan di grup proyek, disisipi emoticon hati dan pujian, “Kak Sandra, weekend tetep cakep nggak sih?” Sandra tak membalas, hanya membaca sekilas sebelum mematikan ponselnya. Di grup WhatsApp kantor, Rina dan Maya tak henti membahas Sandra, menyebutnya “ratu drama” yang sengaja membuat semua pria tergila-gila. Mereka tak pernah menyebut prestasi Sandra, hanya kecantikannya yang mereka anggap sebagai senjata manipulasi.
Di tengah semua godaan dan cibiran, Sandra tetap menjaga sikapnya. Ia tahu betul pesonanya menarik perhatian, tapi ia tak pernah memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi. Ia fokus pada kariernya, mengabaikan rayuan para pria dan iri para rekan wanita. Di usianya yang 32 tahun, Sandra mulai memikirkan hidupnya sendiri, mencari cinta sejati yang menghormati dirinya sebagai individu, bukan sekadar objek kekaguman. Di balik sorotan mata dan bisik-bisik kantor, Sandra tetap berjalan dengan kepala tegak, menjalani hari-harinya dengan keberanian dan integritas.
------------------------------
Di kantor konsultan bergengsi di Menteng, Sandra bagaikan bunga mawar yang memikat, dikerubungi kumbang-kumbang genit yang tak bisa menahan diri. Wanita berusia 32 tahun ini memiliki kecantikan yang sulit diabaikan: wajahnya bak porselen dengan mata cokelat tajam dan bibir penuh yang selalu dihiasi lipstik pink lembut. Meski mengenakan jilbab, gaya berpakaiannya tetap memancarkan keseksian yang tak biasa. Jilbabnya yang tersampir rapi tak menutupi lekuk dadanya yang menonjol, ditambah rok span ketat yang membingkai pinggul besarnya dengan sempurna. Sepatu high heels yang selalu ia pakai menambah pesona langkahnya yang anggun, membuat setiap pria di kantor menoleh, penuh nafsu yang tersembunyi di balik senyum sopan.
Dari sudut ruang kerja, Lisa, rekan kerja Sandra, memperhatikan dengan tatapan penuh cemburu. “Lihat deh, jilbab cuma formalitas,” bisiknya pada Dita, teman sekantornya, saat Sandra berjalan melewati lorong dengan rok ketat yang menegaskan bentuk tubuhnya. Bagi Lisa, keseksian Sandra adalah provokasi. “Dia tahu banget semua cowok ngeliatin pinggulnya itu. Makanya sengaja pake rok span biar kelihatan,” ujarnya, nada sinisnya tak bisa disembunyikan. Lisa, yang selalu berpakaian konservatif, merasa Sandra sengaja memamerkan tubuhnya untuk mencuri perhatian.
Pagi berikutnya, saat Sandra masuk ruangan dengan blus yang sedikit ketat di bagian dada, Dita menggelengkan kepala. “Lihat tuh, dadanya kayak sengaja dibiarkan menonjol. Jilbab apa itu namanya?” katanya pada Lisa sambil menyeruput kopi. Bagi Dita, lipstik pink Sandra adalah senjata mematikan yang membuat pria-pria di kantor, dari atasan hingga kurir, tergoda untuk terus melirik. “Dia pasti sengaja pake warna pink biar bibirnya kelihatan menggoda,” tambah Dita, matanya menyipit penuh iri. Mereka tak bisa menyangkal kecantikan Sandra, tapi itu justru membuat mereka semakin kesal.
Di ruang rapat, ketika Sandra berdiri mempresentasikan laporan, high heels-nya yang mengilap membuat langkahnya terlihat elegan, namun bagi Rina, rekan kerja lainnya, itu hanya “pamer”. “Lihat, dia jalan kayak model di catwalk. Pinggulnya sengaja digoyang biar semua cowok melotot,” cibir Rina pada Lisa di sela rapat. Lekuk pinggul Sandra yang menonjol di rok span itu memang tak bisa diabaikan, dan Rina merasa itu adalah trik murahan untuk menarik perhatian. “Kalau aku punya tubuh begitu, aku nggak bakal pamer kayak gitu,” tambahnya, meski nada irinya mengkhianati kata-katanya.
Sore itu, saat Sandra membungkuk sedikit untuk mengambil dokumen dari meja, blusnya yang sedikit ketat mempertegas bentuk dadanya. “Ya Tuhan, dia nggak malu apa pake baju kayak gitu?” bisik Dita pada Rina, matanya tak lepas dari Sandra. Bagi mereka, Sandra adalah perwujudan keseksian yang berlebihan, seolah setiap gerakannya dirancang untuk menggoda. “Jilbabnya cuma buat gaya, lihat aja dadanya, kayak sengaja dibiarkan kelihatan,” tambah Dita, suaranya penuh penghakiman. Mereka tak pernah memuji kerja keras Sandra, hanya sibuk mencela penampilannya.
Keesokan harinya, saat Sandra berjalan ke pantry dengan langkah penuh percaya diri, high heels-nya berbunyi klik-klak di lantai marmer. Lisa, yang sedang mengisi ulang cangkirnya, melirik ke arahnya dan bergumam pada Dita, “Lihat deh, sepatunya aja sengaja pilih yang berisik biar semua orang nengok.” Bagi Lisa, setiap detail penampilan Sandra—dari lipstik pink yang cerah hingga jilbab yang disampirkan dengan gaya—adalah strategi untuk memikat pria. “Dia tahu banget cowok-cowok pada naksir, makanya berpakaian begitu,” katanya, cemburu karena tak pernah mendapat perhatian serupa.
Di akhir pekan, ketika tim mengadakan acara informal, Sandra tampil dengan rok span yang lebih santai namun tetap menonjolkan pinggul dan dadanya yang proporsional. Rina, yang melihatnya mengobrol dengan beberapa rekan pria, tak bisa menahan diri. “Lihat, dia lagi-lagi jadi pusat perhatian. Pantes kumbang-kumbang genit itu nempel, dia kan sengaja umbar keseksian,” katanya pada Dita, suaranya penuh sarkasme. Bagi mereka, Sandra adalah ancaman, wanita yang menggunakan kecantikan dan tubuhnya untuk mendominasi perhatian, meski sebenarnya Sandra hanya berusaha menjadi dirinya sendiri.
Di balik cibiran dan iri para rekan wanitanya, Sandra tetap menjalani hari-harinya dengan percaya diri. Ia tahu penampilannya menarik perhatian, tapi baginya, berpakaian sesuai gayanya adalah bentuk ekspresi diri, bukan ajakan untuk digoda. Meski kumbang-kumbang genit terus mengerubunginya, Sandra tetap fokus pada kariernya, mengabaikan bisik-bisik sinis dari Lisa, Dita, dan Rina. Baginya, kecantikan dan keseksian adalah anugerah, tapi kecerdasan dan integritaslah yang membuatnya benar-benar bersinar di tengah lingkungan yang penuh intrik.
-------------------------------
Suatu siang di pantry kantor, saat jam istirahat, Sandra duduk di sudut dengan segelas teh hangat, wajahnya tampak lelah. Di depannya, Rizky sedang mengaduk kopinya, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Aku capek, Riz,” keluh Sandra, suaranya pelan tapi penuh emosi. “Semua wanita di kantor ini kayak nggak pernah berhenti nyinyir. Aku nggak ngapa-ngapain, tapi mereka bilang aku sengaja cari perhatian, sengaja pamer. Apa salahnya sih jadi diri sendiri?” Matanya menyipit, menahan kesal yang sudah lama terpendam.
Rizky memandang Sandra dengan empati, melihat betapa frustrasinya temannya itu. “Sabar, San. Orang-orang cuma iri karena kamu menonjol. Nggak usah dipikirin,” katanya, mencoba menenangkan. Ia tahu betul bagaimana Sandra sering menjadi bahan gunjingan rekan-rekan wanita, seperti Anita dan Sari, yang selalu berbisik di belakangnya, menuduhnya genit atau sengaja memikat pria. Rizky sendiri tak bisa menyangkal pesona Sandra—wajahnya yang lembut, senyumnya yang hangat, dan karisma yang seolah tak pernah padam—tapi ia lebih menghargai kepribadian Sandra yang tulus.
Sandra menghela napas, menyeruput tehnya, lalu tiba-tiba terkekeh kecil. “Riz, gimana kalau aku beneran jadi pelakor aja? Aku rebut semua suami dan pacar dari cewek-cewek yang nyinyir itu. Biar mereka tahu rasa!” katanya dengan nada bercanda, matanya berbinar penuh kelakar. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, tangannya menyentuh meja dengan gestur dramatis, seolah sedang memainkan peran dalam komedi. Tawa kecilnya menggema di pantry, mencairkan suasana yang tadinya tegang.
Rizky tertawa lepas mendengar candaan Sandra, hampir tersedak kopinya. “Haha, kamu jadi pelakor? Dunia bakal kiamat, San! Tapi serius, jangan kasih muka ke mereka. Kamu terlalu keren buat drama gitu,” balasnya, ikut bercanda sambil menggelengkan kepala. Ia membayangkan betapa hebohnya kantor jika Sandra benar-benar melakukan apa yang ia katakan, tapi ia tahu itu cuma lelucon untuk melepas stres. Kecantikan Sandra memang magnet, tapi Rizky tahu betul bahwa di balik itu, Sandra adalah wanita yang punya prinsip kuat.
Di luar pantry, Anita dan Sari kebetulan lewat, menangkap sepenggal tawa Sandra dan Rizky. “Lihat deh, sekarang ngeluarin pesona ke Rizky,” bisik Anita, nadanya penuh cemburu. “Pasti dia bilang gitu biar cowok-cowok pada nempel. Dasar!” tambah Sari, matanya melotot ke arah pantry. Mereka tak tahu konteks candaan Sandra, tapi sudah buru-buru menilai, menganggap Sandra sengaja memamerkan pesonanya untuk menarik perhatian Rizky, yang dikenal sebagai salah satu pria idaman di kantor.
Sandra, yang tak menyadari bisik-bisik di luar, melanjutkan obrolannya dengan Rizky, kini beralih ke topik proyek baru. Meski candaannya tadi terdengar liar, ia sebenarnya hanya ingin meluapkan kekesalan atas cibiran yang tak pernah berhenti. Ia tahu betul bahwa menjadi wanita cantik di lingkungan kompetitif seperti ini sering disalahartikan. Setiap senyumnya dianggap rayuan, setiap pakaian yang ia pilih dianggap provokasi. Tapi dengan Rizky, ia bisa jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Rizky, di sisi lain, merasa beruntung bisa menjadi teman Sandra. Ia tahu banyak pria, termasuk yang sudah beristri, berusaha mendekati Sandra dengan motif yang kurang tulus. Tapi ia memilih untuk tetap berada di sisinya sebagai sahabat, menahan perasaannya sendiri demi menjaga hubungan yang sudah terjalin. “San, serius, kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke mereka. Biarin aja nyinyiran itu, toh kamu tahu kamu nggak seperti yang mereka pikir,” katanya, memberikan senyum tulus yang membuat Sandra merasa sedikit lebih ringan.
Hari itu berakhir dengan Sandra kembali ke mejanya, hatinya sedikit lebih lega setelah meluapkan keluhannya. Candaannya tentang menjadi “pelakor” hanyalah pelarian sesaat, tapi ia tahu ia tak akan pernah menurunkan standarnya hanya untuk membalas dendam pada cibiran. Di balik kecantikannya yang memikat, Sandra adalah wanita yang teguh, yang memilih menjalani hidup dengan caranya sendiri, meski dikelilingi oleh kumbang-kumbang genit dan bisik-bisik penuh iri dari rekan-rekannya.
---------------------------
Pukul lima sore, suasana kantor konsultan di Menteng mulai mereda. Satu per satu karyawan bersiap pulang, termasuk Sandra, yang berjalan menuju parkiran dengan tas tangan elegan di pundaknya. Ia mengendarai Hyundai terbaru, mobil sporty berwarna merah yang mencerminkan kepribadiannya yang dinamis. Sebelum meninggalkan kantor, ia berpamitan kepada bosnya, Pak Haryo, dan atasannya, Daniel, yang sedang mengobrol di lobi. “San, mumpung weekend besok, makan malam bareng yuk, ada resto baru di Senopati,” goda Pak Haryo dengan senyum lebar. Daniel menimpali, “Iya, San, sekali-kali kita santai bareng.” Sandra tersenyum sopan, menolak dengan halus, “Maaf, Pak, Mas Daniel, saya sudah ada rencana. Terima kasih ya.” Ia berbalik, langkahnya tetap anggun meski hatinya sedikit jengkel.
Di parkiran, Sandra masuk ke mobilnya, menyalakan mesin, dan melaju keluar dari gedung. Di sepanjang jalan menuju apartemennya di kawasan Kuningan, pikirannya dipenuhi oleh gumaman-gumaman yang ia dengar seharian. Rekan-rekan wanitanya, seperti Vina dan Clara, tak henti-hentinya berbisik di belakangnya, menyebutnya “wanita penggoda” yang sengaja memikat pria dengan penampilannya. Sandra menggenggam setir lebih erat, kesal karena tuduhan itu tak pernah didasari fakta. Ia selalu berusaha profesional, tapi kecantikannya seolah menjadi kutukan yang membuatnya terus dihakimi.
Sesampainya di apartemen, Sandra memarkir mobilnya dan langsung menuju kamar. Ia melempar tasnya ke sofa, menendang sepatu high heels-nya, dan ambruk di tempat tidur. Hari itu terasa melelahkan, bukan karena tumpukan laporan atau rapat yang padat, melainkan karena tekanan tak kasat mata dari cibiran rekan-rekannya. “Penggoda? Aku cuma jadi diri sendiri,” gumamnya pada diri sendiri, menatap langit-langit kamar. Wajahnya yang cantik, yang sering dipuji, kini terasa seperti beban. Ia lelah harus terus menjelaskan bahwa ia tak pernah menggoda siapa pun, apalagi pria-pria beristri di kantor.
Dalam keheningan kamar, Sandra memejamkan mata, tapi pikirannya justru semakin liar. Ia teringat bisik-bisik Vina di pantry, “Lihat Sandra, pasti sengaja pake parfum mahal biar cowok-cowok pada nempel.” Ia teringat juga tatapan sinis Clara saat ia berbincang dengan klien pria. Kemarahan mulai membuncah di dadanya. “Kalau mereka pikir aku penggoda, kenapa nggak aku buktikan saja?” pikirnya, setengah bercanda, setengah serius. Tekad aneh muncul di lubuk hatinya: ia akan membuktikan bahwa ia memang wanita yang superior, yang bisa membuat pria mana pun jatuh hati, hanya untuk membungkam semua cibiran itu.
Sandra bangkit dari tempat tidur, berjalan ke cermin besar di kamarnya. Ia memandang bayangannya: wajah yang memesona, tubuh yang proporsional, dan aura yang tak bisa diabaikan. Ia tahu pesonanya adalah senjata, meski selama ini ia memilih untuk tidak menggunakannya. “Kalau mereka pikir aku penggoda, mungkin aku harus benar-benar jadi seperti itu,” gumamnya, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh tantangan. Ia membayangkan wajah-wajah Vina dan Clara yang memucat jika melihat pria-pria di kantor, termasuk suami atau pacar mereka, tergila-gila padanya. Pikiran itu terasa menggoda, meski ia tahu itu bukan jalan yang benar.
Di dalam hatinya, Sandra berjuang dengan kontradiksi. Ia bukan wanita yang suka menyakiti orang lain, apalagi menghancurkan hubungan. Tapi cibiran yang terus-menerus itu membuatnya merasa terpojok. Ia ingin sekali membuktikan bahwa ia bukan hanya wajah cantik, tapi wanita yang punya kuasa atas dirinya sendiri. “Aku bisa bikin mereka semua naksir, tapi aku nggak akan jatuh ke level mereka,” katanya pada bayangannya di cermin, seolah meyakinkan diri sendiri. Tekadnya untuk “merebut” semua pria di kantor hanyalah luapan emosi sesaat, sebuah fantasi balas dendam yang ia tahu tak akan ia wujudkan.
Malam itu, Sandra mandi air hangat, berusaha menenangkan diri. Ia mengenakan piyama favoritnya dan duduk di balkon apartemen, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Di tengah ketenangan, ia menyadari bahwa membuktikan diri dengan cara merendahkan orang lain bukanlah caranya. Ia ingin menunjukkan superioritasnya melalui prestasi, bukan drama. “Biar mereka nyinyir. Aku akan tetap jadi Sandra yang fokus pada mimpiku,” tekadnya, kali ini dengan hati yang lebih jernih. Ia tersenyum kecil, merasa beban di hatinya sedikit terangkat.
3971Please respect copyright.PENANApMCE2BfNGU
3971Please respect copyright.PENANAoO4qnl0nvc
TO BE CONTINUED
3971Please respect copyright.PENANAdrqozUUzCL
3971Please respect copyright.PENANABlAjdivoFt