
Pagi itu tiba dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela ruko Tokoh Jaya, tapi saya, Jimmy, terbangun dengan rasa berat yang masih menyelimuti hati. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan, dan saya tersentak menyadari bahwa saya bangun kesiangan, sesuatu yang belum pernah terjadi selama bertahun-tahun menjalankan ruko ini. Biasanya, Evelyn akan membangunkan saya dengan suara lembutnya atau aroma kopi yang dia seduh, tapi pagi ini, kamar terasa sepi, dan tempat tidur di samping saya sudah kosong. Saya duduk di tepi kasur, kepala saya masih penuh dengan bayang-bayang fantasi gelap semalam—pikiran tentang Evelyn dengan pria itu yang membuat saya menangis sekaligus merasa aneh. Saya menggosok wajah, mencoba mengusir rasa bersalah dan kebingungan, tapi perasaan itu tetap menempel seperti bayang-bayang yang tak mau pergi. Saya bangkit dengan langkah lelet, merasa seperti orang asing di kamar sendiri.
Saya keluar dari kamar, menuruni tangga kayu yang berderit menuju kamar mandi kecil di lantai bawah. Air dingin yang saya usapkan ke wajah saya terasa menyegarkan, tapi tak mampu menghapus beban di hati. Cermin di depan saya memantulkan wajah yang lelah, dengan lingkaran hitam di bawah mata, bukti malam yang penuh kegelisahan. Saya mencuci muka lebih lama dari biasanya, berharap air bisa membersihkan bukan hanya wajah, tapi juga pikiran saya yang kacau. Di luar kamar mandi, saya mendengar suara pelan dari ruko—dentingan barang yang disusun, tanda bahwa Evelyn sudah mulai bekerja. Saya menghela napas, merasa semakin bersalah karena dia harus memulai hari ini sendirian, sementara saya masih bergulat dengan kegagalan saya sebagai suami.
Di meja makan kecil di ruang belakang, sarapan sudah tersedia: sepiring nasi dengan telur mata sapi dan sepotong ikan asin, sederhana tapi biasanya terasa hangat karena disiapkan oleh Evelyn. Pagi ini, piring itu terasa dingin, tanda bahwa Evelyn sudah makan lebih dulu dan tak menunggu saya seperti biasa. Saya duduk, mengambil sendok dengan gerakan mekanis, tapi setiap suapan terasa hambar, seperti mencerminkan suasana hati saya. Saya teringat Agnes, putri kami yang berusia 17 tahun, yang pasti sudah berangkat ke sekolah swasta sebelum saya bangun. Biasanya, dia akan menyapa saya dengan senyum ceria sebelum pergi, tapi pagi ini, saya melewatkan momen itu, dan itu membuat saya semakin merasa seperti ayah yang tak hadir. Saya menatap piring, berharap bisa kembali ke masa ketika pagi kami penuh tawa, tapi kini hanya ada keheningan.
Saya berjalan ke bagian depan ruko, tempat Evelyn sedang bekerja. Pintu ruko sudah terbuka, dan beberapa pelanggan pagi sudah mulai berdatangan, membeli kebutuhan sehari-hari seperti sabun dan mi instan. Evelyn berdiri di dekat rak, mengelap debu dari kaleng-kaleng susu dengan kain lap, gerakannya lincah tapi tanpa semangat yang biasa. Dia mengenakan tanktop hitam yang sedikit ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah, dan celana pendek di atas lutut yang menonjolkan kakinya yang mulus. Saya berhenti sejenak, menatapnya dari kejauhan, dan tak bisa menyangkal betapa cantiknya dia. Bahkan di tengah kepedihan yang kami alami, kecantikan Evelyn tetap memukau, seperti cahaya yang tak pernah padam, meski kini tertutup bayang-bayang ketakutan.
Evelyn selalu merawat dirinya dengan baik, sesuatu yang membuatnya menonjol di antara ibu-ibu lain di sekitar kawasan ini. Dia rajin melakukan perawatan kulit, menggunakan skincare setiap malam hingga kulitnya tetap mulus dan bercahaya meski usianya sudah 34 tahun. Dia juga rutin mengikuti kelas pilates di pusat kebugaran dekat pasar, menjaga tubuhnya tetap kencang dan berlekuk, sesuatu yang selalu membuat saya bangga sebagai suaminya. Pagi ini, tanktop yang dia kenakan mempertegas bentuk tubuhnya, dan tali bra yang sedikit terlihat dari baliknya menambah kesan sensual yang tak pernah dia sengaja tonjolkan. Saya menatapnya, merasa campur aduk antara kagum dan rasa bersalah, karena kecantikan itu kini menjadi sesuatu yang membuatnya rentan di mata pria seperti ketua preman itu. Saya menghela napas, mencoba mengusir pikiran gelap yang kembali muncul.
Saya mendekati kasir, mencoba menyapa Evelyn untuk memecah keheningan di antara kami. “Pagi, Ev,” kataku pelan, tapi dia hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, tangannya terus mengelap rak dengan gerakan mekanis. Wajahnya yang biasanya cerah kini pucat, matanya masih merah sisa tangisan semalam, dan itu membuat hati saya semakin teriris. Saya tahu dia masih terluka oleh kejadian kemarin, oleh penghinaan yang dia alami di depan saya, dan oleh kenyataan bahwa saya tak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Saya ingin meminta maaf lagi, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokan, terhalang oleh rasa malu dan ketakutan bahwa dia tak lagi mempercayai saya. Saya berdiri di balik kasir, mencoba fokus pada pelanggan, tapi pikiran saya terus kembali ke Evelyn dan luka yang kini memisahkan kami.
Pelanggan datang dan pergi, tapi suasana ruko terasa jauh dari kehangatan yang biasa. Seorang ibu membeli sekaleng susu bubuk, dan seorang bapak meminta rokok, tapi mereka bergerak cepat, seolah merasakan ketegangan di udara. Saya melirik Evelyn lagi, memperhatikan bagaimana dia bergerak dengan anggun meski tanpa semangat, tanktopnya yang sedikit naik saat dia mengelap rak atas memperlihatkan sedikit kulit pinggangnya yang mulus. Saya tahu dia selalu memilih pakaian yang nyaman untuk hari-hari panas seperti ini, terutama karena AC ruko sedang rusak, tapi pakaian itu kini terasa seperti undangan tak sengaja bagi mata yang salah. Saya menunduk, merasa bersalah karena memikirkannya seperti itu, tapi juga tak bisa menyangkal betapa indahnya dia di mata saya, bahkan di saat seperti ini.
Saya teringat kebiasaan Evelyn menjaga pola makan, selalu memilih makanan sehat seperti salad atau smoothie, sesuatu yang jarang dilakukan ibu-ibu lain di sekitar sini. Dia selalu bilang bahwa menjaga tubuh adalah caranya menunjukkan cinta pada keluarga, agar dia bisa tetap kuat untuk saya dan Agnes. Tapi kini, kekuatan itu seolah tak berarti di hadapan ancaman preman itu, dan saya merasa gagal karena tak bisa melindunginya. Saya memandangnya dari balik kasir, melihat bagaimana payudaranya yang besar terlihat jelas di balik tanktop, dan tali bra yang sedikit tersingkap membuatnya tampak lebih rentan. Saya tahu dia tak bermaksud memamerkan tubuhnya, tapi di saat seperti ini, kecantikannya terasa seperti kutukan. Saya mengepalkan tangan, mencoba mengusir pikiran gelap yang kembali muncul dari semalam.
Saya mencoba menyibukkan diri dengan menghitung stok di laci kasir, tapi pikiran saya terus kembali ke Evelyn. Saya teringat masa-masa awal pernikahan kami, ketika dia akan tersenyum lebar saat membantu di ruko, pakaiannya yang sederhana tapi selalu menonjolkan keindahan alaminya. Kini, senyum itu hilang, diganti oleh ekspresi kosong yang membuat hati saya perih. Saya tahu dia berusaha kuat, berusaha menjalani hari ini demi Agnes, demi ruko, tapi luka di hatinya terlihat jelas dari gerakannya yang lesu. Saya ingin mendekatinya, memeluknya, dan bilang bahwa saya akan mencari jalan keluar, tapi setelah pertengkaran semalam, saya tak yakin dia akan menerima saya. Saya hanya menatapnya dari kejauhan, merasa seperti laki-laki yang tak lagi layak menjadi suaminya.
Ruko mulai sedikit ramai, tapi tak ada kehangatan yang biasa saya rasakan dari pelanggan yang dulu suka bercanda dengan kami. Saya tahu kabar tentang preman itu mungkin sudah menyebar, membuat orang-orang berhati-hati saat datang ke sini. Evelyn terus bekerja, mengelap rak dengan kain lap, tapi setiap gerakannya terasa seperti upaya untuk mengalihkan pikiran dari kejadian kemarin. Saya memperhatikan bagaimana celana pendeknya yang di atas lutut memperlihatkan kakinya yang panjang dan ramping, hasil dari pilates yang dia tekuni. Dia adalah wanita yang selalu bangga pada tubuhnya, tapi kini, saya tahu dia merasa rentan, terutama setelah sorot mata pria itu kemarin. Saya menunduk lagi, merasa bersalah karena tak bisa melindunginya dari ancaman yang kini mengintai.
Saya teringat Agnes, yang kini sudah di sekolah, mungkin sedang belajar dengan teman-temannya, tak tahu bahwa dunia kami sedang runtuh. Saya selalu bangga pada prioritas kami sebagai keluarga Tionghoa untuk pendidikannya, tapi kini, ancaman tiga juta rupiah sebulan membuat saya takut bahwa kami harus mengorbankan mimpinya. Saya melirik Evelyn lagi, melihat bagaimana dia bergerak dengan anggun meski tanpa semangat, dan hati saya kembali terasa perih. Kecantikannya, yang selalu jadi kebanggaan saya, kini terasa seperti beban, karena saya tahu pria itu melihatnya dengan cara yang membuat saya muak. Saya ingin melindunginya, ingin menjadi suami yang dia dulu kagumi, tapi rasa takut dan kegagalan saya terus menghantui.
-------------------------
279Please respect copyright.PENANAscd86HFuZk
Evelyn masih sibuk mengelap rak-rak, tanktop hitamnya menempel erat di tubuhnya yang berlekuk, dan celana pendeknya memperlihatkan kakinya yang ramping. Saya tahu kami harus berbicara, harus menjembatani jurang yang tercipta sejak kejadian kemarin, tapi setelah pertengkaran semalam, saya ragu dia akan menerima saya dengan hangat. Dengan napas tertahan, saya melangkah mendekat, mencoba membuka percakapan dengan nada yang ringan. “Ev, rame nggak tadi pagi? Kayaknya pelanggan mulai datang lagi, ya,” kataku, berusaha membawa suasana normal ke dalam ruko yang kini terasa asing. Saya menatapnya, berharap senyum kecil atau respons yang hangat, tapi hati saya sudah menduga bahwa dia tak akan menjawab seperti dulu. Pikiran saya masih dipenuhi rasa bersalah, dan bayang-bayang fantasi gelap semalam membuat saya merasa semakin tak layak sebagai suaminya.
Evelyn menoleh sekilas, matanya yang biasanya berbinar kini redup, dan dia hanya mengangguk pelan. “Biasa aja, Jim. Kayak kemarin,” jawabnya singkat, suaranya datar tanpa kehangatan yang biasa. Dia kembali mengelap kaleng susu di rak, gerakannya mekanis, seolah ingin menghindari percakapan yang lebih dalam. Saya berdiri di tempat, merasa canggung, tapi tak ingin menyerah. Saya memperhatikan gerakannya, dan tanpa sengaja, mata saya tertuju pada tali bra-nya yang sedikit tersingkap dari balik tanktop hitamnya, memperlihatkan sedikit kulit mulus di bahunya. Saya tahu saya seharusnya tak memikirkan hal itu di saat seperti ini, tapi kecantikannya selalu punya cara untuk menarik perhatian saya, bahkan di tengah kekacauan. Saya mengalihkan pandang, mencoba fokus pada percakapan, tapi perasaan bersalah dan kagum bercampur di dada saya, membuat saya semakin sulit menemukan kata-kata yang tepat.
Evelyn tiba-tiba menyadari tatapan saya, dan dengan gerakan cepat, dia membenarkan tali bra-nya yang tersingkap. Saat dia melakukannya, payudaranya yang besar berguncang pelan, terlihat begitu indah di balik tanktop ketatnya, dan saya tak bisa menahan diri untuk tidak kagum. Dia tampak cantik, sangat cantik, bahkan di tengah kepedihan yang kami alami. Kulitnya yang mulus, hasil perawatan skincare yang dia tekuni, dan tubuhnya yang terjaga karena pilates, membuatnya seperti lukisan yang hidup, jauh lebih menawan dibandingkan ibu-ibu lain di kawasan ini. Saya menelan ludah, merasa bersalah karena memandangnya seperti itu di saat dia sedang terluka, tapi kecantikannya selalu punya cara untuk membuat saya lupa sejenak pada masalah kami. Saya menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membahas hal yang benar-benar penting, sesuatu yang tak bisa kami hindari lagi.
“Ev, kita perlu ngomong soal… soal preman itu,” kataku pelan, suara saya hampir tenggelam oleh suara kipas angin tua di sudut ruko. Evelyn menghentikan gerakannya, kain lap di tangannya terhenti di udara, dan dia menoleh ke arah saya dengan ekspresi serius. Matanya, meski masih merah sisa tangisan, kini penuh tekad, seolah dia benar-benar ingin pria itu dan ancamannya lenyap dari hidup kami. Saya tahu dia tak hanya marah karena penghinaan kemarin, tapi juga karena takut pada apa yang mungkin terjadi jika kami tak menemukan solusi. Saya menunjuk ke arah pintu, memastikan tak ada pelanggan yang mendengar, dan melanjutkan, “Kita nggak bisa biarin ini terus. Kita harus cari cara buat ngusir mereka.” Saya berharap kata-kata itu terdengar tegas, tapi di dalam hati, saya tahu kami berdua sama-sama tak yakin ada jalan keluar yang mudah.
Pelanggan terakhir keluar dari ruko, membawa sekantong beras, dan pintu kembali sepi. Saya mengangguk pada Evelyn, mengajaknya duduk di kursi plastik di dekat kasir, tempat kami biasa berdiskusi tentang ruko atau rencana keluarga. Dia menurut, duduk dengan tangan meremas kain lap, wajahnya penuh ketegangan tapi juga harapan kecil bahwa kami bisa menemukan solusi. “Aku juga nggak mau mereka balik, Jim,” katanya, suaranya pelan tapi tegas. “Aku nggak mau Agnes tahu, dan aku nggak mau kita hidup ketakutan begini.” Nada suaranya mencerminkan tekad yang kuat, sesuatu yang membuat saya kagum sekaligus malu, karena saya tahu dia lebih berani daripada saya dalam menghadapi situasi ini. Saya mengangguk, mencoba menunjukkan bahwa saya serius, meski di dalam hati, saya masih bergulat dengan rasa takut dan fantasi gelap yang menghantui saya semalam.
Kami mulai berdiskusi, mencoba mencari ide untuk mengusir preman itu dari hidup kami. Ide pertama yang muncul adalah melapor ke polisi, tapi kami berdua tahu itu hampir mustahil. Cerita tentang polisi di wilayah ini yang sering bersekongkol dengan ormas seperti Bintang Timur sudah jadi rahasia umum di kalangan pedagang. Evelyn menggeleng, wajahnya muram, “Mereka mungkin malah minta duit lebih banyak kalau kita lapor.” Saya mengangguk, merasa ide itu seperti jalan buntu sebelum dimulai. Kami tahu polisi tak akan membantu, dan risiko membuat situasi lebih buruk terlalu besar. Saya mengepalkan tangan, frustrasi karena opsi yang seharusnya logis justru terasa seperti jebakan.
Ide kedua adalah menyewa penutup keamanan swasta, seperti satpam yang kadang dipakai toko besar di pasar. Saya membayangkan pria berseragam yang bisa menjaga ruko, tapi Evelyn segera mematahkan ide itu. “Dari mana kita dapat duit buat bayar satpam, Jim? Kita sudah susah bayar SPP Agnes,” katanya, nadanya penuh realisme yang pahit. Saya menunduk, tahu bahwa keuangan kami sudah tipis, dan tiga juta untuk preman saja sudah membuat kami pusing. Ide itu terasa seperti mimpi yang tak terjangkau, dan saya merasa semakin tak berdaya. Kami hanya pedagang kelontong, bukan pemilik toko besar dengan anggaran melimpah, dan kenyataan itu seperti tamparan di wajah saya.
Kami lalu memikirkan ide ketiga: meminta bantuan pedagang lain di kawasan ini untuk bersama-sama melawan ormas. Saya tahu beberapa pedagang lain juga mendapat tekanan serupa, dan mungkin jika kami bersatu, kami bisa lebih kuat. Tapi Evelyn menggeleng lagi, wajahnya penuh keraguan. “Mereka juga takut, Jim. Lihat kemarin, pelanggan aja buru-buru pergi begitu preman itu masuk.” Dia benar; solidaritas di antara pedagang sering kali rapuh di bawah ancaman, dan tak ada yang mau mengambil risiko besar seperti itu. Saya memikirkan wajah-wajah pedagang tetangga, yang mungkin juga hidup dalam ketakutan, dan menyadari bahwa ide ini terlalu berisiko. Kami tak punya cukup pengaruh untuk menggerakkan mereka, dan saya tak yakin mereka akan berani melawan.
Ide keempat adalah mencoba bernegosiasi dengan ketua preman itu, mungkin menawarkan jumlah yang lebih kecil atau pembayaran bertahap. Saya membayangkan diri saya berdiri di depan pria itu, berbicara dengan tenang, tapi bayangan bau alkohol dan tatonya yang menakutkan membuat saya gemetar. Evelyn memandang saya dengan tatapan skeptis, “Kamu pikir dia tipe yang mau kompromi? Dia orang yang suka nginjek-nginjek orang lemah, Jim.” Kata-katanya menyakitkan, tapi benar, dan saya tahu negosiasi dengan pria seperti itu hanya akan membuat kami terlihat lebih lemah. Saya menunduk, merasa ide itu sia-sia, dan rasa takut kembali menyelimuti saya. Evelyn menghela napas, seolah kehilangan harapan pada ide itu secepat saya.
Ide kelima adalah pindah dari ruko ini, menjual Tokoh Jaya dan mencari tempat baru di kota lain. Saya tahu itu ide yang radikal, tapi pikiran untuk meninggalkan ancaman ini terasa seperti jalan keluar. Namun, Evelyn langsung menolak, matanya berkilat dengan emosi. “Ini warisan keluargamu, Jim. Kita nggak bisa kabur begitu aja. Terus Agnes? Sekolahnya gimana?” Saya tahu dia benar; ruko ini bukan hanya bisnis, tapi simbol perjuangan keluarga selama beberapa generasi, dan pindah berarti menyerah pada segalanya. Saya juga memikirkan biaya pindah, yang jauh lebih besar dari tiga juta rupiah, dan menyadari bahwa ide ini tak lebih dari angan-angan. Kami terikat pada ruko ini, pada kehidupan yang kami bangun, dan kabur bukanlah solusi.
Kami terdiam sejenak, menyadari bahwa hampir semua ide kami terasa mustahil. Evelyn menatap ke luar jendela, wajahnya penuh tekad tapi juga keputusasaan, dan saya tahu dia sama takutnya dengan saya. “Kita harus lakukan sesuatu, Jim,” katanya pelan, suaranya hampir memohon. “Aku nggak mau hidup ketakutan setiap hari.” Saya mengangguk, tapi di dalam hati, saya tak yakin ada jalan keluar yang realistis. Saya memandangnya, melihat kecantikannya yang tetap memukau meski di tengah kesedihan, dan merasa bersalah karena tak bisa melindunginya. Saya ingin berjanji bahwa saya akan menemukan cara, tapi setelah kegagalan kemarin, saya tahu kata-kata saya tak lagi berarti banyak.
Diskusi kami terhenti ketika seorang pelanggan masuk, membeli sebotol minyak goreng, dan kami kembali berpura-pura semua baik-baik saja. Evelyn bangkit, kembali ke rak untuk melayani pelanggan, gerakannya masih anggun meski tanpa semangat. Saya menatapnya dari balik kasir, memperhatikan bagaimana tanktopnya memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah, dan tali bra yang kembali sedikit tersingkap saat dia mengangkat tangan. Saya tahu saya seharusnya tak memikirkan hal itu, tapi kecantikannya selalu punya cara untuk membuat saya kagum, bahkan di saat seperti ini. Saya menunduk, mencoba fokus pada pekerjaan, tapi pikiran saya kembali ke ide-ide yang baru saja kami bahas, yang semuanya terasa seperti mimpi yang tak bisa diwujudkan.
---------------------
Saya berdiri di balik kasir, mencatat pembelian seorang ibu yang membeli sabun dan mi instan, sambil sesekali melirik Evelyn yang masih sibuk melayani pelanggan di dekat rak minuman. Tanktop hitamnya yang ketat dan celana pendek di atas lutut memperlihatkan kecantikannya yang alami, tapi pagi ini, kecantikan itu terasa seperti beban di hati saya, terutama setelah kejadian kemarin dan fantasi gelap yang menghantui saya semalam. Saya ingin berbicara lebih lanjut, mencari solusi untuk masalah kami, tapi suara pelanggan yang meminta kembalian dan dering telepon ruko membuat saya menunda niat itu. Saya menghela napas, mencoba fokus pada pekerjaan, tapi rasa cemas dan bersalah terus menggerogoti, membuat setiap senyum yang saya paksa untuk pelanggan terasa seperti topeng yang rapuh.
Tak lama, di tengah hiruk-pikuk ruko, suara klakson pendek terdengar dari luar, diikuti oleh deru mesin truk kecil yang parkir tepat di depan pintu. Saya mengintip dari balik kasir dan melihat truk putih dengan logo merek susu UHT yang biasa menyupply ke toko-toko seperti kami. Truk ini datang setiap minggu, membawa karton-karton susu kemasan yang selalu laku keras di ruko kami. Biasanya, saya yang menyambut sopir atau petugas dari brand itu, tapi pagi ini, saya masih sibuk dengan pelanggan, dan Evelyn sudah lebih dulu melangkah ke pintu, kain lap di tangannya diletakkan di rak terdekat. Saya memperhatikan gerakannya, tanktopnya sedikit naik saat dia mengangkat tangan untuk menyapa, memperlihatkan sedikit kulit pinggangnya yang mulus. Saya tahu ini bukan saatnya memikirkan kecantikannya, tapi dia selalu punya cara untuk menarik perhatian, bahkan tanpa sengaja, dan itu membuat hati saya campur aduk antara kagum dan cemas.
Dari truk, seorang pria turun dengan langkah santai, mengenakan kaus polo dengan logo brand susu di dada dan celana kargo. Dia berusia sekitar tiga puluhan, kulitnya sawo matang, dengan senyum lebar yang sedikit terlalu ramah. Saya mengenalnya sebagai Dedi, petugas yang sering mengantar susu ke ruko kami, tapi pagi ini, sikapnya terasa lebih berlebihan dari biasanya. “Pagi, Bu Evelyn, cantik banget hari ini!” sapanya dengan nada genit, suaranya cukup keras hingga beberapa pelanggan menoleh. Evelyn tersenyum kecil, respons yang sopan tapi tak berlebihan, dan menjawab, “Pagi, Mas Dedi. Susunya sudah siap?” Saya memperhatikan dari balik kasir, merasa sedikit terganggu dengan nada Dedi, tapi mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa ini hanya basa-basi biasa. Namun, perasaan tak nyaman mulai merayap, terutama setelah kejadian kemarin dengan preman itu.
Dedi tak langsung menuju ke belakang truk untuk menurunkan barang, melainkan berdiri di dekat pintu, bersandar ke dinding ruko sambil terus menatap Evelyn. Matanya, yang seharusnya fokus pada percakapan, justru terus melirik ke bawah, tepat ke arah dada Evelyn, di mana tanktop ketatnya mempertegas lekuk payudaranya yang besar. Saya merasa darah saya mulai panas, tapi berusaha menahan diri, berpikir bahwa mungkin saya terlalu sensitif setelah semua yang terjadi. Evelyn, yang tampaknya menyadari tatapan itu, tetap berusaha ramah, mengarahkan percakapan ke urusan bisnis. “Kartonnya berapa minggu ini, Mas?” tanyanya, tangannya meraih buku catatan kecil dari meja dekat pintu. Tapi Dedi hanya tersenyum lebar, matanya tak pernah lepas dari dada Evelyn, dan sikapnya membuat saya semakin gelisah, seperti ada duri yang menusuk di hati.
Evelyn, dengan senyum yang masih sopan, tiba-tiba berkata dengan nada bercanda, “Mas, kok dari tadi ngelihat ke bawah terus?” Pertanyaan itu diucapkannya dengan ringan, seolah ingin memecah kecanggungan, tapi saya bisa mendengar sedikit ketegangan di suaranya. Saya menahan napas, menunggu respons Dedi, berharap dia akan minta maaf atau mengalihkan topik. Tapi Dedi malah tertawa, suaranya menggema di ruko, dan dengan nada yang jelas-jelas genit, dia menjawab, “Habisnya susu Bu Evelyn gede banget, mau nggak barter sama susu saya? Hehehe.” Kata-katanya seperti petir di siang bolong, menghantam saya yang berdiri di balik kasir. Saya merasa wajah saya memanas, tangan saya mencengkeram pena di meja hingga buku-buku jari memutih. Saya menatap Evelyn, berharap dia akan marah, tapi apa yang terjadi selanjutnya membuat hati saya semakin teriris.
Evelyn, alih-alih tersinggung, justru tertawa kecil, menggeleng dengan ekspresi yang tampak biasa saja. “Apa sih, Mas,” katanya, nada suaranya ringan, seolah candaan itu tak lebih dari lelucon tak berarti. Dia melambaikan tangan, seolah mengusir komentar itu, lalu kembali fokus ke buku catatan, mencatat jumlah karton susu yang akan diturunkan. Saya berdiri mematung, merasa seperti dunia di sekitar saya berhenti berputar. Kenapa Evelyn tak marah? Kenapa dia tampak begitu santai menghadapi pelecehan verbal seperti itu? Pikiran saya mulai berputar ke arah yang tak saya inginkan, bertanya-tanya apakah dia biasa bercanda seperti ini dengan laki-laki lain, apakah dia merasa nyaman dengan perhatian seperti ini. Rasa cemburu bercampur dengan rasa bersalah, membuat dada saya sesak, seperti ada beban yang menekan napas saya.
Saya tetap di balik kasir, mencoba fokus pada pelanggan yang meminta kembalian, tapi pikiran saya terus kembali ke Evelyn dan Dedi. Dari sudut mata, saya melihat Dedi mulai menurunkan karton-karton susu dari truk, dibantu oleh seorang pekerja lain yang turun dari kabin. Evelyn berdiri di dekat pintu, mengawasi mereka sambil sesekali mencatat, tanktopnya sedikit berkilau karena keringat di udara ruko yang pengap tanpa AC. Payudaranya yang besar masih menjadi fokus tatapan Dedi setiap kali dia melirik, dan meski Evelyn tak lagi mengomentari itu, saya bisa melihat dia berusaha menjaga jarak, berdiri sedikit lebih jauh dari biasanya. Tapi tawa kecilnya tadi terus bergema di kepala saya, seperti pengingat bahwa dia tak bereaksi seperti yang saya harapkan. Saya merasa terpukul, seperti laki-laki yang tak hanya gagal melindungi istrinya dari preman, tapi juga tak mampu memahami hatinya.
Dedi dan pekerjanya mulai memindahkan karton susu ke dalam ruko, menumpuknya di sudut dekat rak minuman. Saya memperhatikan mereka dari balik kasir, mencoba menyibukkan diri dengan menghitung uang di laci, tapi setiap kali Dedi berbicara dengan Evelyn, suaranya yang genit membuat saya semakin gelisah. “Bu Evelyn, minggu depan saya bawa susu rasa baru, loh. Cocok buat ibu-ibu cantik kayak gini,” katanya, disusul tawa yang terlalu keras. Evelyn hanya mengangguk, tersenyum tipis, dan menjawab, “Ya, nanti kita lihat, Mas.” Responsnya tetap sopan, tapi ketidakpeduliannya pada nada genit Dedi membuat saya semakin bingung. Apakah dia benar-benar tak terganggu, atau dia hanya berusaha menjaga hubungan baik dengan supplier? Saya tahu kami butuh susu ini untuk bisnis, tapi melihat Evelyn begitu santai membuat saya merasa seperti orang asing di hidupnya sendiri.
Saya mencoba mengalihkan pikiran, memikirkan Agnes yang sedang di sekolah, atau ruko yang harus tetap berjalan demi keluarga kami. Tapi gambar Evelyn tertawa pada candaan Dedi terus kembali, bercampur dengan bayangan preman kemarin yang mempermalukannya. Saya bertanya-tanya apakah Evelyn mulai terbiasa dengan perhatian laki-laki lain, atau apakah dia sengaja menyembunyikan perasaannya dari saya. Kecantikannya, yang selalu jadi kebanggaan saya, kini terasa seperti pisau bermata dua—membuatnya menonjol, tapi juga menarik mata yang salah. Saya menatap tanktopnya yang sedikit naik saat dia membantu mengarahkan pekerja untuk menata karton, tali bra-nya kembali tersingkap, dan Dedi tak melewatkan kesempatan untuk melirik. Saya mengepalkan tangan, tapi tak berani berbuat apa-apa, takut membuat Evelyn malu atau memperburuk situasi.
Proses penurunan susu berlangsung sekitar dua puluh menit, dengan Dedi sesekali melempar candaan yang tak perlu kepada Evelyn. “Bu Evelyn, kalau susunya nggak laku, saya ajak jualan bareng, deh. Pasti rame!” katanya, disusul tawa yang membuat saya semakin muak. Evelyn hanya tersenyum kecil, menjawab dengan nada netral, “Susu Mas Dedi aja yang laku, lah.” Saya memperhatikan setiap gerakannya, mencoba mencari tanda bahwa dia terganggu, tapi wajahnya tetap tenang, seolah candaan itu tak berarti apa-apa. Saya merasa seperti laki-laki yang tak punya hak untuk cemburu, tapi juga tak bisa menghentikan perasaan itu. Setelah kejadian dengan preman, saya seharusnya lebih peka pada perasaannya, tapi kini saya justru merasa semakin jauh darinya, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan kami.
Akhirnya, semua karton susu selesai diturunkan, dan Evelyn menandatangani surat pengiriman yang disodorkan Dedi. Saya melihat dari balik kasir, mencoba menangkap ekspresi Evelyn, tapi dia tetap profesional, berbicara tentang jadwal pengiriman minggu depan dengan nada datar. Dedi, masih dengan senyum genitnya, berkata, “Minggu depan saya bawa bonus buat Bu Evelyn, ya. Susu spesial!” Evelyn hanya mengangguk, tak menanggapi candaan itu, dan berjalan kembali ke dalam ruko untuk menata karton. Saya merasa lega bahwa dia tak lagi menanggapi dengan tawa, tapi tawa kecilnya tadi masih terngiang, membuat saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya dia rasakan. Saya tahu saya seharusnya percaya padanya, tapi setelah semua yang terjadi, kepercayaan saya pada diri sendiri mulai goyah.
Dedi dan pekerjanya kembali ke truk, dan saya mendengar deru mesin saat mereka bersiap pergi. Saya melangkah ke pintu, pura-pura memeriksa tumpukan karton susu, tapi sebenarnya ingin melihat apakah Dedi masih melirik Evelyn. Dia memang melirik sekali lagi, saat Evelyn membungkuk untuk mengangkat karton, tapi Evelyn tak menyadarinya, fokus pada pekerjaannya. Truk itu akhirnya bergerak, meninggalkan ruko dengan debu kecil yang beterbangan di jalan. Saya berdiri di pintu, menatap truk yang menjauh, tapi hati saya tetap berat, dipenuhi pertanyaan yang tak terucap. Saya tahu Dedi bukan ancaman seperti preman itu, tapi sikapnya mengingatkan saya pada betapa rentannya Evelyn di mata laki-laki lain, dan betapa lemahnya saya dalam melindunginya.
Evelyn kembali ke rak, mulai menata susu di tempatnya, gerakannya lincah meski tanpa semangat yang biasa. Saya memperhatikan dari kejauhan, melihat bagaimana tanktopnya menempel di tubuhnya, payudaranya yang besar terlihat jelas saat dia mengangkat karton. Saya tahu dia tak bermaksud memamerkan tubuhnya, tapi setelah candaan Dedi, saya tak bisa menghentikan pikiran saya dari bertanya-tanya. Apakah Evelyn benar-benar tak peduli dengan komentar seperti itu? Apakah dia sering bercanda dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan saya? Saya menunduk, mencoba mengusir pikiran itu, tapi rasa cemburu dan rendah diri terus menggerogoti, seperti luka yang tak kunjung sembuh. Saya tahu saya harus berbicara dengannya, tapi setelah tawa kecilnya tadi, saya tak yakin apa yang harus saya katakan.
Ruko kembali ramai dengan pelanggan, dan saya kembali ke kasir, melayani mereka dengan senyum yang dipaksakan. Saya melirik Evelyn sesekali, melihat bagaimana dia bekerja dengan tekun, tanktopnya sedikit basah karena keringat, membuatnya tampak semakin menawan. Saya tahu dia adalah istri yang setia, yang selalu berjuang untuk keluarga kami, tapi tawa kecilnya pada candaan Dedi membuat saya meragukan segalanya. Saya merasa seperti laki-laki yang tak hanya gagal melindungi istrinya dari preman, tapi juga gagal memahami hatinya. Saya mengepalkan tangan, berjanji dalam hati untuk membuktikan bahwa saya masih layak menjadi suaminya, tapi di lubuk hati, saya takut bahwa jarak di antara kami semakin lebar, dan saya tak tahu cara menutupnya.
Saat truk itu benar-benar hilang dari pandangan, saya kembali ke dalam ruko, berdiri di balik kasir dengan pikiran yang kacau. Evelyn masih menata susu, wajahnya fokus tapi penuh ketegangan, seolah dia juga merasakan beratnya hari ini. Saya tahu kami harus menghadapi ancaman yang lebih besar—preman itu, ancamannya, dan masa depan keluarga kami—tapi candaan kecil dari Dedi entah kenapa terasa seperti luka baru. Saya menatap Evelyn, berharap bisa membaca pikirannya, tapi yang saya lihat hanyalah wanita yang berusaha kuat di tengah badai, sementara saya, suaminya, terus tenggelam dalam ketakutan dan keraguan. Ruko Tokoh Jaya, yang dulu penuh harapan, kini terasa seperti panggung di mana saya terus gagal, dan saya tak tahu apakah saya bisa mengubah ceritanya.
ns216.73.216.197da2