
Udara dingin menusuk tulang.
Kabut tipis menggantung di atas lembah, ditemani pepohonan cemara yang berdiri kaku di sekitarnya.
Villa ini—milikku—berdiri megah di tengah perbukitan. Bergaya modern tropis, dengan dinding kaca lebar menghadap jurang terbuka. Pemandangan mahal… dan biasanya, sempurna untuk membangkitkan suasana intim.
Kali ini tujuannya adalah untuk pemotretan katalog "Modest Elegance"—koleksi gamis dengan konsep elegan dalam balutan kesederhanaan.
Namun bagiku tujuannya berbeda.
Tujuanku adalah untuk menikmati mereka.
Ibu dan anak itu.
Neni dan Nita.
Sore itu mereka datang, saat kabut masih tipis menyelimuti udara.
Nita datang bersama suaminya — tipe pria kalem, lebih banyak diam.
Neni pun begitu. Seorang pria yang kupastikan suaminya, dengan penampilan biasa, tubuh standar, wajah ramah tapi terlalu datar… tipe pria rumahan yang rasanya tak mungkin sanggup memuaskan seorang Neni.
Aku mengamati dari balkon.
Gamis mereka rapi, anggun. Warna pastel, potongan A-line yang jatuh lembut, dihiasi detail renda kecil di pergelangan dan kerah. Simpel, tapi mahal.
Dua perempuan dari keluarga terhormat, citra islami yang benar-benar terjaga.
Nita… tubuhnya ideal.
Pinggang ramping, buah dada proporsional, kulit kuning langsat, wajah bersih tanpa cela. Menarik. Tapi yang paling menantang justru… ibunya.
Neni.
Matangnya. Kedewasaannya.
Cara berdirinya. Cara menatap.
Ada kerutan halus di sekitar matanya, garis senyum yang alami. Posturnya tegak, langkahnya tenang.
Tapi justru itu yang bikin pikiranku sibuk.
Tubuhnya… ramping, tapi tetap punya lekuk. Pinggul yang membulat pas, cukup untuk membuatku membayangkan apa yang tersembunyi di balik kain itu.
Tonjolan dadanya terbalut rapi, tapi aku tahu pasti… kenyal, padat, berisi. Ada suatu kelembutan di baliknya.
Angin sore menyibakkan sedikit gamis mereka—hanya sebentar. Tapi cukup untuk memperlihatkan siluet pinggul dan kaki jenjang putih mulus yang menyiksa imajinasiku.
Dan saat itu… dorongan itu muncul.
Dorongan yang tak bisa kutahan.
Aku ingin mereka. Berdua. Sekaligus.
Di satu ranjang.
Di dalam ruangan villa ini yang luas dan hangat. Di atas seprai linen putih mahal yang kubeli dari Italia.
Aku ingin mendengar mereka bernapas, dalam, pasrah, di sisi kiri dan kananku. Merasakan bagaimana kulit muda Nita menempel pada kulit matang ibunya, dan aku... di tengah.
Hasrat itu membakar, tapi aku menahannya.
Masih ada proses yang harus dijalani.
Tidak boleh terburu-buru.
Yang enak adalah yang dipanen lambat-lambat — saat mereka benar-benar jatuh, hancur, dan tak lagi bisa berpaling.
Dan rencanaku kali ini sederhana: Taklukkan sang Ibu lebih dulu.
Neni.
Wanita keras kepala yang membangun benteng iman dari gamis dan jilbab panjangnya.
Wanita yang belum sadar... bahwa sebentar lagi, mau tidak mau dia harus merobohkan benteng itu dengan tangannya sendiri — untukku.
Sesi pemotretan selesai sebelum gelap benar…
Neni dan Nita bekerja cepat — profesional. Sudah terbiasa di depan kamera. Luwes, tak banyak diatur.
Matahari tenggelam di balik bukit.
Langit berubah ungu kebiruan, udara pegunungan mulai menggigit. Tapi di teras villa, suasana justru terasa hidup.
Aku duduk di ruang keluarga, memeriksa hasil foto di laptop. Sambil sesekali mengawasi ke luar lewat kaca besar yang menghadap halaman belakang.
Dan di sanalah mereka — Neni dan Nita — masih aktif, sekarang merekam TikTok.
Tripod kecil berdiri, latarnya pemandangan indah dihiasi sunset. Mereka masih mengenakan gamis dari sesi photoshoot tadi—kain pastel lembut yang jatuh sempurna, membingkai tubuh tanpa mencolok. Pashmina tetap terpasang rapi, membingkai wajah cantik mereka dengan anggun.
Lagu TikTok mengalun ringan. Mereka mulai bergerak—gerakan kecil, serempak. Senyum tipis, bahu yang bergoyang pelan, pinggul yang berpindah ke kiri dan kanan. Tidak ada yang vulgar. Tidak ada yang berlebihan. Tapi justru karena itu, mataku tak bisa lepas.
Gamis mereka mengikuti setiap gerak tubuh. Nita tampak luwes, tubuhnya muda dan ramping, gerakannya alami. Sedikit energik, tapi tidak norak. Sementara Neni... lebih tenang, lebih anggun. Kadang sedikit canggung tapi tetap memesona.
Aku diam. Menyerap semuanya.
Karena yang kulihat… bukan sekadar dua perempuan cantik yang bergoyang. Tapi dua tubuh yang selama ini ditutup rapat. Yang sekarang, tanpa sadar, mereka tunjukkan sedikit — lewat kain, lewat gerakan, lewat tawa ringan setelah video selesai.
Aku tahu, dari jutaan followers mereka, sebagian besar adalah laki-laki sepertiku. Bukan sekadar penikmat estetika. Tapi yang menyimpan keinginan lebih dari sekadar kagum. Yang membayangkan—bagaimana rasanya jika tubuh-tubuh yang tertutup rapi itu akhirnya bisa disentuh, dijilat, diremas, disetubuhi.
Ahh.. Aku sudah tidak sabar lagi.
Aku menutup laptop, berdiri, lalu berjalan pelan menuju Fina yang sedang sibuk membereskan properti pemotretan.
Kugenggam lengannya sebentar — tak keras, tapi cukup untuk membuatnya paham. Aku menunduk, membisik pelan di telinganya.
“Plan B… malam ini. Aku nggak mau nunggu lebih lama.”
Fina menelan ludah, wajahnya tegang tapi aku bisa lihat ada binar di matanya.
Dia mengangguk pelan. “Siap, Pak…”
Sore itu aku pamit.
Mengucapkan basa-basi manis pada Neni, Nita, dan suami-suami mereka.
“Selamat menikmati villa-nya, ya. Hidangan spesial buat malam ini sudah saya siapkan. Anggap aja hadiah kecil karena udah bantu project ini.”
Mereka tersenyum sopan.
Nita mengucapkan terima kasih, suaminya cuma mengangguk.
Neni juga ikut bicara, “Wah, makasih banyak, Pak Bram. Villa-nya enak banget suasananya.”
Aku tersenyum. Tapi dalam hati mencibir. “Iya… iya… enak. Tapi aku yakin kamu belum pernah merasakan ‘enak’ yang sebenarnya, Neni.”
Aku menatap sekilas suaminya — tipe pria pasaran yang rasanya cuma tahu dua hal: kerja dan tidur.
Wajahnya datar, badannya standar, auranya lemah.
Pantas saja istrinya masih kelihatan seperti ‘belum pernah dijamah’.
Aku pamit seolah-olah benar-benar pulang.
Mobilku meluncur turun beberapa kilometer ke arah bawah, parkir di area kosong dekat tikungan.1142Please respect copyright.PENANAMZ0TEA3CUA
Lalu aku kembali jalan kaki lewat jalur belakang, menyusuri kebun dan pepohonan, masuk ke pintu samping villa.
Villa ini desainnya memang kubuat khusus banyak pintu tersembunyi, lorong kecil, dan kamar rahasia.1142Please respect copyright.PENANAHEc7dy79S6
Termasuk kamar pribadiku di lantai bawah, yang terhubung langsung ke ruang tengah lewat pintu tersembunyi di balik rak buku.
Aku duduk di dalam sana.
Menunggu. Sambil memantau kamera tersembunyi di tablet. Fina yang pegang kendali sekarang. Aku tinggal tunggu waktu.
Di layar, aku lihat Neni dan Nita duduk santai di teras. Gamis masih rapi, pashmina masih terpasang. Masih sangat cantik
Aku menyeringai.
Dua tiktoker lezat… Ibu dan Anak. Yang malam ini akan jadi hidangan khusus di kamarku.
…
Langit mulai gelap, bulan purnama bersinar terang. Udara makin dingin, dan kabut tipis mulai turun lagi.
Neni, Nita, dan keluarga kecil mereka tampak puas menikmati sore di villa. Mereka tertawa, bercanda, bikin konten TikTok—suasananya ringan dan akrab.
Suami Nita ikut tersenyum, sementara suami Neni lebih banyak duduk santai menatap pemandangan.
Saat lampu taman menyala, Fina muncul dengan senyum ramah.
“Bapak titip salam. Katanya semoga makan malamnya berkesan. Ini sudah disiapkan khusus dari tim dapur villa.”
Ia menunjuk meja makan panjang di ruang tengah, menghadap ke lembah berkabut. Lampu gantung bergaya industrial menyala temaram, menambah kesan elegan pada suasananya.
Menu yang disiapkan cukup mewah untuk ukuran villa pegunungan: creamy mushroom soup, grilled salmon, beef steak dengan saus spesial, mashed potato, ayam bakar madu, tumis sayur, dan dessert manis berbentuk cantik.
Fina ikut bantu tim dapur menata meja, memastikan semuanya sesuai rencana. Tapi bagian terpenting… adalah minuman terakhir.
Segelas teh herbal hangat, tampak biasa, disajikan dengan madu alami dan irisan lemon.
Di dapur, Fina mengawasi langsung saat seorang koki menuangkan cairan bening ke dalam teko teh.
“Hati-hati, takarannya pas. Jangan lebih,” bisiknya.
Minuman itu bukan racun. Bukan obat keras.
Hanya ramuan herbal penenang, dosis ringan. Cukup untuk membuat badan yang sudah lelah jadi cepat mengantuk.
Efeknya halus. Seperti rasa kantuk setelah minum teh panas di udara dingin. Namun ketika sudah tertidur, gempa bumi pun takkan bisa membuat mereka terbangun.
PLAN A: Rencanaku kali ini adalah membuat mereka semua tertidur kecuali Neni. Lalu melakukan negosiasi dengannya. Negosiasi yang tentunya saling menguntungkan. Aku mendapat tubuh Neni, sementara Neni mendapat… kenikmatan.
Makan malam berjalan lancar. Obrolan, tawa, foto-foto lagi.
Layar-layar di depanku menampilkan sudut demi sudut ruang makan. Kamera tersembunyi tertanam sempurna: di balik lampu gantung, di rak buku, bahkan di hiasan dinding yang tampak polos. Gambar mereka terpampang jelas.
Keluarga kecil itu terlihat… sempurna. Terlalu sempurna.
Neni duduk paling ujung meja, mengenakan gamis krem yang sederhana tapi elegan, dengan kerudung yang membingkai wajahnya secara anggun. Dia tersenyum tipis setiap kali suaminya atau Nita bicara. Selalu tenang. Selalu terjaga. Selalu menjaga.
Nita, dengan gamis dusty pink dan pashmina lilitannya, duduk di sebelah suaminya. Wajahnya ceria, tangannya tak berhenti bermain dengan HP. Entah berapa kali ia mengangkat ponsel dan berkata, “Aduh, view villa-nya estetik banget! Ini harus masuk TikTok!”
Aku menyeringai. Cantik sekali kalau mereka tertawa tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang berlangsung.
Fina berdiri di sudut, ikut tertawa, membawa nampan terakhir berisi gelas-gelas bening berisi teh herbal hangat. Teko keramik putih menyusul.
"Halooo… yang ini wajib dicoba. Teh khas villa," katanya, suaranya riang. "Campuran herbal dan madu asli. Katanya sih, bikin tidur lebih nyenyak, cocok buat udara dingin kayak gini."
Mereka menyambut dengan senyum. Satu per satu mengangkat cangkir.
Aku memperhatikan dengan saksama dari monitor—kapan teh menyentuh bibir mereka, kapan cairan itu masuk tenggorokan.
Detik demi detik berlalu. Aku bisa melihat perubahan kecil yang nyaris tak kentara.
Ayah Nita—suami Neni—mengelus pelipisnya.
"Kepalaku agak berat, deh. Mungkin masuk angin, ya?"
"Papa tiduran dulu aja," kata Neni lembut.
Tak lama, ia berdiri pelan, pamit menuju kamar. Langkahnya goyah sedikit. Mulai berhasil.
Nita tertawa pelan sambil menyender ke lengan suaminya.
"Aduh, kenapa rasanya ngantuk banget, ya? Baru jam sembilan, loh."
Suaminya menguap lebar. "Mungkin gara-gara udara segar terus hari ini. Sama kebanyakan makan enak."
Mereka pun pamit menuju kamar tidur masing-masing, setelah mencium tangan Neni dan berpamitan seperti biasa. Tak ada yang curiga. Tak ada yang salah.
Kini hanya tinggal Neni, duduk sendiri di ruang tengah, di meja panjang itu. Meja masih penuh sisa makanan, piring setengah kosong, dan cangkir-cangkir teh yang masih mengeluarkan uap tipis.
Neni memandang sekeliling.
Keheningan yang tiba-tiba menyapa, seperti menyadarkan sesuatu. Alisnya sedikit berkerut.
Aku mendekat ke layar. Menatap matanya.
Itu bukan tatapan orang yang tertidur. Itu tatapan seorang ibu yang mulai merasa ada yang ganjil.
Aku duduk di kursi kulitku, tangan kanan menggenggam gelas kecil berisi whisky, sementara mataku terpaku ke deretan monitor yang menyala di ruangan ini.
[POV: Ruang Tengah – Kamera tersembunyi]
Monitor menampilkan ruang tengah yang mulai kosong.
Satu demi satu, mereka menghilang ke balik pintu kamar masing-masing.
Langkah terakhir yang terdengar hanya milik Neni.
Ia berjalan pelan ke kamar, membuka pintu dengan hati-hati, lalu menutupnya kembali. Lampu di dalam tidak langsung mati—ia tidak langsung tidur.
[POV: Kamar Tidur Neni – Kamera tersembunyi]
Dengan satu klik mouse, aku memperbesar tampilan kameranya.
Neni duduk di tepi ranjang, menatap suaminya yang sudah tertidur pulas. Bahkan saat dipanggil pelan, digoyang bahunya, ia tak merespon.
“Pa? Mas...”
Suaminya hanya mendengkur pelan. Tenang. Dalam. Tak terganggu.
Neni mendekat, meletakkan punggung tangannya ke kening sang suami. Wajahnya sedikit tegang.
Ia mengambil mukena di sudut ranjang, mungkin bermaksud salat sebelum tidur. Tapi ia tak langsung berdiri.
Tangannya menggenggam tasbih kecil, namun jari-jarinya tak bergerak.
Sesaat ia menunduk, lalu mendongak pelan ke langit-langit.
Dan di detik itulah—aku tahu. Instingnya bekerja. Ia sadar.
Sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
[POV: Ruang Tengah – Kamera tersembunyi]
Aku mengubah tampilan monitor. Berpindah ke kamera ruang tengah.
Neni tampak keluar dari kamarnya. Langkahnya ragu, matanya terus menyisir sekeliling.
Ruang tengah villa masih sama seperti tadi: dingin, bersih, remang. Sisa makan malam bertebaran di meja. Tapi sekarang, ada sesuatu yang lain di udara—kehampaan. Dan dia merasakannya.
[POV: Kamar Nita – Kamera tersembunyi]
Aku mengatur sudut pandang kamera, mengikuti gerakannya saat ia perlahan menuju kamar lain.
Di layar, pintu kamar Nita terbuka. Neni masuk, berjalan pelan ke sisi ranjang tempat anaknya tidur bersama suaminya. Ia duduk, menyentuh pipi Nita yang tertidur pulas. Wajah Neni mulai berkaca-kaca.
"Net... sayang..."
Suaranya nyaris tak terdengar di mikrofon tersembunyi. Tangannya mengguncang lembut tubuh putrinya.
"Kamu tidur kenapa dalam banget, sih?"
Tak ada jawaban. Hanya napas pelan, damai.
Aku memindahkan pandangan ke monitor utama. Dengan tenang, kuhela napas, membiarkan punggungku bersandar lagi ke kursi.
Sebentar lagi.
[POV: Ruang Tengah – Kamera tersembunyi]
Di layar, Neni kembali ke ruang tengah. Panik mulai mengendap di gerakannya, meskipun wajahnya masih mencoba tetap tenang.
Dia mencoba memanggil pegawai yang lain.
"Mba Fina?" panggilnya. Satu kali. Tak ada jawaban.
Matanya mulai gelisah. Dia berjalan ke arah dapur. Membuka lemari, kulkas. Memanggil lagi, lebih pelan. “Halo...? Ada orang?”
Tak ada sahutan. Ia menyusuri pintu demi pintu villa. Mencoba membuka pintu depan—terkunci. Jendela—semua terkunci rapat. Ia meraih telepon rumah—mati. Ponselnya—"No Service."
Aku memperbesar gambarnya lagi. Matanya tak bisa berbohong. Ada ketakutan yang mulai menari di balik ketenangannya.
Sudah waktunya.
Lewat pintu tersembunyi di balik rak buku, aku melangkah masuk ke ruang tengah.1142Please respect copyright.PENANAQl0PCAcZ7w
Diam-diam. Mengawasinya.
Neni berbalik cepat begitu mendengar langkah. Wajahnya lega sejenak—mengira aku sekutu.
“Pak Bram…?” katanya, setengah lega.
Aku tersenyum kecil.
“Nggak jadi pulang, Pak? Kok... villa sepi banget? Fina sama koki-koki ke mana?”
Nada suaranya mulai cemas lagi.
“Mereka pulang,” jawabku datar.
Dia mengerutkan dahi. “Kok... bisa...?”
“Aku yang suruh,” jawabku pendek.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Dia diam beberapa detik. Seakan menyusun kepingan-kepingan puzzle yang tak cocok.
“Ada apa, Pak?” suaranya mengecil.
Aku mendekat sambil menatap matanya langsung, tanpa senyum.
“Malam ini, kamu sendirian di sini. Sama aku.”
Dia mundur setengah langkah. Ketegangan langsung merambat ke seluruh tubuhnya.
“Saya... saya nggak ngerti…”
“Suami kamu. Anak kamu. Menantu kamu. Semua tidur. Aman.” Aku mendekat lagi. “Untuk sekarang.”
Seketika, ketakutan di matanya meledak.
Aku melanjutkan, suara tetap datar.
“To the point aja, Neni. Aku pengen kamu. Malam ini. Di tempat tidurku.”
Dia membeku sejenak, lalu...
“GILA KAMU!!” bentaknya, suara bergetar marah.
“Kamu pikir saya perempuan kayak apa?! Dasar bajingan!”
Aku menarik ponsel dari saku. Memutar kamera live—menampilkan wajah Nita dan suaminya yang tertidur. Lalu kudekatkan ke wajahnya.
“Lihat baik-baik.”
Nada suaraku tenang, kejam.
“Mereka masih utuh. Masih hidup. Tapi seberapa lama? Itu ya tergantung kamu.”
Dia menatap layar itu, wajahnya memucat.
Aku keluarkan sebuah map dari balik jas. Meletakkannya di atas meja dengan tenang.
Neni menoleh, menatap benda itu, napasnya sudah berat, seolah firasatnya tahu isi dari semua ini.
Aku menahan senyum, lalu bicara dengan suara yang terdengar nyaris ramah.
"Ini perjanjiannya."
Dia tetap diam, tubuhnya tegang.
Aku membungkuk sedikit, menatapnya lebih dekat.
"Malam ini, kamu tidur sama aku."
Aku sengaja mengucapkannya perlahan, kata per kata.
Neni tersentak. Refleks menggeleng. Matanya membelalak.
Aku terus bicara, memotong segala kemungkinan bantahannya.
"Besok pagi, semua kembali normal. Seolah nggak ada yang terjadi."
Dia melangkah mundur, satu langkah kecil. Tapi aku tahu, hatinya sudah terjepit.
Aku keluarkan ponsel dari saku.
Tayangan live dari CCTV kamar Nita muncul di layar.
“Dan anakmu... Nita... cantik banget, ya."
Bahuku terangkat ringan, seolah membicarakan suatu hal sepele.
"Sayang kalau dia ikut kotor cuma gara-gara kamu egois."
Akhirnya Neni bicara. Suaranya bergetar hebat.
"Kamu... kamu monster..."
Aku mendekat, suaraku turun menjadi hampir bisikan.
"Selama kamu nurut... dia aman. Semua aman."
Aku letakkan ponsel itu perlahan di atas meja, membiarkan gambar itu terus berjalan.
Tak ada lagi keraguan di matanya—hanya ketakutan murni.
Aku buka map di depan kami.
"Biar sekalian," kataku santai.
"Kontrak kerja kamu aku perpanjang satu tahun ke depan. Endorse fashion muslimah, kerja sama jalan terus."
Dia mengerutkan kening, bingung.
Aku melanjutkan dengan nada licik.
"Supaya kamu nggak mendadak kabur atau minta putus setelah malam ini. Kita tetap kelihatan normal di depan semua orang. Nggak ada yang curiga."
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya.
"Aku cuma butuh satu malam dari kamu. Malam ini aja… Atau gimana kalau pilihannya kubuat simple. Serahin badan kamu atau badan Nita?"
Dia berdiri terpaku.
Aku tahu... bentengnya sudah retak.
Dan malam ini, semua ada di tanganku.
Tangannya mengepal di sisi tubuh, kukunya menancap ke telapak tangan.
Matanya tidak berkaca-kaca lagi. Tidak ada air mata. Yang ada hanya kemarahan. Jijik. Dan kehancuran yang coba ia telan bulat-bulat.
Aku mendekatkan map berisi surat perjanjian itu ke depannya.
"Kalau sudah paham," kataku datar, "tanda tangan di sini. Biar besok pagi semuanya kembali... seperti semula."
Neni menatapku lama. Sorot matanya tajam, penuh benci. Seolah sedang menahan diri untuk tidak meludahi mukaku.
Tangannya sempat ragu—sedetik. Tapi kemudian ia meraihnya.
Dengan gerakan cepat, nyaris kasar, ia membaca sekilas perjanjian itu. Wajahnya semakin mengeras tiap kalimat yang dibaca.
Tapi ia tahu. Tidak ada ruang untuk tawar-menawar.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil pulpen yang sudah kusiapkan.
Menekan keras-keras di kertas, seolah ingin merobeknya saat menulis namanya.
Neni H. A.
Tanda tangannya terpampang jelas.
Selesai.
Perang batin itu berakhir dengan satu goresan tinta.
Neni melemparkan pulpennya ke meja. Wajahnya tetap menghadapku, penuh jijik.
"Kalau ini yang kamu mau," katanya pelan, "kamu lebih rendah dari binatang."
Aku hanya tersenyum santai.
"Binatang?" aku terkekeh. "Kalau iya, kamu malam ini yang jinakkin aku."
Dia menggertakkan giginya, tubuhnya kaku.
Aku terus menatapnya dengan senyum miring.
"Mau marah boleh... asal tetap manis di ranjang," godaku.
Neni baru melangkah satu meter, ketika aku meraih pergelangan tangannya.
Genggamanku lembut, tapi cukup kuat untuk membuatnya berhenti.
Dia berbalik, menatapku dengan kemarahan murni.
“LEPAS!” hardiknya.
Aku tersenyum tipis. Tak menjawab.
Dalam satu gerakan halus dan penuh keyakinan, aku membungkuk sedikit dan meraih tubuhnya.
Tanpa kesulitan, kuangkat Neni ke dalam pelukanku—seperti seorang tuan putri.
Tubuh rampingnya terasa ringan dan hangat di dekapanku.
Gamis krem sederhana yang membalut tubuhnya mengeluarkan aroma segar dan bersih, berpadu dengan kelembutan kerudung pashmina yang membingkai wajahnya begitu anggun.
Wajah itu... meski kini dipenuhi amarah, tetap saja terlihat memesona di mataku.
Aku sudah sering menghadapi perempuan. Aku tahu, kalau ingin mereka tunduk, kau harus mulai dengan kelembutan.
Bukan dengan kekerasan. Wanita—tak peduli sekuat apa mereka bicara—selalu lebih rentan di bawah sentuhan yang halus. Setelah mereka jadi milikmu... baru kau boleh sedikit mempermainkan mereka.
Neni menjerit kecil, tangannya menghantam dadaku berulang-ulang.
"Pak Bram! Turunin! TURUNIN!! Dasar gila!"
Tapi aku tetap berjalan santai, membawanya seolah dia hanya sehelai kain sutra.
“Tenang... tenang...,” gumamku sambil menuruni anak tangga, satu per satu.
“Kamu beratnya pas. Lembut banget... kayak awan,” lanjutku sambil terkekeh kecil.
Ia kembali memukul dadaku, lebih lemah kali ini.
Wajahnya bersemu merah, entah karena marah... atau karena malu diperlakukan seperti ini.
“Gila! Dasar menjijikkan! Jangan sok akrab sama saya!!”
Neni berontak lagi, tapi tanpa kekuatan penuh.
Tubuhnya lebih banyak bergetar daripada melawan.
Aku menahan tubuhnya erat tapi lembut.
“Dengar ya,” bisikku dekat telinganya, membuatnya merinding tanpa sadar.
"Malam ini aku mau kamu nyaman. Aku nggak mau asal-asalan. Kita cari kamar VIP yang paling bagus. Kamu layak diperlakukan istimewa."
Neni memalingkan wajah cepat-cepat, pura-pura cuek, tapi aku lihat dari sudut matanya—ada sesuatu.
Sesuatu yang bukan hanya kemarahan.
Mungkin rasa malu, mungkin ketakutan... atau keduanya.
“Saya lebih suka tidur di got daripada sekamar dengan laki-laki najis kayak kamu,” geramnya pelan, dengan suara penuh bisa.
Aku hanya tertawa kecil.
"Lidahmu pedes..."
Aku menundukkan wajah, berbisik di dekat pipinya yang kemerahan, "...tapi mukamu... manis banget pas marah begini."
Dia mendesis marah.
“Saya sumpahin kamu mati busuk!”
Aku tertawa pelan, tak merasa terancam sedikit pun.
Justru semakin menikmati caranya berusaha mempertahankan harga dirinya.
"Kalau yang ngedoain secantik kamu, aku rela mati kapan aja," godaku santai sambil mempererat sedikit dekapanku di bawah pahanya.
Neni mengalihkan pandangan lagi, tubuhnya menegang di pelukanku.
Namun, gemetar kecil di jemarinya... menunjukkan sedikit efek dari perlakuan dan godaanku.
Aku melangkah mantap menuju kamar VIP.
Malam bersama Neni akan segera dimulai.
1142Please respect copyright.PENANAQpoaQS0rf6
BERSAMBUNG…
ns3.16.44.204da2