
Jam sepuluh lewat lima belas malam. Kota sudah mulai sepi. Tapi pikiranku justru paling hidup di jam seperti ini.
Aku duduk di kursi kulit ruang kantorku—ruangan yang jadi saksi terlalu banyak hal haram yang tak tercatat dalam kontrak kerja.
Tak ada pegawai lain. Hanya Fina yang berlutut di depanku, tersembunyi di balik meja, sibuk memainkan sesuatu yang sudah jadi mainan favoritnya sejak dia kutundukkan beberapa bulan lalu. Tangannya lincah mengocok batang besar kebangganku, sementara lidahnya bergerak menjilat, lebih patuh dari mulutnya.
Fina, gadis Gen Z itu, sangat fasih urusan sosmed, jadi ia sangat tahu tentang dua influencer yang setuju menjadi model baru fashion kami, yang memang di awal ia yang rekomendasikan.
“Sluurpp… slurrpp.. emhh.. mwereka bukan orang sembarangan lho, Pak, sluurrp…” katanya sambil menjilati batang kejantananku dengan caranya yang makin ahli. “Si anak, Nita, itu TikToker. Followers-nya jutaan. Total likes-nya udah ratusan juta. Kontennya fashion hijab gitu, tapi kekinian banget. Cantik, segar, ibunya juga cantik… Sluuurpp… HAEMFHHH… ock.. ockk.. ockk..” lanjutnya sambil mulai melahap kontol yang ukurannya sebenarnya terlalu besar bagi mulut mungilnya.
Aku menaikkan alis. “Ibunya juga TikToker?”
“Pfuahh… Iyaah, namanya Bu Neni. Followers-nya emang nggak sebanyak anaknya, tapi engagement-nya tinggi. Banyak ibu-ibu dan bahkan remaja yang suka gaya beliau. Modest, dewasa, tapi tetap awet muda. Mereka family goals banget, Pak. Dan islami juga… Haeemhhff…” jawab Fina sebelum kembali melesakkan kontol ke dalam mulutnya.
Islami.
Kata itu selalu membuatku geli.
Karena semakin mereka tampak “suci,” semakin kuat fantasi kotor di kepalaku.
Dan sekarang, mereka bukan cuma wanita biasa. Tapi figur publik.
Tokoh yang dihormati banyak orang. Dijunjung sebagai panutan. Simbol kehormatan keluarga muslim modern.
Bayangkan...
Andai aku bisa menodai simbol itu. Membuat mereka jatuh di balik layar. Tersungkur di ranjangku dengan mulut yang tersumpal penuh oleh batang kejantananku. Figur panutan yang di depan kamera tampil bak bidadari syar’i, di balik layar jadi budak birahi.
Aku menyeringai kecil. Baru saja menemukan proyek terliar dalam hidupku.
Fina masih asik menghisap batang keras yang membuat mulutnya sibuk, sementara jari-jariku kini mulai bermain di layar, membuka aplikasi yang biasanya tak menarik perhatian...
TikTok.
@nitanelly.
Satu video muncul.
Mereka berdiri berdampingan di depan rumah—ibu dan anak. Tapi dari sudut kamera dan gaya mereka melangkah, yang kulihat bukan dua generasi.
Yang kulihat dua wanita cantik. Kompak. Lentur. Modis.
Goyangan ringan mengikuti irama lagu khas TikTok. Tidak seksi, tidak murahan. Tapi justru itu masalahnya.
Nita melenggang duluan, tersenyum, lalu berhenti. Disusul Neni yang menyusul dari samping, mengangkat tangan dan ikut bergoyang kecil. Gerakannya lembut. Matangnya pas. Bukan genit—tapi sadar kamera. Dan percaya diri.
Dan dari angle kamera itu... bentuk tubuhnya samar-samar tergambar di balik gamis tebal yang tetap membentuk siluet ramping.
Aku menahan napas.
Umur empat puluh dua tahun? Gila. Itu tubuh yang masih bisa buat pria seusiaku tegang tiap malam.
Klik.
Aku geser ke video berikutnya.
Mereka duduk berdua di teras. Tertawa, lalu berjoget bareng mengikuti tren “mother-daughter challenge”. Kompak. Nita agak centil, Neni tetap anggun. Tapi sialnya... auranya itu lebih menggoda dari yang centil.
Lalu video lain, saat Neni berjalan perlahan di lorong masjid, mengenakan outer putih bersih dan gamis biru gelap. Langkahnya ringan. Posturnya tegak.
Seorang istri tiga anak. Ketiga anaknya sudah dewasa... tapi ia masih terlihat seperti gadis umur tiga puluhan.
Dan bukan seperti istri biasa. Bukan yang sering galau dan lapar perhatian.
Yang ini... berhijab, terjaga, bermartabat.
Dan itu justru membuatku makin gila.
Aku meneguk wine dari gelas kristal. Rasanya pahit, tapi pas.
Di saat yang sama, aku merasakan sesuatu bergerak di bawah sana.
Fina.
Masih berlutut di bawah meja, bibirnya sibuk menghisap ujung penis, tangannya tak berhenti mengocok batang yang telah berhasil menaklukkannya.
Aku menoleh ke bawah, melihat rambutnya yang berantakan, sebagian menempel di pipi karena keringat.
Tanpa kata, kutekan kepalanya dengan kuat, untuk melesakkan batang besar berukuran 20cm, jauh ke dalam mulutnya. Gadis gen Z itu nampak kelabakan saat ujung penis milikku menyentuh hingga pangkal kerongkongan.
"Ugh—Kkh!" Aku mendengarnya tersedak, napasnya mulai berat, tapi aku tak peduli.
Kugenggam rambutnya, kutahan di situ beberapa detik, membiarkan dia kehilangan napas akibat kontol besar yang menyumpal penuh seluruh rongga mulutnya.
"Ghhk—urghk!" Aku suka suara kecil itu—suara lemah di antara ketakutan dan ketergantungan. Ia terbatuk, menelan paksa sambil mengerang. Nyaris panik. Matanya mulai berair.
Lalu kulepas perlahan.
"Ghuak! Ugh—uhuk! Uhukk." Fina terbatuk pelan, mengambil nafas sebentar, tapi setelah itu langsung kembali ke posisinya.
Sudah terlatih.
Mataku kembali ke layar.
Neni dan Nita. Semakin kulihat, semakin aku ingin mereka.
Ingin tahu bagaimana rasanya wanita yang seperti mereka.
Ingin melihat wajah kalem itu—yang biasa terlihat religius—membelalak dalam klimaks, bergetar karena kontolku.
Ahh… membayangkannya saja sudah membuatku begitu terangsang.
“MMFF.. OCCKK… OCKKK… SRRUPPP… MFFHHH… OCKK.. OCKKK.. OCKK…” Suara Fina terdengar asik menikmati kontolku. Nafasku makin berat, apalagi setelah membayangkan seperti apa keindahan tubuh Neni dan Nita yang disembunyikan di balik gamisnya.
Kucengkram kepala Fina dan memaju-mundurkan kepalanya dengan kasar. Kugenjot paksa mulut yang sudah puluhan kali menkonsumi alat vital milikku. Menyodok-nyodok bagian terdalam mulutnya hingga kerongkongannya mengembang.
Aku merasakan Fina mulai gemetar. Ia tersedak. Ingin muntah. Napasnya berat, tapi aku tahu dia menikmati siksaan kecil itu dan tak akan berhenti sebelum aku yang memutuskan.
Seketika terbayang kembali wajah Neni dan Nita. Ibu dan anak. Membayangkan mulut gadis syar’i seperti merekalah yang sedang melahap kontolku, bukan mulut milik seorang gadis muda yang dengan mudahnya kujadikan budak seks.
Ahh.. birahiku kian memuncak.
Kembali kutahan kepala Fina dan menekannya ke arah selangkanganku dengan kuat. Kontol jumbo milikku menyumpal penuh rongga mulut sempitnya. Lalu kutembakkan sperma yang hangat dan kental di dalam kerongkongan gadis muda yang sudah kuanggap toilet pribadiku itu.
Crrroooototttt.. ccrrrooootttt.. crooottttt!
Aku muncrat cukup banyak.
“Telan. Habisin!” Ucapku datar, tanpa emosi. Tapi justru karena itu, perintahku terasa mutlak baginya. Kubiarkan kontol besarku bersarang di dalam mulutnya, meskipun wajahnya sudah terlihat memerah, agak kesulitan bernafas.
“Gluk… gluk… gluk!” Suara kecil terdengar ketika Fina dengan patuh menelan begitu banyak cairan pekat dan kental yang kukeluarkan. Ia telan seluruh muncratan sperma hingga tetes terakhir. Kontolku serasa divakum oleh mulutnya, seakan ingin ikut ditelan masuk.
Lalu aku menggenggam rambutnya sekali lagi, menariknya kasar hingga kontolku terlepas dari mulut Fina.
“Pfuaahh..”
Kepalanya terangkat, wajahnya menengadah padaku—mata merah, pipi basah oleh keringat, bibir belepotan dan matanya setengah sayu. Tapi dia tersenyum kecil. Senyum nakal budak setia yang tahu posisinya.
Perlahan, ia menjulurkan lidahnya ke arahku—bersih, tanpa ada sedikitpun sisa sperma.
Aku menyeringai.
“Hff… hfff… Udah puas, Pak?” bisiknya serak, sambil mengatur nafas. Tapi matanya bercahaya, menunggu perintah.
Aku menyeringai, mengusap pipinya yang berkeringat dengan ibu jari.
“Belum.”
Kutampar ringan pipinya, bukan untuk menyakiti tapi untuk mengingatkan siapa yang berkuasa.
“Sekarang beresin semuanya, terus bersihkan ruanganku juga.”
Dia menjilat bibirnya, mengangguk pelan.
“Siap, Pak.”
Lalu mulai sibuk merapikan lantai dengan tisu, membersihkan sisa permainannya sendiri tanpa rasa jijik.
Aku merapikan celana, meneguk habis sisa wine dari gelas kristal, lalu meletakkannya di meja.
Sebelum keluar, aku berhenti di ambang pintu.
“Oh ya, Fina.”
Aku menoleh, dia masih di lantai, lututnya menempel karpet mahal, tapi ekspresinya antusias, menunggu perintah baru.
“Besok. Jam sepuluh pagi. Aku mau Neni dan Nita ada di ruangan ini. Cari alasan apapun, aku nggak peduli.”
Dia menyeringai kecil, bibirnya basah, nadanya genit.
“Paham, Pak. Besok saya pastikan mereka duduk di ruangan ini.”
Aku membuka pintu, langkahku meninggalkan ruangan, membiarkan bau parfum mahal dan sisa aroma dosa itu menggantung di udara.
Aku tersenyum kecil.
Karena besok… permainanku baru akan dimulai.
…
ns3.141.38.5da2