
Hari itu aku meminta Fina membawa mereka masuk ke ruanganku setelah sesi pemotretan pertama selesai. Alasan formalnya? "Evaluasi awal dan diskusi konsep." Alasan sebenarnya? Aku ingin melihat mereka dari dekat—tanpa kamera, tanpa keramaian. Hanya aku dan mereka.
Fina sempat berbisik saat mendorong pintu.
“Silakan, Bu Neni, Mbak Nita… Pak Bram mau ngobrol sebentar soal konsep konten besok.”
Neni masuk lebih dulu.
Dan detik itu juga, aku tahu — ini mangsa berbeda.
Bukan gadis dua puluhan genit yang sering aku sikat. Bukan wanita karier wangi tajam dan mata menusuk. Neni… perempuan matang. Empat puluh dua, tapi kulitnya bersih, leher jenjang, wajah bersih tanpa polesan berat. Cantik yang kalem, tapi justru itu yang paling bahaya.
Gamisnya longgar, tapi jatuhnya pas. Membungkus tubuh ramping yang masih utuh. Pinggangnya jelas, bulatan dadanya tersembunyi… tapi justru karena itu aku makin penasaran. Aku tahu benda lembut kenyal itu ada di balik kain, dan kematangan yang terawat itu tak bisa dipalsukan.
Jilbabnya pashmina lilit rapi, membingkai wajah bersih itu sempurna. Tidak ada leher terbuka, tapi garis jenjangnya terbaca dari cara dia menegakkan kepala, postur anggun yang tak dibuat-buat. Dia elegan, tenang, tapi aura itu… menggoda diam-diam, justru karena begitu tertutup.
Lalu Nita, anaknya.
Versi muda, segar, sedikit lebih montok. Sama berhijab, gaya selebgram syar’i kekinian. Makeup-nya lebih bold dari sang ibu tapi tidak menor. Bulu matanya lentik sempurna—jelas hasil eyelash extension. Pinggulnya lebih mekar, dadanya lebih padat. Gamisnya longgar, tapi dari cara dia membungkuk waktu merapikan kain… aku bisa baca lekuknya.
Mereka seperti salinan beda usia.
Yang satu matang penuh cerita, yang satu masih segar dan liar dalam balutan sopan.
Dan otakku langsung kotor.
Bayangan langsung menari di kepalaku: Nita di atas ranjang hotel, gamisnya terbuka setengah—acak-acakan, setelah kupakai sebagai pemuas nafsu berkali-kali—dan Neni berbaring di sampingnya… diam, pasrah, menanti gilirannya dengan gamis yang mulai kupelorotkan dari bahunya.
Aku menelan ludah. Sial.
Mereka belum sadar.
Belum sadar kalau sejak langkah pertama mereka masuk ke studio yang salah.
Mereka pikir mereka datang untuk endorse. Untuk photoshoot, kontrak modest wear bernuansa islami, dan segala omong kosong yang terlihat suci.
Tapi aku? Aku duduk di pojok ruangan dengan mata yang sudah menelanjangi dua generasi sekaligus.
Dan aku belum memutuskan...
Mau kugarap yang muda dulu?
Atau yang matang dulu?
Atau dua-duanya… bersamaan?
"Pak Bram?"
Suaranya membangunkanku dari lamunan. Suara itu—halus, bersih, seperti bisikan angin sejuk yang menyentuh kulit. Tapi entah kenapa, justru karena kelembutannya, suaranya terasa paling telanjang.
Aku menoleh pelan. Dan di hadapanku, Bu Neni duduk dengan punggung lurus, tangan di pangkuan, wajah tertutup senyum kecil yang tak menjanjikan apa-apa. Senyum itu... seperti pagar rumah yang rapi. Indah, tapi tegas. Tidak mengundang.
Tapi justru di situ racunnya.
"Ah, iya, maaf," jawabku, cepat-cepat menyembunyikan bayangan ranjang yang masih hangat di kepala. "Tadi saya sempat ngelamun."
Ia hanya tersenyum lagi. Senyum yang tidak menegur, tapi juga tidak memberi jalan.
Dia duduk, menyilangkan kaki. Kain gamisnya naik sedikit, memperlihatkan mata kaki yang bersih, mulus dan nyaris mengkilap. Aku menatapnya lama, dan dalam hati langsung muncul pikiran haram:1268Please respect copyright.PENANAAlUiYUNDCT
Segini awetnya... seperti suaminya belum pernah benar-benar menyentuh dia dengan cara yang seharusnya. Bukan pelukan suami-istri biasa... tapi cara yang kasar, liar, dan brutal—cara yang menurutku pantas untuk wanita seindah dan selembut ini.
Aku bersandar. “Jujur aja, saya nggak jarang lihat perempuan berhijab syar’i di dunia modeling. Tapi kalian beda. Nita punya pesona muda yang segar. Dan Bu Neni... saya nyaris nggak percaya kalau ibu sudah kepala empat.”
“Alhamdulillah, sehat aja udah syukur, Pak,” jawab Neni tenang.
Aku mencondongkan badan, mempersempit jarak.
“Tapi tetap... rasanya sayang kalau pesona seperti kalian cuma dibatasi konsep fashion syar’i. Saya ngerti kalian mau tampil syar’i, dan saya hormat. Tapi justru itu tantangannya. Bayangin, busana yang tetap nutup semua, tapi bahannya ketat, ngepas, nempel di badan... ngebentuk badan indah kalian dari atas sampai bawah. Nggak buka aurat, tapi setiap gerakan bisa bikin orang nahan napas. Sensual tanpa telanjang. Itu powerful banget.”
Nita ekspresinya mulai tidak tenang, sedangkan Neni menatapku langsung, tanpa marah. Tapi sorot matanya berubah. Tegas.
“Pak Bram,” katanya, lembut tapi padat, “Kami datang karena ingin berkarya sesuai nilai yang kami yakini. Kalau arah campaign-nya ke sana,”—ia menunjuk ke udara, seolah menunjuk niat kotorku yang tak terucap—“mungkin kami tidak cocok.”
Aku terkekeh pendek, berusaha tetap santai. “Wah, maaf ya. Mungkin saya terlalu semangat. Saya cuma lagi eksplor kemungkinan. Ngetes chemistry, bukan berarti harus ke sana arahnya.”
Aku mencoba menetralkan suasana, tapi dalam hati aku mendidih.
Wanita ini... berani. Tapi bukan berani yang keras.
Berani dengan tenang. Dengan yakin. Dengan iman.
Dan itu justru membuatku semakin penasaran.
Aku pernah menelanjangi banyak tubuh. Tapi belum pernah melihat iman sekuat ini.
Dan aku ingin tahu... apakah iman itu bisa dirobohkan.
Aku buka salah satu map di meja, pura-pura serius.
“Kalau begitu… bagaimana kalau konsepnya begini, Bu. Tetap syar’i, tetap elegan, tapi dengan nuansa modern modest fashion. Kita angkat sisi keanggunan, kekuatan karakter perempuan muslimah… tanpa harus meninggalkan prinsip. Ada beberapa pose dinamis, ekspresi confident, tapi tetap dalam batas wajar. Nita bisa main di gaya yang youthful, sementara Bu Neni di konsep mature elegance.”
Aku sodorkan beberapa referensi yang memang sudah aku siapkan.
Nita langsung mencondongkan badan, matanya berbinar.
“Wah… ini keren banget, Bu,” katanya, sambil menunjukkan salah satu moodboard.
Neni ikut melihat. Diam sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Kalau konsepnya seperti ini… insyaAllah kami cocok, Pak.”
Aku tersenyum lebar—kali ini senyum puas.
“Oke, kalau begitu… kita jadwalkan besok. Private session di studio saya yang satu lagi. Tempatnya lebih tenang, lebih leluasa, jadi kita bisa eksplor konsep ini tanpa gangguan.”
Aku melirik Fina.
“Fina, tolong siapkan semuanya ya. Infokan lokasi ke Bu Neni nanti sore.”
Fina mengangguk patuh, sudah tahu apa yang harus dia lakukan.
Aku berdiri, menutup map.
“Sekali lagi terima kasih, Bu Neni, Nita. Saya senang sekali bisa kerja bareng kalian. Saya yakin hasilnya nanti luar biasa.”
Mereka pamit, dan saat pintu menutup, aku menyandarkan punggung ke kursi.
Dalam pikiranku, mereka bukan sekedar model busana syar’i.
Mereka tantangan. Apalagi Bu Neni yang sudah siap bertahan bahkan sebelum aku menyerang.
Aku tersenyum menemukan target baru.
Aku tahu siapa yang harus kuincar lebih dulu.
Dalam hati, aku berbisik pelan—
"Bu Neni... kita lihat sekuat apa bentengmu."
…
ns3.141.38.5da2