
Aku sudah lima puluh tiga tahun. Rambutku sudah mulai putih di sisi-sisinya, tapi jas yang kupakai masih buatan tangan dari Paris, dan sepatu kulitku selalu disemir lebih rajin daripada rambut salah satu paslon capres 2024 kemarin.
Sebagai Boss dari salah satu brand fashion ternama, aku sudah meniduri lebih banyak wanita daripada jumlah karyawan di perusahaanku. Dari gadis-gadis baru lulus SMA yang begitu naif, sampai istri pejabat yang pura-pura alim di hadapan publik tapi melolong di balik pintu hotel.
Bagi banyak orang, dunia fashion adalah industri. Tapi bagiku? Ia taman safari. Dan di dalamnya, aku adalah predator puncak yang selalu lapar.
Prinsip hidupku sederhana: kalau cantik dan bisa dipakai, kenapa tidak?
Staminaku? Masih cukup buat bikin dua cewek pingsan bergiliran semalam suntuk. Tubuh mereka gemetar, keringat mereka asin, dan mata mereka kosong—persis boneka yang baru saja habis dipakai.
Gairahku murni dari adrenalin dan rasa muak terhadap hal-hal yang itu-itu saja. Karena, pada akhirnya, semuanya mulai terasa membosankan.
Cewek seksi berpakaian terbuka, toket brutal, paha mulus, pantat besar—semua itu cuma variasi bentuk dari satu hal: daging yang bisa kupilih, kupermainkan, lalu kubuang. Mulai terasa membosankan. Lenguhan mereka pun sudah bisa kutebak bahkan sebelum mereka buka mulut.
Sampai akhirnya mereka datang. Bukan sekadar wanita. Bukan sekadar daging. Tapi sesuatu yang membuatku ingin lebih dari sekadar menikmati.
Aku ingat betul hari itu. Studio kami sedang casting untuk koleksi modest wear terbaru—kerudung, gamis, outer syar’i yang lagi laris manis menjelang Ramadhan. Biasanya aku bahkan tak sudi menoleh kalau sudah urusan kain panjang dan perempuan tertutup. Apa yang bisa kutemukan dari tubuh yang dibungkus rapat seperti jenazah?
Tapi hari itu…
mereka masuk.
Yang pertama—wanita dengan jilbab syar’i warna krem susu, gamis polos. Umurnya empat puluhan, katanya. Tapi wajahnya bersih, halus, seperti perempuan yang masih nyaman dipanggil ‘mbak’. Kulitnya cerah, pipi tirus tanpa garis kerut mencolok, leher jenjang yang tertutup rapat di balik kerudung yang rapi. Tubuhnya… ramping terawat, tidak kelewat kurus, tidak pula berlebihan.
Ada kematangan yang anggun di caranya berdiri, di tatapan matanya yang teduh. Seolah tubuh itu tahu cara menjaga diri, membungkus keindahan di balik pakaian syar’i, dan justru karena itu… terasa lebih menarik.
Saat itu juga aku sadar: aku belum pernah merasakan jenis yang seperti ini.
Namanya Neni. Istri solehah, tiga anak, tampak seperti wanita surga di mata orang-orang tolol itu.
Tapi buatku?
‘Istri solehah’ adalah kode paling mesum yang pernah diciptakan agama. Kata yang seringkali membuat kejantananku berdenyut-denyut mendengarnya.
Lalu… anaknya.
Nita. Dua puluh empat tahun, katanya sudah bersuami. Masih muda, kulitnya lebih segar, pipinya sedikit lebih berisi. Wajahnya manis, bersih, dan segar, dengan sorot mata yang hidup. Tubuhnya… lebih berisi, kemontokan alami yang masih terjaga rapi di balik gamis longgar.
Bayangan di otakku mulai menari.
Bukan satu.
Dua.
Ibu dan anak. Di ranjangku. Di bawahku.
Meleleh, menggeliat, menjerit.
Aku ingin merusak mereka berdua.
Mereka yang masih berbalut gamis, yang kemudian kubuka—kalau perlu korobek paksa, satu per satu. Mereka gemetar, bukan karena takut, tapi karena tahu mereka akhirnya tunduk pada laki-laki yang terlalu kuat untuk dilawan.
“Pak Bram?” suara asistenku menyadarkan lamunanku dari jurang imajinasi haram.
Aku mengedip pelan, lalu menunjuk dua wanita itu yang sedang berdiri sopan menunggu giliran di depan kamera. “Yang berjilbab krem itu. Saya mau dia sebagai model utama. Dan anaknya juga.”
Asistenku, Fina, gadis gen Z yang awalnya lincah dan penuh prinsip itu, kini sudah lebih dari sekadar asisten. Sudah kutaklukkan, sudah kutundukkan, sudah kubuat rela mengangkang kapanpun aku mau.
Dia mengangguk cepat, matanya berbinar seperti budak setia.
“Baik, Pak.”
………
ns3.141.38.5da2