
Sudah tiga minggu sejak sesi pemotretan pertama.
Tiga minggu penuh usaha kecil-kecilan yang biasanya tak pernah gagal.
Tapi wanita itu—Neni—seolah punya tameng gaib yang tak bisa kutembus.
Aku sudah mengundangnya makan siang—bukan di restoran mewah, tapi di lounge kantor, agar kesannya profesional. Ia datang. Duduk. Sopan. Tapi tidak tinggal lebih dari dua puluh menit. “Maaf, saya ada urusan selepas ini,” katanya sambil tersenyum.
Aku sudah menyelipkan pujian—halus tapi tetap jelas—tentang gaya jalannya, bentuk tubuhnya yang tetap indah meski tertutup. Ia hanya tertawa kecil, menutup mulut, lalu berkata, “Alhamdulillah, Pak. Tapi saya lebih senang kalau dipuji soal akhlak.”
Aku pernah sengaja menyentuh tangannya waktu menyerahkan kontrak. Sekilas saja. Sekadar isyarat. Dia menarik tangannya pelan, tanpa tergesa. Tapi tatapannya langsung tajam—tidak marah, tapi menegur.
“Maaf, saya nggak biasa bersentuhan dengan yang bukan mahram.”
Kalimat itu keluar tanpa tekanan, tapi menancap seperti pisau kecil di dadaku.
Aku bukan lelaki yang sabar.
Aku bukan lelaki yang rela dicueki.
Selama ini, perempuan yang lebih muda, lebih cantik, bahkan lebih ‘liar’ dari Neni pun berebut perhatian dariku. Sekali aku kirim sinyal, mereka tangkap, mereka balas. Bahkan ada yang sudah buka bra duluan sebelum aku nyebut kamar hotel.
Tapi wanita ini…
Tak terjamah.
Tak tergoda.
Tak bergeming.
Aku bahkan pernah coba menaikkan honor endorsenya—tanpa ia minta.
Kukatakan karena kualitas hasil kerjanya luar biasa.
“Terima kasih, Pak,” katanya singkat, senyumnya tetap manis. Tapi matanya tahu. Ia tahu niatku. Tapi tak menggubrisnya.
Lalu aku kirimkan gift card belanja dari salah satu butik muslimah ternama—satu juta, dua juta, tiga juta. Lewat admin. Katanya untuk apresiasi.
Dua hari kemudian, kartu itu kembali ke mejaku. Belum disentuh. Diselipkan dalam amplop, bersama sticky note kecil:
"Terima kasih, Pak Bram. Tapi saya lebih nyaman menerima bayaran sesuai kontrak saja."
Tertulis dengan pulpen tinta hitam. Tulisan tangan yang rapi, tegas. Sama seperti sikapnya.
“Brengsek...” gumamku pelan. Aku duduk lagi. Menarik napas panjang.
Jari-jariku iseng membuka TikTok mereka lagi.
Masih ada. Masih aktif. Masih modis. Masih viral.
Dan mereka... tetap saja menawan.
Hijab rapi. Senyum lembut. Mata bersinar.
Keindahan yang ditampilkan tanpa membuka aurat, namun justru karena itulah terasa jauh lebih menggoda.
Gemulai dalam kesopanan. Modis tanpa cela.
Sebuah mimpi yang disiarkan ke publik, namun tak seorang pun boleh menyentuhnya.
Keluarga islami panutan, katanya.
Simbol kehormatan dalam balutan kain.
Dan sialnya… justru itu yang membuatku semakin menginginkan mereka.
Bukan hanya tubuh mereka, tapi penghancuran mereka.
Aku ingin mencopot jilbab mereka satu per satu.
Bukan dengan kasar, tapi perlahan.
Aku ingin melihat rasa malu di wajah mereka berubah menjadi ketagihan.
Aku ingin menyentuh sesuatu yang tak pernah disentuh siapa pun—karena mereka terlalu suci, terlalu hati-hati.
Uang, perhatian, status—semua senjata itu biasanya cukup.
Tapi kali ini, aku harus menggunakan cara lain untuk menjebol benteng tebal yang dibangun dari keyakinan. Dan itu tak bisa dilakukan dalam satu malam. Harus pelan. Terencana. Dalam diam.
Perlahan-lahan, aku akan mengupas mereka…
Langkah pertama: memuaskan rasa penasaranku. Tentang daging yang tersembunyi di balik kain-kain syar’i itu.
Kuminta Fina menginfokan pada Neni dan Nita tentang lokasi studio untuk sesi foto besok. Studio itu… sudah aku atur semuanya. Lighting, kamera tersembunyi, dan kamar mandi.
Aku menatap Fina, menyeringai.
“Besok… kita mulai babak baru.”
…
ns3.16.44.204da2