
Besoknya.
Studio tampak sepi. Hanya ada beberapa kru inti yang sudah di-brief. Semua alat sudah disiapkan. Lighting pas. Kamera tersembunyi di ruang ganti dan di kamar mandi.
Fina berdiri di depan set, menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Selamat datang. Silakan langsung ke ruang ganti ya. Outfit-nya sudah kami siapkan di dalam.”
Neni dan Nita mengangguk sopan.
Aku mengamati langkah mereka menuju ruang ganti. Gamis-gamis longgar mereka bergoyang pelan mengikuti langkah. Neni tetap dengan langkah tegap anggun, sementara Nita sedikit lebih lincah.
Begitu pintu ruang ganti tertutup, aku menyeringai.
Kamera di dalam sana sudah aktif.
Bukan untuk publik. Bukan untuk proyek resmi. Tapi untukku.
Aku menunggu di luar, pura-pura sibuk mengecek hasil setting monitor.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka.
Mereka keluar.
Aku menahan napas. Pemandangan yang nyaris membuatku lupa diri.
Nita tampil dengan gamis modern berwarna dusty rose, potongannya simpel tapi jatuhnya sempurna di tubuh mudanya. Pashmina lilitnya dibentuk rapi, memperlihatkan leher yang ramping. Makeup-nya tipis natural, tapi sorot matanya hidup. Pinggulnya membentuk lekuk halus di balik kain, pinggangnya kecil… dan dadanya—meski tertutup—jelas menggoda lewat tonjolan samar yang terbingkai manis.
Lalu Neni…
Ah, Neni.
Ia mengenakan gamis satin warna emerald gelap. Jatuhnya mewah, membingkai tubuhnya yang masih sangat terawat untuk ukuran seorang janda tiga anak. Outer tipis warna broken white yang menjuntai membuatnya makin anggun. Jilbab pashminanya melilit leher jenjangnya dengan sempurna.
Payudaranya tidak yang terlalu menonjol, tapi justru itulah daya rusaknya. Dua lekuk indah di balik satin itu seolah menantang mataku untuk menebak bentuk aslinya.
Pinggulnya… masih kokoh, masih indah, masih… pantas diperebutkan.
Aku menatap mereka tanpa berkedip. Melihat karya seni di hadapanku.
Dua tubuh berbeda usia. Dua level daya pikat.
Yang satu muda, segar, cerah.
Yang satu matang, berkelas, berbahaya.
“MasyaAllah… cantik banget kalian,” ujarku pelan, suaraku nyaris serak.
Nita tersipu.
Neni hanya tersenyum… senyum kalem yang entah kenapa justru menyalakan api yang lebih ganas di dalam diriku.
Aku menyambung, “Oke… kalau gitu langsung kita mulai ya. Silakan ke set. Fina bantu arahkan.”
Mereka berjalan pelan ke set utama.
Aku menatap punggung mereka…
Dan di balik kain-kain syar’i itu, aku sudah bisa membayangkan isinya.
…
Sesi Foto Dimulai.
Studio terang. Lighting sudah pas. Background soft beige dipilih untuk menonjolkan warna-warna outfit mereka. Kru sudah brief, semuanya tampak biasa saja. Fina berdiri di dekat meja properti, sesekali memegang clipboard, pura-pura sibuk.
Aku duduk di belakang monitor, mengamati layar live view dari kamera utama. Sesekali memberi instruksi ke fotografer lewat headset.
“Bu Neni, sedikit miring ke kiri… bagus. Nita, tolong geser satu langkah ke kanan. Oke, tahan pose… sip.” Klik.
Pose-pose mereka anggun.
Nita dengan senyum manisnya, natural, matanya berbinar. Gaya muda yang santun, tapi tetap memesona.
Neni… ah, Neni. Wajah teduh, senyum kecil di sudut bibir, pandangan matanya tenang… tapi ada pesona halus yang tak bisa dijelaskan. Elegan. Ibu-ibu empat puluh tahunan yang lebih terlihat seperti model berkelas.
Aku bersandar sedikit, menyilangkan kaki, berpura-pura hanya menikmati estetika. Padahal, di setiap detiknya kuperhatikan tubuh mereka dan membayangkan isinya.
Fina datang membawa dua botol minuman infused water—bening, segar, potongan lemon mengapung di dalamnya.
“Bu, Mbak… biar nggak dehidrasi,” katanya sopan.
Neni mengambil satu.
“Terima kasih, Mbak,” ucapnya, lalu meneguk pelan.
Minuman itu sudah aku setel.
Bukan racun, tentu saja — hanya campuran alami, aman, yang membuat siapa pun yang meminumnya cepat merasa kebelet pipis. Efeknya tak langsung, tapi cukup untuk membuat seseorang gelisah…
Nita menolak halus, mengangkat tumbler miliknya sendiri.
“Aku bawa sendiri, Mbak. Makasih, ya.”
Fina tersenyum tipis dan mundur pelan.
Sesi berlanjut.
Dari monitor, aku mulai melihat tanda-tandanya. Neni sedikit mengganti posisi berdirinya, memindahkan berat tubuh dari satu kaki ke kaki lainnya. Tangannya menyentuh bawah perutnya pelan.
Aku mendekat ke arah set, tetap bersikap tenang.
“Nita, boleh lebih dekat ke ibunya… peluk lengan Bu Neni. Nah… bagus. Senyumnya, Net. Bagus… tahan.”
Klik. Klik. Klik.
Aku menahan senyum.
Beberapa jepretan terakhir selesai. Aku bisa lihat kelelahan mulai tampak di wajah mereka, tapi tetap… cantik. Nita masih penuh energi, seperti biasa. Begitu sesi selesai, dia langsung ambil ponsel, selfie-selfie di depan cermin besar di pojok studio, pose cute ala anak muda masa kini.
Neni… lain cerita. Ia duduk pelan di sofa kecil dekat makeup table. Jemarinya sibuk merapikan ujung gamis, kakinya bergoyang pelan. Tapi aku tahu persis ekspresi itu.
Keningnya agak berkerut, bibirnya menahan, matanya mulai celingukan. Aku bisa baca gelagatnya—seseorang sedang berusaha menahan pipis.
Lalu ia menoleh ke arah Nita.
“Nita…” bisiknya pelan. Tak kudengar jelas, tapi aku bisa membaca dari gerak bibirnya.
Nita mendekat, menunduk sedikit. “Kenapa, Bun?”
Neni menggigit bibir bawah, rona wajahnya sedikit memerah. Lembut, sopan, tapi tetap terlihat anggun.
“Kebanyakan minum… dari tadi nahan.”
Nita menahan senyum, berbisik pelan sambil menutupi mulutnya, “Kebelet pipis?”
Neni mengangguk kecil. Wajahnya tetap terjaga, punggungnya tegak, kedua lutut rapat. Bahkan saat tubuhnya jelas butuh bergerak, dia tetap menjaga postur dan wibawa seorang ibu yang santun.
Tapi akhirnya, ia berdiri cepat. Gamisnya sempat tersingkap sedikit karena gerakan mendadak itu.1131Please respect copyright.PENANAjU0NhUcgCG
“Aduh… gak kuat,” bisiknya, lebih ke diri sendiri.
Langkahnya cepat tapi masih sopan, tetap menjaga agar tak tampak grasak-grusuk. Tangannya memegangi sisi gamis, tangan lain menggenggam pashmina agar tak berantakan saat terburu-buru.
Fina yang sigap langsung menunjuk ke arah pintu kecil di ujung.
“Di sana, Bu.”
Neni mengangguk sambil menahan senyum malu. “Makasih, Mbak.”
Ia berjalan secepat yang ia bisa dengan heels kecilnya, langkahnya masih terlihat teratur meski tergesa. Anggun. Bahkan di saat genting seperti ini.
Nita yang masih selfie, melirik dan berbisik sambil cekikikan kecil, “Ih, Bunda kok kayak dikejar deadline sih…”
Aku dan Fina saling pandang, lalu tersenyum samar.
Semua berjalan sesuai rencana. Kamera tersembunyi sudah siap untuk merekam apa yang dilakukan Neni di dalam sana.
…
Malamnya, studio sudah sepi. Semua kru pulang.
Aku duduk santai di belakang meja, secangkir kopi yang sejak tadi tak kusentuh mulai dingin. Di depanku, laptop terbuka, layar menampilkan deretan file rekaman rahasia hari ini.
Di kursi kantor sebelahku, Fina terkulai lemah. Tangannya terikat erat di lengan kursi, pergelangan kakinya juga terikat, kupaksa mengangkang membentuk huruf M yang tak bisa ditawar. Mulutnya dibekap lakban, menyisakan hanya helaan nafas berat dan tak beraturan.
Rambutnya tergerai acak-acakan dan kancing blus bagian atasnya terbuka, tanpa bra. Memperlihatkan sepasang payudaranya yang pas di genggaman, montok seperti kesemek muda.
Putingnya mencuat. Kemerahan. Karena masing-masing sedang dijepit kuat oleh jepit jemuran.
Sementara itu di memeknya—sebuah dildo besar seukuran kontolku tertancap begitu dalam. Berdengung dan meliuk-liuk dengan getaran yang lemah. Celana dalamnya yang berwarna pink berenda masih terpakai asal, tidak membiarkan dildo di dalamnya untuk lepas dari memeknya.
Tubuh Fina nampak gemetar menahan nyeri di putingnya, sekaligus rasa nikmat getaran dildo di liang surgawinya. Sesekali ia merintih kecil waktu intensitas getaran dildonya kunaikkan ke getaran sedang.
“Hmmpphh.. mhmff.. mmhhf..“ erangnya di balik sumpalan lakban.
Pipinya masih basah kemerahan — sempat menangis, namun kini lebih ke ekspresi antara lelah dan… puas.
Aku meliriknya sekilas.
Dia tahu… dia layak mendapatkannya.
Itu hukuman kecilku untuk Fina — karena gagal mendapat rekaman Nita di kamar mandi. Hanya Neni yang berhasil terekam. Satu target lolos, dan itu tak seharusnya terjadi.
Tapi entah ini benar-benar bisa disebut hukuman atau tidak. Karena aku tahu. Dibalik ekspresi Fina, ada kepasrahan, ada ketagihan, ada hasrat yang tak bisa Fina dustakan. Ia sudah orgasme 5 kali di posisi itu, akibat getaran dildo yang sengaja kunaik turunkan di sepanjang hukumannya yang baru berlangsung sekitar 30 menit.
Kuatur getaran dildo Fina dengan kekuatan sedang, cukup untuk membuatnya gelisah. Lenguhan kecilnya yang tersumpal di balik lakban sudah biasa menjadi suara background ruang kerjaku.
Mataku kembali menatap layar laptop. Membuka folder yang sudah kususun rapi.
/Project_N&N/
Di dalamnya terdapat subfolder bertanggal hari ini.
Aku klik salah satu file bertuliskan "RG_CCTV_01.MP4" — rekaman dari kamera kecil yang kusembunyikan di sudut ruang ganti, tersembunyi di balik ornamen dinding.
Layar laptop mulai memutar video. Gambarnya cukup bersih. Suara terdengar samar, tapi cukup jelas.
Sesaat, pikiran kotorku bermain.
Bayangan liar di kepalaku — mereka melepaskan gamis, hanya menyisakan bra dan celana dalam, memperlihatkan kulit putih bersih, lingkar pinggang ramping, punggung halus, dan belahan dada lembut, hanya dibalut bra tipis.
Tapi tentu saja…
Kenyataan tak seberani imajinasi.
Bukan kulit telanjang. Bukan lingerie.
Tapi inner dress lembut, tipis, panjang…
Ya… wanita seperti mereka, tentu saja tertutup rapat. Gamis longgar, dan di baliknya, pasti inner dress panjang — bukan langsung pakaian dalam. Lapisan-lapisan yang katanya menjaga kehormatan… tapi justru di mataku, membuat tubuh-tubuh itu terasa makin tersembunyi, makin menggoda untuk dibayangkan.
Awalnya aku merasa kecawa—namun hanya sesaat.
Karena saat mereka bergerak, kain spandeks tipis itu menempel seperti kulit kedua.
Menggambar lekuk pinggang ramping, mengangkat samar gundukan dada, dan membentuk pinggul yang tegas.
Nita — tubuh muda yang segar itu — mengangkat kedua tangan membenahi ciput. Buah dadanya terangkat, kain tipis itu ikut menegang, memperjelas lengkungan montok, perut rata, dan garis pinggang yang minta diraba.
Inner dress-nya berayun lembut, mengikuti pantat montoknya yang terguncang pelan saat dia berputar tertawa.
Dan Neni… ah, wanita matang memang racun tersendiri.
Tubuh ramping, pinggang terjaga, bahu sempit, dan pinggul yang… lebih tegas dari anaknya.1131Please respect copyright.PENANAerPzihIdLs
Saat dia meraih hanger di rak atas, punggung rampingnya teregang, bokong bulat itu ikut naik, dan inner dress warna mocca-nya memperlihatkan apa yang seharusnya hanya dilihat suaminya.
Mereka tak sadar betapa indahnya pemandangan itu.
Nita merapikan kerutan kain di punggung ibunya, tangannya menyentuh pinggang ramping itu…1131Please respect copyright.PENANANBdCXrXQ0F
Ada momen di mana kain tipis itu tertarik, menjiplak payudara Neni yang bulat, hanya sebentar.
Aku menelan ludah, menggigit bibir.
Pikiran liar tak bisa dibendung.
Membayangkan bentuk asli di balik lapisan tipis itu… dan betapa lezatnya jika keduanya akhirnya…
Sial. Aku harus mendapatkan tubuh mereka.
Aku bersandar, menarik napas panjang.
Senyum mengembang, perlahan.
Tiba-tiba—
“Mmhhhhh—mmmmmmphhhhhh…!” Lenguhan panjang terdengar dari arah bibir Fina, tertahan di balik lakban yang membekap mulutnya. Kepalanya menengadah, badannya melenting dari kursi seperti benang yang ditarik paksa dari gulungan. Tangannya mengepal, kakinya bergetar, namun semuanya masih terikat kuat di lengan kursi.
Beberapa detik tubuhnya terus bergetar—liar, tak terkendali—hingga akhirnya ia terkulai lemas kembali, terengah dengan napas tak teratur.
Fina orgasme. Untuk yang ke-enam kalinya.
Wajahnya yang sayu menatapku memelas. Mungkin sudah terlalu lelah orgasme berkali-kali. Dildo di memeknya masih berdengung kencang, tanpa hentinya bergetar sambil menggeliat-geliat merangsang memeknya bahkan setelah ia orgasme enam kali.
Kuabaikan tatapan memelasnya, karena bagiku hukumannya belum cukup. Malahan, kusentil pelan jepit jemuran yang menjepit putingnya—cukup untuk membuat tubuhnya mengejang sesaat dalam siksaan.
“Mmhhhfff…!” Suaranya tertahan dari balik sumpalan.
Aku menyeringai puas, lalu kembali kutatap layar laptop. Kali ini membuka file “Toilet_Capture.mp4”.
Layar laptopku menampilkan ruangan kecil itu. Kamar mandi studio.
Sengaja dipilih. Sengaja dipasang kamera di sudut yang tak mungkin mereka sadari.
Neni masuk tergesa. Jemarinya menekan perut bagian bawah, sambil menggenggam beberapa lembar tisu di tangan kanannya. Wajahnya sedikit panik — tapi tetap saja, anggun, mahal.
Gamis satin warna emerald gelap itu jatuh membingkai tubuhnya. Licin, berkilau tipis di bawah lampu redup. Siluet tubuh ibu anak tiga di usia 40-an itu… masih sangat terawat. Pinggang rampingnya tersembunyi di balik kain mewah yang jatuh elegan.
Outer tipis warna broken white menjuntai, bergerak lembut setiap kali ia berjalan. Kontras cantik dengan satin emerald itu.
Jilbab pashminanya melilit leher jenjangnya dengan rapi, sempurna. Tapi sekarang, leher itu tampak sedikit tegang, bahunya terangkat, menahan sesuatu yang darurat.
Lalu, matanya melihat ke lantai—dan tertegun.
Toilet jongkok.
Bukan kloset duduk modern, bukan ruangan nyaman. Tapi tradisional. Persis seperti yang sudah kuatur.
Dia tampak ragu.
Aku tahu isi kepalanya saat itu.
Seorang wanita bergaun satin mahal… harus jongkok di tempat seperti ini.
Aku hampir bisa dengar suara batinnya, “Duh, kok begini sih...”
Tapi tubuh tak bisa berbohong. Di balik kain satin mewah itu, tubuhnya pasti mulai memberontak.
Dia berdiri sebentar, menoleh, gelisah. Aku perhatikan bagaimana gamis satin itu membentuk pinggulnya, sedikit menonjol, karena kain mengikuti bentuknya yang aduhai.
Aku membayangkan bagaimana di balik itu, paha putihnya bergesekan, menahan derasnya yang ditahan sejak tadi.
Tangannya sibuk menggulung bagian bawah gamis, hati-hati, cepat tapi tetap rapi — kelas wanita dewasa.
Satin emerald itu naik, bersamaan dengan inner dress nya.
Kulit putih mulus itu akhirnya muncul. Paha, betis, semuanya halus, tanpa cela. Seperti tak pernah disentuh waktu.
Celana dalam krem tipisnya tampak, ketat, sederhana. Bahannya mencetak daging lembut di baliknya, membentuk belahan samar vertikal di tengah, tanda bahwa kue apem yang tersembunyi di baliknya itu begitu tembem.
“Glek..!” aku menelan ludah.
Ia jepit sisa kain itu di lengan kirinya. Sambil tetap menjaga pashminanya yang menjuntai ke samping.
Lehernya terekspos sedikit saat ia menunduk. Cantik. Tegas.
Aku menahan napas.
Bukan hanya karena keindahan kakinya… tapi karena kali ini, ia akan menunjukkan sesuatu yang paling rahasia… di depanku. Di depan kameraku.
Perlahan, Neni jongkok.
Gerakannya rapi, hati-hati.
Paha putihnya merapat, betisnya sejajar, lututnya menekuk dalam posisi yang pas.
Tisu masih digenggam di tangan kanannya.
Sementara tangan kirinya sibuk menahan lipatan gamis satin emerald dan inner dress tipis yang kini bertumpuk di lengannya.
Celana dalam krem tipis itu perlahan melorot, melewati paha dan betisnya yang bersih sampai akhirnya bertengger di pergelangan kakinya.
Aku diam.
Sebenarnya, ini bukan hal baru bagiku.
Tubuh wanita—aku sudah sering melihat.
Tapi entah kenapa, yang satu ini berbeda.
Bukan karena bentuknya… tapi karena siapa dia.
Keanggunan seorang wanita yang selama ini selalu dibungkus kehormatan, tertutup rapi, menjaga jarak… dan sekarang, tanpa sadar, memperlihatkan sisi paling pribadinya. Memek yang nampak empuk dan legit, dengan bulu kemaluan yang tumbuh liar di atasnya.
Kulit memeknya lembut, bersih natural, warnanya sedikit pucat tapi terlihat begitu tembem. Garis samar di tengah hampir tak terlihat karena begitu rapatnya. Bukan sekedar belahan memek. Tapi keanggunan seorang wanita yang selama ini dibungkus kehormatan. Ahh… ingin sekali aku menjilatinya.
Wajah Neni sedikit menunduk.
Ada rona kemerahan di pipinya.
Aku bisa lihat dari gerakan paha dan jemari kakinya, dia benar-benar menahan posisinya jongkok sempurna.
Pashmina di bahunya bergeser pelan, menyentuh paha putih itu tanpa sengaja.
Ada jeda.
Bahunya mengendur.
Matanya menutup sebentar.
Gundukan dadanya yang indah naik turun pelan di balik satin mewah itu.
Kemudian—
Ssseeerrrrrrrrrrr…
Rasa hangat itu akhirnya mengalir. Mengucur dari liang surgawinya.
Allirannya mengucur deras. Cukup lama. Pengaruh obat yang kusisipkan pada minumannya.
Dan aku… aku tak bisa menahan senyum.
"Cantik sekali, Bu Neni… bahkan saat seperti ini," bisikku pelan.
Aku bisa lihat pipinya menghangat, matanya terpejam sesaat. Ia sedikit menggigit bibir bawahnya, napasnya naik turun, seiring dengan air seninya yang terus mengucur dari memek seorang influencer syar’i.
Setelah beberapa lama, bahu indah itu turun perlahan, punggungnya melengkung ringan.
Tisu di tangannya akhirnya dipindahkan ke sisi paha, siap untuk menyeka… tapi ia masih diam sejenak di situ. Menikmati rasa lega yang selama tadi ia tahan dengan sopan.
Setelah beberapa detik, aku melihat tubuhnya mulai tegak kembali.
Ekspresinya… nyaris kembali seperti semula — anggun, tenang, tapi aku tahu di balik itu masih ada sisa malu kecil.
Tangannya bergerak meraih gayung di ember kecil di sampingnya.
Pelan, hati-hati… karena aku tahu, ia bukan tipe yang biasa jongkok di tempat seperti itu.
Tapi tetap, caranya mengambil air, cara ia menuangkannya… masih rapi, bersih, tidak terburu-buru.
Air membasahi kulitnya, menelusuri paha putih mulus itu, lalu turun mengalir ke lipatan vaginanya sebelum jatuh ke bawah toilet jongok.
Aku menahan napas saat sesekali kilau sisa air memantulkan cahaya, membuat kulit kemaluannya terlihat lebih bersih dan segar.
Tisu di tangannya tak pernah lepas.
Begitu selesai membilas, ia gunakan beberapa lembar, menekannya perlahan ke kulitnya.
Bukan asal usap — tapi ditekan pelan, dirapikan, diseka bersih.
Aku perhatikan jemari ramping itu bergerak hati-hati, menyeka titik-titik air di memeknya, lalu membuang tisu yang sudah basah ke bak kecil di samping.
Semua dilakukan dengan gerakan bersih, berkelas, khas wanita dewasa yang terlatih menjaga dirinya.1131Please respect copyright.PENANAJVUqG5yJJt
Tak ada suara berisik, tak ada gerakan kasar.
Gamis satin itu perlahan diturunkan lagi, meluncur menutupi pahanya seperti tirai mahal.
Outer broken white-nya diayunkan ke belakang, dirapikan. Jilbab pashminanya diluruskan ke bahu. Ia membenahi lipatan di leher, memastikan kerudung itu kembali membingkai wajah ovalnya yang sedikit kemerahan.
Dia merapikan diri sekilas di depan cermin kecil yang menempel di dinding.
Sekali usap ke pipi, sedikit rapikan pashmina, dan selesai.
Dia menarik napas sekali lagi, lalu berjalan keluar.
Aku lihat bagaimana satin itu bergoyang pelan mengikuti langkahnya. Outer broken white itu menjuntai lembut. Dan pashminanya… kembali sempurna melingkari leher jenjang itu.
Seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Aku tersenyum puas.
“Cantik. Rapi. Terhormat. Tapi aku tahu rahasianya.”
Ahh.. tidak sabar aku ingin menikmatinya.
Tak terasa kemaluanku sudah begitu tegang menyaksikan semua itu.
Aku menutup laptop perlahan, suara kliknya terdengar renyah di ruangan yang hening ini.
Lampu di ruanganku agak redup. Cahayanya jatuh hangat di wajah Fina, yang masih setia terikat di kursi sebelah, dengan dildo yang entah sudah berapa lama terus bergetar merangsang memeknya.
Matanya menatapku — campuran takut, lelah, tapi aku bisa lihat… masih ada sisa-sisa antusias di sana.
Perlahan, tanganku meraih ujung lakban di bibirnya, dan menariknya pelan.
“Akh…”
Dia mengerjap, bibirnya sedikit basah, merah bekas lakban.
“Fina…” suaraku pelan, lembut, nyaris seperti membelai.
“Untuk project berikutnya… aku butuh kamu kerja ekstra.” Aku mencondongkan badan, mendekat, menahan dagunya agar tak bisa mengalihkan pandangan dariku. “Kamu hubungi Neni dan Nita. Bilang ada sesi photoshoot eksklusif di villa.”
Aku mencondongkan badan, wajahku tinggal sejengkal dari mukanya yang masih lemah.
“Bagaimanapun caranya, mereka harus mau. Kamu ngerti, kan?
Dia diam sebentar, menelan ludah.
“I-Iya… Pak. Saya ngerti…”
“Bagus,” ujarku sambil menepuk pipinya pelan.
Tanganku mengusap pelan rambutnya yang berantakan.
Lalu aku berdiri, mengambil ponsel, membuka galeri.
Foto villa milikku — mewah, di perbukitan, privat. Halaman belakang yang luas, tempat tidur besar, empuk, didesain untuk segala bentuk permainan. Kamar mandi outdoor di sudut taman… saksi bisu banyak project dosa yang pernah kulakukan.
Dan sebentar lagi, akan jadi tempat untuk project berikutnya. Menikmati dua tiktokers terkenal. Ibu dan anak sekaligus. Yang selalu tertutup rapat dan tampil syar’i di depan jutaan followersnya.
“P-Pak… ampun… capek… hhh… Fina udah… nngh… gak kuat…” desahnya memecah lamunan. Nafasnya berat, suaranya setengah memohon, setengah manja.
Aku tersenyum kecil.
Tanpa berkata apa-apa, kuputar tombol untuk menaikkan getaran dildo di memeknya ke tingkat maksimal.
“Aahh—! Nngghh… hyaaa…!”
Tubuhnya langsung menggeliat hebat. Getarannya membuatnya merintih. Tapi tangan dan kakinya masih terikat di kursi, membiarkannya tak bisa lari dari apa pun yang aku inginkan.
“Ahhhh… Pakk.. Fina keluaar.. Fina keluar lagii… aahh… aaahhhhhh…!” Desahnya lepas sebelum badannya kembali melenting tak karuan.
Desahan panjang Fina di orgasmenya yang ke-tujuh menjadi penutup hukumannya malam itu.
…
ns3.16.44.204da2