
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di 190Please respect copyright.PENANAAdV8LwuoOi
https://victie.com/app/author/82829190Please respect copyright.PENANAjWwqLb1CBQ
2 cerpen berbayar:190Please respect copyright.PENANARbKJtJ3FUz
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA190Please respect copyright.PENANA83wF4ILNsy
---------------------------------------------------
Rendi terbangun pagi itu dengan kepala sedikit pusing, seperti habis lari maraton dalam mimpi. Cahaya pagi menyelinap lewat celah-celah jendela kamarnya, dan suara ayam tetangga bercampur dengan deru motor di gang sudah mulai ramai. Pukul 06:30, dia masih terbaring di kasur, matanya sayu karena malam tadi tidurnya gelisah, pikirannya penuh dengan Tante Dian—pesan genitnya yang menawarkan “nikmatin tubuh Tante”, HP yang sengaja dimatikan, dan cemburu yang bikin dadanya sesak. Dia meraih ponsel di samping bantal, berharap ada klarifikasi dari Dian, tapi layar cuma menunjukkan notifikasi biasa—pesan grup kuliah dan iklan pulsa. Pesan WhatsApp terakhir dari Dian masih sama, lengkap dengan emoticon kenyit yang bikin Rendi tambah bingung. Dia menghela napas, merasa bodoh karena terlalu memikirkan godaan itu.
Masih setengah sadar, Rendi membuka Instagram, langsung menuju akun Tante Dian—
@DianPramesti
, dengan 12 ribu follower yang kebanyakan cowok. Dia nggak sengaja klik story terbaru, dan jantungannya langsung melonjak. Dian, dengan makeup flawless dan kaus ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, tersenyum ke kamera sambil menulis caption: “Segera bikin konten nakal berbayar buat fans setia! Stay tuned di OnlyFans, ya, sayang!” diikuti emoticon cium dan link yang belum aktif. Rendi menelan ludah, jari-jarinya membeku di layar. “Nakal berbayar? Serius, Tan?” gumamnya, panik membayangkan kalau ada keluarga—mungkin sepupu atau tetangga yang follow akun Dian—lihat story ini. Dia tahu Dian nggak main-main, tapi pikiran bahwa rahasia mereka bakal ketahuan bikin dia dagdigdug.
Rendi buru-buru bangun dari kasur, kepalanya masih pening, dan menyeret langkah ke kamar mandi di dalam kamarnya. Air dingin yang dia semprotkan ke wajah dan tubuhnya nggak cukup untuk menenangkan pikirannya, apalagi dengan bayangan story Dian yang seolah mengundang seluruh dunia untuk lihat konten syur mereka. Sambil menyikat gigi, dia mencoba membayangkan apa kata ibunya kalau tahu—Bu Sari yang polos, yang cuma tahu Dian sebagai “tante artis” yang baik hati. Dia menggeleng, berusaha fokus ke rutinitas pagi, lalu keluar dengan handuk melilit pinggang, mengenakan kaus dan celana pendek sebelum turun ke ruang makan.
Di meja makan, Bu Sari sudah menyiapkan sarapan sederhana—roti tawar dengan selai kacang dan segelas teh manis hangat. “Pagi, Ren! Kok muka pucet? Kurang tidur, ya?” tanyanya, wajahnya penuh perhatian sambil menyodorkan piring roti. Rendi tersenyum lelet, duduk dan mengambil sepotong roti. “Pagi, Ma. Iya, tadi malam edit video sampe agak telat,” bohongnya, mengunyah pelan sambil berharap ibunya nggak nanya lebih jauh. Bu Sari cuma mengangguk, lalu cerita soal tetangga yang baru beli motor, membuat Rendi sedikit lega karena topiknya aman. Roti itu terasa hambar di mulutnya, pikirannya masih di story Dian dan kemungkinan keluarga yang follow akunnya—terutama Tante Mira, kakak ibunya, yang suka kepo soal Dian.
Tiba-tiba, ponsel Rendi berdering keras di saku celananya, dan nama “Tante Dian” muncul di layar. Dia hampir tersedak roti, buru-buru menjauh dari meja biar ibunya nggak dengar. “Halo, Tan?” sapanya, suaranya serak, berusaha tenang meski jantungannya berdetak kencang. “Pagi, Ren! Tante lagi di Gojek, nih, otw ke rumah kamu. Pengen ngobrol soal editan sama planning konten berikutnya. Mama ada, kan? Kangen, deh!” kata Dian, suaranya ceria, di latar belakang terdengar klakson dan suara jalanan Jakarta. Rendi membelalak, nggak nyangka Dian bakal main ke rumah begitu cepat. “S-Sekarang, Tan? Iya, Mama ada... ehm, oke, hati-hati, ya,” balasnya, masih kaget, otaknya berputar nyari alasan kalau ibunya tanya soal OnlyFans.
Bu Sari, yang kebetulan lewat dengan piring kotor, mendengar sekilas percakapan itu dan langsung berbinar. “Loh, Tante Dian mau ke sini? Wah, seneng banget! Udah lama nggak ketemu. Cepet beresin kamar, Ren, biar nggak malu-maluin!” katanya, suaranya penuh semangat, langsung buru-buru ke dapur untuk nyiapin teh dan camilan. Rendi cuma mengangguk kaku, wajahnya pucat. Dia membayangkan Dian datang dengan outfit seksi seperti biasa, mungkin kaus ketat atau tank top lagi, dan ibunya yang polos ngobrol tanpa tahu apa yang mereka kerjain. “Ya Tuhan, Tan, kenapa nggak bilang dari kemarin,” gumamnya, buru-buru naik ke kamar untuk beresin meja yang penuh kabel dan cangkir kotor, meski pikirannya masih di story Instagram dan pesan genit semalam yang belum terjawab.
Kamar Rendi sekarang sedikit lebih rapi, tapi pikirannya nggak. Dia duduk di tepi kasur, ponsel masih di tangan, dan membuka lagi story Dian, cuma untuk memastikan nggak ada keluarga yang komen atau like. Caption “konten nakal berbayar” itu masih bikin dia deg-degan, apalagi dengan bayangan Dian yang bakal nyanyi-nyanyi genit di ruang tamu rumahnya sebentar lagi. Dia tahu ibunya bakal seneng ketemu Dian, tapi Rendi takut kalau Dian keceplosan soal OnlyFans atau, lebih buruk lagi, kalau ibunya tanya soal “video online” yang dia pikir cuma YouTube. Rendi menarik napas dalam, berusaha tenang, tapi perasaan cemburu dari semalam, ditambah kagetnya karena kedatangan mendadak ini, bikin dia merasa seperti lagi jalan di tali tipis.
Sambil menunggu Dian datang, Rendi kembali ke meja makan, mengunyah sisa roti dengan pelan. Bu Sari masih sibuk di dapur, terdengar nyanyi-nyanyi kecil sambil nyiapin kue lapis buat tamu. “Mama seneng banget Tante Dian mau mampir. Dia baik, ya, Ren, masih ingat kita meski artis,” kata Bu Sari dari dapur, suaranya penuh nostalgia. Rendi cuma tersenyum kecut, nggak bisa bilang kalau “artis” yang ibunya maksud sekarang lagi bikin konten yang jauh dari sinetron keluarga. Dia menatap ponsel, berharap Dian nggak bawa kejutan lain, tapi dalam hati, dia tahu hari ini bakal penuh drama lagi—dan dia belum siap sama sekali.
------------------------
Rendi masih duduk di tepi kasurnya, ponsel di tangan, jantungannya berdetak kencang setelah telepon mendadak dari Tante Dian yang bilang mau mampir. Pukul 07:15 pagi, rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta sudah mulai ramai dengan suara tetangga yang menyapu halaman dan ayam yang berkokok sporadis. Dia baru saja merapikan meja yang penuh kabel dan cangkir kotor, berusaha bikin kamarnya nggak terlalu memalukan, meski pikirannya masih kacau—story Instagram Dian tentang “konten nakal berbayar”, pesan genit semalam, dan ketakutan kalau ibunya tahu soal OnlyFans. Aroma roti selai kacang dari sarapan tadi masih tersisa di udara, bercampur dengan bau sabun dari mandinya barusan. Dia menarik napas dalam, berusaha tenang, tapi perasaan cemburu dan kaget dari kedatangan Dian bikin dia susah fokus.
Tiba-tiba, suara motor mendengung di depan pagar, diikuti bunyi klakson pelan dan langkah kaki yang mendekat. Rendi, yang masih di kamar, langsung menegang. Dari celah jendela, dia lihat Tante Dian turun dari Gojek, helmnya dilepas dengan gerakan cepat, rambutnya yang sedikit basah berkilau di bawah sinar pagi. Dia pakai sweater kebesaran abu-abu yang longgar dan rok pendek hitam yang memperlihatkan kaki mulusnya, tampilan yang lumayan santai tapi tetap bikin jantungan Rendi berdetak. “Tante udah sampai,” gumamnya, buru-buru bangun dari kasur, mengecek kaus dan celana pendeknya supaya nggak terlihat kusut. Dia masih nggak percaya Dian beneran datang, apalagi setelah chat malam tadi yang bikin dia gelagapan.
Di ruang tamu, suara Bu Sari menyambut Dian terdengar riuh dan akrab, penuh tawa dan nada nostalgia. “Dian! Ya Tuhan, akhirnya ketemu lagi! Cantik banget, sama kayak dulu!” seru Bu Sari, suaranya nyaring sampai ke kamar Rendi. Dian membalas dengan tawa khasnya, lembut tapi penuh energi. “Sari, kamu juga nggak berubah, loh! Masih ceria, kayak kita masih muda!” katanya, diikuti bunyi pelukan erat dan ciuman di pipi yang khas antar sahabat lama. Rendi, yang mendengar dari kamar, merasa sedikit lega karena ibunya terdengar bahagia, tapi juga cemas—Dian punya bakat keceplosan, dan dia nggak mau ibunya tanya soal “video online” yang mereka kerjain. Dia buru-buru nyalain kipas angin biar kamar nggak pengap, meski itu nggak membantu jantungannya yang berdegup kencang.
“Rendi mana, Sar? Dia di kamar, ya? Aku mau lihat hasil editannya,” kata Dian, suaranya mendekat, membuat Rendi panik kecil. Bu Sari menjawab dengan semangat, “Iya, di kamar! Masuk aja, Dian. Nanti aku bawain kue sama teh, tenang aja, kita ngobrol panjang!” Rendi mendengar langkah kaki Dian di lantai kayu, ringan tapi pasti, mendekati pintu kamarnya. Dia buru-buru duduk di kursi meja, pura-pura sibuk buka laptop, meski layarnya masih hitam. Jantungannya berdetak lebih kencang, apalagi mengingat pesan “nikmatin tubuh Tante” dari semalam yang belum terjawab. Dia berharap Dian nggak bawa topik itu, apalagi di rumah, dengan ibunya cuma beberapa meter di dapur.
Pintu kamar terbuka pelan, dan Dian melangkah masuk, senyumnya lebar dan mata berkilat seperti biasa. “Pagi, Ren! Tante udah sampai, nih,” sapanya, suaranya ceria, seolah nggak ada chat genit semalam. Rendi menoleh, dan napasnya langsung tersendat. Dian berdiri di ambang pintu, sweater kebesarannya sedikit tergelincir di satu bahu, memperlihatkan kulit putih mulusnya. Rambutnya yang sedikit basah, mungkin karena baru mandi, tergerai longgar, beberapa helai menempel di leher, menambah aura segar yang bikin kamar kecil Rendi tiba-tiba terasa lebih sempit. “P-Pagi, Tan. Ehm, duduk dulu,” katanya tergagap, menunjuk kursi kayu di dekat meja, berusaha nggak kelihatan grogi meski wajahnya mulai memerah.
Dian melangkah masuk, pintu dibiarkan sedikit terbuka supaya Bu Sari nggak curiga. Dia meletakkan tas kecilnya di lantai, lalu, dengan gerakan santai tapi bikin jantungan, dia menarik sweaternya ke atas kepala untuk melepasnya. “Panas banget, ya, Ren, di Jakarta ini,” katanya, terkekeh kecil, suaranya lembut tapi penuh godaan. Sweater itu terlepas, memperlihatkan tank top pink tipis yang dia pakai di dalam, begitu ketat sampai memperlihatkan lekuk payudaranya yang montok. Bra hitam di baliknya menerawang jelas, garis rendanya samar-samar terlihat, dan puting coklat mudanya sedikit mencuat, mengingatkan Rendi pada syuting kemarin. Payudaranya bergoyang lembut saat dia menarik sweater, gerakan alami tapi cukup untuk bikin Rendi salah fokus, matanya buru-buru melirik ke laptop yang masih mati.
Aroma tubuh Dian langsung memenuhi kamar, campuran sabun mandi yang segar dan parfum floral khasnya yang selalu bikin Rendi pening. Bau itu seperti menyapu udara, menggantikan sisa aroma roti dan teh di meja, dan bikin Rendi merasa seperti lagi di apartemen Dian, bukan di kamarnya sendiri. Dia menelan ludah, tangannya mencengkeram tepi meja, berusaha tetep tenang meski dadanya berdebar. “Ehm, Tan, editannya... udah tiga klip selesai. Mau lihat sekarang?” tanyanya, suaranya serak, berusaha ganti topik biar nggak kelihatan grogi. Dian cuma tersenyum, melangkah mendekat ke meja, tank top pink-nya bergoyang sedikit dengan setiap langkah, membuat Rendi buru-buru menyalakan laptop, berharap layar bisa jadi perisai dari pemandangan di depannya.
Dian menarik kursi kayu, duduk di sebelah Rendi, kakinya disilangkan santai, rok pendeknya naik sedikit memperlihatkan paha mulusnya. “Wah, cepet banget, Ren! Ayo, tunjukin dulu klipnya,” katanya, nadanya antusias, tapi matanya menatap Rendi dengan ekspresi yang bikin cowok itu nggak yakin apa Dian lagi main-main atau serius. Jarak mereka cuma beberapa senti, dan aroma parfumnya semakin kuat, bikin Rendi susah konsentrasi. Dia mengklik folder editan, tangannya gemetar sedikit, berusaha fokus ke layar meski bayangan tank top pink dan bra hitam itu terus mengganggu. “I-Ini, Tan, yang ‘dribble dada’ sama ‘loncat-loncat’,” katanya, pura-pura sibuk, meski pikirannya masih di pesan semalam dan goyangan payudara Dian yang sekarang cuma sejangkauan tangan.
Di luar kamar, suara Bu Sari terdengar dari dapur, “Dian, Rendi, kue lapisnya udah siap! Bentar ya, tehnya lagi diseduh!” teriaknya, suaranya ceria, nggak tahu kalau anaknya lagi berjuang buat tetep waras. Dian terkekeh, menoleh ke arah pintu. “Makasih, Sar! Kami di kamar dulu, ya!” balasnya, lalu kembali menatap Rendi, senyumnya sedikit nakal. “Kamu nggak apa-apa, kan, Ren? Muka kamu merah banget,” katanya, nadanya setengah bercanda, tapi ada tantangan di matanya, seolah tahu persis efek yang dia ciptain. Rendi menunduk, wajahnya panas, berusaha ketawa kecil. “N-Nggak apa-apa, Tan, cuma... ehm, panas aja,” bohongnya, buru-buru buka klip video di laptop, berharap Dian nggak nanya soal chat semalam atau notice kegugupannya yang makin jelas.
Video mulai diputar, menunjukkan Dian yang goyangkan dadanya di apartemen kemarin, tapi Rendi nggak bisa fokus ke layar. Tank top pink Dian, bra hitam yang menerawang, dan aroma tubuhnya yang memenuhi kamar bikin dia merasa seperti lagi syuting ulang, tapi kali ini tanpa kamera sebagai pelindung. Dia tahu ibunya bakal masuk sebentar lagi dengan kue dan teh, tapi kehadiran Dian di kamarnya, dengan pakaian yang bikin dia salah fokus, terasa seperti jebakan yang nggak bisa dia hindari. “Bagus, kan, Tan? Watermark-nya udah aku kasih,” katanya, suaranya serak, berusaha tetep profesional meski pikirannya penuh dengan bayangan payudara Dian yang bergoyang tadi saat sweater dilepas.
Rendi menahan napas, berdoa dalam hati supaya ibunya cepat masuk dan bikin situasi lebih aman. Tapi Dian cuma tersenyum, mencondongkan tubuh sedikit untuk lihat layar, membuat tank top-nya makin ketat dan payudaranya bergoyang pelan.
190Please respect copyright.PENANAr3RBalJNKE
--------------------------------
Rendi masih duduk di kursi meja kecilnya, laptop di depannya memutar klip video Tante Dian yang sudah diedit, tapi fokusnya buyar karena Dian yang sekarang duduk di kursi kayu hanya beberapa senti darinya. Tank top pink tipisnya memperlihatkan bra hitam yang menerawang, dan aroma parfum floralnya memenuhi kamar, bikin Rendi susah bernapas normal. Pukul 07:30 pagi, suara ibunya di dapur—mengaduk teh dan menata kue lapis—terdengar samar, tapi itu nggak cukup untuk menenangkan jantungan Rendi yang berdetak kencang. Dian, dengan senyum genit yang bikin dia grogi, tiba-tiba bangkit dari kursi dan pindah duduk di tepi kasur Rendi, tepat di depannya. “Bentar, ya, Ren, Tante kuncir rambut dulu, panas banget,” katanya, suaranya lembut, sambil meraih karet rambut dari pergelangan tangannya.
Dian mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk menguncir rambutnya yang masih sedikit basah, gerakan itu membuat tank top pink-nya terangkat sedikit, memperlihatkan perut mulusnya dan, yang bikin Rendi menelan ludah, ketiaknya yang putih bersih, halus seperti porselen, tanpa sehelai rambut pun. Cahaya pagi dari jendela jatuh tepat di kulitnya, bikin ketiak itu terlihat makin mencolok, dan Rendi, meski tahu itu salah, nggak bisa menahan diri untuk mencuri pandang. Matanya melirik sekilas, lalu buru-buru kembali ke layar laptop, tapi jantungannya berdetak lebih kencang. Dian, yang seolah punya radar untuk groginya, menurunkan tangan dan terkekeh kecil, matanya menatap Rendi dengan ekspresi nakal. “Kenapa, Ren? Suka, ya, sama ketiak Tante? Mau cium?” godanya, nadanya genit, sambil sedikit memiringkan tubuh, membuat ketiaknya masih terlihat dari sudut pandang Rendi.
Rendi langsung memalingkan muka, wajahnya memerah, kesal tapi juga malu karena ketahuan. “Apaan sih, Tante, nggak gitu!” katanya, suaranya serak, tangannya buru-buru mengklik-klik mouse padahal layar cuma menunjukkan folder kosong. Dia mencoba fokus ke laptop, tapi aroma parfum Dian dan bayangan ketiak mulus itu bikin pikirannya kacau. Dian cuma tertawa pelan, suaranya seperti lonceng kecil, lalu mencondongkan tubuh ke arah Rendi, membuat tank top-nya bergoyang dan payudaranya yang montok ikut bergerak. “Hihihi, bercanda, Ren. Kamu lucu banget kalau grogi,” katanya, tapi matanya masih penuh tantangan, seolah sengaja ngetes seberapa kuat Rendi bisa tahan.
Tiba-tiba, nada Dian berubah sedikit serius, meski senyumnya nggak hilang. Dia menyandarkan badan ke dinding di samping kasur, kakinya disilangkan, dan mulai ngomong dengan suara yang lebih tenang. “Ren, Tante ke sini hari ini bukan cuma buat lihat editan, loh. Apartemen Tante tadi malam kena gangguan listrik. Katanya tiang listrik di kompleks lagi dibenerin, jadi beberapa kamar, termasuk kamar Tante, mati total seharian. Nggak bisa syuting di sana,” katanya, tangannya main-main dengan ujung tank top-nya. Rendi mengerutkan kening, masih grogi tapi mulai dengar serius. “Jadi... Tante mau syuting di sini, di kamar kamu. Kamera kamu kan udah siap, dan kamar ini cukup buat konten simpel,” lanjut Dian, matanya berkilat, penuh rencana.
Rendi membelalak, jantungannya melonjak lagi. “S-Syuting? Di kamar aku, Tan? Tapi... Mama ada di dapur!” katanya, suaranya panik, membayangkan ibunya masuk bawa kue pas Dian lagi goyang-goyang seperti kemarin. Dian cuma tersenyum, bangun dari kasur, dan mulai menyesuaikan tank top-nya yang sedikit melintir di bahu. “Tenang, Ren, kita syuting pelan-pelan, nggak pake musik keras. Mama nggak bakal curiga,” katanya, jari-jarinya merapihkan tali tank top pink yang melintir, gerakan itu membuat payudaranya bergoyang lembut, bra hitamnya yang menerawang ikut bergeser sedikit. Dia lalu meraih tali bra hitam yang sedikit keluar dari tank top, menariknya dengan hati-hati supaya rapi, tapi gerakan itu justru bikin Rendi salah fokus lagi, matanya nggak sengaja melirik ke lekuk dadanya yang montok.
Dian menjelaskan rencananya dengan santai, seolah syuting di kamar keponakannya adalah hal biasa. “Tante mau bikin konten yang lebih... intim, Ren. Kayak Tante duduk di kasur, mungkin mainin rambut, senyum-senyum ke kamera, terus gerakin badan pelan-pelan, kasih tease gitu. Nggak pake loncat-loncat kayak kemarin, soalnya kasur kamu nggak muat,” katanya, terkekeh, sambil menyesuaikan tali bra-nya lagi, jari-jarinya menyentuh kulit bahu, membuat puting coklat mudanya yang samar di balik tank top makin mencolok. “Terus, Tante mau coba adegan ganti baju, tapi cuma sampe buka tank top, nggak full, biar penasaran. Kamu rekam dari sudut yang bagus, ya, kayak kemarin,” lanjutnya, nadanya penuh percaya diri, seolah nggak notice kegugupan Rendi yang makin jelas.
Rendi menelan ludah, wajahnya panas, nggak bisa bayangin kamarnya yang cuma tiga meter persegi jadi studio syur. “T-Tan, serius? Tapi... kalau Mama masuk gimana?” tanyanya, suaranya serak, tangannya mencengkeram tepi meja. Dian melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Rendi, aroma parfumnya semakin kuat, tank top-nya bergoyang pelan saat dia membungkuk sedikit untuk lihat layar laptop. “Mama nggak bakal masuk kalau kita bilang lagi bahas editan. Lagipula, Tante bisa akting biasa kalau Mama tiba-tiba masuk,” katanya, tersenyum nakal, lalu menyesuaikan tali tank top-nya sekali lagi, gerakan itu bikin payudaranya naik-turun, membuat Rendi buru-buru memalingkan muka, dadanya dagdigdug. Dia tahu syuting ini bakal lebih berbahaya dari kemarin, apalagi dengan ibunya di dapur dan pesan genit Dian yang masih nggak terjawab.
190Please respect copyright.PENANAUAHMex5YNY
TO BE CONTINUED190Please respect copyright.PENANANL4YWGZ5dY
--------------------------------
190Please respect copyright.PENANAlyyiweN4tN
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di
https://victie.com/app/author/82829
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
190Please respect copyright.PENANAROktpSZzM2