
Setelah makan siang dengan ayam goreng dan obrolan panjang tentang mimpi mereka, Tante Dian dan Rendi duduk kembali di sofa ruang tamu apartemen yang masih terasa hangat meski AC berdengung pelan. Cahaya sore menyelinap lewat jendela, menerangi tank top krem super tipis yang masih dipakai Dian, yang kini sedikit longgar setelah syuting penuh drama. Dian menyandarkan badan, rambutnya yang sedikit basah menempel di bahu, dan menatap Rendi dengan senyum hangat, berbeda dari godaan nakalnya tadi. “Ren, makasih banget buat hari ini, ya. Kamu hebat, loh, tetep fokus meski Tante agak... bandel,” katanya, terkekeh kecil, matanya berkilat penuh apresiasi. “Gimana, pengalaman pertama kerja sama Tante? Nggak terlalu kaget, kan?”
Rendi, yang sedang menyeka lensa kameranya dengan kain microfiber, tersenyum canggung, wajahnya memerah samar. “Ehm, makasih, Tan. Tadi... seru, sih, tapi jujur, agak deg-degan,” katanya, suaranya pelan, berusaha jujur tanpa terdengar aneh. Dia menunduk, teringat insiden tank top melorot dan goyangan payudara Dian yang bikin dia susah fokus. “Tapi Tante beneran jago, kayak udah biasa di depan kamera. Aku cuma berusaha ngikutin aja,” tambahnya, menggosok tengkuknya, berharap Dian nggak nanya lebih jauh soal apa yang bikin dia deg-degan.
Dian mencondongkan tubuh sedikit, tangannya memainkan ujung tank top-nya, tapi kali ini gerakannya lebih santai, seperti tante biasa, bukan bintang OnlyFans. “Bagus, Ren, Tante seneng dengernya. Kamu cepet belajar, loh. Nah, sekarang Tante butuh bantuan lagi,” katanya, nadanya serius tapi lembut. “Bisa nggak kamu edit video tadi malam ini? Tante mau cepet-cepet upload ke OnlyFans, biar kita lihat responnya. Nggak usah terlalu ribet, cukup potong bagian yang nggak perlu, kasih transisi simpel, terus pastiin goyangan Tante ketangkep jelas, hehe.” Dia mengedipkan mata, membuat Rendi tersenyum kecil meski jantungannya berdetak lagi mikirin tugas itu.
“Malam ini? Bisa, Tan,” jawab Rendi cepat, meski dalam hati dia tahu itu artinya dia bakal begadang sambil berhadapan lagi dengan rekaman yang bikin grogi. “Aku bawa pulang filenya, edit di laptop. Besok pagi udah selesai, deh,” tambahnya, berusaha terdengar yakin sambil memasukkan kamera ke tas. Dian mengangguk puas, bangun dari sofa, dan menepuk bahu Rendi sekilas. “Keren, Ren. Tante tunggu hasilnya, ya. Sekarang pulang dulu, istirahat. Besok kita planning konten berikutnya,” katanya, berjalan ke pintu untuk mengantar Rendi, senyumnya masih hangat tapi ada janji petualangan baru di matanya.
----------------------------
Rendi sudah bersiap meninggalkan apartemen Tante Dian, tas kameranya tergantung di bahu, pikirannya masih penuh dengan syuting tadi dan tugas edit video yang menanti malam ini. Dia berdiri di dekat pintu, mengangguk canggung saat Dian mengantarnya dengan senyum hangat, tank top krem tipisnya masih menempel di kulit, meski suasana sekarang lebih santai. Cahaya sore menerangi ruang tamu, membuat aroma parfum Dian yang floral terasa lebih lembut di udara. “Hati-hati di jalan, ya, Ren. Jangan lupa edit videonya,” kata Dian, tangannya memegang daun pintu, siap menutupnya setelah Rendi melangkah keluar.
Tiba-tiba, Dian menepuk dahinya pelan, matanya melebar seolah baru ingat sesuatu. “Eh, tunggu dulu, Ren!” serunya, buru-buru berbalik ke meja kecil di sudut ruangan untuk mengambil iPhone 15 Pro Max-nya, yang kilau titaniumnya mencuri perhatian. “Ini hasil endorse baju seksi Tante, loh,” katanya sambil terkekeh, jari-jarinya gesit membuka aplikasi perbankan. “Tante lupa kasih sesuatu. Nomor rekening kamu berapa? Tante belum bisa gaji bulanan, soalnya ini proyek baru, tapi buat syuting hari ini, Tante kasih bayaran per proyek dulu, ya.”
Rendi membeku, nggak nyangka bakal ada pembicaraan soal duit. “E-eh, Tan, bayar? Serius?” tanyanya, suaranya serak, wajahnya memerah samar. Dia menggosok tengkuknya, grogi, tapi Dian cuma mengangguk, senyumnya meyakinkan. “Iya, Ren, Tante nggak mau kamu kerja gratis. Ayo, nomor rekeningnya,” desaknya, jari-jarinya sudah siap mengetik. Rendi, masih kaget, akhirnya menyebutkan nomor rekeningnya pelan-pelan, berusaha pastiin nggak salah. Dian mengetik dengan cepat, lalu menekan tombol kirim, dan dalam hitungan detik, ponsel Rendi bergetar dengan notifikasi transfer masuk: Rp500.000.
Rendi menatap layar ponselnya, matanya membelalak. “Lima... lima ratus ribu, Tan?” gumamnya, suaranya penuh kaget, hampir nggak percaya. Itu angka besar baginya, cukup untuk beli software edit baru atau traktir ibunya makan enak. Dia menoleh ke Dian, yang sekarang berdiri dekat, senyumnya lembut tapi ada kebanggaan di matanya. “Nggak usah kaget, Ren. Anggap aja setengahnya bayaran, setengahnya uang jajan dari Tante buat keponakan Tante,” katanya, terkekeh kecil, lalu mengelus bahu Rendi sekilas, sentuhannya hangat dan penuh kasih sayang, meski bikin Rendi tambah salah tingkah. “Kamu kerja bagus hari ini, loh. Tante seneng.”
Rendi menunduk, wajahnya masih merah, tapi ada senyum kecil di bibirnya. “Makasih, Tante. Beneran... makasih banget,” katanya, suaranya pelan tapi tulus, tangannya mencengkeram tali tas lebih erat. Dian melambai, membuka pintu lebar-lebar. “Sama-sama, Ren. Pulang hati-hati, ya. Besok kabarin Tante kalau editannya udah selesai!” katanya, senyumnya masih cerah saat Rendi melangkah keluar. Dia menutup pintu dengan pelan, meninggalkan Rendi di koridor apartemen, ponselnya masih menunjukkan notifikasi transfer yang bikin dia nggak bisa berhenti tersenyum. Dengan langkah yang lebih ringan, dia menuju angkot, pikirannya bercampur antara kaget, bangga, dan semangat untuk edit video malam ini, tahu bahwa hari ini bukan cuma soal syuting, tapi juga awal dari sesuatu yang lebih besar.
---------------------------
Rendi melangkah masuk ke rumahnya di pinggiran Jakarta saat jarum jam menunjukkan pukul 17:30 sore, langit di luar sudah mulai gelap, dihiasi semburat oranye yang memudar. Suara kaset pengajian dari masjid terdekat terdengar sahut-sahutan, bercampur dengan adzan Magrib yang menggema lembut, menciptakan suasana tenang tapi penuh kehidupan khas kampung. Badannya terasa berat setelah seharian di apartemen Tante Dian—syuting penuh ketegangan, insiden tank top, dan obrolan tentang mimpi yang bikin pikirannya penuh. Tas kameranya yang tergantung di bahu terasa seperti beban tambahan, dan yang dia inginkan sekarang cuma ambruk di kasur, menutup mata, dan melupakan goyangan payudara Dian untuk beberapa jam. Aroma masakan ibunya, mungkin sayur kolplay atau telur balado, menyelinap dari dapur, membuat perutnya yang tadi cuma diisi ayam goreng GoFood kembali keroncongan.
Begitu membuka pintu, ibunya, Bu Sari, sudah menyambut di ruang tamu kecil, duduk di sofa dengan kain lap di tangan, wajahnya penuh perhatian seperti biasa. “Rendi, akhirnya pulang! Dari mana aja, kok lama? Capek, ya, Nak?” tanyanya bertubi-tubi, berdiri dan buru-buru mengambilkan segelas air dari meja. Matanya meneliti Rendi dari atas sampai bawah, seolah mencari tanda-tanda apa yang terjadi seharian. “Tadi Tante Dian bilang apa? Kerjaannya lancar? Ceritain dong ke Mama, Mama penasaran!” lanjutnya, suaranya ceria tapi penuh rasa ingin tahu, tangannya menepuk-nepuk sofa, mengajak Rendi duduk. Rendi cuma tersenyum lelet, meletakkan tasnya di lantai, dan ambruk di sofa, badannya terasa seperti habis lari marathon. “Capek, Ma. Tapi lancar, kok,” jawabnya pelan, berusaha nyari versi cerita yang aman untuk ibunya yang selalu khawatir.
Bu Sari nggak puas dengan jawaban singkat itu. Dia duduk di sebelah Rendi, tangannya memegang gelas air yang diberikan ke anaknya. “Lancar doang? Ceritain, dong, Ren. Tante Dian sehat? Dia ngapain aja? Mama kan kangen, udah lama nggak ketemu. Terus, katanya kalian bikin video? Video apa? Kayak YouTube, ya?” tanyanya, matanya berbinar, penuh harap anaknya akhirnya punya kerjaan yang jelas. Rendi meneguk air, otaknya berputar nyari jawaban yang nggak bakal bikin ibunya curiga. “Iya, Ma, Tante sehat, cantik kayak biasa. Kami bikin... ehm, video pendek, buat online. Tante gerak-gerak gitu, aku rekam, nanti aku edit malam ini,” katanya, suaranya serak, sengaja kabur soal detail goyangan dada dan tank top melorot. Dia menunduk, berharap Bu Sari nggak nanya lebih jauh, tapi dalam hati dia tahu, capek seharian ini nggak cuma fisik—pikiran dan hatinya juga penuh dengan campuran grogi, semangat, dan rasa bersalah karena nggak bisa jujur sepenuhnya. “Mandi dulu, ya, Ma, abis itu aku makan,” tambahnya, bangun dari sofa, berharap bisa kabur ke kamar dan tiduran sejenak sebelum mulai edit video yang pasti bakal bikin dia deg-degan lagi.
--------------------------------------
Rendi menyeret langkahnya ke kamar tidur setelah obrolan singkat dengan ibunya, tas kameranya diletakkan di sudut meja kecil yang penuh buku kuliah lama. Pukul 17:30 sore, langit di luar sudah gelap, dan suara pengajian dari masjid terdekat masih menggema samar, bercampur dengan aroma telur balado dari dapur yang bikin dia tahu ibunya sedang menyiapkan makan malam. Badannya capek, pikirannya penuh dengan bayangan Tante Dian—tank top krem tipis, goyangan payudaranya, dan insiden melorot yang bikin jantungannya nggak berhenti berdetak sepanjang hari. Dia memutuskan untuk mandi dulu, berharap air dingin bisa menenangkan tubuh dan pikirannya. Untungnya, kamar mandi kecil ada di dalam kamar tidurnya, jadi dia nggak perlu rebutan dengan ibunya atau adiknya yang kadang numpang mandi di rumah.
Di dalam kamar, Rendi menutup pintu dan mengunci, napasnya sedikit berat. Dia melepas kaus hitam dan celana jeansnya, berdiri telanjang sambil menatap pintu kamar mandi yang cuma beberapa langkah dari kasur. Tapi pikirannya nggak bisa lepas dari Tante Dian—senyumnya yang genit, kulit mulusnya, dan gerakan “dribble dada” yang bikin dia grogi seharian. Hasrat yang menggelitik sejak siang, yang dia coba tahan di depan Dian, sekarang terasa semakin kuat, membuatnya nggak fokus. Bukannya melangkah ke kamar mandi, matanya tertuju pada tas kameranya. Jantungannya berdetak lebih kencang saat dia mengambil DSLR-nya, menyalakan layar kecil, dan mencari file video syuting tadi. Ada perasaan bersalah, tapi juga rasa penasaran yang nggak bisa dia tolak.
Rendi duduk di tepi kasur, telanjang, kameranya di pangkuan, dan memutar salah satu take yang dia rekam tadi—yang Dian loncat-loncat, payudaranya bergoyang liar di balik tank top tipis. Video itu mulai dengan Dian tersenyum ke kamera, suaranya lembut, “Kalian suka Tante nakal, ya?” Rendi merasa badannya panas, kontolnya yang udah tegang sejak siang sekarang berdiri keras. Dia mengelusnya pelan dengan tangan kanan, jari-jarinya bergerak lembut di sepanjang batang, sambil matanya terpaku pada layar. Dian di video mulai melompat, payudaranya naik-turun, puting coklat mudanya mencuat jelas, dan Rendi membayangkan dirinya berdiri lebih dekat, bukan cuma di balik kamera, tapi cukup dekat untuk mencium aroma parfum floralnya. Fantasinya liar—dia membayangkan Dian sengaja mendekat, tank top-nya sengaja dilorotin, dan dia menatap Rendi dengan senyum yang cuma untuk dia.
Tangan Rendi bergerak lebih cepat sekarang, mengocok kontolnya dengan ritme yang mengikuti lompatan Dian di video. Dia membayangkan momen saat tank top Dian melorot tadi siang, tapi dalam fantasinya, Dian nggak buru-buru nutupin, malah membiarkan payudaranya terbuka, menggoyangkannya pelan sambil berbisik, “Ren, kamu suka, kan?” Kulitnya yang mulus, bola-bola besar yang elastis, dan puting yang mencuat bikin Rendi merasa seperti lagi tenggelam dalam mimpi terlarang. Dia membayangkan tangannya sendiri yang membenarkan tank top, tapi bukan untuk nutup, melainkan untuk menyentuh, merasakan kelembutan itu, dan Dian cuma terkekeh genit, nggak marah. Napasnya memburu, keringat tipis muncul di dahinya, dan dia merasa sedikit bangga—video ini, yang bakal dijual di OnlyFans, dia nikmati duluan, sebelum ribuan orang lain.
Video beralih ke take lain, yang Dian goyangkan dadanya pelan, tangannya menyentuh leher dan hampir ke dada, suaranya mendesah, “Mmm, kalian mau Tante lebih nakal, nggak?” Rendi mengocok lebih kencang, tangannya licin karena keringat, dan fantasinya makin jauh. Dia bayangin Dian di kamar ini, duduk di kasurnya, tank top-nya udah nggak ada, dan dia menggoyang payudaranya cuma untuk Rendi, matanya menatap lurus, penuh godaan. Dia membayangkan aroma parfumnya memenuhi kamar, tangan Dian menyentuh bahunya seperti tadi siang, tapi kali ini lebih lama, lebih intim. Kontolnya berdenyut, dan dia merasa puncaknya dekat, pikirannya penuh dengan bayangan Dian yang berbisik namanya, “Ren, jangan berhenti...”
Di layar, Dian berhenti bergerak, tersenyum ke kamera, dan bilang, “Suka, ya?” Rendi membayangkan itu ditujukan padanya, dan dalam fantasinya, dia nggak cuma kameraman—dia yang disentuh, yang diajak main dalam permainan nakal Dian. Dia membayangkan dirinya berani, nggak grogi, menyentuh payudara Dian yang montok, merasakan beratnya, dan Dian cuma mendesah pelan, nggak menolak. Tangannya mengocok dengan cepat sekarang, napasnya tersengal, dan dia merasa ada kebanggaan kecil—dia yang rekam video ini, dia yang pegang rahasia Dian sebelum dunia lihat. Dia menutup mata sejenak, bayangan Dian masih jelas, dan saat puncaknya tiba, dia menggigit bibir supaya nggak bersuara, tubuhnya gemetar, dan cairan hangat membasahi tangannya.
-------------------------------
Rendi terduduk di tepi kasur, napasnya masih tersengal setelah puncak kenikmatan yang baru saja dia rasakan. Tubuhnya lemas, tangan kanannya basah dan lengket dengan cairan hangat, sementara kamera di pangkuannya masih menunjukkan layar hitam setelah dia buru-buru mematikan video Tante Dian. Kamarnya yang kecil terasa pengap meski kipas angin berputar kencang, dan aroma sabun dari baju yang belum sempat dia cuci bercampur dengan keringatnya sendiri. Dia melirik jam di dinding—pukul 19:15 malam. Rendi tersentak, nggak nyangka dia sudah menghabiskan lebih dari satu jam berfantasi sambil mengocok, tenggelam dalam bayangan Dian yang bergoyang dengan tank top tipis dan senyum genitnya. Rasa bersalah menyelinap, tapi sebelum dia sempat bangun untuk mandi, ponselnya berdering keras, memecah keheningan kamar.
Layar ponsel menunjukkan nama “Tante Dian,” dan jantungan Rendi langsung melonjak. Dia panik, tangan kirinya yang masih bersih buru-buru meraih ponsel, sementara tangan kanannya yang basah dan kotor dia usap-usap ke sprei, berharap nggak terlalu jelas kalau dia lagi gelagapan. “H-Halo, Tan?” katanya, suaranya serak dan tergagap, berusaha terdengar normal meski dadanya masih naik-turun. Di luar, suara pengajian dari masjid sudah diganti lagu-lagu qasidah, dan ibunya mungkin sedang di dapur, membuat Rendi sedikit lega karena nggak ada yang bisa dengar telepon ini. Dia menahan napas, berharap Dian nggak notice kegugupannya.
“Ren, apa kabar? Udah mulai edit videonya belum?” tanya Dian di ujung telepon, suaranya ceria dan penuh semangat, sama seperti saat syuting tadi siang. “Tante baru selesai mandi, nih, terus kepikiran soal video tadi. Jangan bikin terlalu pendek, ya, Ren, biar orang puas bayar di OnlyFans. Kasih durasi yang cukup, mungkin lima menit per klip, biar mereka ngerasa worth it,” lanjutnya, nadanya seperti sutradara yang lagi kasih arahan. Rendi mengangguk meski Dian nggak bisa lihat, tangan kirinya mencengkeram ponsel erat-erat, sementara tangan kanannya masih lengket, membuatnya merasa semakin salah tingkah. “I-Iya, Tan, aku catet. Lima menit, oke,” gumamnya, berusaha fokus meski pikirannya masih penuh bayangan Dian dari video tadi.
Dian nggak berhenti di situ. “Oh, satu lagi, Ren, jangan pake terlalu banyak filter, ya. Biar natural, orang suka yang kelihatan asli. Terus, pastiin ada watermark ‘DianPramesti’ di setiap klip, biar nggak gampang dicuri. Tante nggak mau karya kita disebar gratis di grup WhatsApp, hihihi,” katanya, terkekeh kecil, tapi ada nada serius di suaranya. Rendi menelan ludah, merasa seperti lagi ketahuan, padahal Dian cuma ngomong soal teknis. “Pasti, Tan, aku kasih watermark. Nggak pake filter banyak, tenang aja,” jawabnya, suaranya tergagap, tangan kanannya sekarang dia lap ke celana pendek yang tergeletak di kasur, berharap bisa bersihin sisa-sisa pejunya tanpa kelihatan panik. Dia membayangkan watermark itu di video yang baru dia tonton, dan ada rasa bangga kecil bahwa dia yang megang file aslinya duluan.
“Tante udah daftar akun OnlyFans, loh, Ren. Besok Tante rencana sebar link-nya lewat broadcast Instagram. Kan followernya Tante banyak cowok, pasti pada penasaran,” lanjut Dian, suaranya penuh percaya diri, seolah udah yakin konten mereka bakal laku keras. “Kamu bantu Tante promosi juga, ya, tapi jangan bilang-bilang ke Mama, hihihi. Kita rahasia dulu, oke?” tambahnya, nadanya genit tapi penuh kehangatan, seperti tante yang percaya penuh sama keponakannya. Rendi merasa wajahnya memerah lagi, nggak cuma karena obrolan, tapi karena dia masih telanjang, tangan kanannya kotor, dan pikirannya nggak bisa lepas dari fantasi tadi. “O-oke, Tan, rahasia. Aku bantu promosi, deh,” katanya, berusaha ketawa kecil biar nggak kedengeran canggung, meski dadanya sesak.
Telepon ditutup setelah Dian bilang, “Jangan begadang, ya, Ren. Tante tunggu kabar besok!” Rendi menurunkan ponsel, napasnya lega tapi badannya masih tegang. Dia melirik tangan kanannya yang masih lengket karena peju, lalu buru-buru bangun, melangkah ke kamar mandi dalam kamarnya dengan langkah cepat. Air dingin yang dia semprotkan ke tubuhnya terasa seperti tamparan, tapi nggak cukup untuk hapus bayangan Dian atau rasa bersalah yang bercampur dengan kebanggaan kecil tadi. Dia tahu dia harus mulai edit video malam ini, tapi setelah telepon itu, fokusnya makin buyar, apalagi dengan janji Dian soal broadcast Instagram yang bakal bikin video mereka dilihat ribuan cowok.
83Please respect copyright.PENANAylDz63t9fK
TO BE CONTINUED
ns18.218.5.91da2