
Rendi berdiri di ruang tamu apartemen Tante Dian, tangannya masih gemetar setelah keluar dari kamar Dian yang penuh aroma harum dan pemandangan bra serta celana dalam yang bikin pikirannya kacau. Dia mencoba fokus menyiapkan kamera, mengecek fokus dan pencahayaan, tapi jantungannya belum reda, apalagi setelah fantasi liar tadi dan reaksi tubuhnya yang bikin dia malu sendiri. Dia berharap bisa dapat sedikit waktu untuk menenangkan diri, tapi pintu kamar Dian terbuka, dan langkah tante-nya yang ringan terdengar mendekat.
“Ren, udah siap?” panggil Dian, suaranya ceria tapi ada nada menggoda yang bikin Rendi langsung waspada. Dia menoleh, dan hampir menjatuhkan kamera dari tangannya. Dian sudah ganti baju, tapi tank top baru yang dia pakai jauh lebih berani dari yang sebelumnya. Kainnya super tipis, hampir seperti jaring transparan, berwarna krem yang nyaris menyatu dengan kulitnya. Putingnya yang coklat muda, besar, dan menonjol terlihat begitu jelas di balik kain itu, mencuat dengan bangga, seolah sengaja memamerkan diri. Tank top itu dipadukan dengan celana pendek ketat yang memperlihatkan pinggul dan paha mulusnya, membuat Dian tampak seperti perwujudan fantasi yang hidup. Aroma sabun dan parfumnya masih menyeruak, menambah efek yang bikin Rendi susah bernapas.
Dian melangkah mendekat, berdiri di depan kamera dengan tangan di pinggul, senyumnya penuh percaya diri. “Ayo, Ren, kita bikin konten teasing pake tank top ini,” katanya, nadanya antusias tapi penuh perhitungan. Dia menggoyangkan bahunya sedikit, membuat payudaranya bergoyang lembut, dan putingnya yang mencuat itu seolah menari di balik kain tipis. “Tante bakal mainin gerakan pelan, kasih senyum genit, mungkin sedikit nyanyi atau ketawa ke kamera. Kamu rekam dari sudut yang bagus, ya, biar orang nggak bisa berhenti nonton.”
Rendi menelan ludah, wajahnya memerah. Dia cuma bisa mengangguk, tangannya gemetar saat memegang kamera. “I-iya, Tan... aku... aku mulai,” gumamnya, suaranya serak, berusaha keras untuk terdengar profesional meski matanya nggak bisa nggak melirik ke tank top itu. Puting Dian, yang begitu jelas dan menggoda, bikin dia merasa seperti lagi ujian yang nggak mungkin dia lewatin dengan waras.
Dian berjalan ke tengah ruangan, berdiri di depan sofa yang sudah disiapkan sebagai latar. Dia menoleh ke Rendi, matanya berkilat. “Kamera jalan, ya, Ren. Tante mulai sekarang,” katanya, lalu mulai bergerak. Dia menarik ujung tank top-nya sedikit, seolah mau memamerkan lebih banyak kulit, tapi cuma sampai batas yang bikin penasaran. Tangannya menyentuh rambutnya yang masih sedikit basah, membiarkan helai-helainya jatuh di bahu, lalu dia tersenyum ke kamera, bibirnya sedikit merekah. “Hai, kalian... suka lihat Tante, nggak?” katanya dengan suara lembut, hampir mendesah, yang bikin bulu kuduk Rendi berdiri.
Rendi, yang berdiri di balik kamera, merasa badannya panas. Dia berusaha fokus ke layar kecil DSLR-nya, menyesuaikan sudut agar dapat gambar terbaik, tapi setiap gerakan Dian bikin dia susah konsentrasi. Payudaranya yang bergoyang pelan, putingnya yang mencuat di balik kain tipis, dan ekspresinya yang genit seolah bicara langsung ke dia, bukan cuma ke kamera. “Fokus, Ren, fokus,” gumamnya dalam hati, tapi tubuhnya nggak nurut—celananya terasa ketat lagi, dan dia cuma bisa berharap Dian nggak notice.
“Gimana, Ren? Bagus nggak?” tanya Dian tiba-tiba, menghentikan gerakannya dan menoleh ke Rendi dengan senyum nakal. Dia mencondongkan tubuh sedikit, membuat tank top itu makin ketat, dan putingnya seolah menantang Rendi untuk jawab jujur.
“B-bagus, Tan... beneran... seksi banget,” kata Rendi tergagap, nggak sengaja jujur karena otaknya sudah nggak bisa nyaring kata-kata. Dia buru-buru menunduk, pura-pura ngecek kamera, wajahnya membakar.
Dian tertawa pelan, suaranya lembut. “Bagus, Ren. Tante suka kejujuranmu. Ayo, kita lanjutin. Kali ini Tante coba gerakan yang lebih... dekat ke kamera, ya,” katanya, lalu kembali berpose, kali ini melangkah mendekati lensa, tangannya menyentuh lehernya sendiri, lalu turun pelan ke arah dada, berhenti tepat sebelum menyentuh tank top. “Kalian mau Tante lebih nakal, nggak?” katanya ke kamera, suaranya rendah, penuh godaan.
-----------------------
Dian, yang baru saja selesai berpose dengan gerakan menggoda—tangan menyentuh lehernya dan hampir menyapu dada—tiba-tiba berhenti. “Ren, coba Tante lihat hasilnya,” katanya, suaranya santai tapi masih ada nada lembut yang bikin bulu kuduk Rendi berdiri. Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah mendekati Rendi, tubuhnya bergerak dengan anggun, tank top itu bergoyang sedikit dengan setiap langkah. Aroma parfumnya yang floral langsung menyapu hidung Rendi lagi, membuat kepalanya makin pening.
Rendi mundur setengah langkah, tapi ruang tamu yang sempit nggak memberi banyak tempat untuk kabur. Dian berdiri tepat di sampingnya, lalu menunduk untuk melihat layar kamera yang masih menampilkan rekaman tadi. Saat dia membungkuk, tanpa sengaja, payudaranya yang besar dan montok, yang hampir tak tertutup oleh tank top tipis itu, gondal-gandul dan menggesek lengan Rendi. Gesekan itu lembut tapi terasa seperti listrik, membuat Rendi membeku. Putingnya yang mencuat, yang tadi cuma dia lihat dari jauh, sekarang terasa begitu dekat, dan kain tipis itu nggak menyisakan banyak ruang untuk imajinasi.
Rendi menahan napas, wajahnya memerah dalam sekejap. Dia nggak tahu harus ngapain, tapi refleks membuatnya berbicara, suaranya tergagap dan panik. “T-Tan, susunya, Tan... jangan gesek-gesek gini, dong,” katanya, nadanya separuh memohon, separuh malu, matanya buru-buru melirik ke lantai, berusaha nggak lihat Dian yang sekarang begitu dekat.
Dian langsung menegakkan tubuhnya, matanya melebar sejenak sebelum dia terkekeh, suaranya lembut tapi penuh godaan. “Ya Tuhan, Ren, maaf, maaf! Tante nggak sengaja,” katanya, tangannya menutup mulut seolah menahan tawa, tapi senyum nakalnya nggak bisa disembunyikan. Dia mundur selangkah, tapi posisinya masih cukup dekat, dan tank top itu masih memperlihatkan lekuk payudaranya yang bikin Rendi susah fokus. “Tapi, loh, grogi banget, sih? Kan kita lagi kerja bareng. Harus biasa dong sama Tante,” lanjutnya, nadanya bercanda tapi ada tantangan kecil di matanya.
Rendi menelan ludah, tangannya mencengkeram kamera lebih erat, berusaha nutupin kegugupannya. “I-iya, Tan, maaf... cuma... ehm, kaget aja,” gumamnya, suaranya serak, wajahnya masih panas. Dia buru-buru membalikkan badan, pura-pura ngecek layar kamera, meski matanya nggak bener-bener lihat apa-apa. Gesekan tadi masih terasa di lengannya, dan bayangan payudara Dian yang gondal-gandul itu nggak gampang hilang dari pikirannya.
Dian cuma tersenyum, nggak menekan lebih jauh. Dia melangkah kembali ke tengah ruangan, berdiri di depan sofa. “Oke, Ren, kita lanjutin, ya. Tante suka hasilnya tadi, tapi sekarang coba ambil dari sudut yang lebih dekat. Tante mau kasih gerakan yang lebih... intim,” katanya, suaranya rendah, penuh percaya diri.
-------------------------------
“Ayo, Ren, kita lanjut lagi,” kata Dian, suaranya ceria tapi penuh godaan, matanya berkilat saat menatap Rendi. Dia menggoyangkan bahunya sedikit, membuat payudaranya bergoyang pelan di balik tank top yang nyaris transparan itu, seperti menggoda kamera—dan Rendi—sebelum syuting beneran dimulai. “Sekarang kita bikin video Tante goyangin dada, dribble dada gitu. Kamu zoom ke belahan, ya, tangkep gerakan payudara Tante baik-baik. Ini pasti bakal ngejual banget!”
Rendi menelan ludah, merasa udara di ruangan tiba-tiba habis. “D-dribble dada, Tan?” gumamnya, suaranya serak, hampir nggak kedengeran. Dia berusaha bayangin apa maksud Dian, tapi kata-kata itu sendiri udah bikin kepalanya pening. Matanya nggak sengaja melirik ke tank top Dian, ke belahan dadanya yang terlihat jelas, dan puting yang mencuat seperti menantang.
Dian terkekeh, tangannya menyentuh pinggul, bikin tank top itu sedikit terangkat dan memperlihatkan garis perutnya yang mulus. “Iya, Ren, dribble! Kayak Tante mainin dada biar goyang-goyang, tapi elegan, loh, nggak murahan. Orang suka yang kayak gini, percaya deh,” katanya, nadanya penuh percaya diri. Dia melangkah lebih dekat ke spot syuting, berdiri tepat di depan latar sofa. “Kamu zoom ke sini,” lanjutnya, tangannya menunjuk area belahan dadanya, jari-jarinya hampir menyentuh kain tipis itu. “Pastikan gerakannya ketangkep jelas. Fokus, ya!”
Rendi mengangguk kaku, tangannya gemetar saat menyesuaikan lensa untuk zoom. “I-iya, Tan, aku coba,” jawabnya, berusaha terdengar profesional meski dadanya sesak. Dia menyalakan tombol rekam, matanya terpaku pada layar kamera, tapi pemandangan di depannya bikin susah buat tetep tenang.
Dian mulai bergerak. Dia menggoyangkan bahunya perlahan, membuat payudaranya yang besar dan montok bergerak naik-turun, seperti sedang “dribble” dengan ritme yang sengaja dibikin menggoda. Tank top tipis itu nggak bisa nutupin apa-apa—setiap goyangan bikin belahan dadanya makin jelas, dan putingnya yang mencuat ikut bergerak, menciptakan efek yang bikin Rendi nggak bisa kedip. Dian menambah aksi dengan sedikit memutar pinggul, tangannya sesekali menyentuh rambut atau leher, lalu tersenyum ke kamera dengan ekspresi genit. “Mmm, kalian suka lihat Tante main gini, ya?” katanya, suaranya rendah, hampir mendesah, bikin bulu kuduk Rendi berdiri.
Rendi merasa badannya panas, celananya terasa ketat lagi, dan dia cuma bisa berharap Dian nggak notice kegugupannya. Dia menyesuaikan zoom seperti yang diminta, fokus ke belahan dada Dian, menangkap setiap gerakan payudaranya yang bergoyang dengan lembut tapi penuh daya tarik. “Fokus, Ren, fokus,” gumamnya dalam hati, tapi itu nggak gampang sama sekali.
Tiba-tiba, Dian berhenti, menoleh ke Rendi dengan senyum nakal. “Gimana, Ren? Bagus nggak? Kamu masih kuat, kan?” tanyanya, nadanya setengah bercanda, tapi matanya seolah menyelidik, kayak tahu persis apa yang ada di pikiran Rendi. Dia menggoyangkan dadanya sekali lagi, pelan, seolah mau ngetes reaksi Rendi.
Rendi menunduk, wajahnya membakar. “B-bagus, Tan... beneran... pasti laku,” katanya tergagap, buru-buru pura-pura ngecek layar kamera. “Aku... aku masih kuat,” tambahnya, meski suaranya nggak meyakinkan, dan dia sendiri nggak yakin itu bener.
----------------------------------------------
Tank top Dian yang super tipis itu memperlihatkan belahan payudaranya yang montok dan puting coklat mudanya yang mencuat, membuat Rendi merasa seperti sedang bertahan di tengah badai. Setiap goyangan dada Dian, setiap senyum genit ke kamera, dan suara desahannya yang lembut bikin dia susah fokus, tapi dia berusaha mati-matian untuk tetep profesional, menjaga kamera tetap stabil meski badannya panas dan celananya terasa semakin ketat.
Dian terus bergerak, menggoyangkan bahunya dengan ritme yang sengaja dibikin menggoda, payudaranya naik-turun seperti menari di balik kain tipis itu. Tiba-tiba, karena gerakan yang sedikit lebih cepat, salah satu tali tank top-nya melorot, tergelincir dari bahunya yang mulus dan putih berkilau. Kain itu turun sedikit, hampir memperlihatkan lebih dari yang seharusnya, dan bahu Dian yang polos tanpa cela terpampang jelas, menambah efek yang bikin jantungan Rendi berdetak lebih kencang.
Rendi, tanpa pikir panjang, spontan bersuara, suaranya tergagap dan penuh malu. “T-Tan, talinya... talinya melorot tuh,” katanya, matanya buru-buru melirik ke lantai, berharap Dian nggak notice wajahnya yang memerah. Dia merasa nggak enak udah ngomong, tapi juga nggak bisa diam aja soal itu.
Dian berhenti bergerak, menoleh ke bahunya, dan terkekeh kecil saat melihat tali tank top-nya yang tergelincir. “Oh, ya Tuhan, beneran melorot,” katanya, suaranya santai tapi ada nada genit yang nggak hilang. Dia nggak buru-buru membenarkan talinya, malah menatap Rendi dengan senyum yang bikin cowok itu tambah salah tingkah. “Coba kamu yang benerin, ya, Ren. Tante kan lagi posisi buat syuting, tangan Tante sibuk,” lanjutnya, tangannya memang masih di pinggul, seolah sengaja bikin alasan.
Rendi membeku, mulutnya terbuka tapi nggak ada kata yang keluar. “A-aku, Tan?” tanyanya, suaranya serak, hampir nggak kedengeran. Dia berharap Dian cuma bercanda, tapi tatapan tante-nya serius, meski ada senyum nakal di bibirnya. Nggak ada jalan keluar—kamera masih menyala, dan Dian berdiri di depannya, menunggu.
Dengan langkah yang terasa berat, Rendi melangkah mendekati Dian, tangannya gemetar saat meninggalkan kamera. Dia sekarang berdiri begitu dekat, hanya beberapa inci dari tubuh Dian. Aroma parfum floralnya menyapu hidungnya, dan payudaranya yang montok, yang cuma ditutupi kain tipis itu, terasa seperti magnet yang nggak bisa dia abaikan. Putingnya yang mencuat masih jelas terlihat, dan bola-bola besar itu bergerak pelan, naik-turun seiring napas Dian, meski dia cuma berdiri diam. Kulitnya begitu mulus, elastis, hampir seperti nggak nyata, dan Rendi bisa lihat sedikit kilau keringat di bahunya yang bikin dia tambah grogi.
Rendi mengangkat tangan dengan hati-hati, jari-jarinya menyentuh tali tank top yang melorot itu. Dia berusaha nggak menyentuh kulit Dian, tapi itu mustahil—ujung jarinya sedikit menggesek bahunya yang lembut, dan sensasi itu bikin dadanya sesak. Dia menarik tali itu perlahan, membenarkannya kembali ke posisi semula, tapi gerakan itu bikin kain tank top sedikit bergeser, membuat payudara Dian bergoyang lembut, seperti patuh pada setiap sentuhan. Rendi merasa wajahnya membakar, jantungannya berdetak kencang, dan dia cuma bisa berharap Dian nggak dengar napasnya yang mulai nggak stabil.
Dian menatapnya sepanjang waktu, senyumnya nggak hilang, tapi dia nggak bilang apa-apa, cuma membiarkan Rendi selesaikan tugasnya. “Makasih, Ren,” katanya akhirnya, suaranya lembut, hampir seperti bisik, saat tali itu sudah kembali ke tempatnya. Dia melangkah mundur sedikit, tapi matanya masih menatap Rendi dengan ekspresi yang bikin cowok itu susah berpikir jernih. “Oke, kita lanjutin syutingnya, ya. Kamu balik ke kamera, tangkep goyangan Tante lagi, tapi sekarang lebih dekat.”
Rendi mengangguk kaku, buru-buru kembali ke posisinya di balik kamera, tangannya gemetar saat menyentuh lensa. “I-iya, Tan,” gumamnya, suaranya serak, berusaha fokus ke layar meski sensasi sentuhan bahu Dian dan pemandangan payudaranya yang bergerak tadi masih nempel di pikirannya. Dia menyalakan tombol rekam lagi, tapi dalam hati, dia tahu—momen tadi, begitu dekat dengan tubuh Tante Dian, bakal susah banget dilupain, apalagi dengan syuting yang masih jauh dari selesai.
---------------------------------
607Please respect copyright.PENANAAGkz8gmjmM
“Ayo, Ren, kita masuk ke scene lain,” kata Dian tiba-tiba, suaranya penuh antusiasme dengan sedikit nada genit yang bikin Rendi langsung waspada. Dia menggoyangkan bahunya sedikit, membuat payudaranya bergoyang pelan di balik kain tipis yang nyaris transparan, puting coklat mudanya masih mencuat jelas. “Sekarang Tante mau loncat-loncat, biar payudara Tante goyang kesana-kemari. Ini bakal bikin orang nggak bisa kedip, pasti laku keras!” lanjutnya, matanya berkilat, senyumnya penuh percaya diri. Dia melangkah ke tengah ruangan, berdiri di spot yang sudah diterangi cahaya lampu, tangannya di pinggul seperti bersiap untuk aksi besar.
Rendi menelan ludah, wajahnya memerah lagi. “L-loncat-loncat, Tan?” tanyanya, suaranya serak, berusaha memastikan dia nggak salah dengar. Pikirannya langsung membayangkan apa yang bakal terjadi—payudara Dian yang besar, yang udah bikin dia kewalahan cuma dengan gerakan kecil, sekarang bakal bergerak lebih liar. Tapi dia tahu nggak ada gunanya protes; Dian udah terlanjur semangat, dan dia cuma kameraman yang nggak punya alasan untuk nolak.
“Iya, Ren, loncat-loncat! Kayak cheerleader, tapi lebih... seksi,” kata Dian, terkekeh kecil, lalu mendemonstrasikan dengan melompat kecil sekali, membuat payudaranya naik-turun dengan gerakan yang bikin Rendi nggak bisa nggak melirik. “Kamu zoom ke dada Tante, ya, tangkep goyangannya baik-baik. Pastiin sudutnya bagus!” tambahnya, nadanya seperti sutradara yang tahu persis apa yang dia mau.
Rendi mengangguk kaku, tangannya gemetar saat menyesuaikan lensa untuk zoom ke area yang Dian minta. “O-oke, Tan, aku siap,” gumamnya, meski suaranya nggak meyakinkan. Dia menyalakan tombol rekam, menatap layar kamera, dan berusaha fokus, tapi dalam hati dia tahu ini bakal jadi ujian berikutnya yang nggak gampang.
Dian mulai beraksi. Dia melompat kecil-kecil terlebih dulu, tangannya di pinggul, membuat payudaranya bergoyang ke atas dan ke bawah dengan ritme yang terkontrol tapi tetep menggoda. Tank top tipis itu nggak bisa menahan apa-apa—setiap lompatan bikin payudaranya yang montok bergerak kesana-kemari, seperti bola-bola elastis yang menari bebas, dengan putingnya yang mencuat ikut bergetar, menciptakan efek yang bikin Rendi merasa udara di ruangan semakin tipis. Dian menambah aksi dengan sedikit memutar badan, membuat goyangan itu terlihat dari sudut samping, lalu tersenyum ke kamera, bibirnya merekah. “Mmm, kalian suka nggak lihat Tante gini?” katanya, suaranya rendah dan penuh godaan, seolah bicara langsung ke penonton.
Rendi menahan napas, jari-jarinya mencengkeram kamera erat-erat, berusaha menjaga lensa tetap stabil meski tangannya mulai berkeringat. Dia mengikuti instruksi Dian, memfokuskan kamera pada belahan dada dan gerakan payudaranya yang liar, menangkap setiap detail—kulit mulus yang berkilau, kain tipis yang nyaris transparan, dan goyangan yang bikin dia susah berpikir jernih. Badannya panas, celananya terasa ketat lagi, dan dia cuma bisa berdoa supaya Dian nggak nanya apa-apa yang bikin dia tambah grogi.
Dian melompat lebih tinggi sekarang, gerakannya lebih energik, membuat payudaranya bergoyang dengan lebih dramatis.
----------------
Tiba-tiba, di lompatan yang paling tinggi, kedua payudara Dian keluar dari tank top-nya. Kain tipis itu tergelincir ke bawah, memperlihatkan payudaranya yang besar, mulus, dan puting coklat mudanya yang mencuat, bergoyang bebas tanpa hambatan. Dian, entah karena terlalu asyik atau nggak merasa perubahan, nggak sadar sama sekali. Dia terus melompat, bahkan lebih tinggi, rambutnya ikut bergoyang, dan senyumnya tetap genit ke kamera, seolah semuanya masih sesuai rencana.
Rendi membeku sejenak, wajahnya memerah dalam sekejap. Dia nggak tahu harus ngapain—terus rekam, diam, atau kasih tahu? Tapi instingnya mengambil alih. “T-Tan, dadanya... dadanya keluar tuh, Tan!” serunya, suaranya serak dan panik, buru-buru memalingkan muka dari layar kamera untuk nggak melihat langsung. Dia tahu dia harus bertindak cepat, apalagi kamera masih menyala, dan dia nggak mau momen ini terekam tanpa sengaja.
Dengan langkah tergesa, Rendi mendekati Dian, tangannya masih gemetar dari kegugupan. “Bentar, Tan, berhenti dulu,” katanya, suaranya hampir nggak kedengeran, sambil buru-buru menutup lensa kamera dengan tangan satunya untuk memastikan nggak ada yang terekam. Dian akhirnya berhenti melompat, menoleh ke bawah, dan terkekeh kecil saat sadar tank top-nya udah nggak di tempat semestinya. “Ya Tuhan, Ren, serius? Hihihi, Tante nggak ngerasa!” katanya, suaranya santai, nggak ada tanda malu, malah ada nada bercanda.
Rendi, dengan wajah yang masih membakar, bergerak sigap. “A-aku benerin, Tan,” gumamnya, matanya sengaja diarahkan ke lantai, berusaha mati-matian untuk nggak melihat payudara Dian yang sekarang terbuka. Dengan tangan yang gemetar, dia meraih kedua tali tank top yang melorot, menariknya kembali ke atas bahu Dian dengan hati-hati, pastikan kain itu menutupi payudaranya lagi. Jari-jarinya sedikit menggesek kulit bahu Dian yang mulus, sensasi yang bikin dadanya sesak, tapi dia berusaha fokus pada tugasnya, nggak berani melirik sedikit pun. Payudara Dian, yang tadi bergoyang bebas, sekarang kembali tertutup, meski tank top itu tetap nggak bisa menyembunyikan lekuk dan putingnya yang mencuat.
Dian cuma tersenyum, menatap Rendi dengan ekspresi yang setengah kagum, setengah nakal. “Wah, Ren, cepet banget ngatasin krisis, ya. Makasih, loh,” katanya, nadanya lembut tapi ada godaan kecil di dalamnya. Dia menyesuaikan tank top-nya sendiri sekilas, memastikan semuanya kembali rapi, lalu melangkah mundur ke spot syuting. “Oke, kita ulang, ya, tapi mungkin Tante nggak loncat setinggi tadi, hehe. Kamu oke, Ren?”
Rendi mengangguk kaku, buru-buru kembali ke posisinya di balik kamera, wajahnya masih panas. “I-iya, Tan, aku oke,” jawabnya, suaranya serak, tangannya gemetar saat membuka lensa lagi dan menyalakan tombol rekam. Dia mencoba fokus ke layar, tapi momen tadi—payudara Dian yang keluar, kulitnya yang mulus saat dia membenarkan tali—nggak gampang hilang dari pikirannya.
------------------------
Setelah dua jam syuting yang terasa seperti maraton emosional bagi Rendi, dia akhirnya mematikan kamera dan menurunkan tripod dengan tangan yang lelet. Sesi tadi penuh dengan take demi take, dan setiap kali Tante Dian melompat atau menggoyangkan dadanya untuk konten “dribble dada” dan “loncat-loncat”, tank top krem super tipis itu seolah sengaja melorot. Berkali-kali payudaranya yang montok dan puting coklat mudanya yang mencuat terbuka, entah karena gerakan yang terlalu energik atau kain yang memang nggak dirancang untuk menahan. Setiap kali itu terjadi, Rendi, dengan wajah memerah dan suara tergagap, buru-buru memberi tahu Dian, dan dengan sigap membenarkan tali tank top-nya tanpa berani melihat langsung, meski aroma parfum Dian dan kulitnya yang mulus terus mengacaukannya. Dian sendiri cuma terkekeh setiap kali, seolah itu cuma kejadian kecil, dan langsung lanjut syuting dengan semangat yang nggak pernah pudar.
Sekarang, mereka duduk di sofa ruang tamu untuk istirahat, keringat tipis berkilau di dahi Dian, membuat tank top-nya yang masih dipakai semakin menempel di kulitnya. Rendi duduk di ujung sofa, menjaga jarak aman, tangannya memegang botol air mineral yang dia minum pelan-pelan, berusaha menenangkan jantungan yang belum reda. Dian, dengan santai menyandarkan badan ke sofa, kakinya disilangkan, masih memancarkan aura percaya diri meski baru saja selesai syuting yang begitu intens. Payudaranya, yang tadi jadi bintang utama, masih terlihat jelas di balik kain tipis itu, tapi Rendi berusaha mati-matian untuk nggak melirik, menatap botol airnya seolah itu benda paling menarik di dunia.
“Ren,” panggil Dian, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu, membuat Rendi langsung menegang. Dia menoleh ke arah Rendi, senyum kecil menghias bibirnya. “Kira-kira, video yang kita bikin tadi laku nggak, ya, di OnlyFans? Menurutmu, seksi nggak take yang kita ambil? Yang mana yang paling oke?”
Rendi menelan ludah, wajahnya memerah lagi. Pertanyaan itu bikin dia teringat setiap momen tadi—goyangan dada Dian, lompatan yang bikin payudaranya bergoyang liar, dan insiden-insiden tank top yang melorot. Dia tahu Dian lagi minta pendapat jujur, tapi otaknya susah nyari kata-kata yang aman. “Ehm... pasti laku, Tan,” katanya tergagap, suaranya serak. “Tadi... tadi semua take-nya seksi banget, apalagi yang... yang Tante loncat tinggi sama yang goyang pelan sambil senyum ke kamera. Itu... kayak, bener-bener bikin orang nggak bisa berhenti nonton.”
Dian tersenyum lebar, kelihatan puas dengan jawaban Rendi. “Hmmm, gitu, ya? Jadi yang loncat sama goyang pelan yang paling oke?” katanya, nadanya setengah menggoda, tangannya menyentuh rambutnya yang masih sedikit basah, membuat tank top itu bergoyang sedikit. “Tante juga suka yang loncat tadi, meski, hihihi, tank top-nya bandel banget, ya, Ren. Untung kamu cepet benerin, kalau nggak, kita harus ulang dari awal.”
Rendi memaksa senyum kecil, wajahnya masih panas. “I-iya, Tan, untung aja,” gumamnya, buru-buru meneguk air lagi untuk nutupin kegugupannya. Dia nggak mau ngaku, tapi setiap kali dia membenarkan tali tank top Dian, sentuhan kulitnya yang mulus dan pemandangan payudaranya yang hampir terbuka bikin dia susah tidur nanti malam.
Dian mencondongkan tubuh sedikit ke arah Rendi, matanya menatap dengan ekspresi yang setengah serius, setengah bercanda. “Jadi, kalau kamu yang subscribe, Ren, kamu bayar berapa buat video kayak gini?” tanyanya, terkekeh kecil, tapi ada rasa ingin tahu di suaranya. “Tapi serius, loh, Tante mau tahu apa ini cukup bagus buat OnlyFans.”
Rendi hampir tersedak airnya. “T-Tan, apaan sih,” katanya, suaranya serak, berusaha ketawa biar nggak kelihatan grogi. “Pasti laku, Tan. Tante kan... ehm, cantik banget, gerakannya juga... ya, kayak artis beneran. Orang pasti bayar mahal, apalagi yang take terakhir tadi, yang Tante... ehm, deket banget sama kamera.”
Dian tertawa pelan, tangannya menepuk lengan Rendi sekilas, membuat cowok itu makin salah tingkah. “Aduh, Ren, manis banget sih ngomongnya. Oke, Tante percaya sama penilaianmu.
--------------------------
Jam di dinding apartemen Tante Dian menunjukkan pukul 14:00, dan perut Rendi mulai keroncongan setelah dua jam syuting yang intens. Antara take demi take, insiden tank top melorot, dan fokus mati-matian untuk menjaga kamera stabil, dia dan Dian sama-sama lupa makan siang. Dian, yang sekarang duduk santai di sofa dengan tank top krem super tipis yang masih menempel di kulitnya, akhirnya menepuk dahinya. “Ya Tuhan, Ren, kita lupa makan! Tante kelaperan, nih,” katanya, terkekeh sambil meraih ponselnya. “Pesan apa, ya? Ayam goreng aja, cepet datengnya.”
Rendi mengangguk, meski pikirannya masih setengah di syuting tadi. “Iya, Tan, ayam goreng oke,” jawabnya, suaranya pelan, berusaha fokus ke sesuatu yang normal setelah pagi yang penuh drama. Dian buru-buru memesan lewat GoFood—dua porsi ayam goreng, nasi, dan lalapan—lalu meletakkan ponselnya, tersenyum ke Rendi. “Kamu ambil makanannya nanti, ya, Ren. Tante takut driver ojolnya bengong kalau Tante yang buka pintu,” katanya, menggoyangkan bahunya sedikit, membuat tank top itu bergoyang dan mengingatkan Rendi kenapa dia setuju tanpa protes.
“I-iya, Tan, biar aku,” gumam Rendi, wajahnya memerah. Dia bisa bayangin driver ojol tergoda kalau lihat Dian dengan penampilan begitu—tank top yang nyaris transparan, puting yang mencuat, dan senyum yang bikin orang lupa jalan pulang. Lebih aman dia yang turun, meski itu artinya dia harus ninggalin kamera dan sejenak lepas dari ketegangan.
Setelah 20 menit, notifikasi GoFood berbunyi, dan Rendi buru-buru turun ke lobi apartemen untuk ambil pesanan. Dia kembali dengan kantong plastik berisi kotak makanan, aroma ayam goreng langsung memenuhi ruang tamu. Dian sudah menyiapkan piring dan dua gelas air dingin di meja kecil, duduk bersila di sofa dengan santai. “Wah, cepet banget! Ayo, Ren, kita makan bareng,” katanya, matanya berbinar, seolah syuting tadi cuma rutinitas biasa.
Mereka duduk berhadapan di sofa, piring berisi nasi, ayam goreng, dan sambal di pangkuan masing-masing. Rendi mengunyah pelan, berusaha nggak melirik ke tank top Dian yang masih bikin dia grogi, sementara Dian makan dengan lahap, sesekali terkekeh kecil. “Tante nggak nyangka kita bakal sefokus ini, Ren. Dua jam nonstop, dan take-nya bagus-bagus, loh. Kamu hebat ngatur kameranya,” pujinya, mengedipkan mata.
Rendi tersenyum kecil, wajahnya masih agak merah. “Makasih, Tan. Tante juga... ehm, hebat banget tadi,” katanya, buru-buru menunduk ke piringnya, nggak mau ngaku kalau “hebat” di sini artinya bikin dia susah tidur nanti.
Dian menyesap air, lalu mencondongkan tubuh sedikit, matanya penuh semangat. “Ren, bayangin, ya, kalau konten kita tadi laku keras di OnlyFans. Kita bisa bikin lebih banyak, terus duitnya ngalir deras. Kamu punya mimpi nggak kalau kita sukses? Mau beli apa? Atau mau ngapain?”
Rendi berhenti mengunyah, kaget dengan pertanyaan itu. Dia nggak pernah bener-bener mikir sejauh itu, apalagi dengan proyek yang masih bikin dia bingung sendiri. “Ehm... aku nggak tahu, Tan,” katanya pelan, tangannya memainkan sendok. “Mungkin... beli laptop baru buat edit video, soalnya yang sekarang udah lemot banget. Terus... mungkin bantu Mama renovasi rumah, biar dapur nggak bocor lagi. Tante sendiri mau apa?”
Dian tersenyum lebar, matanya berbinar kayak anak kecil yang lagi mimpi besar. “Wah, Ren, kamu baik banget mikirin Mama. Tante suka itu,” katanya, lalu menyandarkan badan ke sofa, tangannya menyentuh dagu seolah berpikir keras. “Kalau Tante, ya... pertama, Tante mau beli apartemen baru, yang lebih gede, mungkin di pusat kota. Punya balkon besar, biar Tante bisa duduk minum kopi sambil lihat lampu-lampu Jakarta malam. Terus, Tante pengen liburan ke Eropa—Paris, mungkin, atau Italia. Jalan-jalan pake dress cantik, foto-foto di depan menara Eiffel, kayak di film!”
Rendi terkekeh kecil, nggak nyangka Dian punya mimpi yang begitu jelas. “Keren, Tan. Tante pasti kelihatan kayak artis Hollywood kalau ke Paris,” katanya, kali ini lebih santai, mulai terbawa suasana.
“Eh, beneran, loh! Tante udah bayangin pose-nya,” kata Dian, terkekeh, lalu melanjutkan dengan semangat. “Selain itu, Tante pengen bikin bisnis lain, mungkin buka kafe kecil, yang estetik gitu. Tante suka ngopi, kan, jadi bisa nyanyi-nyanyi di kafe sendiri, ngundang temen-temen artis lama. Oh, dan beli mobil, Ren! Bukan yang mewah banget, tapi yang lucu, kayak Mini Cooper merah. Cocok nggak sama Tante?”
Rendi mengangguk, tersenyum lebar. “Cocok banget, Tan. Tante naik Mini Cooper pasti bikin orang pada nengok,” katanya, mulai bisa ngobrol tanpa grogi. “Tapi Tante nggak takut capek, ya? Kafe, liburan, syuting... banyak banget.”
Dian mengedikkan bahu, tank top-nya bergoyang sedikit, tapi Rendi udah mulai bisa nggak terlalu panik. “Capek sih, Ren, tapi Tante nggak mau stuck. Dulu Tante terkenal, sekarang orang mungkin udah lupa, tapi OnlyFans ini... ini kayak panggung baru buat Tante. Kalau laku, Tante bisa bikin apa aja yang Tante mau. Kamu juga, loh, Ren. Kalau kita sukses, kamu bisa bikin studio sendiri, mungkin bikin film pendek, kan kamu suka ngedit?”
Rendi menatap piringnya, pikirannya melayang. Dia memang suka ngedit video, tapi selama ini cuma buat tugas kuliah atau proyek kecil-kecilan. “Iya, Tan, pengen sih bikin sesuatu yang keren, kayak film pendek atau dokumenter. Tapi ya... modalnya susah. Makanya aku ikut Tante, kan, biar bisa nabung,” katanya, suaranya pelan tapi ada sedikit harap.
Dian menepuk lengan Rendi, senyumnya hangat. “Nah, gitu dong! Kita kerja keras bareng, Ren. Kalau konten kita laku, kamu nggak cuma nabung, kamu bisa wujudin mimpimu. Tante juga, sih. Kita tim, kan?” katanya, mengedipkan mata, membuat Rendi tersenyum meski masih agak malu.
Mereka lanjut makan, ngobrol lebih santai sekarang. Dian cerita tentang kenangannya syuting FTV dulu, tentang sutradara yang galak dan fans yang antri buat foto. Rendi, yang mulai nyaman, cerita tentang masa kuliahnya, tentang temen-temennya yang sekarang udah pada kerja kantoran sementara dia masih nyari jalan. “Tapi kayaknya ikut Tante ini... aneh sih, Tan, tapi seru,” katanya, terkekeh kecil, bikin Dian ketawa lepas.
“Seru, kan? Tante bilang juga apa. Kita bikin sesuatu yang beda, Ren. Orang mungkin judge, tapi duit nggak bohong,” kata Dian, menyelesaikan ayam gorengnya dan menyesap air. “Besok kita coba konten ganti-ganti bra, ya. Tante udah siapin yang renda-renda. Kamu siap?”
Rendi mengangguk, meski dadanya langsung sesak lagi mikirin rencana besok. “Siap, Tan,” jawabnya, berusaha terdengar yakin, meski dalam hati dia tahu “siap” itu cuma setengah bener.
Makanan di piring mereka habis, dan Dian bangun untuk beresin meja, tank top-nya masih bikin Rendi buru-buru memalingkan muka. “Tante mandi dulu, Ren. Kamu beresin kamera, terus istirahat, ya. Hari ini kita udah hebat,” katanya, berjalan ke kamar dengan langkah ringan, meninggalkan aroma parfumnya yang samar.
Rendi duduk sendirian di sofa, menatap tripod dan kamera yang masih berdiri di sudut. Dua jam syuting tadi, penuh dengan goyangan, tank top melorot, dan momen-momen yang bikin dia nggak akan lupa, terasa seperti mimpi yang aneh. Tapi ngobrol sama Dian tadi, tentang mimpi dan rencana kalau konten ini laku, bikin dia merasa... mungkin ini nggak cuma soal duit. Mungkin, seperti kata Dian, ini panggung baru—buat tante-nya, dan mungkin juga buat dia.
Dia bangun, mulai membereskan kamera, pikirannya penuh dengan campuran grogi, semangat, dan pertanyaan tentang apa yang bakal datang besok. Tapi untuk sekarang, dia cuma ingin pulang, ceritain ke ibunya versi aman tentang hari ini, dan coba tidur tanpa bayangan Tante Dian yang terus muncul di kepalanya. Hari ini selesai, tapi Rendi tahu, perjalanan bareng Tante Dian baru aja dimulai—dan itu bakal jauh dari biasa.
607Please respect copyright.PENANAJQJwUsBrba
TO BE CONTINUED
607Please respect copyright.PENANAqbSnc4axVy
607Please respect copyright.PENANAlky7M0Cnta
607Please respect copyright.PENANAwAW7UUZSXp