
Pagi itu, sinar matahari baru saja menyelinap lewat jendela rumah sederhana Rendi. Dia bangun lebih awal dari biasanya, badannya terasa ringan tapi pikirannya berat karena tahu apa yang menantinya hari ini. Setelah mandi dan ganti baju—kaus hitam polos dan celana jeans yang paling rapi yang dia punya—Rendi berjalan ke dapur. Aroma nasi goreng dan telur ceplok sudah menguar, Bu Sari sibuk di depan kompor, nyanyi-nyanyi pelan seperti kebiasaannya.
“Pagi, Ma,” sapa Rendi, duduk di meja makan kecil yang sudah disiapkan dengan piring berisi sarapan.
Bu Sari menoleh, tersenyum lebar. “Pagi, Nak! Wah, rapi amat pagi-pagi. Mau ke Tante Dian, ya?” katanya, matanya berbinar sambil meletakkan segelas teh manis di depan Rendi. “Makan dulu, biar kuat. Hari pertama kerja sama Tante Dian, harus semangat, dong.”
Rendi mengangguk, menyendok nasi goreng pelan-pelan, meski perutnya terasa sedikit mulas karena gugup. “Iya, Ma. Udah janji ketemu jam 10,” jawabnya, berusaha terdengar santai. Dia nggak mau ibunya curiga, apalagi setelah obrolan kemarin yang bikin dia susah tidur.
Bu Sari duduk di seberangnya, tangannya memegang cangkir teh. “Mama seneng banget, Ren, kamu akhirnya punya kegiatan. Tante Dian pasti ngajarin kamu banyak, dia kan pinter soal kamera-kameraan gitu,” katanya, suaranya penuh harap. “Kalian bikin video apa, sih? Ceritain dong ke Mama, biar Mama bisa cerita ke tetangga kalau anak Mama udah kerja.”
Rendi hampir tersedak telur ceplok. Dia buru-buru meneguk teh, mencari alasan yang aman. “Ehm... pokoknya konten online, Ma. Kayak... video pendek gitu, buat internet,” katanya tergagap, menunduk supaya ibunya nggak lihat wajahnya yang mulai memerah. “Tante Dian yang atur semuanya, aku cuma bantu rekam sama edit.”
Bu Sari mengangguk, kelihatan puas. “Bagus, bagus. Tante Dian kan artis, pasti tahu apa yang bagus buat orang-orang suka. Kamu belajar bener, ya, Ren. Siapa tahu nanti bisa buka usaha sendiri, bikin studio gitu,” katanya, sudah mulai bermimpi besar. “Oh iya, bilang ke Tante Dian, Mama kangen. Suruh mampir sini kapan-kapan, biar Mama masakin soto kesukaannya.”
“Iya, Ma, nanti aku bilang,” kata Rendi, memaksa senyum. Dia cepat-cepat menghabiskan sarapan, nggak mau obrolan lanjut ke pertanyaan yang lebih susah dijawab. Dalam hati, dia merasa bersalah—ibunya begitu antusias, begitu bangga, tapi dia cuma bisa kasih jawaban setengah-setengah. Apa yang bisa dia bilang? Bahwa dia bakal bantu Tante Dian syuting konten yang... bukan soto atau vlog biasa?
Selesai makan, Rendi bangun, mengambil tas yang sudah berisi kamera DSLR bekasnya dan charger cadangan. “Aku berangkat dulu, Ma,” katanya, memakai sepatu di teras sambil berusaha nggak kelihatan buru-buru.
Bu Sari mengikuti sampai pintu, tangannya memegang daun pintu. “Hati-hati di jalan, Ren. Doa Mama menyertai, ya. Kerja yang rajin, jangan bikin Tante Dian kecewa,” katanya, suaranya penuh kehangatan. “Nanti pulang ceritain ke Mama gimana harinya, ya!”
“Iya, Ma. Makasih,” jawab Rendi, melangkah keluar dengan senyum kecil yang dipaksakan. Dia melambai sekilas sebelum berjalan ke halte angkot, tasnya terasa lebih berat dari biasanya. Di kepalanya, kata-kata ibunya masih bergema—semangat, harapan, dan kebanggaan yang bikin dadanya sesak. Dia tahu hari ini bakal jadi langkah besar, tapi ke arah mana, Rendi masih nggak yakin. Yang dia tahu, apartemen Tante Dian menanti, dan apa pun yang terjadi di sana, dia harus siap—atau setidaknya, pura-pura siap.
---------------------
Rendi sampai di depan pintu apartemen Tante Dian tepat pukul 09:45, sedikit lebih awal dari janji karena dia nggak mau terlambat di “hari pertama” ini. Jantungannya sudah berdegup kencang sejak di angkot, pikirannya penuh dengan bayangan tentang apa yang bakal terjadi. Dia menarik napas dalam-dalam, mengetuk pintu pelan, dan menunggu dengan tas kamera yang tergantung di bahunya.
Pintu terbuka, dan Rendi langsung disambut oleh wajah Tante Dian yang tersenyum lebar. “Ren! Tepat waktu, bagus!” katanya, suaranya ceria. Tapi Rendi hampir lupa bernapas begitu melihat penampilan tante-nya. Dian baru selesai mandi, rambut panjangnya masih basah dan sedang dikeringkan dengan handuk kecil yang dia pegang. Aroma sabun cair dan parfum floral yang lembut langsung menyapu hidung Rendi, harumnya semerbak memenuhi udara di ambang pintu.
Yang bikin Rendi benar-benar kaku adalah pakaian Dian—orang lebih tepatnya, kurangnya pakaian. Dia cuma pakai tank top putih super tipis, tanpa bra, dan karena badannya masih lembab usai mandi, kainnya menempel erat di kulitnya. Lekuk payudaranya terlihat jelas, hampir transparan, dengan putingnya samar-samar tersorot di balik kain basah itu. Tank top itu dipadukan dengan celana pendek longgar yang nyaris nggak menutupi apa-apa, memperlihatkan paha mulusnya yang berkilau karena sisa air. Rendi buru-buru memalingkan muka, wajahnya memerah, tapi pemandangan tadi sudah terlanjur membekas.
“Masuk, Ren, jangan bengong di pintu,” kata Dian sambil terkekeh, nggak kelihatan risih sama sekali. Dia melangkah ke dalam, gerakannya santai, handuk masih digosok-gosokkan ke rambutnya, membuat tank top-nya bergoyang sedikit setiap kali dia bergerak. “Maaf ya, Tante baru selesai mandi. Panas banget pagi ini, jadi kepengin seger dulu.”
Rendi mengangguk kaku, melangkah masuk dengan langkah hati-hati, seolah lantai bisa jeblos kapan saja. “I-iya, Tan, nggak apa-apa,” gumamnya, suaranya serak. Dia berusaha fokus ke tasnya, pura-pura sibuk ngecek kamera, tapi matanya nggak bisa nggak mencuri pandang ke arah Dian yang sekarang berdiri di dekat sofa, masih mengeringkan rambutnya. Aroma harum itu seolah mengisi seluruh ruangan, bikin Rendi makin susah konsentrasi.
Dian melempar handuk ke sisi sofa dan menoleh ke Rendi, senyumnya masih cerah. “Kamu udah sarapan, kan? Tante sih belum, cuma makan apel tadi. Nanti kita pesen apa gitu kalau laper,” katanya sambil berjalan ke meja kecil, mengambil ponselnya. Setiap langkahnya bikin tank top itu menempel lebih erat, dan Rendi buru-buru menunduk, jantungannya berdetak kencang.
“Udah, Tan. Tadi Mama buatin nasi goreng,” jawab Rendi cepat, berharap obrolan ringan ini bisa bikin suasana normal. Tapi dia tahu, dengan Tante Dian berdiri di depannya dalam kondisi begitu, normal adalah kata yang jauh dari kenyataan.
Dian mengangguk, matanya berkilat penuh semangat. “Oke, bagus. Jadi kita bisa langsung mulai. Aku udah siapin beberapa baju buat syuting, tapi mungkin kita coba yang simpel dulu. Kamu siapin kameranya, ya, Ren. Tante ke kamar dulu, ganti baju bentar,” katanya, lalu berjalan ke arah kamarnya, pinggulnya sedikit berayun tanpa sengaja—orang mungkin sengaja.
Rendi cuma bisa mengangguk, tangannya gemetar sedikit saat membuka tas untuk mengeluarkan kamera. Dia mencoba fokus ke lensa, ke tripod, ke apa pun yang bisa bikin pikirannya nggak lari ke pemandangan tadi. Tapi aroma harum Dian masih ada di udara, dan bayangan tank top basah itu nggak gampang diusir. Dia tahu syuting belum mulai, tapi entah kenapa, Rendi merasa hari ini bakal jauh lebih sulit dari yang dia prediksi.1197Please respect copyright.PENANAyfgnXGp0dT
------------------------
Rendi masih sibuk menyiapkan kamera di sudut ruang tamu apartemen Tante Dian, berusaha fokus pada tripod dan pengaturan lensa agar pikirannya nggak melayang ke pemandangan tadi. Aroma harum sabun Dian masih mengisi udara, dan suara AC yang pelan nggak cukup untuk meredam jantungan Rendi yang berdetak kencang. Dia baru saja menarik napas lega, berpikir Dian sudah ke kamar untuk ganti baju, saat suara tante-nya terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
“Ren,” panggil Dian, nadanya ringan tapi ada sentuhan genit yang bikin Rendi langsung waspada. Dia menoleh, dan hampir menjatuhkan kamera dari tangannya. Dian berdiri di ambang pintu kamar, masih mengenakan tank top putih super tipis yang sama, tanpa bra, dan karena badannya masih sedikit lembab, kain itu menempel erat, memperlihatkan setiap lekuk payudaranya. Putingnya yang coklat muda, besar, dan begitu jelas terlihat di balik kain tipis itu, terasa seperti magnet yang menarik mata Rendi—indah, menggoda, dan entah kenapa, serasi dengan paras cantik Dian yang selalu bikin orang susah berpaling.
“Tante sengaja nggak pake bra, loh, buat syuting nanti,” kata Dian sambil tersenyum nakal, matanya berkilat menatap reaksi Rendi. Dia melangkah mendekat, lalu dengan sengaja menggoyang-goyangkan badannya sedikit, membuat payudaranya bergoyang lembut di balik tank top. Gerakan itu pelan, hampir seperti tarian, tapi cukup untuk bikin Rendi merasa udara di ruangan tiba-tiba lenyap. “Gimana, Ren? Tante seksi nggak?”
Rendi membeku, wajahnya memerah dalam sekejap. Mulutnya terbuka, tapi nggak ada kata yang keluar. “T-Tan... ehm...” gumamnya, suaranya serak, matanya berusaha mencari tempat aman untuk menatap—lantai, dinding, kamera—tapi pemandangan di depannya terlalu mencolok untuk diabaikan. Puting Dian, kulitnya yang mulus, dan senyumnya yang seolah tahu persis efek yang dia ciptakan, bikin kepala Rendi pusing. Dia menelan ludah, tangannya mencengkeram tripod kamera seolah itu satu-satunya penutup.
Dian terkekeh, suaranya lembut tapi penuh percaya diri. “Aduh, Ren, jangan grogi gitu dong. Kita kan mau bikin konten yang bikin orang nggak bisa kedip. Tante cuma coba kasih gambaran,” katanya, lalu melangkah lebih dekat lagi, berdiri tepat di depan Rendi. Tank top itu masih menempel, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang nggak menyisakan banyak ruang untuk imajinasi. “Kamu suka, nggak? Jujur aja, ini penting buat referensi kita.”
Rendi merasa seperti diseret ke tepi jurang. “S-seksi, Tan,” katanya tergagap, suaranya hampir nggak kedengeran. “B-bagus... banget,” tambahnya, nggak tahu kenapa dia sampai bilang begitu, tapi otaknya kayak nggak bisa kerja normal. Dia buru-buru menunduk, pura-pura ngecek kamera, meski tangannya gemetar sedikit. “Ini... ini bakal laku, kayaknya,” gumamnya, berharap bisa mengalihkan topik.
Dian tersenyum lebar, kelihatan puas dengan reaksi Rendi. “Nah, gitu dong. Tante suka kejujuranmu, Ren,” katanya, lalu akhirnya mundur selangkah, memberi Rendi sedikit ruang untuk bernapas. “Oke, Tante ganti baju dulu, ya. Kita mulai syuting sebentar lagi. Kamu siapin semuanya, pastiin kameranya oke. Tante mau kasih yang terbaik hari ini!”
Dia berbalik, berjalan ke kamar dengan pinggulnya sedikit berayun, meninggalkan Rendi yang masih berdiri kaku di tempatnya. Aroma harumnya masih tertinggal, dan bayangan gerakan tadi—payudaranya, putingnya, senyumnya—nggak gampang hilang dari pikiran Rendi. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil menyiapkan kamera, tapi dalam hati, dia tahu: syuting ini belum mulai, tapi Tante Dian udah bikin dia kalah telak.
--------------------
Rendi masih berusaha menenangkan diri, berdiri di sudut ruang tamu apartemen Tante Dian sambil mengutak-atik kameranya, meski tangannya sedikit gemetar. Aroma harum sabun Dian masih memenuhi udara, dan pemandangan tank top tipis yang menempel di tubuhnya tadi terus bikin dia susah fokus. Dia tahu dia harus mulai, tapi sebelum tripod bener-bener siap, dia memberanikan diri untuk bertanya lagi, berharap bisa dapet gambaran yang lebih jelas—atau mungkin menunda apa yang bakal datang. “Tan... kita beneran mau bikin konten kayak apa, sih, hari ini?” tanyanya, suaranya pelan, separuh gugup, separuh penasaran.
Dian, yang masih berdiri dekat meja kecil dengan tank top putih super tipis itu, menoleh ke Rendi dengan senyum yang bikin jantungan. “Bagus kamu nanya, Ren. Tante suka kalau kamu antusias,” katanya, nadanya ceria tapi ada sedikit getar nakal di dalamnya. Dia melangkah mendekat, pinggulnya sedikit berayun, lalu bersandar ke meja dengan santai, tangannya menyentuh ujung tank top-nya. “Tante udah pikirin mateng-mateng. Kita mulai pelan, biar kamu juga nggak kaget. Tante kasih list dulu, ya.”
Tanpa menunggu reaksi Rendi, Dian mulai menjelaskan, suaranya lembut tapi penuh percaya diri, kayak lagi ngejelasin resep tapi dengan topik yang jauh dari biasa. “Pertama, kita bikin yang simpel aja. Kayak gini...” Dia memegang ujung tank top-nya dengan kedua tangan, lalu menariknya pelan-pelan ke bawah, memperlihatkan bahunya yang mulus dan sedikit bagian atas payudaranya. Kain itu melorot sampai batas yang bikin deg-degan, tapi masih nutupin bagian paling sensitif. “Tante pelorin tank top ini perlahan, mainin mata ke kamera, kasih senyum genit. Nggak telanjang, cuma tease, biar orang pengen lihat lebih. Ini buat konten gratisan, biar orang subscribe.”
Rendi menelan ludah, wajahnya langsung panas. Dia cuma bisa mengangguk kaku, matanya berusaha nggak terpaku pada tank top yang sekarang cuma bertahan di ujung bahu Dian. “O-oke, Tan... kayaknya... gitu bisa laku,” gumamnya, suaranya serak, tangannya mencengkeram tripod lebih erat.
Dian tersenyum, kelihatan puas, lalu lanjut. “Kedua, kita naik level sedikit. Konten ganti-ganti bra,” katanya, matanya berkilat. Dia mengangkat kedua tangannya, menutupi payudaranya dengan telapak tangan, jari-jarinya diposisikan tepat untuk nutupin putingnya—meski tank top-nya masih ada, gerakan itu bikin imajinasi Rendi lari liar. “Jadi, Tante ganti bra di depan kamera, dari yang polos ke yang renda, atau mungkin yang push-up, gitu. Tapi Tante tutup putingnya kayak gini, biar nggak kelihatan. Orang cuma bisa lihat bentuknya, nggak yang beneran telanjang. Ini buat subscriber biasa, harganya standar.”
Dia mendemonstrasikan dengan gerakan tangan yang pelan, seolah beneran lagi ganti bra, jari-jarinya menutupi area payudaranya dengan cekatan tapi tetep bikin Rendi nggak bisa tenang. “Gimana, Ren? Menarik, kan?” tanyanya, kepalanya dimiringkan sedikit, senyumnya seolah tahu efek yang dia ciptakan.
Rendi mengangguk lagi, meski kepalanya mulai pening. “I-iya, Tan... itu... itu juga bagus,” katanya, berusaha terdengar normal meski tenggorokannya kering. Dia buru-buru melirik ke kamera, pura-pura ngecek lensa, padahal cuma pengen kabur dari tatapan Dian.
Tapi Dian nggak berhenti. Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya turun jadi lebih pelan, hampir seperti rahasia. “Nah, yang ketiga, ini buat konten premium, Ren. Yang kita jual mahal, khusus buat yang bayar lebih.” Dia berhenti sejenak, memastikan Rendi dengar baik-baik. Lalu, dengan gerakan yang penuh perhitungan, dia menyelipkan jari-jarinya di bawah tank top, seolah sedang menyentuh putingnya. “Konten Tante mainin puting sendiri... memilin, narik pelan, sambil mendesah ke kamera. POV, dekat banget, biar penonton ngerasa Tante lagi... ehm, deket sama mereka.”
Dia mempraktekan dengan jari-jarinya yang bergerak pelan di bawah kain, seperti sedang memilin dan menarik sesuatu, sambil mengeluarkan desahan kecil—“Mmmh...” yang lembut tapi cukup untuk bikin bulu kuduk Rendi berdiri. “Kayak gini, Ren,” katanya, matanya menatap lurus ke Rendi, ekspresinya campuran genit dan serius. “Tante bakal bilang, ‘Kamu suka, ya?’ atau ‘Lihat Tante baik-baik...’ sambil mainin ekspresi. Ini yang bakal bikin orang bayar mahal.”
Rendi merasa udara di ruangan habis. Wajahnya membakar, matanya nggak tahu harus lihat ke mana—ke tangan Dian yang masih bergerak, ke wajahnya yang tersenyum, atau ke lantai biar aman. “T-Tan... itu... agak...” katanya tergagap, nggak bisa nyelesain kalimat. Otaknya blank, cuma bisa mikir betapa gila rencana ini dan betapa dia nggak siap sama sekali.
Dian akhirnya menurunkan tangannya, tank top-nya kembali normal, tapi bayangan gerakan tadi nggak gampang hilang. Dia tertawa pelan, suaranya lembut. “Tenang, Ren. Hari ini kita mulai dari yang pertama aja, kok. Tante nggak mau bikin kamu grogi banget,” katanya, lalu melangkah ke sofa dan duduk santai. “Sekarang siapin kameranya, ya. Tante ganti baju dulu, kita coba yang pelorin tank top tadi. Kamu siap, kan?”
Rendi mengangguk pelan, meski dadanya sesak. “Iya, Tan... aku siapin,” jawabnya, suaranya hampir nggak kedengeran. Dia berbalik ke kamera, tangannya gemetar saat ngecek fokus, tapi pikirannya penuh dengan penjelasan Dian—dan gerakan tangannya yang bikin jantungannya nggak berhenti ngebut. Syuting belum mulai, tapi Rendi tahu, hari ini bakal jadi ujian yang nggak gampang dilupain.
---------------------------
Rendi masih berusaha mencerna penjelasan Tante Dian yang baru saja membuatnya kewalahan, tangannya sibuk mengatur kamera meski pikirannya melayang ke mana-mana. Tripod sudah berdiri, lensa sudah dicek, tapi jantungannya belum berhenti berdetak kencang. Tank top tipis Dian, gerakan tangannya yang mendemonstrasikan konten, dan desahan kecil tadi masih terngiang di kepalanya. Dia berharap Dian segera ke kamar untuk ganti baju, supaya dia bisa dapat sedikit ruang untuk bernapas, tapi Dian justru belum selesai.
Dian masih duduk di sofa, kakinya disilangkan dengan santai, tank top putihnya yang super tipis itu tetap menempel di kulitnya yang masih sedikit lembab. Dia menatap Rendi dengan senyum yang penuh percaya diri, matanya berkilat seperti tahu persis efek yang dia ciptakan. Tiba-tiba, dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tangannya bermain-main dengan ujung tank top-nya, lalu bertanya dengan nada yang setengah bercanda, setengah serius. “Ren, kalau Tante bikin konten kayak yang tadi—yang pelorin tank top, ganti-ganti bra, atau yang premium itu—kira-kira, kamu sebagai cowok normal bakal nonton nggak, sih? Hehe.”
Dia terkekeh kecil, tapi ada rasa bangga di suaranya, seolah dia yakin dirinya adalah wanita paling seksi di dunia—dan, jujur saja, dengan wajah cantiknya yang masih memesona, kulit mulus, rambut panjang berkilau, dan tubuh yang seolah nggak menua, sulit untuk bilang dia salah. Dian memang punya aura yang bikin orang susah berpaling, dan dia tahu itu.
Rendi langsung tersedak udara, wajahnya memerah dalam sekejap. Pertanyaan itu seperti pukulan tak terduga, dan dia nggak tahu harus jawab apa. “T-Tan, apaan sih, nanya gitu,” gumamnya, suaranya serak, matanya buru-buru melirik ke kamera, pura-pura sibuk ngecek tombol yang sebenarnya nggak perlu dicek. Tapi Dian nggak melepaskannya begitu aja.
“Aduh, Ren, santai dong,” kata Dian, tertawa pelan, suaranya lembut tapi penuh godaan. “Tante cuma mau tahu. Kamu kan cowok, pasti tahu apa yang bikin orang-orang suka. Jujur aja, kalau Tante bikin konten kayak gitu, kamu tertarik nggak? Anggap aja ini riset pasar,” lanjutnya, kepalanya dimiringkan sedikit, senyumnya makin lebar. Dia menggoyangkan bahunya sedikit, membuat tank top itu bergoyang dan memperlihatkan lagi lekuk payudaranya yang bikin Rendi susah fokus.
Rendi menelan ludah, jantungannya berdetak kencang. Dia tahu Dian lagi main-main, tapi pertanyaan itu terasa kayak jebakan. Apa yang bisa dia bilang? Bahwa dia, meski canggung ngakuin, nggak mungkin nggak tergoda sama tante-nya yang memang cantik luar biasa? Atau pura-pura polos biar aman? Dia menunduk, tangannya mencengkeram tripod seolah itu penutup, lalu akhirnya buka suara, suaranya pelan dan tergagap. “Ehm... i-iya, Tan, pasti... pasti banyak yang nonton. Tante kan... cantik banget, kayak artis beneran. Konten gitu... ya, pasti laku.”
Dia nggak berani bilang langsung “aku bakal nonton”, tapi kata-katanya cukup jelas buat bikin Dian tersenyum puas. “Hmmm, gitu ya? Jadi Tante emang seksi di mata kamu, dong?” katanya, nadanya genit, tapi ada kehangatan di matanya, kayak tante yang bangga keponakannya jujur. Dia bangun dari sofa, gerakannya pelan dan penuh percaya diri, tank top-nya masih menempel di kulitnya, memperlihatkan siluet tubuhnya yang sempurna. “Oke, Ren, makasih buat masukannya. Tante tambah semangat, nih. Sekarang Tante ganti baju dulu, ya. Kamu siapin kameranya, kita mulai yang pelorin tank top tadi.”
Dian berjalan ke kamar, pinggulnya sedikit berayun, meninggalkan Rendi yang masih berdiri kaku di tempatnya. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi pertanyaan Dian tadi dan senyumnya yang penuh percaya diri terus berputar di kepalanya. Dia tahu Dian memang wanita yang luar biasa cantik—mungkin terlalu cantik untuk proyek kayak gini—tapi itu justru bikin Rendi makin bingung sama apa yang dia rasain. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, dia mulai nyalain kamera, berusaha fokus ke lensa, meski dalam hati dia tahu: hari ini, Tante Dian bakal bikin semuanya jauh lebih sulit dari yang dia kira.1197Please respect copyright.PENANAhJzUBJnkn4
---------------------------
Tank top tipis yang menempel di tubuh Dian, senyumnya yang penuh percaya diri, dan rencana konten tadi masih berputar di kepalanya. Dia berharap bisa dapat sedikit jeda untuk menenangkan diri, tapi Dian tiba-tiba melambai ke arahnya dari ambang pintu kamar. “Ren, sini bentar ke kamar Tante. Kita cek barang-barang buat syuting dulu,” katanya, suaranya santai tapi ada nada antusias yang bikin Rendi nggak bisa menolak.
Rendi menelan ludah, mengangguk pelan, dan mengikuti Dian dengan langkah hati-hati, kayak orang yang masuk ke wilayah asing. Ini pertama kalinya dia masuk ke kamar Tante Dian, dan begitu pintu terbuka, dia langsung disambut oleh aroma yang begitu khas—campuran parfum floral lembut dan sesuatu yang hangat, seperti aroma tubuh Dian sendiri yang dia cium tadi di ruang tamu. Kamarnya nggak terlalu besar, tapi rapi dan penuh sentuhan feminin: kasur dengan sprei putih bersih, meja rias kecil dengan cermin, dan beberapa lilin aromaterapi yang mungkin sumber wangi itu.
Matanya langsung tertarik ke kasur, tempat Dian sekarang duduk santai dengan kaki disilangkan. Di sisi kasur, ada beberapa bra dan celana dalam yang cuma berupa tali-tali tipis—merah, hitam, renda transparan—tergeletak begitu saja, seolah sengaja dipamerkan. Rendi tahu itu pasti buat syuting, tapi pemandangan itu bikin pikirannya lari ke mana-mana. Bra renda hitam dengan aksen bunga, celana dalam merah yang hampir nggak nutup apa-apa, dan satu set biru tua yang kelihatan super ketat. Dia nggak bisa nggak bayangin Dian pakai barang-barang itu, gonta-ganti di depan kamera, dan itu bikin dadanya sesak.
Dian menepuk kasur di sebelahnya, mengajak Rendi duduk, tapi Rendi memilih berdiri di dekat pintu, tangannya masih memegang tas kamera kayak perisai. “Ini yang Tante siapin buat konten ganti-ganti bra tadi,” kata Dian, mengambil bra renda merah dan memegangnya di depan dadanya, seolah ngebayangin bakal kayak apa. “Lucu, kan? Menurutmu yang mana yang paling cocok buat syuting pertama?”
Rendi cuma bisa mengangguk pelan, suaranya tersangkut di tenggorokan. Tapi pikirannya nggak bisa dikontrol. Dia membayangkan Dian berdiri di depan kamera, pelan-pelan melepas tank top-nya seperti yang dia demonstrasikan tadi, lalu mengenakan bra renda merah itu. Payudaranya yang besar, montok, dan mulus pasti bakal terlihat sempurna di balik renda tipis itu, mungkin sedikit tertekan biar kelihatan lebih penuh, dengan puting coklat mudanya samar-samar tersorot. Dia membayangkan Dian bergerak perlahan, tangannya menutupi puting seperti rencana konten ganti-ganti bra, tapi gerakannya genit, menggoda, bikin siapa pun yang nonton nggak bisa kedip. Lalu dia bayangin Dian beralih ke bra hitam, yang lebih ketat, yang bikin lekuk payudaranya makin jelas, mungkin sambil tersenyum ke kamera dan bilang sesuatu kayak, “Kamu suka yang ini, ya?” Fantasinya makin liar—Dian melepas bra sama sekali, cuma menutupi putingnya dengan jari, kulitnya yang putih berkilau di bawah lampu, dan ekspresinya yang bikin orang rela bayar berapa pun buat lihat lebih.
Rendi tersentak dari lamunannya saat Dian berbicara lagi, suaranya memecah keheningan. “Kita mulai sekarang, yuk, Ren,” katanya, berdiri dari kasur dengan gerakan yang bikin bra dan celana dalam di kasur bergoyang sedikit. Nada suaranya penuh semangat, tapi ada sentuhan lembut yang bikin Rendi merasa dia nggak cuma ngomong soal syuting. “Kamu udah siap, kan?”
Rendi membeku. Dia baru sadar badannya bereaksi—celananya terasa ketat, kontolnya berdiri keras, dan itu bikin dia panik. Dia buru-buru menunduk, berharap Dian nggak notice, dan mengangguk cepat. “I-iya, Tan... aku... aku siapin kamera dulu,” katanya tergagap, suaranya serak, buru-buru melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu, berusaha nutupin kegugupannya.
1197Please respect copyright.PENANA2hNOqohYmS
TO BE CONTINUED
1197Please respect copyright.PENANA0RVCcHlKUS
1197Please respect copyright.PENANAl5NJK7a2Ku