
Cerpen sumberbarokah sekarang bisa dibaca di karyakarsa.
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
-----------------------
Chapter 10: Setelah Muncrat
Rendi dan Tante Dian masih tengkurap berdampingan di kasur, siku mereka menyangga tubuh, hampir bersentuhan, sementara iPhone 15 Pro Max Dian tergeletak di antara mereka, layarnya baru saja memutar ulang video panas yang baru direkam. Pukul 08:45 pagi, kamar kecil Rendi terasa pengap, aroma parfum floral Dian bercampur sisa bau amis peju yang masih samar, dan suara ibunya di dapur—mencuci piring—bikin Rendi terus waspada, meski pintu terkunci. Sprei biru tua di bawah mereka kusut, dan Rendi, wajahnya masih merah karena momen tadi, merasa jantungannya berdetak kencang. Dia melirik Dian, yang santai menggulir iPhone, payudaranya bergoyang pelan di balik tank top pink yang sedikit miring. Rendi menelan ludah, gugup, tapi ada dorongan untuk jujur setelah semua yang terjadi. Dengan suara serak, dia akhirnya bilang, “Tan… aku… sebenernya suka diblowjob Tante tadi. Rasanya… enak banget, Tan.”
Dian, yang sedang asyik lihat thumbnail video, langsung menoleh, matanya membelalak, alisnya terangkat. “Beneran? Kamu suka?” tanyanya, suaranya campur kaget dan nggak percaya, iPhone-nya diturunkan ke kasur, tangannya menyentuh rambut yang masih sedikit basah. Dia mencondongkan tubuh, payudaranya bergoyang, menatap Rendi seperti baru nyadar sesuatu. Rendi, kaget dengan reaksi Dian, malah bingung—wajahnya memerah lebih dalam, nggak nyangka tante-nya bakal sekaget itu. “E-Eh, iya, Tan… emang enak… maksudku, serius,” katanya, tergagap, tangannya mencengkeram sprei, grogi karena jujuran tadi terasa terlalu blak-blakan. Dalam hati, dia panik, takut Dian salah paham atau malah ngejek, tapi dia juga lega akhirnya ngomong jujur.
Dian terkekeh kecil, suaranya lembut tapi ada nada kaget yang masih tersisa. “Ya Tuhan, Ren, Tante kira selama ini kamu cuma akting buat konten, loh!” katanya, tangannya menutup mulut, seolah nggak percaya , tapi matanya berkilat dengan godaan. Payudaranya bergoyang lagi saat dia mengubah posisi, sekarang setengah duduk, siku masih di kasur, tank top-nya naik sedikit memperlihatkan perut mulusnya. “Jadi… kamu bener-bener menikmati blowjob Tante tadi? Bukan cuma gara-gara Tante suruh buat OnlyFans?” lanjutnya, nadanya setengah bercanda, tapi ada rasa ingin tahu yang bikin Rendi tambah grogi. Dia nggak nyangka Dian berpikir semua itu cuma akting, padahal tiap sedotan dan kecupan tadi bikin dia melayang, nggak cuma buat kamera.
Rendi menunduk, wajahnya panas, jari-jarinya mainin ujung sprei, berusaha cari kata-kata. “I-Iya, Tan… aku… emang suka. Tadi… rasanya… ya Tuhan, enak banget,” katanya, suaranya pelan, hampir bisik, takut kedengeran ibunya meski pintu terkunci. Dia melirik Dian sekilas, lihat tante-nya tersenyum lebar, dan tiba-tiba merasa malu karena kejujuran itu bikin dia kayak cowok yang terlalu haus. “Tapi… aku tahu ini buat konten, Tan, aku nggak maksud apa-apa,” tambahnya buru-buru, berusaha nutupin groginya, meski dalam hati dia masih nger asa nikmat tadi adalah momen paling gila yang pernah dia rasain, dan dia pengen Dian tahu itu bukan cuma akting.
Dian menggeleng, tertawa pelan, tangannya tiba-tiba menyentuh bahu Rendi, jari-jarinya lembut bikin cowok itu melompat kecil. “Ren, kamu lucu banget, sih. Tante nggak nyangka kamu bener-bener menikmati. Kirain kamu cuma pura-pura biar Tante seneng,” katanya, suaranya hangat, tapi ada nada genit yang bikin Rendi nggak bisa tenang. Dia mencondongkan wajah, jarak mereka cuma beberapa senti, aroma parfumnya menyapu hidung Rendi, dan payudaranya yang menonjol di balik tank top bikin dia susah nggak melirik. “Tapi… seneng, deh, dengar kamu suka. Berarti Tante nggak sia-sia, hehe,” lanjutnya, mengedipkan mata, bikin Rendi nggak tahu harus senyum atau sembunyi di bawah kasur.
Rendi cuma bisa tersenyum kaku, “T-Tan, emang… Tante jago banget, sih,” katanya, jujur lagi tanpa sadar, bikin wajahnya tambah merah. Dalam hati, dia nggak nyangka Dian nggak sadar kalau dia menikmati blowjob tadi dengan sepenuh hati, bukan cuma buat konten. Dia mikirin sedotan ganas Dian, bunyi “slurp” yang berisik, dan pejunya yang membanjiri wajah tante-nya, bikin dia bangga sekaligus cemburu mikirin cowok lain yang mungkin pernah ngerasain hal sama. “Tapi… jangan bilang-bilang ke siapa-siapa, ya, Tan, aku malu,” pintanya, suaranya serak, melirik pintu, takut ibunya tiba-tiba masuk dan dengar obrolan ini. Dian cuma terkekeh, “Tenang, Ren, ini rahasia kita,” katanya, jari-jarinya mainin rambut Rendi sekilas, bikin dia merinding.
Dian kembali tengkurap, mengambil iPhone-nya, dan memutar video itu lagi, kali ini dengan volume lebih pelan. “Lihat, Ren, muka Tante di sini seksi, kan? Peju kamu bikin Tante kayak abis spa, hihi,” godanya, menunjuk layar yang menampilkan wajahnya yang basah oleh sperma Rendi. Rendi menelan ludah, wajahnya panas, nggak bisa nggak setuju—Dian tetep cantik meski wajahnya penuh peju, dan itu bikin dia bangga, meski malu. “I-Iya, Tan… seksi banget,” gumamnya, berusaha ikut bercanda, tapi suaranya tergagap, bikin Dian tertawa lebih keras. Bunyi desahan Rendi dari video, “Tan… telan lagi…,” terdengar lagi, dan dia buru-buru bilang, “Itu… nanti aku mute, Tan, serius,” berharap Dian nggak ngejek desahannya yang kedengeran putus asa.
703Please respect copyright.PENANAA0IEr3qurL
------------------------------
Sprei biru tua kusut di bawah mereka, dan Rendi, wajahnya masih merah karena kejujuran soal nikmatnya blowjob tadi, merasa jantungannya berdetak kencang. Pikirannya kembali ke pesan genit Dian semalam tentang “nikmatin tubuh Tante,” dan dorongan untuk nanya lagi muncul, meski grogi. Dengan suara serak, dia akhirnya berani, “Tan… kalau… kalau konten kita laku keras di OnlyFans, beneran aku… ehm, bisa menikmati tubuh Tante lagi?”
Dian, yang sedang mainin ujung rambutnya, menoleh cepat, matanya membelalak sekilas sebelum merekah dengan senyum nakal. “Hihihi, Ren, kamu nggak malu, ya, nanya gitu?” katanya, suaranya genit, tangannya menyentuh lengan Rendi pelan, bikin cowok itu merinding. Payudaranya bergoyang di balik tank top pink saat dia mencondongkan tubuh, wajahnya sekarang cuma beberapa senti dari Rendi. “Ya bisa, dong, menikmati. Kalau konten kita laku keras, kamu bebas ngapain aja sama Tante,” lanjutnya, nadanya penuh godaan, matanya berkilat, seolah menantang Rendi untuk nanya lebih jauh. Rendi menelan ludah, wajahnya panas, nggak nyangka Dian bakal jawab sefrontal itu, apalagi dengan janji yang bikin dadanya berdebar.
Tiba-tiba, Dian mendekatkan wajahnya lebih rapat, dan tanpa aba-aba, bibirnya mendarat di bibir Rendi, ciuman lembut tapi penuh keberanian, bibirnya hangat dan terasa manis, bikin Rendi membeku. Ciuman itu cuma sebentar, tapi cukup untuk bikin Rendi kaget, matanya membelalak, napasnya tersendat. “Serius, Tan?” tanyanya, suaranya serak, hampir nggak percaya, tangannya mencengkeram sprei, grogi tapi juga bahagia banget. Dian terkekeh kecil, menarik wajahnya sedikit, tapi tetap dekat, aroma parfumnya menyapu hidung Rendi. “Serius, Rendi sayang,” katanya, suaranya lembut, penuh rayuan, tangannya mengusap pipi Rendi pelan, bikin hati cowok itu berbunga-bunga, seperti dapat hadiah yang nggak pernah dia bayangin.
Rendi nggak bisa nahan senyum, wajahnya masih merah, dadanya penuh kupu-kupu, nggak nyangka Dian, tante cantiknya, beneran kasih lampu hijau buat “menikmati” tubuhnya, apalagi dengan ciuman yang bikin bibirnya masih kesemutan. “Tan… aku… ya Tuhan, beneran, ya?” katanya lagi, tergagap, berusaha pastiin, takut ini cuma bercanda. Dian cuma tersenyum, mengangguk, “Beneran, Ren. Kalau konten kita laku, Tante kasih kamu bonus spesial, bebas mau apa,” katanya, mengedipkan mata, payudaranya bergoyang saat dia mengubah posisi, sekarang setengah duduk, tank top-nya naik sedikit memperlihatkan perut mulusnya. Rendi nggak bisa ngomong apa-apa, cuma mengangguk, hati berbunga-bunga, bayangin apa yang bisa dia lakuin kalau video tadi beneran sukses di OnlyFans.
Ciuman tadi masih terasa di bibir Rendi, bikin dia susah fokus, pikirannya melayang ke fantasi yang lebih liar—tangan Dian yang tadi mengocok kontolnya, payudaranya yang gondal-gandul, dan sekarang janji “bebas ngapain aja.” Tapi suara piring dari dapur bikin dia sadar situasi ini riskan, dan dia melirik pintu, takut ibunya tiba-tiba ketuk. “Tan… kalau Mama tahu… kita mati,” gumamnya, suaranya pelan, campur cemas dan excited. Dian cuma terkekeh, “Tenang, Ren, Tante jago bohong. Mama nggak bakal curiga,” katanya, nadanya santai, tangannya mainin rambut Rendi lagi, bikin cowok itu merinding, hati masih penuh bunga meski cemas nggak hilang.
“Ren, kita harus bikin konten lebih banyak, biar cepet laku. Nanti Tante kasih lebih dari ciuman,” kata Dian, suaranya penuh rencana, lalu bangkit dari kasur, tank top-nya menegang, memperlihatkan lekuk payudaranya yang bikin Rendi menelan ludah lagi. “Aku… ehm, mau ke kamar mandi dulu, Tan,” katanya, buru-buru cari alasan buat kabur sebentar, dadanya masih penuh kupu-kupu, nggak sanggup nahan godaan Dian yang sekarang duduk di tepi kasur, kakinya disilangkan, rambutnya digerai seksi. Dian mengangguk, “Cepet balik, ya, kita rencanain syuting berikutnya,” katanya, senyumnya nakal, bikin Rendi tahu hari ini bakal makin gila. Dia bangkit, kakinya lelet, melirik iPhone yang menyimpan video panas mereka, hati berbunga-bunga tapi juga takut, tahu janji Dian bikin dia terjebak lebih dalam.
Kamar kecil itu terasa seperti dunia rahasia, sprei kusut, aroma parfum, dan ciuman tadi bikin Rendi nggak bisa lepas dari momen ini. Dia berjalan ke pintu, tangannya gemetar membuka kunci, tapi sebelum keluar, dia melirik Dian lagi, yang sekarang mainin iPhone-nya, tersenyum sendiri. “Tan… makasih, ya,” gumamnya, suaranya pelan, nggak tahu kenapa dia bilang gitu, tapi hati yang berbunga-bunga bikin dia pengen ngomong sesuatu. Dian menoleh, mengedipkan mata, “Sama-sama, Rendi sayang,” katanya, nadanya manja, bikin Rendi tersenyum malu.
703Please respect copyright.PENANASAZD9hmWJv
---------------------------
Ciuman di bibirnya masih terasa, bikin dia berani ngomong apa yang ada di pikirannya. Dengan suara serak, dia melirik Dian dan bilang, “Tan… aku suka, loh, kalau Tante manggil aku Rendi sayang.” Dia menunduk, grogi, tangannya mainin ujung sprei, takut Dian ngejek, tapi hati berbunga-bunga dari panggilan itu.
Dian menoleh cepat, matanya membelalak, lalu merekah dengan senyum nakal yang khas. “Ooh, Rendi sayang suka dipanggil gitu?” katanya, suaranya genit, mencondongkan tubuh sampai bahu mereka bersentuhan, payudaranya bergoyang pelan di balik tank top pink. Dia terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya, mencium rambut Rendi dengan lembut, “Rendi sayang…,” bisiknya, lalu mencium lagi, “Rendi sayang…” Aroma rambut Dian yang sedikit basah menyapu hidung Rendi, bikin dia merinding, wajahnya memerah lebih dalam. Dian nggak berhenti, mencium pipi Rendi, “cup,” lalu keningnya, “cup,” setiap kecupan disertai panggilan, “Rendi sayang, lucu banget, sih,” katanya, nadanya setengah bercanda, tapi bikin hati Rendi makin berbunga-bunga.
Rendi tergagap, “T-Tan… jangan kebanyakan, aku malu…” gumamnya, tapi senyumnya nggak bisa bohong, dia bahagia banget diperlakukan begitu. Dian cuma tertawa, suaranya seperti lonceng kecil, lalu tiba-tiba memeluk Rendi, tangannya melingkar di pundak cowok itu, setengah bercanda. “Aduh, Rendi sayang, Tante kan cuma sayang sama keponakan!” katanya, nadanya genit, menarik Rendi ke pelukannya, bikin mereka jatuh ke kasur, badan Dian sedikit menindih. Payudaranya yang menonjol di balik tank top terasa lembut di dada Rendi, bikin dia menelan ludah, grogi tapi nggak mau pelukan itu selesai. Aroma parfumnya makin kuat, dan kecupan tadi masih terasa di pipi dan keningnya.
Dian, yang nganggep ini cuma main-main, tiba-tiba menggelitik pinggang Rendi, bikin cowok itu ngeloyor, “Haha, Tan, jangan… geli!” serunya, suaranya pecah, berusaha kabur dari gelitikan. Mereka berguling-guling di kasur, tawa Dian bercampur seruan Rendi, sprei makin kusut, dan kamar kecil itu dipenuhi suara canda mereka. Rendi, meski kelihatan protes, dalam hati bahagia betulan—pelukan Dian, panggilan “Rendi sayang,” dan main guling-guling ini bikin dia ngerasa spesial, kayak bukan cuma keponakan, tapi seseorang yang Dian sayang beneran. Dia nggak peduli sprei berantakan atau ibunya mungkin dengar tawa mereka, yang penting Dian di sampingnya, ketawa bareng.
Guling-gulingan itu berhenti saat Dian, dengan lincah, berakhir di posisi atas, duduk mengangkangi pinggul Rendi seperti woman on top, tangannya menahan diri di kasur, rambutnya tergerai jatuh ke wajah. Payudaranya bergoyang di balik tank top, lekuknya jelas, dan posisi ini bikin Rendi menahan napas, wajahnya panas, dadanya dagdigdug. Dian, masih dengan senyum bercanda, nggak sadar posisinya bikin Rendi grogi banget, cuma bilang, “Hihihi, Tante menang, ya, Rendi sayang?” nadanya penuh kemenangan, seolah guling-gulingan tadi cuma permainan biasa. Rendi cuma bisa mengangguk, “I-Iya, Tan… Tante curang,” katanya, berusaha bercanda balik, meski kontolnya mulai bereaksi lagi di balik celana, bikin dia buru-buru alihin pikiran.
Dian, masih di atas, menyesuaikan posisi, pinggulnya bergoyang pelan tanpa sengaja, bikin Rendi makin panik, takut Dian notice reaksi tubuhnya. “Rendi sayang, mau lanjut syuting lagi?” tanya Dian tiba-tiba, suaranya santai, matanya berkilat, seolah guling-gulingan tadi cuma pemanasan. Rendi menelan ludah, wajahnya masih merah, tapi nggak mau kelewat kesempatan. “Iya, Tan, aku siap,” katanya, suaranya serak, berusaha kedengeran antusias meski dadanya penuh kupu-kupu. Posisi Dian di atas, panggilan “Rendi sayang” yang berulang, dan kecupan tadi bikin dia bahagia betulan, nggak peduli ini cuma bercanda buat Dian—baginya, ini momen yang bikin dia ngerasa lebih deket sama tante cantiknya.
Dian terkekeh, turun dari posisi woman on top, duduk di tepi kasur, tank top-nya sedikit naik, memperlihatkan perut mulusnya. “Oke, Rendi sayang, kita siapin kamera lagi, ya,” katanya, nadanya penuh rencana, lalu bangkit, payudaranya bergoyang, berjalan ke meja belajar ambil kamera DSLR Rendi. Rendi duduk di kasur, napasnya masih nggak stabil, pikirannya penuh dengan pelukan tadi, guling-gulingan, dan posisi Dian di atasnya yang bikin dia nggak bisa tenang. “Tan… konten apa lagi?” tanyanya, berusaha fokus, meski senyum bahagia nggak bisa ilang dari wajahnya. Dian menoleh, senyum nakal, “Tease lagi, Ren, mungkin Tante buka tank top sedikit, kasih penonton penasaran,” katanya, bikin Rendi menelan ludah lagi, tahu syuting bakal makin panas.
Kamar kecil itu terasa seperti panggung rahasia, sprei kusut, aroma parfum, dan tawa mereka tadi bikin suasana nggak bisa lepas dari keintiman. Rendi melirik pintu, takut ibunya dengar tawa atau masuk tiba-tiba, tapi janji Dian dan panggilan “Rendi sayang” bikin dia nggak peduli risiko sebentar. “Tan… jangan lupa kunci pintu, ya,” pintanya, suaranya pelan, berdiri buat bantu siapin kamera. Dian terkekeh, “Udah, Ren, aman kok,” katanya, lalu kembali ke kasur, iPhone-nya di tangan, seolah siap rencanain konten berikutnya. Rendi mengangguk, tangannya gemetar nyalain kamera, hati masih berbunga-bunga, mikirin kecupan, pelukan, dan guling-gulingan yang bikin dia ngerasa Dian lebih dari tante.
“Rendi sayang, kamu bener-bener bikin Tante semangat bikin konten, loh,” kata Dian, duduk di kasur, kakinya disilangkan, tank top-nya menegang, bikin Rendi susah nggak melirik. Dia tersenyum, “Aku juga semangat, Tan, apalagi kalau Tante manggil gitu,” katanya, jujur lagi, bikin Dian tertawa keras, “Hihihi, nakal, ya, Rendi sayang!” godanya, lalu menepuk pundak Rendi. Tawa mereka bikin kamar terasa hidup, meski Rendi tahu situasi ini riskan. Dia bayangin konten berikutnya—Dian yang buka tank top, mungkin mainin payudara lagi—dan itu bikin dadanya dagdigdug, tapi bahagia karena Dian, yang nganggep ini canda, bikin dia ngerasa spesial beneran. Kamera siap, dan Rendi tahu, meski ini buat OnlyFans, momen bareng Dian sekarang adalah miliknya.
Rendi menghela napas, berusaha fokus ke kamera, tapi pelukan tadi dan panggilan “Rendi sayang” masih bikin dia melayang. “Tan, mulai dari mana?” tanyanya, suaranya serak, lensa DSLR diarahkan ke Dian yang sekarang duduk bersila, senyumnya penuh godaan. “Dari Tante mainin rambut dulu, Ren, terus pelan-pelan buka tank top, kasih tease,” katanya, mulai mainin rambutnya, gerakan yang bikin payudaranya bergoyang pelan. Rendi mengangguk, “Oke, Tan, aku rekam,” katanya, jari-jarinya menekan tombol rekam, hati masih penuh bunga, nggak peduli ibunya di dapur atau risiko ketahuan. Dia tahu syuting ini bakal bikin dia grogi lagi, tapi panggilan “Rendi sayang” dan guling-gulingan tadi bikin dia siap ngadepin apa aja, asal bareng Dian.
703Please respect copyright.PENANAxGk6YtKSlV
TO BE CONTINUED
703Please respect copyright.PENANAfTH6cgIYjD