
Riska meringis saat bangkit dari duduknya. Pinggangnya kembali nyeri. Sudah berbulan-bulan rasanya begitu—kadang hilang, tapi seringkali datang di saat yang tidak tepat. Ia mengelus bagian bawah punggungnya, berharap sakit itu mereda.
"Ibu… Ris sakit pinggang lagi," keluh Riska sambil menghampiri ibunya yang sedang menyapu teras.
Ibunya melirik sekilas. “Masih juga, Ris? Dari kapan sakitnya kumat lagi?”
“Dari sebelum mudik kemarin, Bu. Sekarang malah makin nyut-nyutan. Kayak uratnya kejepit gitu.”
Ibunya berhenti menyapu. “Kalau gitu coba terapi sama tukang pijet langganan Ibu aja. Namanya Pram. Dia sering bantu orang yang sarafnya kejepit.”
Riska mengerutkan kening. “Laki-laki, Bu?”
“Iya,” jawab ibunya santai.
Riska langsung geleng-geleng. “Ris nggak enak, Bu. Malu, dipijat-pijat cowok…”
Ibunya tertawa kecil, lalu meletakkan sapu. “Ya ampun, Ris. Bukan dipijat sembarangan. Dia profesional. Kalau nggak percaya, Ibu aja udah sering kok…”
Riska kaget. “Ibu sering??”
“Lah iya. Pram tuh mijetnya enak banget. Badan langsung enteng. Kadang Ibu sampai ketiduran.”2538Please respect copyright.PENANAICvIi0taaZ
(Ibu menyembunyikan senyum nakalnya.)
Riska menggigit bibir, masih ragu. Tapi melihat ibunya yang tampak yakin dan mendesak terus, ia pun akhirnya mengangguk setuju..
Beberapa jam kemudian...
“Assalamualaikum,” suara pria dari luar pagar terdengar.
Ibu menyahut, “Masuk aja, Mas Pram! Udah kutungguin.”
Riska langsung panik dan berdiri kaku. Ia mengenakan daster panjang berwarna biru muda, rambutnya diikat asal. Tak siap bertemu pria asing.
Dari pintu muncul sosok tinggi dengan tas selempang besar. Pram, pria berumur sekitar 30-an, berkulit sawo matang, berjenggot tipis, dengan senyum ramah. Matanya tajam, namun menenangkan.
“Ini Riska ya?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. “Saya Pram. Kata Ibu, Mbak lagi sakit pinggang.”
Riska menunduk malu, lalu menjabat tangannya singkat. “Iya, Mas. Tapi… cuma pegel biasa kok.”
Ibu menepuk bahu Riska. “Udah, Ris. Biar Mas Pram aja yang nilai. Kamu rebahan aja di kasur. Biar dia cek bagian yang pegal.”
Riska berjalan menuju kamar, pelan-pelan dengan perasaan campur aduk.
2538Please respect copyright.PENANATx6sMRmqg4
---
Di dalam kamar
Riska rebahan tengkurap di atas kasur, jantungnya berdetak kencang. Pram duduk di sebelahnya, membuka botol minyak pijat.
“Saya mulai ya, Mbak. Santai aja. Kalau sakit bilang,” ucap Pram tenang.
Minyak hangat menyentuh kulit pinggangnya. Sentuhan pertama membuat tubuh Riska refleks mengencang.
Pram mulai menekan dengan lembut, gerakan tangannya terampil dan terarah. Ia tidak menyentuh bagian sembarangan, hanya fokus di pinggang dan punggung bawah. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam gerakan itu yang membuat Riska menggigit bibir.
“Uratnya ketarik di bagian bawah sini,” ujar Pram sambil menekan titik tertentu. “Ini tanda saraf kejepit ringan.”
“Ahh… iya, di situ,” desah Riska, tak sengaja.
“Relaks, Mbak. Tarikan napasnya diatur,” bisik Pram sambil tetap memijat perlahan.
Riska mencoba fokus, tapi matanya mulai setengah terpejam. Ia merasa hangat di seluruh tubuhnya. Setiap sentuhan tangan Pram seperti mengalirkan sesuatu—bukan cuma meredakan sakit, tapi juga menggoda sesuatu yang selama ini terkunci di tubuhnya.
Pram memperlambat gerakan, mengusap pinggang Riska dengan gerakan memutar. “Bagian sini sensitif ya?” tanyanya sambil menatap Riska dari sisi kepala.
“Mm… iya…” jawab Riska lirih. Napasnya makin berat.
Tiba-tiba, Pram menekan satu titik di antara tulang pinggul dan pinggang.
Tubuh Riska tersentak pelan.
“Uhhnn…!” desahnya, spontan.
Pram tersenyum samar. “Itu titik kunci, Mbak. Biasanya kalau terangsang, refleksnya kuat.”
Riska langsung menoleh cepat, wajahnya merah padam. “T-terangsang?”
“Tenang, itu wajar. Kadang tubuh kita bereaksi gitu pas pijet titik tertentu. Banyak yang ngalamin,” kata Pram santai.
Riska tak menjawab. Ia kembali tengkurap, tapi kali ini dadanya naik-turun cepat. Tubuhnya memanas, dadanya mulai mengeras, dan dasternya mulai basah oleh keringat. Tapi bukan keringat biasa.
Pov Riska:
"Aku tak tahu apa yang terjadi. Sentuhan itu… begitu berbeda. Bukan seperti pijatan biasa. Ada listrik yang mengalir dari ujung kulitku, menyebar ke seluruh tubuh. Tangannya… panas. Hangat. Tapi juga… menggoda.
Saat dia menekan titik itu… oh Tuhan. Aku nyaris berteriak. Tapi aku tahan. Malu. Tapi nikmat itu… susah dijelaskan. Pinggangku seperti meleleh. Dan rasa itu merambat ke tempat yang tak seharusnya…
Aku malu. Tapi aku ingin dia terus. Tangannya, gerakannya, nadanya—semua membuat tubuhku tunduk. Aku ingin lebih. Tapi aku hanya bisa berdiam, berpura-pura masih terapi biasa… padahal dalam hati, aku hampir kehilangan kendali."
Setelah terapi selesai...
Pram keluar dari kamar sambil membawa tasnya. Ia tersenyum sopan ke arah ibu Riska.2538Please respect copyright.PENANAPuVEgYBlgK
“Sudah, Bu. Besok-besok kalau masih kerasa pegal, bisa saya bantu lagi.”
Ibu Riska mengangguk senang. “Wah, makasih banyak ya, Mas Pram. Nanti saya kabari lagi.”
Setelah Pram pamit dan pergi, Riska keluar dari kamar dengan wajah merah, rambut sedikit berantakan. Ia berjalan pelan ke arah ibunya yang sedang duduk di ruang tamu.
“Gimana rasanya?” tanya ibunya sambil menyimpan senyum samar.
Riska menunduk. “Lumayan enakan, sih… tapi…”
“Tapi kenapa?” desak ibunya.
Riska menelan ludah, lalu menggeleng pelan. “Gak tahu, Bu… tadi pas dipijat… rasanya beda. Aneh. Tapi enak...”
Ibu hanya tersenyum lebar, seolah tahu sesuatu yang tidak Riska tahu.
“Yah… mungkin kamu cocok,” katanya ringan, lalu berdiri. “Nanti kalau masih sakit, bilang aja. Ibu bisa panggilin Pram lagi. Biar ibu sekalian mau pijat”
“Bukan cuma sakit saja yang bisa dipijat, lo Riss...” kata ibunya spontan membuat Riska Heran
“ maksudnya bu ??? ”
Bersambung….
ns3.131.93.117da2