Gagal Bertiga
Malam itu langit Jakarta mendung, tapi hawa di dalam kamar hotel kelas menengah itu justru makin panas. Di atas ranjang, Silvi duduk bersandar dengan jantung berdegup kencang. Ia hanya mengenakan dress tipis tanpa dalaman. Di sampingnya, suaminya — Doni — tersenyum penuh antusias. Dan di hadapan mereka, seorang pria muda berbadan tegap baru saja menanggalkan bajunya, memperlihatkan dada bidang dan tatapan penuh birahi.
Ini bukan kejadian tanpa rencana. Doni dan Silvi sudah lama membicarakan fantasi liar mereka. Threesome. Sesuatu yang selama ini hanya jadi bahan obrolan nakal sebelum bercinta. Tapi malam itu, mereka benar-benar mencobanya.
“Sayang, kamu yakin ya?” bisik Doni sambil meremas paha Silvi.
Silvi mengangguk ragu. “Y-ya… tapi jangan dipaksa ya kalau aku takut…”
Doni mencium pipi istrinya. “Tenang aja. Kita lakukan pelan-pelan.”
Pria ketiga itu mendekat. Tanpa banyak bicara, ia mulai menyentuh Silvi, tangannya bermain-main di paha mulus yang gemetar. Doni duduk di kursi, memperhatikan. Saat Silvi mulai mencium pria itu, Doni hampir tak percaya.
Dan benar, dalam beberapa menit, Silvi sudah berlutut di depan pria itu. Tangan kanannya aktif mengocok, bibirnya mulai bekerja. Doni hanya bisa menatap, jantungnya berdebar, setengah kagum, setengah panas.
Namun, di tengah gairah yang membara, sesuatu berubah.
Silvi tiba-tiba melepasnya. Ia duduk di sudut ranjang, wajahnya merah, matanya berkaca-kaca.
“Aku… aku nggak bisa, Mas… Maaf…” ucapnya pelan.
Pria itu terkejut. “Hah? Maksudnya?”
Silvi menggeleng kuat. “Cukup sampai sini aja… Aku malu…”
Doni berdiri, frustrasi. “Lah, kamu yang tadi semangat, sekarang tiba-tiba berhenti? Udah sejauh ini, Vi…”
“Maaf, Mas… Aku kira bisa… Tapi pas mau lanjut, aku ngerasa jijik… aku malu…”
Akhirnya pria itu pergi dengan wajah kesal. Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, suasana hening. Tapi Doni tak bisa menahan emosi.
“Anjing, Vi. Kamu bikin malu! Udah semangat, udah separuh jalan, tau-tau stop?!"
“Aku juga nggak nyangka, Mas! Aku coba, tapi pas mau masuk… aku ngerasa kotor!”
Doni membentak. Silvi menangis. Pertengkaran makin panas. Dan saat Doni kehilangan fokus di jalan tol, nasib buruk pun menjemput.
TABRAKKKK!!
Mobil menghantam pembatas jalan. Kaca depan pecah. Bunyi klakson panjang. Lalu gelap.
1940Please respect copyright.PENANAN2C5s8W61y
---
Beberapa jam kemudian…
Doni sadar dengan rasa nyeri luar biasa di kedua tangannya. Sementara Silvi terbaring di tempat duduk, memegangi bahu dan lututnya yang berdenyut.
Mereka menolak dibawa ke rumah sakit, dan memilih pulang ke rumah Ibu Ros — ibu kandung Doni — yang tinggal di pinggiran kota.
“Ya Allah… kalian kenapa ini?” teriak Ibu Ros panik melihat kondisi anak dan menantunya.
Silvi menangis, Doni hanya meringis menahan sakit.
Setelah membersihkan luka-luka ringan, Ibu Ros mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.
“Halo, Pram? Iya, Bu Ros ini… Kamu bisa ke rumah, Nak? Doni kecelakaan… tangannya dua-duanya nggak bisa gerak. Silvi juga ".
Pram, pemuda tukang urut dan refleksi, dikenal karena kemampuannya mengobati urat dan sendi. Ia tinggal tak jauh dari rumah Bu Ros. Dan juga memang sudah kenal dengan Ros dan anaknya riska yg lernah terapi sakit pinggang.
Dari balik pintu dapur, seorang gadis muda muncul. Berjilbab rapi, wajahnya teduh meski masih tersirat keletihan sehabis sesi belajar kenikmatan. matanya penasaran.
Matanya terpaku pada Silvi yang pincang dan Doni yang mengerang.
Malam Tersimpan
Hujan masih turun rintik-rintik ketika Pram menyandarkan tubuhnya di kursi ruang tamu. Setelah mengurut Doni dan Silvi, tenaganya nyaris terkuras. Tapi karena dibujuk Bu Ros, ia pun setuju menginap. Lagipula waktu sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam.
Riska membantu menyiapkan tempat tidur gulung di ruang tengah. Ia tampak kikuk, menunduk terus saat bicara.
“Ini… bantalnya, Mas,” ucapnya lirih.
“Terima kasih, Dik Riska,” jawab Pram singkat.
Setelah Riska pamit masuk ke kamar belakang, Pram duduk sendiri di ruang tamu yang remang. Hanya lampu kuning temaram yang menyala. Di dapur, terdengar suara piring dan sendok. Beberapa menit kemudian, Bu Ros muncul membawa segelas susu hangat.
“Nih, Ram. Biar anget badannya…”
Pram tersenyum dan menerimanya. “Wah, makasih banget, Bu.”
Bu Ros duduk di sofa sebelahnya, hanya berjarak sejengkal. Malam itu, ia mengenakan daster tipis warna hijau daun, bahunya terbuka sebagian, rambut disanggul asal.
“Kamu capek banget, ya?” tanyanya sambil melirik tubuh Pram dari atas ke bawah.
“Lumayan, Bu. Tadi urut Mas Doni aja udah ngos-ngosan. Badannya berat, tegang semua.”
Bu Ros tertawa pelan. “Silvi juga keliatannya ngilu semua… Tapi kamu tahan ya, Ram. Tenaga kamu tuh luar biasa.”
Pram hanya nyengir. “Udah kebiasaan, Bu…”
Seketika, suasana jadi senyap. Hanya bunyi rintik hujan dan detak jarum jam dinding yang terdengar. Lalu, dengan suara pelan dan nada halus, Bu Ros berkata,
“Kamu masih inget… dulu waktu Ibu keseleo pinggang, terus kamu urut malam-malam kayak gini?”
Pram mengangguk. “Inget, Bu.”
“Waktu itu juga hujan, ya…”
Pram meneguk susu, mencoba tetap netral. Tapi kenangan itu langsung menari di kepalanya—bagaimana malam itu, pijatan tak berhenti di pinggang, tapi berlanjut ke tempat lain. Bu Ros yang saat itu hanya meringis di awal, berakhir dengan lenguhan panjang dan tangan yang menarik-narik celananya.
Sejak itu, Bu Ros menjadi langganan tetap. Sekali sebulan, kadang dua kali, Pram dipanggil untuk "urut dalam". Dan setiap sesi berakhir… dengan satu bentuk “terima kasih” yang sangat pribadi.
“Ibu masih sering kangen sama pijatan kamu, lho,” gumam Bu Ros sambil menyentuh paha Pram pelan.
Pram hanya diam. Tubuhnya tegang, tapi tak mengelak.
Bu Ros bangkit perlahan, lalu duduk di lantai tepat di depan Pram. Matanya menatap Pram lurus. Tangannya meraba betis pria muda itu, naik pelan ke paha.
“Masih pegel-pegel, Ram?” bisiknya manja.
“Sedikit, Bu…”
“Biar Ibu yang bantu…”
Pram terdiam saat tangan Bu Ros mulai membuka celana training-nya perlahan. Gerakannya pelan, penuh pengalaman. Tak terburu-buru. Matanya masih menatap Pram, tapi dengan nafas yang mulai berat. Saat celana itu turun ke lutut, batang Pram sudah separuh mengeras.
Bu Ros tersenyum tipis, mengelusnya dengan lembut.
“Masih sebesar dulu… malah makin tebel sekarang ya…”
Tangannya mulai bergerak perlahan naik turun. Pram mengerang pendek, menggigit bibirnya sendiri.
Di kamar belakang, Doni sudah tertidur pulas dengan kedua tangan digantung. Silvi pun rebah dengan tubuh pegal-pegal. Dan Riska… mungkin sedang membaca doa sebelum tidur.
Tapi di ruang tamu, suasana sangat berbeda.
Bu Ros kini membungkuk. Lidahnya menyentuh perlahan batang Pram yang mulai menegang penuh. Hangat. Basah. Perlahan, ia memasukkannya ke mulutnya, menutup bibirnya rapat-rapat di sekitar daging keras itu. Satu tangan masih mengelus pangkalnya, satu lagi menahan paha Pram agar tidak bergerak.
Pram bersandar, matanya setengah terpejam. Nafasnya makin berat.
“Bu…”
“Ssst… diem aja, Ram… Biar Ibu yang manjain kamu malam ini…”
Serangan lidah dan sedotan lembut dari wanita paruh baya itu membuat seluruh tubuh Pram bergetar. Daster tipis yang dipakai Bu Ros sedikit terbuka di bagian dada, menampakkan belahan payudara yang masih kencang untuk usianya. Mulutnya terus bergerak naik turun, dengan suara basah pelan yang membuat suasana makin panas.
Tapi di balik semuanya, Pram tahu ini salah. Ada Doni dan Silvi di rumah. Ada Riska juga. Tapi tubuhnya tak bisa melawan. Ini sudah terlalu jauh.
Saat Bu Ros mempercepat ritmenya, Pram memejamkan mata kuat-kuat, rahangnya menegang. Nafasnya tercekat.
Lidah Bu Ros melingkar, menyedot dengan lincah, penuh hasrat.
Dan tepat saat itu…
Terdengar suara pintu kamar terbuka pelan.
Pram dan Bu Ros langsung membeku.
Langkah kaki terdengar mendekat dari arah dapur.
Apakah itu Riska?
Ataukah Silvi?
Atau hanya angin?1940Please respect copyright.PENANAQUIf53qL88
Bersambung
Dukung dengan Donasi ya kk
Minimal like coment dan share
ns18.189.188.157da2