
Bab 4. Beto Tetangga yang baru keluar dari LP
1167Please respect copyright.PENANAYxjtssPyYY
Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menerima keadaan Rizal dan mensyukuri kehidupan kami. Kebun kecilku mulai berbuah, rutinitas harian terasa lebih bermakna, dan kami berdua mulai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Rizal bahkan mulai sering tersenyum lagi, terutama saat kami makan malam bersama sambil membicarakan rencana-rencana kecil kami.
Namun, ada satu hal yang membuat kebahagiaan kami terusik. Ini terkait dengan Ibu Magdalena. Sebenarnya kehadiran ibu Magdalena selama kami tinggal di rumah kontrakan ini tidak menjadi masalah. Bahkan kami cukup akrab dengan dia meski kami berbeda agama. Kami muslim sedang Ibu Magdalena seorang penganut agama Kristen.
Seperti aku bilang sebelumnya Ibu Magdalena adalah perempuan paruh baya yang rama. Dia sering membawa kue buatannya untuk kami, dan aku pun kadang memberinya makakan masakanku. Kami sering berbincang di pagar pembatas sambil menjemur pakaian atau menyiram tanaman. Perbedaan agama tidak pernah menjadi penghalang persahabatan kami.
Masalah terjadi baru-baru ini saja. Yang jadi masalah adalah kehadiran cucu dari ibu Magdalena. Dia seorang preman yang baru saja keluar dari penjara dua minggu lalu. Dia suka bersikap semaunya, termasuk kepada kami. Namanya Bertrand, tapi orang-orang biasanya memanggilnya Beto. Usianya mungkin sebaya denganku. Dia belum menikah, dan baru keluar penjara karena kasus pembunuhan. Orangtuanya entah ke mana. Kabarnya mereka bercerai dan meninggalkan Beto saat masih berumur 5 tahun untuk di rawat oleh ibu Magdalena dan almarhun Pak Herman suaminya. Selepas suaminya meninggal Beto yang waktu itu masih remaja menjadi anak yang berandalan. Hingga akhirnya masuk penjara karena membunuh musuhnya dalam sebuah tawuran.
Sejak kedatangan Beto, suasana kompleks perumahan kami berubah. Tetangga-tetangga yang biasanya duduk santai di lapangan komplesk mulai menjauh kalau ada dia. Ibu Magdalena sendiri terlihat stres dan khawatir. Matanya yang biasanya berbinar kini sering terlihat sembab, mungkin karena menangis atau kurang tidur.
"Silmy, maafkan cucu saya," bisiknya suatu pagi saat kami bertemu di depan rumah. "Dia... dia belum bisa beradaptasi dengan kehidupan di luar."
Aku menggenggam tangannya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Semua butuh waktu."
Tapi dalam hati, aku tahu bahwa ini bukan sekadar masalah adaptasi. Tapi emang sikap berandalan Beto. Bahkan Rizal sangat takut kepada Beto. Suamiku yang memang berperawakan tidak terlalu besar, berkacamat dan berkarakter lembut, tampak seperti anak kecil di hadapan pria yang bertato dan berwajah sangar itu seperti Beto.
Beberapa hari yang lalu saat kami sedang jalan berdua ke warung di ujung gang, kami berpapasan dengan Beto. Dia sedang duduk di depan gerbang gang sambil merokok dan mendengarkan musik keras dari ponselnya. Rizal mencoba bersikap sopan kepadanya dengan menyapa, "Selamat sore, Beto."
Namun, Beto malah membentaknya dan bersikap kasar. "Hei, mata empat! Siapa yang suruh kamu nyapa gua?" teriaknya sambil berdiri. "Gua lagi bad mood, jangan ganggu gua!"
Rizal langsung menarik tanganku untuk mempercepat langkah. Aku bisa merasakan tangannya yang berkeringat dingin dan sedikit gemetar. Sepanjang jalan ke warung, dia tidak berkata apa-apa, tapi aku tahu betapa takutnya dia.
"Papah, tidak apa-apa?" bisikku sambil menggenggam tangannya lebih erat.
"Aku takut, Mah," akunya dengan suara yang hampir berbisik. "Aku takut dia akan berbuat sesuatu kepada kita. Terutama kepada Mamah."
Malam itu, Rizal sulit tidur. Dia bolak-balik di tempat tidur, dan beberapa kali aku melihatnya mengintip dari balik tirai jendela kamar, memastikan tidak ada yang aneh di luar. Ketakutan ini mulai mempengaruhi kehidupan sehari-hari kami. Rizal menjadi lebih pendiam dan sering merasa cemas kalau-kalau mereka bermasalah dengan Beto. Karena mau tidak mau kami akan sering bertemu dengan lelaki berandalan ini karena kami bertetangga. Rumah kami bersebelahan saja. Hanya di batasi oleh pagar kayu.
Aku mulai khawatir. Bukan hanya karena kehadiran Beto, tapi juga karena melihat Rizal yang menjadi sangat cemas. Itu malah menambah stres bagi suamiku itu. Padahal aku berharap stres dia berkurang dan bisa makin rileks menghadapi hidup. Siapa tahu dengan begitu Rizal akan lebih fit dan bisa melakukan kewajibannya memberi nafkah batin padaku. Syukur-syukur bisa membuat aku hamil. Tapi kini Rizal terlihat makin stres dan ketakutan. Dan entah mengapa, aku merasa harus melindunginya, meskipun aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya.
Kehidupan yang baru mulai menemukan keseimbangan itu kembali terguncang. Tapi kali ini, ancamannya datang dari luar, dari seseorang yang kehadirannya mengubah dinamika seluruh kompleks perumahan kami.
***
Aku sedang asyik menata ulang lemari pakaian ketika suara motor kasar menyentak heningnya sore. Suara knalpot yang sengaja dibikin meraung-raung itu seperti alarm yang langsung membuat jantungku berdegup kencang. Napasku tertahan, otot leherku menegang.
Dari celah jendela kamar, kulihat Beto cucu dari bu Magdalena itu parkir seenaknya di depan pintu pagar rumah kami, seolah jalanan itu miliknya sendiri. Celana jeans robek di lutut, kaos hitam ketat yang memperlihatkan tato ular melingkar di lengan kirinya—seolah hidup dan siap menerkam. Senyum sinisnya, yang selalu dia tunjukkan setiap berpapasan dengan Rizal, kali ini terlihat lebih menusuk.
"Dia mabok lagi sepertinya ," bisikku dalam hati, mencoba menenangkan diri. Botol bir di tangan Beto sudah setengah kosong, meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Bau alkohol sepertinya sudah lebih dulu sampai di sini.
Rizal, yang sedang bersantai makan cemilan dan minum kopi di meja makan, langsung mengangkat kepalanya. Matanya melebar, seperti kelinci yang mencium bau predator. Aku bisa melihat kerutan di dahinya, garis-garis ketakutan yang tak pernah benar-benar hilang sejak kehadiran Beto yang sering membuat kami merasa terganggu.
"Tenang aja sayang. Semoga dia gak ganggu kita," kataku pelan, berusaha menenangkannya. Tapi tanganku sendiri gemetar memegang baju Rizal yang baru saja kusetrika. Kain itu terasa panas, seperti amarah yang kupendam tapi tak bisa kulepaskan.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan kasar di pintu membuat kami berdua tersentak. Suaranya seperti palu godam yang menghantam langsung ke tulang belakangku. Ke khawatiran kami selama ini menjadi kenyataan. Kami selalu cemas suatu saat Beto akan berkunjung ke rumah kami yang hanya tetangganya. Dan pasti kunjungannya bukan sebuah hal yang menyenangkan.
"Halo mas Rizal! Ada sedekah nggak buat tetangga?" suara Beto melengking dari balik pintu, diselingi tawa getir.
Ternyata memang seperti dugaanku dia pasti mau memalak kami. Preman kayak dia jangan harap datang berkunjung buat silaturahmi. Sepertinya dia ingin melihat ketakutan di mata aku dan Rizal, ingin menegaskan bahwa kami tak punya pilihan selain menuruti keinginannya.
Rizal bangkit perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku akan beri dia uang saja," bisiknya, membuka laci kecil tempat kami menyimpan uang receh. Suaranya pecah, seperti orang yang sudah kalah sebelum bertanding.
"Jangan!" tanganku refleks menahan lengannya. "Dia akan makin semena-mena kalau kita terus begitu. Mending kita diamkan saja."
Tapi Rizal sudah membuka pintu. Pemandangan itu membuat perutku mual:
Beto berdiri dengan sikap santai, satu tangan menempel di kusen pintu kami seolah itu miliknya. Matanya yang kecil dan tajam langsung menatapku dari ujung kepala sampai kaki, berhenti di dada dan pinggulku terlalu lama, membuat kulitku merinding. Bau alkohol dan rokok murah menempel di bajunya, seolah menjadi parfum kebanggaannya. Aku jadi sadar bahwa aku hanya mengenakan daster rumahan yang cukup pendek bagian bawahnya hingga memperlihatkan betisku yang putih mulus. Padahal setiap hari aku kalau keluar selalu memakai busana mulimah tertutup rapat lengkap dengan hijabnya. Untung saat ini aku sedang pakai hijab.
"Mbak Silmy ternyata sangat cantik, pake daster begitu." ucapnya sambil tersenyum mesum.
1167Please respect copyright.PENANADEbloS2eYv
Bersambung
ns216.73.216.110da2