
Bab 1. Bagaimana suamiku bisa membuahi rahimku?
Namaku Silmy. Usiaku dua puluh sembilan tahun—sebuah angka yang terasa begitu dewasa, namun masih menyisakan kerinduan akan hal-hal yang belum terpenuhi. Aku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, hidup dalam rutinitas yang tenang, terkadang terlalu tenang, hingga sunyi itu sendiri terasa seperti teman setia.
Suamiku, Rizal, seorang PNS berusia tiga puluh tujuh tahun, adalah lelaki yang baik. Bertanggung jawab, penyayang yang seharusnya membuat seorang wanita merasa beruntung. Kami sudah menikah selama tiga tahun, dan hingga detik ini, kami belum dikaruniai seorang anak. Mungkin itu sebabnya, akhir-akhir ini, aku sering merasa ada sesuatu yang mengganjal. Seperti ada ruang kosong di antara kami yang tak bisa diisi hanya dengan senyum atau percakapan singkat di meja makan.
Aku selalu berusaha tampil sebagai muslimah yang sopan—jilbab lebar yang menutupi rambutku, gamis panjang yang menyembunyikan lekuk tubuh. Tapi kain-kain itu tak pernah benar-benar bisa menyamarkan apa yang diberikan Tuhan padaku: payudara yang montok, pinggul indah yang berayun setiap kali aku melangkah, dan tubuh yang seolah menantang untuk dilihat, meski aku sendiri tak pernah sengaja memamerkan keindahan tubuhku ini.
Terkadang, aku menangkap pandangan lelaki lain—sekilas, cepat, tapi cukup untuk membuat pipiku memanas. Aku buru-buru menunduk, menguatkan niat untuk tetap menjadi istri yang setia. Tapi di malam-malam sepi, ketika Rizal tertidur lelap dan aku terjaga, aku bertanya pada diri sendiri: Apakah cukup hanya dengan setia?
Aku terbangun oleh dinginnya udara pagi yang menyelinap lewat jendela kamar yang tak tertutup sempurna. Angin membawa serta aroma tanah basah—semalam pasti hujan, tapi aku terlalu lelap untuk mendengarnya. Perlahan, mataku terbuka, menatap langit-langit kamar yang sudah hafal kulihat setiap hari. Retakan kecil berbentuk seperti sungai itu masih ada di sudut kanan atas, persis di atas tempat tidur kami.
Di sebelahku, Rizal masih terlelap. Nafasnya berat tapi teratur, satu tangannya terkulai di atas dadaku, seperti pelindung alami yang selalu dia pasang bahkan dalam tidur. Aku tak ingin bergerak, tak ingin mengusik istirahatnya. Dia butuh itu. Seminggu terakhir, kerjaannya di kantor kelurahan membuatnya pulang dengan bahu yang lebih kaku dari biasanya.
Dengan hati-hati, aku menggeser tubuhku keluar dari pelukannya. Sprei yang murah itu berkerut, meninggalkan bekas di kulit pahaku. Saat kaki menyentuh lantai, dinginnya membuatku menggigil. Ah, sudah dua tahun kami di rumah kontrakan ini, pikirku sambil meraih sandal jepit yang sudah mulai lapuk.
Di depan cermin kamar mandi yang berkabut, aku menatap bayanganku. Rambut bergelombangku—yang Rizal bilang seperti "ombak kecil"—berantakan di satu sisi. Payudara montok milikku yang menantang.
Aku kembali mengingat momen semalam. Aku memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan Rizal yang menghela nafas frustrasi saat itu tak bisa berdiri tegak seperti dulu saat awal pernikahan. Memang tidak setiap saat seperti itu. Kalau saat sedang fit dia bisa ereksi. Tapi kalau sedang capek karena benyak kerjaan kantor dia akan kesulitan untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Aku bertanya apa karena faktor usianya yang sudah 37 tahun. Entahlah.
"Mungkin aku yang kurang sabar," bisikku sambil menyalakan keran. Air dingin membasuh mukaku, tapi tak bisa menghapus rasa panas yang masih tersisa di antara pahaku sejak semalam.
Aku telah selesai mandi wajib dan setelah itu Rizal bangun juga untuk dan segera mandi junub meski dia gagal lagi melakukan kewajibannya semalam karena ereksinya kurang kuat hingga kesulitan masuk dan akhrinya malah loyo.
Rizal berangkat ke masjid untuk sholat subuh. Sedang aku sholat sajan di rumah karena habis itu aku harus mengerjakan pekerjaan rutin sebagai ibu rumah tangga. Usai sholat aku ke dapur, aku untuk mulai menyiapkan sarapan. Telur dadar dengan irisan cabai—kesukaan Rizal. Aku menggorengnya perlahan, seperti ritual pagi yang mencoba mengisi kekosongan lain yang tak bisa diisi.
1222Please respect copyright.PENANAAOWxKZtK1o
Tak lama kemudian Rizal sudah kembali dari masjid. Dia mendekat, mencium keningku. "Harusnya sesekali aku bikin sarapan untuk istri tercinta."
Tapi wajahnya menyiratkan kekecewaan karena semalam, setelah kegagalan dia yang kesekian kalinya menjalankan kewajiban sebagai seorang suami. Saat kami duduk berhadapan di meja makan kecil, mata Rizal menatap telur di piringnya seperti teka-teki yang tak bisa dipecahkan.
"Kita harus ke dokter, Mah" ujarnya tiba-tiba, suaranya lebih keras dari yang kuduga.
Garpu di tanganku berhenti di udara. "Kamu yakin Pah?"
Dia mengangguk, tapi matanya tak menatapku. "Aku… aku nggak mau Mamah terus-terusan kecewa."
Angin pagi masuk lagi, membawa serta daun kering yang menari di teras. Aku menarik nafas.
"Oke," jawabku. Tapi dalam hati, ada suara kecil yang berbisik: Apa ini akan mengubah sesuatu?
Dan seperti retakan di langit-langit kamar kami, pertanyaan itu tetap menggantung—tak terjawab.
***
Sinar jingga sore menembus jendela kamar mandi yang buram, membelah kabut uap panas yang masih menggantung setelah aku mandi. Handuk katun kasar melilit tubuhku, menyerap tetes-tetes air yang masih mengalir dari ujung rambutku yang bergelombang. Di cermin berkabut itu, bayanganku tampak samar-samar, seperti lukisan impresionis yang tak selesai.
Aku mengusap cermin dengan telapak tangan, mengelap sebagian embunnya. Sekarang aku bisa melihat diri sendiri dengan jelas—pinggang ramping yang masih terjaga meski sudah tiga tahun menikah, lekuk payudara 34B yang tegak dan bulat sempurna, kulit kakinya yang halus karena rajin kusikat setiap mandi. Tanganku meraba perutku yang rata, membayangkan suatu hari nanti akan ada tonjolan kecil di sana.
"Seharusnya tubuhku ini cukup untuk bisa membuat suami bergairah," bisikku, suaraku tenggelam dalam deru kipas angin yang sudah berdecit sejak bulan lalu.
Mataku turun ke handuk yang melilit erat di bawah dadaku. Aku melepasnya perlahan, membiarkan udara sore yang lembap menyentuh kulitku yang masih kemerahan oleh air hangat. Tubuhku bereaksi—puting susuku mengeras, membayangkan betapa bergairahnya kami saat awal-awal pernikahan kami.
Kenangan itu menyergapku lagi—seperti angin malam yang merayap lewat jendela, membawa aroma masa lalu yang begitu hidup, begitu panas.
Kenangan malam pertama kami. Aku masih bisa ingat dengan jelas aroma tubuh Rizal yang bercampur keringat, hangat, dan asin. Suaranya yang parau berbisik di telingaku,
"Silmy... cantik sekali kau seperti ini." Tangannya yang penuh gairah menelusuri lekuk tubuhku, seolah tak ingin melewatkan setiap lekuk liku tubuhku yang telah menjadi miliknya.
Dan ketika dia masuk ke dalamku—dengan perlahan tapi pasti—aku menggigit bibirku hingga hampir berdarah. Rasanya seperti terbakar dan meleleh sekaligus. Tubuhnya menindihku, mendorong lebih dalam, hingga aku merasa nikmat.
"Jangan berhenti," pintaku, kuku-kuku jari tanganku mencengkeram punggungnya.
Dia tidak berhenti. Dia menggerakkan pinggulnya dengan ritme yang membuatku makin merasa nikmat, dan ketika puncaknya tiba, dia mengerang dalam-dalam, menggumamkan namaku seperti doa sebelum akhirnya melepas segala isinya ke dalam rahimku.
Keringatnya menetes ke dadaku. Napasnya berat di bahuku. Dan kami menikmati itu.
Tapi sekarang?
Aku menghela napas panjang, merasakan dinginnya ubin kamar mandi di bawah telapak kakiku. Tangan kananku—tanpa sadar—telah merayap ke antara pahaku, menyentuh sesuatu yang seharusnya hanya Rizal yang berhak merasakannya.
Basah. Bukan oleh air mandi, tapi oleh hasrat yang tak pernah benar-benar padam.
"Bahkan hanya dengan memikirkan kenangan itu..."
Aku menekan bibir bawahku. Gairah ini seperti sungai yang tak pernah kering—selalu mengalir, selalu mencari tempat untuk meluap. Tapi Rizal...
"Kalau berdiri keras saja kadang tidak mampu, bagaimana dia bisa membuahi rahimku?"
Suara itu meluncur dari mulutku sendiri, tajam dan getir. Aku terkejut, segera menutup mulut dengan tangan, seolah takut ada yang mendengar. Tapi tidak. Hanya aku di sini. Hanya aku dan bayang-bayang kenangan yang semakin pudar, termakan waktu.
Di luar, suara motor bebek yang sudah kukenal selama lima tahun pernikahan kami akhirnya terdengar. Rizal pulang.
Jantungku berdebar. Dengan cepat, kuambil lotion vanila favoritku dari rak—wanginya manis, menggoda, selalu dipuji Rizal. "Mamah wangi seperti bau surga," katanya suatu kali sambil mencium leherku, membuatku tersipu.
Kuberikan perhatian ekstra pada kulitku malam ini. "Aku harus wangi. Aku harus cantik. Mungkin... mungkin malam ini dia lebih fit. Mungkin malam ini dia bisa."
Suara kunci yang diputar di pintu depan membuyarkan lamunanku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengenakan daster biru muda—warna yang Rizal bilang membuatku terlihat seperti bidadari.
Tersenyum, Silmy. Tersenyum. Pintu terbuka.
"Mamah…. Aku pulang."
Suaranya lelah. Seperti biasa.
Tapi aku tetap tersenyum. "Selamat datang, sayang."
Malam ini, sekali lagi, aku akan berharap. Dan sungai dalam diriku akan terus mengalir—tak pernah kering.
1222Please respect copyright.PENANAu0zIWrBWR2
Bersambung
ns216.73.216.110da2