
Bab 2. "Aku ingin merasakan dicintai dengan tubuhmu, bukan hanya sekedar dengan hatimu saja"
1025Please respect copyright.PENANAY5OIIGURO1
Hari Selasa pagi, aroma harum semerbak datang dari rumah Bu Magdalena. Tetangga sebelah kanan rumahku. Aroma itu seolah menyusup lewat pagar rumah kami yang rendah. Aku mengendus-endus sambil menyapu teras.
“Wah ibu masak apa? Aromannya sedap bener!” Ujarku dari pinggir pagar rumah saat aku sedang menjemur pakaian.
"Lagi bikin sambal kesukaan suamiku dulu, Nak," seru perempuan tua berusian 65 tahuh itu dari balik jendela dapurnya yang selalu terbuka. Matanya yang keriput menyipit melihatku. "Kau mau mencoba? Pedasnya bikin mata melek!"
Aku tersenyum, menancapkan sapu di pinggang. "Wah, nanti saya mampir, Bu. Tapi kalau terlalu pedas, besok-besok saya enggak bisa duduk di pengajian gara-gara sakit perut."
Bu Magdalena terkekeh, sendok kayunya menunjuk-nunjuk ke arahku. "Dasar anak muda sekarang, perutnya suka gak kuat dengan sambel pedes!"
Di seberang jalan, terlihat Bu Ratna sedang memandangi lapangan kompleks sambil menyuapi cucunya bubur. Aku melambai ke arahnya.
"Silmy! Jangan lupa besok pengajian di rumah Ibu Salmiah," teriaknya.
"Wah, saya malah ditugaskan bawa kolak pisang, Bu," jawabku sambil memindahkan jemuran.
Bu Ratna mengedipkan mata. "Kolaknya pake santan kental ya, kayang yang kemarin enak banget. Yang waktu pengajian di rumah ibu RT."
Di pengajian mingguan, Ibu Salmiah memimpin dzikir dengan suaranya yang merdu. Kami duduk melingkar di ruang tamunya yang dipenuhi hiasan kaligrafi.
Lantunan dzikir berkumandang dengan syahdu. Suara kami menyatu. Tapi mataku tak sengaja menangkap gerakan Ibu Zaenab yang sedang membetulkan jilbabnya di kaca. Perempuan paling modis di kompleks ini selalu saja punya aksesori baru. Hari ini anting mutiaranya berkilau.
Selesai berdoa, Ibu Salmiah langsung beraksi dengan loyang bolu pandannya. "Silakan dicoba, Bu-Ibu! Resep rahasia pakai daun pandan segar dari kebun sendiri."
Ibu Zaenab mengambil potongan kecil sambil berbisik padaku, "Silmy, kolakmu mana? Aku sengaja belum makan siang nih..."
Aku tertawa membuka tempat makan. "Ada di meja belakang, Bu. Dikasih topping tape singkong biar makin mantap."
"Wah, cocok banget sama bolu Ibu Salmiah!" seru Bu Ratna yang sudah antre duluan.
Bu Magdalena yang ikut hadir meski seorang Nasrani duduk di pojok menggeleng-geleng. Tapi tak urung dia ikut menikmati santapan setelah pengajian yang disajikan. "Kalian ini pengajian atau arisan makan-makan, sih?"
Kami tertawa bersama. Di komplek perumahan ini, setiap minggu kami berkumpul untuk pengajian sembali berbagi cerita, makanan, dan sedikit gosip. Di antara dzikir dan tawa, kami menemukan pelipur bagi hari-hari yang disibukan dengan rutinitas.
Ketika pulang Ibu Zaenab memanggilku dari belakang:
"Silmy... tunggu aku! Jangan lupa besok kita janjian belanja ke pasar, ya?"
1025Please respect copyright.PENANASsaM5OXbH1
****
Hari ini, seperti yang sudah kami rencanakan, kami pergi ke dokter spesialis—seorang ahli seksologi yang katanya bisa menjadi solusi bagi orang yang bermasalah seperti Rizal. Kliniknya berada di lantai delapan sebuah gedung megah di pusat kota, dengan jendela-jendela kaca besar yang memantulkan bayangan kami: aku dengan jilbab abu-abuku yang rapi, dan Rizal dengan kemeja kotak-kotak yang selalu kupilihkan untuknya.
Aku menggenggam tangannya erat, tapi bukan karena aku yakin. Justru sebaliknya—ada pesimisme yang menggerogoti hatiku, perlahan tapi pasti, seperti karat yang mengikis besi.
"Aku tidak yakin dia bisa sembuh semudah itu," bisik hatiku.
Tiga tahun. Tiga tahun pernikahan yang seharusnya dipenuhi tawa bayi, tapi justru diisi oleh senyap yang semakin dalam. Bukan karena kami tidak mencoba. Kami sudah mencoba—dengan jadwal, dengan vitamin, dengan doa-doa yang kupanjatkan dalam sujud panjang di sepertiga malam. Tapi tubuh Rizal seolah menolak untuk bekerja sama.
Dokter sebelumnya bilang, ini masalah hormonal. Ada sesuatu yang tidak seimbang dalam tubuh suamiku, sesuatu yang membuat hasratnya redup dan keinginannya padam sebelum sempat membara. Aku mencoba memahami. Aku mencoba bersabar. Tapi setiap kali aku menatapnya di kegelapan, saat dia berpaling dan menghela napas panjang sebelum berkata, "Maaf, Sayang… aku lelah," ada sesuatu di dalam diriku yang perlahan mati.
Aku tahu dia mencintaiiku. Aku juga mencintainya. Tapi cinta saja tidak cukup untuk mengisi ranjang yang dingin, atau untuk menghangatkan tubuhku yang semakin sering menggigil dalam kesepian.
Dan kemudian, ada aku—Silmy, perempuan berusia 29 tahun dengan tubuh yang seolah mengejek kesabaranku sendiri. Jilbabku menutupi rambutku, gamis panjangku menyembunyikan lekuk tubuhku, tapi kain-kain itu tidak bisa menahan pandangan orang lain. Aku melihat cara mata mereka melirik—cepat, diam-diam, penuh arti. Payudaraku yang montok, pinggulku yang berayun, seolah menjadi kutukan yang kubawa setiap hari. Apa gunanya semua keindahan tubuhku kalau tidak bisa dinikmati oleh suamiku.
"Kamu cantik, Mah," kata Rizal kadang-kadang, tapi matanya kosong, seperti pujian itu hanya formalitas.
Aku ingin diperhatikan. Aku ingin menjadi wanita yang dibutuhkan. Dan semakin hari aku merasa Rizal tak membutuhkan aku. Bukan karena tidak mau tapi karena tidak mampu.
1025Please respect copyright.PENANAIQMVrDxEDG
***
Lampu tidur menyala redup, memantulkan bayangan kami di dinding seperti wayang yang kehilangan narasi. Aku berbaring telentang, selimut sudah tersingkap hingga pinggang. Kulitku masih berdenyut oleh bekas jari-jari Rizal yang tadi menuentuh lembut di pahaku.
"Mah… Aku tidak bisa…" Ujar Rizal.
Aku memalingkan wajah, melihatnya terduduk di tepi ranjang dengan punggung yang membungkuk. Penisnya yang tadi sempat setengah tegang sekarang lemas menyentuh paha, seperti bunga yang layu sebelum mekar. Lagi-lagi setelah mencoba menerobos memek aku dengan susah payah kontol dia berhasil masuk dan hanya butuh berapa kali dorongan kontol itu mengeluarkan cariannya dan melemah. Akhirnya aku gagal lagi menikmati hubungan intim malam ini . Ini adalah kegagalan yang Kesekian kalinya. Sepertinya rasa pesimisku yang muncul saat kami pergi ke dokter spesialis benar-benar jadi kenyataan. Rizal sulit disembuhkan.
Aku meraih bajunya yang terlempar di lantai—kaos oblong abu-abu yang sudah pudar—dan kuberikan padanya.
"Ini, Sayang," bisikku, suaraku lebih stabil dari yang kukira.
Tapi ketika jemariku tak sengaja menyentuh lengannya, kurasakan getaran halus yang dia coba tekan. Matanya yang biasanya hangat sekarang seperti tatapan putus asa menatap ujung tempat tidur.
"Gapapa, Sayang. Kita bisa coba lagi besok," kudekap dia dari belakang, menempelkan dadaku yang telanjang ke punggungnya yang berkeringat. Aku bisa merasakan debaran jantungnya yang tak beraturan melalui kulitnya yang tipis.
Tapi di balik pelukanku yang hangat, ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku. Seperti duri yang tertelan tapi tak bisa keluar. Aku menutup mata, membayangkan bayangan laki-laki lain dengan wajah tak aku kenali yang bisa memberiku apa yang tak bisa Rizal berikan.
Ah. Aku segera mengusir bayangan itu Pengkhianatan dalam pikiran ini lebih menyakitkan daripada malam-malam tanpa orgasme.
Rizal berbalik, tangannya menyentuh pipiku. "Mamah terlalu baik untukku," bisiknya, dan aku mencium aroma kopi pahit dari nafasnya.
Aku ingin menjawab. Ingin berkata bahwa baik itu mudah ketika kau mencintai seseorang. Tapi lidahku terasa bengkak oleh semua kata yang tak terucap:
"Aku butuh lebih."
"Aku ingin merasakan dicintai dengan tubuhmu, bukan hanya sekedar dengan hatimu saja"
"Aku mulai lupa bagaimana rasanya berhubungan suami istri."
Semua itu tak bisa aku keluarkan dari mulutku.
Sebagai gantinya, kuusap rambut ikalnya yang basah. "Tidur saja dulu, ya Pah."
1025Please respect copyright.PENANABgQpYzHFAb
Bersambung
ns216.73.216.110da2