
Bab 5. Tonjolan besar di handuk itu
895Please respect copyright.PENANAdSKgy3DUyh
Rizal maju sedikit, tubuhnya yang kurus tiba-tiba terlihat sangat rentan dibandingkan Beto yang kekar. "Ini... ada uang lima puluh ribu. Buat sedekah, yang penting abang jangan reseh ya, Bang," suara Rizal getar, seperti anak kecil yang memohon belas kasihan.
Beto tertawa kasar, tapi tetap mengambil uang itu. "Hahaha! Kenapa wajah lo pucat gitu? Dasar cemen lu!" hardiknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal seperti merendahkan anak kecil. Setiap tepukannya seperti tamparan bagi harga diri suamiku. "Istri lu aja lebih berani dari lu!"
Aku melihat tangan Rizal mengepal, buku-buku jarinya memutih. Tapi dia tidak berani melakukan apa-apa.
"Sudah, Bang Beto. Suami saya masih capek baru pulang kerja," kataku mencoba menengahi, berusaha menutup pintu perlahan.
Tapi Beto malah mendekat, napasnya yang bau alkohol menyengat wajahku. "Kasihan ya mbak cantik gini tapi suaminya penakut kayak gitu. Mbak kan cantik seharusnya bisa dapat laki lebih gagah dari dia," bisiknya, jarinya bahkan sempat menyentuh daguku sebelum aku menghindar. Sentuhannya terasa seperti sengatan listrik.
Rizal tidak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk, seperti orang yang sudah pasrah.
Malam itu, setelah Beto pergi, aku menemukan Rizal di kamar mandi, muntah-muntah karena stres. "Aku... aku tidak bisa melindungi Mamah," keluhnya dengan wajah memelas. Tangannya mencengkeram wastafel seperti orang yang mau tenggelam.
Aku memeluknya dari belakang, merasakan tubuhnya yang gemetar. "Kita bisa pindah dari sini," bisikku, meski tahu itu hampir mustahil. Karena kami berdua tahu—dengan gaji PNS golongan II yang hanya cukup untuk makan sehari-hari,dan tabungan yang tidak seberapa mencari kontrakan baru adalah mimpi yang terlalu mahal. Kontrakan yang sekarang ini sudah kami bayar di muka untuk tiga tahun. Kami baru dua tahun di sini. Kami rugi kalau harus merelakan setahun yang telah terbayar itu kami biarkan begitu saja karena ketakutan pada seorang preman.
Di balik dinding, suara tawa Beto yang mabuk masih terdengar seperti hantu yang tak pernah pergi. Seolah berandalan itu adalah bayang-bayang yang akan terus mengikuti kami, sampai kapanpun.
***
Pagi itu, langit baru saja mulai cerah ketika Rizal berangkat ke kantor dengan wajah yang masih menyisakan lelah dari malam sebelumnya. Aku memberinya bekal makan siang sambil berbisik, "Hati-hati di jalan, Sayang." Dia hanya mengangguk lemah sebelum menghilang di ujung gang.
Pagi ini terasa tenang bagiku setelah kejadian kemarin saat Beto datang ke rumah dan meminta uang kepada kami. Namun, ketenangan pagiku tidak bertahan lama.
Belum juga aku menyelesaikan mencuci piring, suara ketukan kasar di pintu membuat jantungku berhenti sejenak. Beto. Aku bisa mengenali ketukannya dari caranya yang seolah ingin mendobrak pintu.
"Mbak Silmy, buka dong! Gua mau numpang berak!" teriaknya dari luar. Suaranya kasar, seperti selalu.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu sekedarnya agar hanya wajahku saja yang terlihat. Tapi yang kulihat membuatku terpana Beto berdiri di depan pintu hanya mengenakan handuk kecil yang melilit di pinggangnya. Badannya yang kekar dan penuh tato terpampang jelas. Tato salib di lengan kanan. Sementara di lengan kiri tato tengkorak. Ada sejumlah tato lain yang tidak aku ketahui sebagai menggambarkan apa tapi memenuhi tubuhnya.
"Kamar mandi di rumah masih dipakai nenek gue, nih. Gue udah kebelet banget, gue numpang berak di sini ya." katanya sambil menyeringai, matanya menyipit seperti ular yang sedang mengincar mangsa.
Aku ingin menolak, ingin mengatupkan pintu dan berlari. Tapi rasa takut membuatku membeku. Lagipula, menolaknya mungkin hanya akan membuatnya lebih beringas.
"Eh iya masuk aja kalau gitu, Bang," ujarku sambil membuka pintu lebar-lebar, berusaha tidak menatapnya.
Dia melangkah masuk, bau tubuhnya yang lebih maskulin menyengat hidungku. Aku berusaha fokus pada dinding, pada lantai—pada apa saja selain diri lelaki preman itu.
Tapi kemudian, tanpa sengaja, mataku terjatuh pada selangkangannya.
Handuk itu terlalu kecil untuk menutupi tubuhnya yang besar. Ada sesuatu yang menonjol di sana, bentuk yang tak seharusnya kulihat. Dadaku berdebar kencang, darah berdesir panas di telinga.
Astagfirullah. Aku segera memalingkan muka, beristigfar dalam hati. Ini salah. Ini sangat salah.
"Di mana kamar mandinya, Mbak? Cepet gua udah gak tahan lagi nih!" Beto sudah tidak sabar.
"Sana, belakang," jawabku singkat, suaraku nyaris tidak keluar.
Dia berjalan melewatiku, sengaja mendekat sehingga lengannya yang bertato menyentuh bahuku. Aku menahan napas, berusaha tidak bereaksi.
Suara pintu kamar mandi yang tertutup seharusnya memberiku kelegaan. Tapi justru, aku merasa lebih terjepit. Aku berdiri di tengah ruangan, tangan gemetar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Pagi itu terasa begitu panjang. Setelah Beto masuk ke kamar mandi, aku segera mengambil sapu dan pura-pura sibuk membersihkan lantai, berusaha mengalihkan pikiran dari bayangan tak senonoh yang baru saja kusaksikan. Setiap detik terasa seperti jam. Suara air yang mengalir dari balik pintu kamar mandi seolah meneteskan kecemasan ke dalam relung hatiku.
"Tuhan, lindungi aku," bisikku dalam hati sambil tangan menggenggam sapu begitu kencang hingga buku-buku jariku memutih.
Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi berderak terbuka. Aku menahan napas. Berusaha sedapat mungkin untuk tidak menoleh ke arah suara itu.
Beto pasti sudah berjalan ke arahku dengan, handuk kecil yang melilit di pinggangnya dengan tonjolan besar dibagian selangkangan. Mau tidak mau aku tetap melihat dian yang paling membuatku takut—tonjolan besar di selangkangannya masih jelas terlihat, seolah menantang untuk diperhatikan.
"Makasih ya, Mbak Silmy," ucapnya dengan suara serak, senyum mesumnya meregang lebar. Matanya yang tajam mengamati reaksiku dari ujung kepala hingga kaki, seakan menikmati rasa tidak nyamanku. "Rumah lo nyaman... mungkin gue akan sering mampir."
Aku hanya bisa mengangguk kaku, lidahku terasa kelu. Setiap kata yang ingin kuluapkan seakan tertahan di tenggorokan. Dia berjalan perlahan menuju pintu depan, setiap langkahnya seperti palu yang menghantam lantai. Ketika melewatiku, dia sengaja mendekat. Aku kemnbali mencium bau keringat dan aroma kejantanan yang membuat perasaanku tidak karu-karuan.
"Lain kali, jangan malu-malu lihat gue," bisiknya tiba-tiba, napasnya hangat di dekat telingaku. "Gue tahu lo suka ngeliatin gue. Tapi lo malu-malu."
Sebelum aku bisa bereaksi, dia sudah membuka pintu dan melangkah keluar. Sinar matahari pagi menyorot tubuhnya yang besar, membuat bayangannya terlihat seperti raksasa yang menguasai seluruh gang.
Pintu tertutup. Aku masih berdiri seperti patung, tangan menggenggam sapu dengan kaku.
Baru setelah beberapa saat, aku bisa bernapas lega. "Alhamdulillah... tidak terjadi apa-apa," desisku sambil menekan dada yang masih berdebar kencang.
Tapi kemudian, pikiran-pikiran liar mulai menyerbu. Apa maksudnya akan sering mampir?
Aku segera mengambil air wudhu dan shalat sunnah, berusaha membersihkan diri dari bayangan tak senonoh itu. Tapi setiap kali mataku terpejam, bayangan tonjolan di handuk itu muncul lagi. Di luar, suara motor Beto meraung. Seolah mengingatkanku bahwa ini belum berakhir.
895Please respect copyright.PENANAeIdDT9t30E
Bersambung
baca lanjjutannya sampai tamat di victie https://victie.com/novels/aku_hanya_mencari_kepuasan
atau di karyakarsa https://karyakarsa.com/elevensanger/namaku-silmy-full-chapter
Bab-bab selanjutnya.
Chapter 6. Apa yang Terjadi jika dia memaksa?
Chapter 7. Dipaksa memijat untuk kedua kali dan aku mau
Chapter 8. Takluk
Chapter 9. Lo Jangan Lagi Pura-pura nolak.
Chapter 10. Ketagihan
Chapter 11. hanya 3 menit
Chapter 12. Rizal mengintipku
Chapter 13. Kamu bisa nonton lagi secara langsung kalau mau."
Chapter 14. Kita Jadi nginap?
Chapter 15. padahal aku masih pengen
Chapter 16. Kawan-kawan Beto
Chapter 17. Satu lawan enam (Tamat)
ns216.73.216.110da2