
Bab 3. Aku harap dia mampu menunjukannya bukan hanya sekedar angan
918Please respect copyright.PENANAUhcyENOVMO
Ketika lampu akhirnya mati, dan nafas Rizal berubah berat tanda tertidur, aku membuka mataku lebar-lebar di kegelapan. Kedua tanganku merayap ke bawah, menyentuh diriku sendiri dengan gerakan yang makin sering kulakukan belakangan ini.
Di luar, nyanyian jangkrik seakan mengejek kesepianku.
Aku menekan bibirku keras-keras saat jemariku menemukan ritme yang tepat. Dalam gelap, pikiranku mengembara ke malam-malam awal pernikahan kami, ketika Rizal masih bisa melakukan kewajibabnya sebagai suami. Entah mengapa baru tiga tahun berlalu suamiku sudah menjadi seperti ini. Dia seolah tidak bisa capek dan tidak bisa stress karena langsung berpengaruh pada kemampuannya di ranjang. Parahnya lagi karena memikirkan kegagalan demi kegagalannya itu malah memnbuat Rizal makin stres.
Gigiku menggigit bantal ketika orgasme akhirnya datang—cepat, efisien, dan sunyi. Ada rasa lega tapi ini tidak seperti yang kuinginkan.
Di sebelahku, Rizal berguling, lengannya yang berat tanpa sadar merangkulku. Aku menatap profilnya yang samar dalam cahaya bulan.
"Aku mencintaimu," bisikku pada bayangannya. Tapi air mata yang mengalir ke bantal terasa lebih jujur daripada kata-kataku.
***
Sinar jingga sore merambat pelan melalui jendela kamar, melukis garis-garis emas di lantai yang sudah usang. Aku berlutut di depan rak kayu kecil, merapikan taplak meja warna krem yang sudah mulai memudar. Dua tahun di rumah kontrakan ini telah mengubah warna aslinya yang cerah menjadi kusam, dimakan terik matahari dan debu jalanan.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencium campuran aroma kamper dan kelembaban yang sudah menjadi ciri khas rumah ini. Bau itu seperti mengingatkanku pada semua hal yang tak pernah berubah—dinding yang sama, lantai yang sama, rutinitas yang sama.
Tiba-tiba, suara riuh anak-anak tetangga bermain petak umpet menerobos dinding tipis rumah. Tawa mereka riang, teriakan mereka penuh semangat, seolah dunia ini adalah tempat yang begitu sederhana dan bahagia.
"Awas! Aku bisa lari lebih cepat!"
"Sana! Sembunyi di belakang pohon!"
Aku terdiam, tangan kananku terhenti di atas perut rata yang kosong. Rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik di belakang mataku, sesuatu yang basah dan berat.
"Seharusnya sekarang aku sudah punya bayi," gumamku pelan, suaraku nyaris tak terdengar.
Aku memalingkan wajah, mencoba mengalihkan pikiran dengan merapikan bantal sofa bekas yang biasa kugunakan ketika PMS datang. Bantal itu sudah menjadi semacam teman setia—menghangatkanku saat perut kram, atau kadang, tanpa aku akui, kuselipkan di bawah pinggul setelah bercinta, berharap gravitasi akan membantuku mencapai apa yang selama ini tak kunjung datang.
"Posisi bantal di bawah pinggul setelah bercinta bisa meningkatkan peluang kehamilan," begitu bunyi artikel di majalah wanita yang kubaca di ruang tunggu dokter kandungan.
Tapi bagaimana mungkin aku bisa mencoba tips itu jika suamiku sendiri kadang kesulitan untuk sekadar "berdiri" dengan sempurna?
***
Setelah pekerjaan rumah selesai, kuputuskan untuk keluar sejenak. Udara sore masih hangat, tapi angin kecil yang berhembus membawa sedikit kesejukan. Aku melangkah ke lapangan kompleks di seberang rumah, tempat beberapa ibu-ibu sudah berkumpul.
Bu Ratna sedang asyik mengupas cerita tentang tetangga baru yang pindah di ujung gang. "Katanya dia janda muda, kerja di bank," bisiknya penuh semangat, matanya berbinar seperti sedang membuka gosip terpanas.
Ibu Zaenab, seperti biasa, duduk dengan anggun di bangku taman, jilbabnya yang rapi dan anting mutiaranya berkilauan di bawah sinar matahari sore. "Silmy! Kemarin aku lihat kamu belanja di pasar. Bawa kresek besar-besar, masak apa?"
"Cuma bikin masakan rumahan biasa aja. Itu stok untuk seminggu," jawabku sambil tersenyum, duduk di sebelah Bu Magdalena yang sedang asyik mengunyah kacang goreng.
"Masakan rumah biasa kalau yang masak kamu pasti enak. Kapan-kapan ajari aku masak makanan rumahan ala kamu," kata Bu Zaenab.
Aku mengangguk, tapi pikiranku melayang lagi. Di taman kecil sebelah lapangan, beberapa anak kecil berlarian, tertawa-tawa tanpa beban. Salah satu dari mereka, seorang gadis kecil berusia sekitar empat tahun, tersandung dan jatuh. Tangisannya pecah, dan ibunya segera berlari menghampiri.
"Sudah, sayang, jangan nangis. Ibu cium ya, nggak sakit lagi..."
Entah mengapa aku merasa iri melihat pemandangan itu. Aku menunduk, memainkan ujung jilbabku.
"Silmy, kamu kenapa?" tanya Ibu Salmiah yang duduk di sampingku, matanya penuh perhatian.
"Ah, nggak apa-apa, Bu. Cuma kepikiran... resep kolakku semalam kurang manis, ya?" jawabku cepat, mencoba tersenyum.
Sore itu berlalu dengan obrolan ringan, tawa, dan canda khas ibu-ibu. Aku duduk di antara mereka, mencoba menikmati kebersamaan ini, meski hatiku sesekali terbang ke tempat lain—ke sebuah dunia di mana ada tawa anak kecil memanggilku "Ibu", dan suara Rizal yang penuh keyakinan berkata, "Kita bisa, Silmy. Kita pasti bisa."
Tapi matahari terus tenggelam, dan bayang-bayang di lapangan semakin panjang. Aku tahu sebentar lagi Rizal akan pulang, dan kami akan kembali ke rutinitas kami—sama seperti sore-sore sebelumnya.
Hanya saja, mungkin, malam ini aku akan mencoba lagi. Menjelang magrib aku kembali ke rumah. Bersiap untuk sholat.
Suara kunci pintu depan berbunyi.. Memang saat menjelang magrib biasanya Rizal pulang dari kantornya. Dia berdiri di teras dengan seragam PNS-nya yang masih rapi, kacamata dan sepatu hitam yang meski sudah usang tapi selalu kugosok mengkilap setiap pagi.
"Aku bawa gorengan," ujarnya, mengangkat kantong kertas berminyak yang sudah tembus pandang.
Aku mengambilnya.
"Dari warung Bu Siti? Yang kamu suka?" tanyaku, berusaha menahan diri untuk tidak menariknya masuk, merobek baju itu, dan memaksanya mencoba lagi.
Dia mengangguk, dia kemudian meleepas sepatunya. Kemudian matanya sudah berpindah ke foto pernikahan kami di dinding—wajah kami yang masih berbinar tiga tahun lalu, sebelum semua kegagalan ini mulai menghantui.
"Tanaman cabainya tumbuh subur," kataku sambil menunjuk ke teras, mengalihkan pembicaraan. Empat pot kecil berjejer di rak bambu: cabe rawit, tomat, kemangi, dan satu pot kosong yang kupersiapkan untuk... sesuatu.
Rizal mendekat, tangannya yang biasanya hangat sekarang lembab oleh keringat dingin. "Kita harus isi yang satu itu," bisiknya, menunjuk pot kosong. Tapi nada suaranya seperti orang yang tak percaya pada kata-katanya sendiri.
Aku memandangnya lama. Di balik bau gorengan dan parfum murah, kumendeteksi aroma obat kuat yang disembunyikannya. Hari ini dia sudah mencoba lagi—dan lagi-lagi gagal.
"Mungkin besok," jawabku, menyiram tanaman dengan kaleng penyiram yang sudah penyok. Airnya meluap dari pot kosong itu, membasahi teras seperti air mata yang tak pernah kutumpahkan.
Rizal tiba-tiba memelukku dari belakang, dagunya menempel di pundakku. "Aku janji akan lebih baik," desisnya, suaranya serak seperti orang yang kehausan.
Di depan kami, bayangan dua tubuh terpantul di jendela—lengkap, utuh, tapi terpisah oleh sejuta hal yang tak terucap.
Aku memejamkan mata. "Aku tahu," bisikku. Tapi yang kuharapkan adalah dia mampu menunjukannya bukan hanya sekedar angan.
918Please respect copyright.PENANANygvdFVXZM
Bersambung
ns216.73.216.110da2