Aku duduk di sofa tua, menatap sisa-sisa sarapan di meja tamu—piring kosong bekas gorengan dan gelas teh yang sudah dingin. Luka di bibirku masih perih, memar di wajah mengingatkanku pada tamparan Habib Hamza dan pukulan yang kuberikan sendiri semalam.
Fahri, anakku, kini bermain di sudut ruang tamu, truk mainannya berderit di lantai, wajahnya polos, tak tahu bahwa ayahnya baru saja disebut “laki-laki itu” oleh ibunya. Mertuaku, atau mungkin mantan mertuaku, Ibu dan Bapak Suyono, sibuk membersihkan meja, berbicara pelan tentang rencana hari ini, seolah aku tak ada di antara mereka.Saatnya sarapan telah usai, dan biasanya aku akan bersiap berangkat kerja, mengenakan seragam karyawan sederhana dan melaju dengan motor bebekku ke kantor.
Tapi pagi ini, aku tahu alasan aku bekerja sudah tidak ada. Selama ini, aku bekerja untuk Fitri dan Fahri, untuk membangun keluarga kecil kami, tapi kini Fitri memilih Habib Hamza, dan rumah ini terasa seperti milik pria lain. Aku duduk membisu, menatap lantai, merasa seperti kehilangan alasan hidup. Apa gunanya pergi kerja, menghabiskan jam-jam di kantor, jika istriku sudah tak lagi milikku, dan keluargaku hancur di depan mataku? Aku melamun, tenggelam dalam kepedihan, wajah Fitri yang memalingkan muka dan kata-katanya yang menyebutku “laki-laki itu” terus menghantui.
Tiba-tiba, suara Habib Hamza memecah lamunanku. “Ardi, kita perlu bicara bertiga—aku, kamu, dan Fitri,” katanya, suaranya tenang namun penuh wibawa, seperti pria yang tahu ia memegang kendali. Aku menoleh, bingung, jantungku berdegup kencang. Apalagi yang mau dibicarakan? Ia sudah merebut istriku, tidur di ranjangku, dan menamparku tadi malam—apa lagi yang bisa ia ambil? Aku ingin menolak, lari dari rumah ini, tapi kakiku seperti terpaku. Aku hanya mengangguk, tanpa kata, dan mengikuti Habib ke ruang tamu, tempat sofa tua dan meja tamu jadi saksi kehinaanku pagi ini.
Aku merasa seperti sudah mati rasa, seperti mayat hidup yang hanya menuruti perintah.Fitri muncul dari kamar, kini berpakaian rapi, mengenakan gamis biru muda dan hijab yang tersemat sempurna, berbeda dari daster tipis yang ia kenakan semalam. Wajahnya masih cantik, tapi dingin, tak menatapku, seperti selalu menghindari pandanganku. Habib juga berpakaian rapi, kemeja putih bersih dengan peci hitam di kepalanya, karismanya terpancar, membuatku semakin merasa kecil. Mereka duduk berdampingan di sofa, tangan Fitri sesekali menyentuh lengan Habib, gerakan kecil yang penuh keakraban, seperti pasangan yang baru menikmati malam penuh cinta. Aku duduk di kursi kayu di sudut ruang tamu, merasa seperti tahanan yang menunggu vonis, tubuhku kaku, hati mati rasa.
Bapak Suyono tiba-tiba berdiri, “Kami keluar dulu, ya,” katanya, suaranya pelan namun tegas. Ibu Suyono mengangguk, mengambil tangan Fahri, “Ayo, Nak, kita ke warung sebentar,” ujarnya, wajahnya penuh pengertian. Fahri menoleh padaku, “Yah, ikut, ya?” tanyanya polos, tapi Ibu Suyono menggeleng, “Bapak ada urusan dulu.” Mereka tahu ini pembicaraan penting, dan mereka ingin melindungi Fahri dari apa pun yang akan terjadi.
Aku memaksakan senyum untuk Fahri, meski dadaku sesak, dan melihat mereka keluar rumah, meninggalkanku dengan Fitri dan Habib di ruang tamu yang kini terasa seperti ruang sidang.Pintu depan tertutup, dan keheningan menyelimuti ruang tamu. Aku menatap Habib dan Fitri, yang duduk berdekatan, seperti pasangan yang sudah terikat erat. Aku ingin bertanya, apa yang mereka inginkan dariku, tapi mulutku terkunci, hanya mampu menatap lantai. Habib memulai, “Ardi, kita perlu menyelesaikan ini dengan baik,” katanya, suaranya lembut tapi penuh otoritas. Fitri tetap diam, menunduk, hijabnya menutupi sebagian wajahnya, tapi aku tahu ia menghindari pandanganku.
Aku merasa bingung, apa lagi yang harus diselesaikan? Ijab kabul sudah terjadi, ranjang kami sudah ternoda, dan Fitri menyebutku “laki-laki itu”—apa lagi yang bisa mereka ambil dari hidupku yang sudah hancur?Aku memegang wajahku, luka di bibir masih terasa, memar di pipi mengingatkanku pada tamparan Habib dan keputusasaanku sendiri.
Aku teringat desahan Fitri semalam, yang begitu intens dan asing, dan kata-katanya pagi ini yang menyebutku seperti orang asing. Aku merasa seperti kehilangan alasan hidup, seperti pria yang tak lagi punya tujuan. “Apa yang kalian mau?” tanyaku akhirnya, suaraku serak, hampir tak terdengar, penuh keputusasaan. Habib menatapku, matanya tenang namun tajam, “Kami ingin semua jelas, Ardi. Demi Fahri, demi kita semua.” Kata-katanya terdengar bijak, tapi bagiku seperti ejekan, karena Fahri adalah satu-satunya yang masih kugenggam di tengah kehancuran ini.
-------------------------------------------
Aku duduk di kursi kayu yang keras, menatap Fitri dan Habib Hamza yang berdampingan di sofa tua, seperti pasangan yang telah terikat erat oleh malam penuh cinta mereka.
Fitri, dengan gamis biru muda dan hijab rapi, tak menatapku, matanya terpaku pada tangan Habib yang ia genggam. Habib, berpakaian kemeja putih dan berpeci, memancarkan wibawa yang membuatku semakin merasa kecil, seperti tahanan yang menunggu hukuman. Udara pagi masih segar, tapi ruang tamu terasa pengap, penuh dengan aroma sisa gorengan dan teh dingin dari sarapan tadi, bercampur kepedihan yang tak terucapkan.Percakapan dimulai dengan kaku, seperti udara yang terjebak di antara kami.
Aku menarik napas dalam, mencoba mencari keberanian, dan akhirnya berkata, suaraku serak, “Ini semua tidak adil, Fitri.” Kata-kataku ditujukan padanya, penuh keputusasaan, berharap ia menatapku dan melihat luka yang ia timbulkan. Aku ingin ia tahu bahwa delapan tahun pernikahan kami, tawa kami di sofa ini, dan janji kami untuk Fahri, tak pantas berakhir dengan dirinya memilih pria lain. Aku menatapnya, mencari secercah penyesalan, tapi wajahnya tetap menunduk, hijabnya menutupi ekspresi yang mungkin tak ingin kukenali.Fitri akhirnya mengangkat wajah, matanya bertemu denganku untuk pertama kali pagi ini, tapi tatapannya dingin, seperti menatap orang asing.
“Maaf, Mas,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar, “Aku sekarang sudah jadi istri Habib.” Kata-katanya seperti petir di siang bolong, menghantamku hingga aku melongo, mulutku terbuka tapi tak ada suara. Aku merasa dunia berhenti, napasku tersendat, dan luka di bibirku dari tamparan Habib semalam terasa lebih perih.
Aku menatapnya, mencoba mencerna, dan dengan suara gemetar bertanya, “Sejak kapan kamu cerai dariku? Memang boleh perempuan punya dua suami?” Pertanyaan itu keluar dengan nada bingung, penuh kemarahan yang tertahan, karena aku tahu hukum tak mengizinkan poligami untuk istri.Fitri menunduk lagi, tak bisa menjawab, wajahnya memerah, mungkin karena malu atau karena tak punya alasan yang jelas. Tangannya meremas lengan Habib lebih erat, seperti mencari perlindungan.
Habib, yang selama ini diam, mengambil alih, suaranya tenang namun tegas, “Intinya, Fitri sudah menjadi istri saya, Ardi. Sekarang, saya mau kalian cerai. Saya jadi saksinya.”
Kata-katanya seperti vonis hakim, dingin dan final, seolah aku tak punya hak untuk melawan. Aku menatapnya, bingung, pikiranku kacau—bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana Fitri, yang masih istriku secara sah, bisa tiba-tiba menjadi miliknya, dan kini mereka menuntutku menceraikannya di ruang tamu rumahku sendiri?Aku melongo, tak percaya, mataku beralih dari Habib ke Fitri, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Fitri akhirnya angkat bicara lagi, suaranya lebih tegas, “Sudah, Mas, ceraikan aku saja.
Hati dan tubuhku cuma untuk Habib.” Ia merangkul lengan pria keturunan Yaman itu, kepalanya bersandar di bahunya, seperti istri yang patuh, penuh cinta yang tak pernah lagi ia tunjukkan padaku. Aku tidak habis pikir, hanya bisa bengong, menatap mereka berdua, seperti menyaksikan film yang tak kumengerti. Fitri, yang dulu tertawa di pelukanku, kini memilih pria lain, menyatakan hatinya milik Habib, di depan mataku, di rumah yang kami bangun bersama.
Aku memegang wajahku, luka di bibir terasa panas, memar di pipi mengingatkanku pada tamparan Habib dan pukulan yang kuberikan sendiri semalam. Aku teringat desahan Fitri, yang begitu intens dan asing, dan kata-katanya pagi ini yang menyebutku “laki-laki itu.” Kini, ia meminta cerai, seperti aku tak pernah berarti, seperti delapan tahun pernikahan kami hanya ilusi.
Aku ingin berteriak, menolak, tapi tubuhku kaku, seperti mati rasa. “Fitri, kamu serius?” tanyaku, suaraku hampir tak terdengar, penuh harapan bahwa ini hanya lelucon kejam. Tapi ia hanya mengangguk, matanya kembali menunduk, tangannya masih merangkul Habib, seperti menegaskan pilihannya.Habib menatapku, matanya tenang namun penuh otoritas, “Ardi, ini demi kebaikan semua, terutama Fahri. Kamu tetap ayahnya, tapi Fitri sekarang istriku.” Kata-katanya seperti pisau, memotong sisa harga diriku.
Aku teringat Fahri, yang tadi meminta jalan-jalan, polos dan tak tahu bahwa ibunya meminta cerai di pagi ini. Aku merasa seperti tahanan, dipaksa menerima keputusan mereka, di ruang tamu yang kini terasa seperti ruang sidang. Aku ingin melawan, menuntut hakku sebagai suami, tapi melihat Fitri yang begitu yakin dengan Habib, aku tahu perlawanan itu sia-sia. Aku hanya bisa bengong, tenggelam dalam kebingungan dan kepedihan.Aku teringat ranjang kami, yang kini ternoda oleh malam mereka, bau asap rokok Habib yang menempel di sprei. Aku membayangkan Fitri dan Habib di kamar tadi, sarapan dengan gorengan dan teh hangat, tertawa seperti pasangan baru, sementara aku duduk di meja tamu, dihina oleh kata-katanya. Kini, mereka menuntut cerai, di depanku, tanpa mempedulikan luka yang kini membakar dadaku.
Aku teringat doaku semalam, penuh laknat, dan hujan deras yang seperti menjawab, tapi pagi ini, aku tahu doaku tak mengubah apa pun. Fitri sudah memilih, dan aku hanya bisa duduk, menatap sofa tua yang jadi tempatku tidur semalam, merasa seperti pria yang kehilangan segalanya.
Aku teringat mertuaku, yang pergi dengan Fahri, mungkin untuk melindunginya dari pembicaraan ini, tapi juga untuk menjauhkannya dari ayah yang kini tak lagi punya peran. Aku merasa seperti orang asing, di ruang tamu ini, di hadapan istriku yang meminta cerai dan pria yang merebutnya. Aku ingin bertanya lebih banyak, tentang ijab kabul, tentang hukum yang mereka langgar, tapi kata-kata Fitri—“Hati dan tubuhku cuma untuk Habib”—seperti dinding yang tak bisa kutembus. Aku bengong, menatap hijab rapi Fitri, peci Habib, dan tangan mereka yang saling menggenggam, seperti pasangan yang sempurna, sementara aku hanyalah bayangan yang tak diinginkan.
Aku mencoba berbicara lagi, “Fitri, kita punya Fahri. Bagaimana dengan dia?” tanyaku, suaraku gemetar, berharap nama anak kami bisa menggoyahkan keputusannya.
Tapi Fitri hanya menggeleng pelan, “Fahri akan baik-baik saja, Mas. Mas Habib akan menjaganya.” Habib mengangguk, “Kami akan urus Fahri, Ardi. Kamu tetap ayahnya.” Kata-katanya terdengar bijak, tapi bagiku seperti penghinaan, seperti mereka merampas anakku juga. Aku teringat permintaan Fahri untuk jalan-jalan, dan itu satu-satunya yang menahanku dari ambruk, tapi kini, bahkan itu terasa seperti harapan kosong.Aku menatap lantai, pikiranku kacau, tidak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi. Aku teringat delapan tahun pernikahan kami, tawa Fitri di sofa ini, malam-malam mesra kami, dan janji kami untuk Fahri. Kini, semuanya lenyap, digantikan oleh Fitri yang merangkul lengan Habib, menyatakan hatinya milik pria keturunan Yaman itu.
Aku ingin menangis, tapi air mata seolah sudah kering, hanya menyisakan rasa kosong yang tak terucapkan. Aku teringat luka di bibirku, tamparan Habib, dan desahan Fitri yang asing, semua seperti simbol bahwa aku tak lagi punya tempat di rumah ini.Habib bangkit, “Kita selesaikan ini hari ini, Ardi. Ucapkan talak, dan saya jadi saksinya,” katanya, suaranya tegas, seperti perintah. Fitri mengangguk, matanya masih menunduk, tapi tangannya semakin erat merangkul Habib. Aku hanya bisa bengong, tubuhku kaku, hati mati rasa. Aku ingin menolak, berteriak bahwa ini tidak adil, tapi melihat Fitri yang begitu yakin, aku tahu perlawanan itu tak akan mengubah apa pun. Aku teringat pintu kamar yang terkunci, ranjang yang ternoda, dan kata-kata Fitri yang menyebutku “laki-laki itu.” Aku merasa seperti pria paling hina, duduk di ruang tamu, dipaksa menceraikan istriku di depan pria yang merebutnya.
-----------------------------
Fitri memegang lengan Habib, wajahnya menunduk, menghindari pandanganku seperti selalu. Habib, berpakaian kemeja putih dan berpeci, menatapku dengan mata penuh otoritas, menunggu aku mengucapkan talak yang mereka tuntut. Aku ingin menuruti keinginan mereka, ingin mengakhiri penderitaan ini dengan kata-kata talak, tapi rasa sakit di dadaku begitu dalam, seperti luka yang tak pernah sembuh, menghambat setiap kata yang ingin keluar.354Please respect copyright.PENANAX8JoLorwnq
Aku menunduk, memegang wajahku, luka di bibir masih perih dari tamparan Habib dan pukulan yang kuberikan sendiri semalam. Pikiranku kacau, terbayang delapan tahun pernikahan kami, tawa Fitri di sofa ini, malam-malam mesra kami, dan janji kami untuk Fahri. Kini, Fitri meminta cerai, menyatakan hati dan tubuhnya untuk Habib, pria keturunan Yaman yang kini menguasai rumahku. Aku ingin mengucapkan talak, membebaskan diri dari penderitaan ini, tapi setiap kali membayangkan hidup tanpa Fitri, dadaku seperti terhimpit batu. Aku menangis sejadi-jadinya, air mata mengalir tanpa kendali, membasahi wajahku yang sudah memar, dan tanpa sadar aku berlutut di lantai, mencoba menyembunyikan rasa sedih yang tak tertahankan.“Kenapa ini terjadi padaku?” gumamku, suaraku parau, penuh keputusasaan, seperti bertanya pada udara yang tak menjawab. 354Please respect copyright.PENANAkJvV8DfvU8
Aku merangkak mendekati Fitri, tanganku gemetar, dan dengan penuh luka aku memegang kaki Fitri yang tersembunyi di balik gamisnya. Aku mencium kakinya, seperti orang yang memohon ampun, air mata menetes ke kain gamisnya, meninggalkan noda basah.354Please respect copyright.PENANAM62qi8hEkp
“Aku salah apa selama ini, Fitri?” tanyaku, setengah memohon, suaraku patah-patah, “Kenapa kamu meninggalkanku? Fitriku sayang, kenapa kamu pergi?” Aku menatapnya, berharap ia menoleh, memberikan jawaban yang bisa menjelaskan pengkhianatan ini, tapi Fitri menolak menjawab, kepalanya tetap menunduk, matanya menghindari pandanganku seperti aku tak lagi berarti.354Please respect copyright.PENANAWDL6Be697E
Air mata terus mengucur, membanjiri wajahku, bercampur dengan luka di bibir yang terasa semakin perih. Aku masih memegang kaki Fitri, menciuminya lagi, seperti orang yang kehilangan akal, berharap sentuhan itu bisa mengembalikan Fitri yang dulu, yang mencintaiku di sofa ini, yang tertawa di pelukanku. “Fitri, tolong… ceritakan aku salah apa,” bisikku, suaraku hampir tak terdengar, penuh harapan yang rapuh. 354Please respect copyright.PENANAC6Gl6fX8Il
Tapi Fitri hanya menggeleng pelan, tangannya meremas lengan Habib lebih erat, seperti mencari perlindungan dari pria yang kini ia panggil suami. Ia menolak melihatku, wajahnya tertutup hijab, tapi aku tahu ia tak ingin menghadapi luka yang ia timbulkan, seperti aku hanyalah bayangan yang tak lagi relevan.Habib, yang selama ini diam, akhirnya berbicara, “Ardi, cukup. Jangan buat ini lebih sulit.” Suaranya dingin, tapi ada sedikit simpati yang terasa kosong, seperti formalitas belaka. 354Please respect copyright.PENANApRdFjtT4b3
Aku menatapnya, matanya tenang namun tegas, seperti pria yang tahu ia telah menang. Aku ingin berteriak, menuntut keadilan, tapi air mata dan rasa sakit membuatku tak berdaya. Aku tetap berlutut, tanganku masih memegang kaki Fitri, menciuminya sekali lagi, berharap ia merasakan penyesalan, tapi ia hanya menarik kakinya perlahan, seperti menolak sentuhanku. 354Please respect copyright.PENANA61AfIMS0Or
Aku merasa seperti pria paling hina, berlutut di depan istriku yang tak lagi menganggapku, di ruang tamu yang kini jadi saksi kehancuranku.Aku menangis lebih keras, isakku menggema di ruang tamu yang sepi, hanya ditemani suara burung dari luar. Aku teringat Fahri, yang kini bersama mertuaku, polos dan tak tahu bahwa ayahnya sedang memohon di depan ibunya. “Fitri, kita punya Fahri,” kataku, suaraku patah, berharap nama anak kami bisa menggoyahkan keputusannya. 354Please respect copyright.PENANARLG7yNiWIh
Tapi Fitri hanya menggeleng lagi, “Fahri akan baik-baik saja, Mas,” katanya pelan, suaranya dingin, seperti menegaskan bahwa ia telah memilih hidup baru dengan Habib. Aku tidak habis pikir, bagaimana ia bisa begitu yakin, meninggalkanku dan Fahri untuk pria yang baru ia kenal, yang kini menguasai ranjang dan rumah kami.Aku teringat ranjang kami, yang kini ternoda oleh malam mereka, bau asap rokok Habib yang menempel di sprei. 354Please respect copyright.PENANA2q6wk23oWl
Aku membayangkannya sarapan di kamar tadi, Fitri yang menyebutku “laki-laki itu,” dan desahan intensnya yang tak pernah kuberikan. Rasa sakit ini begitu dalam, seperti pisau yang terus menikam, membuatku ingin menyerah, mengucapkan talak seperti yang mereka minta. Tapi setiap kali aku mencoba, gambar Fitri yang dulu, yang tersenyum di pelukanku, menghentikanku. Aku menangis lagi, air mata membasahi lantai, dan aku bertanya dalam hati, “Kenapa ini terjadi padaku? Apa dosaku?” tapi hanya keheningan yang menjawab, seperti doaku semalam yang penuh laknat.Habib bangkit, “Ardi, berdiri.354Please respect copyright.PENANA4veum9PYFS
Selesaikan ini seperti laki-laki,” katanya, suaranya tegas, seperti perintah. Aku menatapnya, ingin melawan, tapi tubuhku lemas, seperti mayat hidup. Fitri tetap menunduk, tak menjawab pertanyaanku, tak melihatku, seperti aku hanyalah bayangan yang mengganggu. Aku melepaskan kaki Fitri, tanganku gemetar, dan bangkit perlahan, wajahku basah oleh air mata. Aku teringat tamparan Habib, pintu kamar yang terkunci, dan kata-kata Fitri yang menyatakan hatinya untuk pria lain. Aku merasa seperti tahanan, dipaksa menerima keputusan mereka, di ruang tamu yang kini terasa seperti ruang eksekusi.
ns216.73.216.143da2