“Yah, Bunda kenapa pergi sendiri? Kok nggak bareng kita?” Pertanyaannya yang lugu seperti palu yang menghantam dadaku, membuatku hanyut dalam lamunan kelam: Fitri, istriku, kini ada di dalam Rubicon mewah itu, mungkin bersama Habib Hamza, pria yang malam tadi memeluk dan mengelusnya dengan mesra di tenda putih. Aku membayangkan Fitri tersenyum genit di sampingnya, gamis satin biru tuanya berkilau, rambutnya yang tergerai di bawah jilbab baru, dan tangan Habib yang kembali meraba tubuhnya, seolah cinta kami yang delapan tahun ini tak pernah ada. Aku menunduk, tak mampu menjawab Fahri, tatapanku kosong menatap lantai yang berdebu.
Fahri tak berhenti bertanya, suaranya semakin keras, “Yah, Bunda ke mana? Sama Habib Hamza lagi, ya?” Ia menggoyangkan bahuku dengan tangan kecilnya, dan getaran itu menyadarkanku dari lamunan yang menyiksa. Matanya yang bening penuh kebingungan, menuntut jawaban yang tak bisa kuberikan. Aku hanya mengusap kepalanya, mulutku terkunci, tapi di dalam hati, cemburu dan rasa takut kehilangan Fitri mendorongku untuk bertindak. “Fahri, ayo ikut Bapak,” kataku tiba-tiba, suaraku serak. Aku bangkit, menariknya ke luar rumah, menuju motor bebek tua yang terparkir di bawah pohon mangga. Dengan tangan gemetar, aku menyalakan mesin, membonceng Fahri di belakangku, tekadku hanya satu: mengikuti Fitri dan Rubicon itu, mencari tahu ke mana ia pergi dan dengan siapa.
Mesin motor berderu pelan saat aku melaju ke jalanan berdebu kota M, Fahri memeluk pinggangku erat, suaranya nyaris tenggelam oleh angin, “Yah, kita mau nyusul Bunda, ya?” Aku hanya mengangguk, tak bisa menjawab, pikiranku dipenuhi bayangan Fitri di mobil mewah itu, nyaman di kursi empuk ber-AC, sementara aku dan Fahri panas-panasan di atas motor tua yang knalpotnya berisik. Jalanan yang tadi pagi sepi kini mulai ramai, tapi aku tak peduli, mataku mencari-cari kilau hitam Rubicon itu di antara kendaraan lain. Hatiku was-was, setiap deru mesin lain terasa seperti ejekan, mengingatkanku pada ketidakmampuanku sebagai suami—aku tak punya mobil mewah, hanya motor bebek yang berderit, sementara Fitri, istriku yang cantik, kini berada di dunia yang terasa jauh lebih tinggi dariku.
Rasa inferior menyerangku seperti gelombang. Aku, karyawan kantor biasa dengan gaji pas-pasan, tak bisa memberikan kemewahan seperti Rubicon itu, tak bisa menandingi karisma Habib Hamza yang dipuja warga. Aku membayangkan Fitri, dengan gaun satin elegan dan parfum mahal, duduk di samping Habib, mungkin tertawa bersama, tangan pria itu kembali mengelus pinggulnya seperti malam tadi, atau lebih jauh lagi, melakukan hal-hal yang hanya boleh kulakukan sebagai suaminya. Gambar itu membuat dadaku sesak, tanganku mencengkeram setang motor lebih keras, keringat bercampur debu menempel di wajahku. Fahri, di belakang, masih sesekali bertanya, “Yah, Bunda di mana?” tapi aku tak bisa menjawab, hanya mempercepat laju motor, berharap bisa mengejar mobil itu sebelum bayangan terburukku menjadi nyata.
Jalanan kota M yang berliku terasa seperti labirin, setiap tikungan membawa harapan dan ketakutan baru. Aku melaju melewati warung-warung kecil, sawah hijau, dan rumah-rumah tetangga, tapi tak ada tanda-tanda Rubicon itu. Fahri memelukku lebih erat, mungkin merasakan kegelisahanku, tapi ia tak lagi bertanya, hanya diam menatap jalanan. Aku merasa seperti laki-laki yang tersesat, bukan hanya di jalan ini, tapi juga dalam pernikahan kami. Fitri, yang dulu selalu menanti di rumah dengan senyum hangat, kini pergi dengan alasan yang samar, mengenakan pakaian dan parfum yang bukan dariku. Apakah ia benar-benar hanya “berurusan” dengan panitia sholawatan, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang ia sembunyikan? Kecurigaan itu seperti racun, membuatku semakin was-was, tapi aku terus melaju, bertekad menemukan Fitri, meski hati ini takut menghadapi kebenaran.
Angin panas menyapu wajahku, knalpot motor berderit, dan debu jalanan menempel di kulitku dan Fahri. Aku merasa kecil, seorang suami yang tak bisa memberikan kenyamanan seperti mobil ber-AC yang kini membawa Fitri pergi. Bayangan Habib Hamza, dengan sorban dan jubahnya, mengelus Fitri di tenda putih, terus berputar di kepalaku, membuatku membayangkan mereka berdua di Rubicon itu, mungkin berhenti di suatu tempat, Fitri tersenyum padanya seperti ia tersenyum padaku di sofa kami. Aku menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu, tapi rasa inferior semakin kuat—aku tak bisa menandingi kemewahan atau pengaruh Habib Hamza, dan ketakutan bahwa Fitri mungkin tergoda oleh dunia itu membuat hatiku semakin tenggelam. Aku melirik Fahri di spion, wajahnya penuh harap, dan aku berjanji dalam hati: aku harus menemukan Fitri, demi keluarga kami, demi menyelamatkan apa yang masih tersisa dari cinta kami.
Jalanan mulai ramai dengan motor dan pejalan kaki, tapi Rubicon itu seperti lenyap ditelan bumi. Aku melaju tanpa arah pasti, hanya mengikuti naluri, hati dipenuhi doa agar Fitri masih menjadi istriku, bukan milik pria lain. Fahri diam, tangannya masih memelukku, dan aku tahu ia juga merindukan Bunda-nya, sama seperti aku merindukan Fitri yang dulu—wanita yang mencintaiku dengan sederhana, bukan yang kini melaju dalam mobil mewah, menjauh dari kehidupan kami. Aku terus mengendarai motor, panas matahari membakar kulitku, tapi yang lebih panas adalah luka di hatiku, was-was bahwa Fitri mungkin sudah tak lagi melihatku sebagai suaminya, dan aku hanya bisa berharap, dengan setiap putaran roda, bahwa aku masih bisa membawanya pulang.
------------------------------
Motor bebekku berderit melewati beberapa kilometer jalanan kota M, debu dan panas matahari menyengat kulitku dan Fahri yang memelukku erat dari belakang. Aku, Ardi, melaju tanpa henti, mata mencari kilau Rubicon hitam yang membawa Fitri, istriku, entah ke mana. Setelah melewati jalan besar yang ramai dengan kendaraan, akhirnya aku melihat mobil mewah itu berhenti di depan sebuah restoran mewah, dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan dan pintu kaca besar yang mencerminkan kemewahan. Restoran ini, yang namanya sering kulewati tapi tak pernah kumasuki, adalah tempat yang aku dan Fitri pernah bermimpi untuk kunjungi suatu hari nanti, makan malam romantis bersama keluarga, meski hanya mimpi karena gajiku tak pernah cukup untuk tempat semahal ini. Kini, Fitri ada di sana, tapi bukan denganku—melainkan dengan pria lain, dan hatiku semakin terbakar oleh cemburu yang tak terucapkan.
Aku memarkir motor di sudut jalan, cukup jauh agar tak terlihat, dan menggandeng Fahri untuk membuntuti mereka. Dari luar, aku melihat Fitri turun dari Rubicon, gaun satin biru tuanya berkibar anggun, parfumnya pasti masih wangi, dan di sampingnya, benar saja, Habib Hamza dengan jubah cokelat dan sorban putih, berjalan dengan percaya diri seperti pasangan yang sah. Fahri hampir berteriak, “Bunda!” tapi aku cepat menutup mulutnya dengan tangan, berbisik, “Sst, Fahri, diam dulu, ya.” Matanya yang polos mengangguk, mengerti bahwa ia harus tenang, meski aku tahu ia bingung. Kami menyelinap masuk ke restoran, aroma makanan mahal dan pendingin udara menyapa kami, kontras dengan keringat dan debu di tubuhku. Aku memilih meja di sudut paling ujung, tersembunyi di balik pilar, dari mana aku bisa mengamati Fitri dan Habib Hamza tanpa mereka sadari.
Fitri dan Habib Hamza langsung menuju meja yang sudah diisi oleh beberapa laki-laki berpakaian gamis kearab-araban, wajah mereka penuh senyum, beberapa mengenakan sorban seperti Habib. Mereka duduk berhadapan, meja dipenuhi hidangan yang terlihat mahal—piring-piring berisi daging panggang, nasi kebuli, dan gelas-gelas jus yang berkilau. Fitri tersenyum, wajahnya cerah seperti malam tadi di tenda, dan Habib Hamza duduk dekat di sampingnya, tangannya sesekali menyentuh lengan Fitri dengan santai, gerakan yang terlihat akrab namun menyakitkan bagiku. Aku memandang dari kejauhan, dadaku sesak, merasa seperti orang asing yang menyaksikan istriku menjadi bagian dari dunia yang tak bisa kuraih. Fahri, yang mulai gelisah di sampingku, menatapku dengan mata penuh tanya, tapi aku hanya mengusap kepalanya, mencoba menahan luka yang semakin dalam.
Untuk menjaga Fahri tetap diam, aku memesan es krim cokelat untuknya, meski harganya membuatku menelan ludah—hampir setara dengan setengah hari gajiku. Fahri menerimanya dengan senyum lebar, menjilat es krim dengan lahap, suaranya pelan, “Enak, Yah!” Aku tersenyum pahit, berusaha menutupi kegelisahan, tapi mataku tak bisa lepas dari meja Fitri. Di sana, Habib Hamza tertawa lebar, berbicara dengan suara yang tak kudengar jelas, tapi sikapnya penuh karisma, membuat Fitri sesekali terkekeh, tangannya memainkan ujung gaun satinnya. Laki-laki lain di meja itu juga tampak terpikat oleh Fitri, salah satunya bahkan memuji, “Subhanallah, Ummi Fitri, kehadiranmu bikin meja ini bercahaya!” dan tawa mereka menggema, membuatku merasa semakin kecil, seperti suami yang tak punya tempat di hidup istriku sendiri.
Aku duduk membungkuk di meja ujung, menyaksikan Fitri yang tampak begitu nyaman di antara laki-laki itu, gaunnya yang elegan dan parfumnya yang wangi membuatnya seperti ratu di tengah mereka. Habib Hamza, dengan senyum yang sama seperti malam tadi, sesekali memandang Fitri dengan tatapan yang terlalu intim, tangannya kembali menyentuh bahunya, gerakan yang mungkin biasa bagi mereka tapi seperti pisau bagiku. Aku teringat mimpi kami untuk makan di tempat seperti ini, berbagi tawa sebagai keluarga, tapi kini Fitri mewujudkannya tanpa aku, bersama pria yang kini terasa seperti mengambil alih hidupnya. Fahri, yang masih menikmati es krimnya, tak menyadari betapa hatiku hancur, hanya sesekali melirikku dan bertanya, “Yah, Bunda lama, ya?” Aku tak bisa menjawab, hanya mengangguk, tenggelam dalam cemburu yang membakar.
Restoran itu, dengan lampu kristalnya dan meja-meja berhiaskan taplak putih, terasa seperti dunia lain, tempat yang tak pernah kumasuki bersama Fitri karena keterbatasanku. Aku merasa inferior, seorang karyawan biasa dengan motor bebek tua, tak bisa memberikan kemewahan yang kini Fitri nikmati. Bayangan malam tadi di tenda putih—Habib Hamza mengelus pinggul Fitri, mencium jilbabnya—kembali menghantuiku, dan kini, melihat mereka duduk begitu dekat, aku tak bisa mengusir pikiran bahwa Fitri mungkin tergoda oleh dunia ini, oleh karisma dan kekayaan Habib Hamza. Aku ingin berlari ke mejanya, menarik Fitri pulang, tapi kakiku terpaku, takut menghadapi kenyataan yang mungkin lebih pahit dari dugaanku. Aku hanya bisa menatap, dengan Fahri di sampingku, menjilat es krimnya tanpa tahu bahwa keluarga kami sedang berada di ujung kehancuran.
Pelayan restoran berlalu-lalang, aroma makanan mahal menggoda, tapi aku tak punya selera. Fitri, di meja itu, tertawa lagi, dan Habib Hamza mencondongkan tubuhnya kepadanya, berbisik sesuatu yang membuat Fitri menutup mulut, tersenyum malu. Laki-laki lain di meja itu ikut tertawa, suasana mereka seperti pesta kecil, sementara aku merasa seperti penutup yang tak diundang. Fahri selesai dengan es krimnya, menatapku dengan mata polos, “Yah, kita tunggu Bunda sampe selesai, ya?” Aku mengangguk, tapi hatiku berteriak, ingin tahu apa yang Fitri lakukan di sini, bersama siapa, dan mengapa ia semakin menjauh dariku. Di sudut restoran ini, dengan Fahri sebagai satu-satunya penutupku, aku merasa seperti laki-laki yang kehilangan segalanya, hanya bisa menatap istriku dari kejauhan, tenggelam dalam dunia yang tak lagi kukenali.
---------------------------------------
Cahaya lampu kristal memantul di gaun satin biru tua Fitri, membuatnya tampak seperti ratu, tapi setiap senyumnya yang malu-malu saat dipuji kecantikannya oleh mereka seperti pisau yang menikam dadaku. Aku berusaha fokus, menyipitkan mata dan memasang telinga, tapi suara pelayan yang berlalu-lalang dan denting piring menyamarkan percakapan mereka. Yang kuperhatikan hanya tawa mereka yang sesekali meledak, diiringi Fitri yang menunduk, pipinya merona, dan Habib Hamza yang duduk dekat, tangannya sesekali menyentuh lengan Fitri dengan penuh keakraban. Fahri, di sampingku, masih asyik menjilat es krim cokelatnya, tak menyadari badai yang berkecamuk di hatiku, sementara aku tenggelam dalam cemburu yang semakin membakar.
Penasaran dan tak tahan lagi, aku melambai pada seorang pelayan muda yang kebetulan lewat, bertanya dengan suara pelan, “Mereka di meja itu ngomongin apa, ya?” Pelayan itu, dengan senyum kecil, menoleh ke arah meja Fitri, lalu berbisik, “Oh, Habib Hamza lagi ngadain ijab kabul, katanya mau nikahi istri kedua. Istrinya cantik dan seksi banget, lho, Pak!” Ia terkekeh, matanya berbinar, lalu menambahkan dengan nada penuh fantasi, “Saya aja iri, sih, bayangin bisa punya istri kayak gitu. Kulitnya putih mulus, pinggulnya aduhai, pasti enak dipeluk tiap malam.” Kata-katanya, yang menggambarkan Fitri dengan begitu vulgar, membuat darahku mendidih, tapi aku tak bisa berkata apa-apa, hanya menunduk, mencerna bahwa pelayan itu mengira Fitri sudah jadi istri sah Habib Hamza, dan fantasinya tentang istriku seperti tamparan di wajahku.
Tiba-tiba, dari meja mereka, terdengar suara sayup-sayup, “Sah!” diikuti ucapan “Alhamdulillah!” dan sorak-sorai pelan yang penuh sukacita. Aku menoleh, dan dunia seolah berhenti berputar. Habib Hamza, dengan senyum penuh kemenangan, mencondongkan tubuhnya ke Fitri, tangannya memegang dagunya, lalu mencium bibirnya—bibir yang selama ini hanya untukku—dengan penuh nafsu, menyedot lidahnya berkali-kali, gerakan yang begitu intim dan panjang. Fitri tampak pasrah, matanya setengah terpejam, tapi ada rona bahagia di wajahnya, seolah ia menikmati ciuman itu, seolah aku, suaminya, tak pernah ada. Sorak-sorai kecil dari laki-laki di meja itu, “Subhanallah, pasangan serasi!” menggema, membuat restoran terasa seperti panggung pernikahan yang merayakan pengkhianatan. Fahri, masih sibuk dengan es krimnya, tak melihat adegan itu, tapi hatiku remuk seketika, seperti kaca yang hancur berkeping-keping.
Aku terpaku di kursi, tanganku mencengkeram meja, napasku tersengal. Fitri, istriku yang kucintai selama delapan tahun, yang setiap malam kupeluk di sofa ruang tamu, kini dicium dengan begitu mesra oleh Habib Hamza, di depan orang-orang yang menganggapnya istri keduanya. Gambar ciuman itu terpaku di pikiranku—bibir Fitri yang lembut, yang selalu kucium dengan cinta, kini ternoda oleh pria lain, dan ekspresi bahagianya seperti menghapus semua kenangan kami. Aku ingin berlari ke sana, menarik Fitri dari pelukannya, tapi kakiku lumpuh, dan rasa inferior sebagai suami yang tak bisa memberikan kemewahan seperti restoran ini atau Rubicon itu membuatku merasa tak berdaya. Aku hanya bisa menatap, tenggelam dalam luka yang tak terucapkan, sementara aroma makanan mahal di restoran ini terasa seperti racun.
Fahri, selesai dengan es krimnya, menoleh padaku, “Yah, Bunda selesai belum?” tanyanya polos, tak tahu bahwa ibunya baru saja “dinikahi” dalam ijab kabul yang kini mengguncang duniaku. Aku mengusap kepalanya, berusaha tersenyum, tapi wajahku kaku, mataku masih tertuju pada Fitri yang kini tersenyum kecil, tangannya memegang tangan Habib Hamza di atas meja, gerakan yang begitu alami seolah mereka sudah lama bersama. Laki-laki lain di meja itu terus mengobrol, sesekali memuji Fitri, “Ummi Fitri, kehadiranmu bikin Habib berseri-seri!” dan tawa mereka kembali menggema. Aku merasa seperti orang asing, seorang suami yang ditinggalkan di sudut, menyaksikan istriku menjadi milik pria lain, di tempat yang seharusnya jadi mimpi kami bersama.
Pikiran gelapku tak bisa berhenti. Apakah Fitri benar-benar menikah dengan Habib Hamza? Apakah ciuman itu adalah awal dari kehidupan baru yang ia pilih, meninggalkanku dan Fahri? Aku teringat gaun satin dan parfum mahal yang ia bawa kemarin, hadiah yang kini kuyakini dari Habib, dan sikapnya yang dingin sejak malam tadi. Setiap tawa Fitri, setiap sentuhan Habib padanya, terasa seperti konfirmasi bahwa ia sudah tak lagi melihatku sebagai suaminya. Aku menunduk, mencoba menahan air mata yang menggenang, tak ingin Fahri melihatku hancur. Restoran ini, dengan kemewahannya, terasa seperti penjara, dan aku terjebak di dalamnya, menyaksikan Fitri melangkah ke dunia yang tak bisa kuraih, meninggalkanku dengan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh.
Di meja kami, Fahri mulai menguap, es krimnya sudah habis, tapi aku tak bisa bergerak, masih terpaku pada Fitri yang kini berbicara pelan dengan Habib Hamza, wajah mereka begitu dekat. Sorak-sorai tadi sudah mereda, tapi ciuman itu, ekspresi bahagia Fitri, dan kata “sah” terus bergema di kepalaku, seperti mantra yang menghancurkan segalanya. Aku ingin berteriak, menanyakan kebenaran pada Fitri, tapi aku takut jawabannya akan menghapus sisa-sisa harapanku. Fahri memegang tanganku, “Yah, kita pulang, ya?” katanya pelan, tapi aku hanya mengangguk, tak tahu apakah aku masih punya rumah untuk pulang, atau apakah Fitri, istriku, sudah benar-benar menjadi milik orang lain di bawah lampu kristal restoran ini.
1969Please respect copyright.PENANAwJC6jWJWyX
TO BE CONTINUED
1969Please respect copyright.PENANAAl32Vv4NhT