797Please respect copyright.PENANAAziCoEgdMi
Motor bebekku berderit pelan saat aku, Ardi, berhenti di depan rumah besar yang kukenali sebagai kediaman Habib Hamza di pinggir kota M. Entah berapa banyak rumah yang dimilikinya, tapi ini satu-satunya alamat yang pernah kukunjungi saat pengajian dulu, dan tanpa alasan jelas, kakiku membawaku ke sini. Malam sudah menyelimuti, lampu-lampu jalan menerangi pagar besi yang megah, dan jantungku berdegup kencang, bercampur cemburu, bingung, dan rasa ingin tahu yang tak bisa kutahan. Aku mematikan mesin motor, menatap rumah bercat putih dengan ornamen arabesque di dindingnya, dan tanpa berpikir panjang, aku mendorong gerbang yang ternyata tak terkunci, melangkah masuk dengan hati was-was, tak tahu apa yang kucari—Fitri, Habib, atau hanya jawaban atas kehancuran hidupku.
Lorong menuju pintu utama terasa panjang, dihiasi pot bunga dan lampu taman yang redup. Aku mengetuk pintu kayu berukir, suaraku serak saat mengucap salam, “Assalamualaikum,” tapi tak ada jawaban. Dengan tangan gemetar, aku mendorong pintu yang ternyata sedikit terbuka, dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas, berhiaskan karpet Persia dan sofa beludru merah. Aroma oudh yang khas memenuhi udara, kontras dengan bau debu jalanan yang menempel di bajuku. Aku berdiri kaku, merasa seperti penyusup, sampai suara langkah ringan dari arah dalam membuatku menoleh. Seorang wanita muncul, dan dadaku seperti terhenti—itu Zahra, istri Habib Hamza, sedang sendirian di rumah ini.
Zahra, keturunan Arab dan Jawa, berdiri di ambang ruang tamu, perawakannya seperti wanita Timur Tengah yang memesona. Tingginya melebihi Fitri, mungkin sekitar 170 cm, dengan postur anggun yang menjulang. Kulitnya sawo matang keemasan, halus seperti sutra, dan matanya yang besar berwarna cokelat tua berbingkai bulu mata lentik, seolah bisa menembus jiwa. Hidungnya mancung, ciri khas Arab, tapi wajahnya lembut dengan sentuhan Jawa yang ayu, bibirnya penuh dengan sedikit kilau lip gloss alami. Rambutnya yang hitam pekat, tersembunyi di balik jilbab krem yang dikenakan longgar, namun tetap menonjolkan kecantikannya. Tubuhnya semok, lekuk pinggang dan pinggulnya terlihat jelas meski tertutup gamis longgar berwarna zaitun, memberikan aura sensual namun anggun, seperti ratu dari dongeng Seribu Satu Malam.
Zahra menatapku dengan alis sedikit terangkat, “Ardi? Apa kabar, masuk,” katanya dengan suara lembut namun berwibawa, aksennya bercampur logat Jawa halus dan nada Arab yang khas. Aku tergagap, tak tahu harus menjawab apa, merasa kecil di hadapan wanita yang begitu menawan ini, istri pria yang kini “menikahi” Fitri. Aku melangkah masuk, duduk di ujung sofa, tanganku mencengkeram lutut, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Zahra duduk di sofa seberang, gerakannya anggun, gamisnya mengalir seperti air, dan aroma parfumnya yang manis bercampur oudh membuat ruangan terasa semakin intim. “Habib sedang keluar, kalau kamu cari dia,” katanya, matanya menyelidik, seolah tahu ada sesuatu yang membawaku ke sini tanpa undangan.
Aku menunduk, tak bisa menatap matanya yang tajam, pikiranku dipenuhi Fitri—daster tipisnya, rambut terikat, dan elusan Habib di pahanya di rumahku tadi sore. Aku ingin bertanya pada Zahra, apakah ia tahu tentang ijab kabul Fitri, apakah ia menerima suaminya menikah lagi, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokan. “Saya… cuma mampir,” gumamku, bohong, suaraku serak. Zahra tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di matanya—simpati, atau mungkin rasa tahu yang tak diucapkan. “Fitri tadi ke sini, tapi sudah pulang,” katanya tiba-tiba, membuat jantungku seperti berhenti. Aku menatapnya, mulutku kering, ingin bertanya apa yang Fitri lakukan di sini, tapi tak berani, takut jawabannya akan menghancurkan sisa harapanku.
Ruang tamu yang megah ini, dengan lampu gantung kristal dan dinding berhiaskan kaligrafi, terasa seperti dunia lain, jauh dari rumah sederhanaku. Zahra, dengan kecantikan dan keanggunannya, seolah mencerminkan kehidupan yang tak bisa kuraih, kehidupan yang kini Fitri masuki bersama Habib Hamza. Aku merasa inferior, seorang karyawan biasa dengan motor bebek tua, berdiri di hadapan istri pria yang telah mengambil segalanya dariku. Aku teringat ciuman Fitri dan Habib di restoran, restu mertuaku, dan daster tipis Fitri tadi sore, dan semua itu seperti menegaskan bahwa aku tak lagi punya tempat. Zahra memandangku, “Kamu baik-baik saja, Ardi?” tanyanya, suaranya lembut, tapi aku hanya menggeleng, tak mampu berkata apa-apa.
Aku bangkit, tiba-tiba merasa tak nyaman berada di rumah ini, di hadapan Zahra yang begitu cantik namun mengingatkanku pada kegagalan sebagai suami. “Saya… pulang dulu,” kataku, suaraku nyaris tak terdengar. Zahra mengangguk, tak memaksa, tapi matanya seolah menyimpan rahasia yang tak ia ungkap. Aku melangkah keluar, meninggalkan aroma oudh dan keanggunan Zahra, kembali ke motor tuaku yang berdebu. Aku menyalakan mesin, melaju pelan meninggalkan rumah megah itu, pikiranku kacau. Apa yang Fitri lakukan di sini? Apakah Zahra tahu tentang “pernikahan” mereka? Dan mengapa aku datang ke sini, hanya untuk menemukan lebih banyak pertanyaan tanpa jawaban?
Jalanan malam kota M terasa semakin dingin, lampu-lampu jalan berkedip samar, dan aku melaju tanpa tujuan, seperti jiwa yang tersesat. Zahra, dengan perawakannya yang menawan, tinggi, semok, dan aura Timur Tengah yang memesona, terus terbayang, tapi bukan karena kekaguman—melainkan karena ia istri Habib Hamza, pria yang kini memiliki Fitri. Aku merasa kecil, tak bisa menandingi kemewahan rumah itu, karisma Habib, atau bahkan kecantikan Zahra yang seolah menegaskan bahwa Fitri kini berada di liga yang berbeda. Air mata menggenang lagi, tapi aku menahannya, mencoba fokus pada jalanan berdebu di depan.
Aku teringat Fahri, yang kutinggalkan di rumah bersama Fitri, Habib, dan mertuaku. Aku merasa bersalah, meninggalkannya lagi, tapi aku tak sanggup menghadapi mereka, tak sanggup melihat Fitri dirangkul Habib di sofa kami. Kunjunganku ke rumah Habib Hamza, yang tanpa alasan jelas, hanya memperdalam luka—Zahra, dengan kelembutan dan kecantikannya, seolah menjadi cermin dari hidup baru Fitri yang tak kumasuki. Aku membayangkan Fitri di rumah ini, mungkin duduk di sofa yang sama, dirangkul Habib, dan hati ini semakin remuk. Aku terus melaju, entah ke mana, hanya ingin menjauh dari semua—dari rumah megah itu, dari Zahra, dan dari kenyataan bahwa Fitri kini terasa begitu jauh.
-----------------------------
Dengan suara serak, aku memberanikan diri, “Zahra… apa kamu tahu apa yang terjadi antara Fitri, istriku, dan Habib Hamza?” Aku menatapnya, takut namun penuh harap. Zahra, dengan gerakan anggun, mengambil ceret perak dari meja, menuangkan teh ke gelas kecil di depanku, uapnya mengepul membawa aroma melati yang lembut. Ia membungkuk sedikit, dan saat itu aku mendapati keindahan yang berbeda dari Fitri—tubuh Zahra begitu semok, lekuk pinggang dan pinggulnya terlihat jelas meski tertutup gamis zaitun yang longgar, seperti patung yang diukir dengan sempurna. Kulitnya yang sawo matang keemasan berkilau di bawah lampu kristal, dan aroma parfumnya, manis bercampur oudh, memenuhi indera penciumanku. Aku menunduk cepat, merasa bersalah karena terpesona, bertanya dalam hati: apa semua keturunan Arab seindah ini?
Zahra duduk kembali, memegang gelas tehnya dengan jari-jari lentik, dan menatapku dengan mata cokelat tua yang tenang namun dalam. “Aku tahu, Ardi,” katanya dengan suara lembut, aksen Arab-Jawanya seperti alunan musik, tapi kata-katanya seperti pisau yang menikam. “Hamza menikahi Fitri pagi ini, dalam ijab kabul yang sah.” Aku tersentak, meski sudah menduga, mendengarnya dari Zahra membuatnya terasa lebih nyata, lebih menyakitkan. Aku menatap gelas teh di depanku, uapnya masih mengepul, tapi tanganku terlalu gemetar untuk mengambilnya. Bayangan Fitri, dengan daster tipis di rumahku tadi sore, dirangkul Habib Hamza, dan ciuman mesra mereka di restoran, kembali menghantamku, membuat dadaku sesak seperti dihimpit batu.
Zahra melanjutkan, suaranya tetap tenang, “Hamza bilang Fitri adalah wanita yang istimewa, dan ia ingin menjadikannya istri kedua. Aku… menerima keputusannya.” Ia menyesap tehnya, gerakannya anggun, tapi ada sedikit keraguan di matanya, seolah ia juga menyimpan luka yang tak diucapkan. Aku menatapnya, tak percaya. “Kamu… baik-baik saja dengan ini?” tanyaku, suaraku parau, penuh kebingungan. Zahra tersenyum tipis, “Sebagai istri, aku belajar menerima. Hamza punya hak, dan Fitri… dia tampak bahagia.” Kata-kata itu seperti tamparan, mengingatkanku pada senyum Fitri saat dicium Habib, pada rambutnya yang terikat cantik, dan pada restu mertuaku yang membuatku merasa seperti orang asing.
-------------------
Aku, Ardi, melaju pelan di jalanan malam kota M, motor bebekku berderit di bawah udara yang semakin dingin, meninggalkan rumah megah Habib Hamza dan Zahra dengan kecantikannya yang memesona. Percakapan dengan Zahra, yang dengan tenang mengakui pernikahan Fitri dengan Habib Hamza, masih bergema di kepalaku, seperti palu yang menghantam sisa harapanku. Aku tak punya tujuan lain selain pulang ke rumah kecilku, tempat yang kini diisi oleh Fitri, istriku yang katanya kini istri Habib; Fahri, anakku yang polos; kedua mertuaku yang merestui pengkhianatan ini; dan Habib Hamza sendiri, yang tadi sore merangkul Fitri di sofa kami. Jalanan berdebu, diterangi lampu-lampu jalan yang redup, terasa seperti lorong menuju kenyataan yang tak ingin kuhadapi, tapi aku terpaksa pulang, karena tak ada tempat lain untukku.
Angin malam menyapu wajahku, membawa aroma sawah dan tanah basah, tapi tak bisa mengusir bayangan Fitri yang menghantui. Aku membayangkan malam yang dingin ini, di rumahku, mungkin Habib Hamza dan Fitri sedang menikmati sunnah Rasul, berhubungan badan di kasur kami—ranjang kecil tempat kami biasa berpelukan, tempat Fitri dulu memelukku dengan cinta. Aku melihatnya dalam pikiranku: Fitri, dengan daster tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, berbaring di bawah Habib, rambutnya yang terikat cantik kini tergerai, desahannya mengisi kamar seperti dulu saat bersamaku. Gambar itu begitu hidup, membuat air mata mengalir tanpa suara, membasahi jaketku yang usang, dan dadaku sesak seperti dihimpit batu.
Aku menggeleng, mencoba mengusir fantasi kelam itu, tapi pikiranku malah melompat ke sofa ruang tamu—tempat kami bercinta hampir setiap malam, penuh gairah namun halal. Kini, aku membayangkan Habib Hamza di sana, merangkul Fitri seperti tadi sore, tapi kali ini lebih jauh, daster tipisnya tersingkap, tangan Habib menjelajahi tubuh yang kini katanya miliknya. Aku melihat Fitri tersenyum genit, seperti saat di restoran, membiarkan Habib mencium bibirnya, menyedot lidahnya, dan mungkin lebih, di sofa yang penuh kenangan kami. Aku menangis lebih keras, isakku tenggelam oleh deru motor, tanganku mencengkeram setang hingga knalpot bergetar, seolah aku bisa menghapus gambar itu dengan kecepatan.
Jalanan kota M yang sepi, dengan rumah-rumah tetangga yang sudah gelap, terasa seperti mengejekku. Aku merasa seperti pria yang tersesat, pulang ke rumah yang tak lagi milikku. Aku teringat Fahri, yang mungkin sudah tidur, atau masih bermain dengan kakeknya, tak tahu bahwa ayahnya sedang hancur. Aku merasa bersalah meninggalkannya tadi sore, tapi aku tak sanggup menghadapi Fitri yang memalingkan muka, Habib yang mengelus pahanya, dan mertuaku yang berbicara tentang syukuran pernikahan baru itu. Aku bertanya-tanya, apa yang akan kulihat saat pulang? Apakah Habib dan Fitri benar-benar di kamar kami, atau di sofa, menikmati keintiman yang seharusnya hanya milikku? Pikiran itu seperti racun, memperdalam luka yang tak kunjung sembuh.
Motor melaju melewati masjid kampung, suara adzan Isya baru saja usai, dan aku teringat doa-doaku yang terasa kosong. Aku ingin berhenti, shalat, meminta petunjuk, tapi aku tak punya tenaga, hanya bisa melaju, terpaksa pulang karena Fahri ada di sana, dan dia satu-satunya alasan aku tak lenyap dari dunia ini. Aku membayangkan Fitri lagi, tubuhnya yang indah, kulitnya yang putih mulus, kini disentuh pria lain, mungkin di ranjang yang masih beraroma gamisnya yang kupeluk tadi siang. Aku menangis tanpa suara, air mata membasahi pipiku, bercampur debu jalanan, dan rasa inferior sebagai suami yang tak bisa memberikan kemewahan seperti Habib Hamza kembali menyerang, membuatku merasa seperti laki-laki yang gagal.
Saat mendekati rumah, lampu ruang tamu yang temaram terlihat dari kejauhan, dan jantungku berdegup lebih kencang. Aku memarkir motor di bawah pohon mangga, mesinnya mati dengan derit pelan, dan aku berdiri sejenak, menatap pintu kayu yang sederhana, rumah yang dulu penuh tawa Fitri dan Fahri. Kini, aku tak tahu apa yang menantiku di dalam—mungkin Fitri dan Habib sedang berpelukan, atau mungkin mereka sudah selesai, meninggalkan sofa atau kasur kami dengan aroma baru yang bukan milikku. Aku menyeka air mata, mencoba menenangkan diri, tapi tanganku gemetar saat memegang kunci. Aku terpaksa masuk, meski hati ini ingin lari, karena Fahri ada di sana, dan aku tak bisa meninggalkannya sendirian.
Aku membayangkan kembali, dengan perih, Fitri di kasur kami, Habib di atasnya, menikmati sunnah Rasul yang kini terasa seperti penghinaan bagiku. Aku melihat sofa dalam pikiranku, tempat Fitri mungkin duduk di pangkuan Habib, daster tipisnya tersingkap, tangan pria itu mengelus pinggulnya seperti di tenda putih malam itu. Aku menangis lagi, isakku pelan, berdiri di depan pintu, tak tahu apakah aku punya keberanian untuk masuk. Aku merasa seperti orang asing, suami yang ditinggalkan, pulang ke rumah yang kini jadi panggung pernikahan baru Fitri. Aku teringat Zahra, yang dengan tenang menerima pernikahan suaminya, dan bertanya-tanya, apakah aku bisa sekuat itu, atau apakah aku harus melepaskan Fitri demi kedamaian yang entah ada di mana.
Aku menarik napas dalam, udara malam yang dingin menyengat paru-paruku, dan membuka pintu dengan tangan gemetar. Cahaya ruang tamu menyambut, tapi aku tak langsung melangkah masuk, masih berdiri di ambang, mendengar suara samar dari dalam—mungkin tawa Fahri, atau bisik Fitri dan Habib. Aku membayangkan mereka lagi, di sofa atau kasur, dan air mata kembali jatuh, tapi aku memaksa diri melangkah, karena aku terpaksa pulang, untuk Fahri, untuk menghadapi kenyataan, meski itu berarti melihat Fitri sebagai istri pria lain di rumahku sendiri. Aku merasa seperti pria yang kehilangan segalanya, tapi pintu sudah terbuka, dan aku tak bisa lari lagi.
Jalan masuk ke ruang tamu terasa panjang, setiap langkah seperti menuju medan perang. Aku masih menangis dalam hati, bayangan Fitri dan Habib di kasur atau sofa terus berputar, dan luka dari ijab kabul, ciuman di restoran, dan restu mertuaku seperti beban yang tak bisa kulepaskan. Aku teringat Fitri yang memalingkan muka tadi sore, daster tipisnya, dan elusan Habib yang begitu akrab, seolah aku tak pernah jadi suaminya. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan—berteriak, menuntut penjelasan, atau hanya diam seperti penutup. Tapi aku terpaksa pulang, ke rumah yang kini asing, ke keluarga yang kini terasa hancur, dan ke Fitri yang mungkin sudah tak lagi milikku.
797Please respect copyright.PENANAGLwWsINQ5q
797Please respect copyright.PENANAzRjUm5hthR
TO BE CONTINUED
797Please respect copyright.PENANAvoRV6kZugs