Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di https://lynk.id/finalfantasy
1 chapter berbayar:
Word Count: 12840
Mins Read: 59
----------------------------------
Istriku dan Habib (NTR) - Chapter 3 (update setiap minggu 1 chapter)
533Please respect copyright.PENANAFXERamJ83s
Lapangan alun-alun kota M bergemuruh dengan semangat saat pengajian akhirnya dimulai. Habib Hamza, dengan jubah putih yang berkibar dan sorban yang tersemat rapi, naik ke panggung, menyapa ribuan hadirin dengan salam yang hangat: “Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh!” Suaranya menggema melalui pengeras suara, disambut sorak sorai dan tepuk tangan yang riuh, bagaikan konser musik yang memanaskan suasana. Lampu sorot menyinari wajahnya yang karismatik, dan di sekitar lapangan, pedagang es kelapa dan gorengan masih berlalu-lalang, sementara warga duduk rapat di atas terpal dan tikar, mengayunkan tangan mengikuti irama sholawatan yang dipimpin kelompok pemuda berjubah. Suasana ini adalah ciri khas pengajian di Jawa: megah seperti festival, penuh kebersamaan, dengan sholawatan yang meriah dan obrolan ringan yang membuat malam terasa seperti perayaan iman.
Hadirin, dari kuli hingga petani, tampak larut dalam euforia. Anak-anak berlarian di pinggir lapangan, ibu-ibu mengipasi diri dengan buku yasin, dan bapak-bapak seperti Pak Slamet di sampingku menyeruput kopi sambil tersenyum lebar. Ini bukan sekadar pengajian; ini adalah konser rohani, tempat warga kota M melepas penat dan mencari cahaya spiritual. Sholawatan “Ya Nabi Salam Alaika” mengalun, dipimpin Habib Hamza dengan suara yang merdu, membuat hadirin ikut bernyanyi, mengayunkan tubuh, dan sesekali mengangkat tangan. Aku sendiri terbawa suasana, merasakan getaran kebersamaan, meski pikiranku sesekali melayang ke Fitri dan Fahri di barisan perempuan, bertanya-tanya apakah mereka juga tenggelam dalam semangat ini.
Setelah sholawatan selesai, Habib Hamza mulai berbicara, suaranya penuh wibawa namun santai. Ia membuka dengan cerita ringan tentang kehidupan rumah tangga, lalu tiba-tiba melontarkan candaan yang membuat hadirin tergelak. “Para suami, kalau istri nggak nurut, kasih tahu, ‘Eh, ingat, surga istri itu di telapak kaki suami!’” katanya, mengedipkan mata. Tawa meledak dari barisan laki-laki, termasuk Pak Slamet yang nyaris tersedak kopinya. Aku tersenyum kaku, merasa ada yang mengganjal di dadaku. Candaan itu terdengar ringan, tapi aku tak bisa membayangkan Fitri, istriku yang begitu mandiri dan penuh cinta, diperlakukan seperti harus tunduk begitu saja.
Habib Hamza melanjutkan, masih dengan nada bercanda. “Istri itu, lho, kalau sudah cantik, tugasnya cuma satu: bikin suami senang di rumah. Jangan banyak omong, masak aja yang enak, urus anak, beres!” Hadirin kembali tertawa, beberapa bapak-bapak di dekatku mengangguk setuju, bahkan bertepuk tangan. Aku melirik ke sekitar, melihat wajah-wajah gembira, tapi pikiranku mulai bergejolak. Fitri bukan sekadar “pelayan” di rumah; ia adalah pasanganku, sahabatku, wanita yang membuat hidupku lengkap dengan caranya sendiri. Kalau ia diperlakukan seperti yang Habib Hamza maksud, akankah senyumnya yang kucintai tetap ada?
Candaan berikutnya datang tak lama kemudian. “Kalau istri mulai cerewet, suami tinggal bilang, ‘Sudah, diam, ikut kata suami, itu jalan ke surga!’” Habib Hamza tersenyum lebar, dan tawa kembali menggema, bahkan dari barisan perempuan yang samar terdengar. Pak Slamet menyenggolku, berkata, “Bener, bro, istri harus penurut kayak Fitri!” Aku cuma mengangguk, tapi hatiku tak setuju. Fitri penurut, ya, tapi karena ia memilih mencintaiku, bukan karena aku memaksanya. Aku membayangkan wajah Fitri, matanya yang penuh kasih, dan tiba-tiba merasa tak nyaman membayangkan ia dipandang hanya sebagai “istri yang harus patuh”.
Habib Hamza tak berhenti di situ. “Para istri, dengar ya, kalau suami pulang capek, jangan minta ini-itu. Pijat dulu, sajikan makan, baru boleh ngomong!” Ia tertawa sendiri, dan hadirin ikut tergelak, seolah candaan itu adalah kebenaran mutlak. Aku memandang rumput di depanku, mencoba mencerna kata-katanya. Semua orang tampak gembira, tapi aku tak bisa ikut larut. Fitri selalu memanjakanku, ya—memasak, merapikan rumah, bahkan memijatku saat aku lelah—tapi itu karena ia ingin, bukan karena aku menuntutnya seperti perintah. Aku tak ingin ia merasa terkurung dalam peran yang Habib Hamza gambarkan.
Candaan terakhir yang kuingat malam itu adalah ketika Habib Hamza berkata, “Suami itu raja di rumah, istri cuma perlu ikut perintah, beres! Kalau nggak, ya, suruh baca Al-Qur’an lagi biar ingat tugasnya.” Tawa kembali meledak, dan aku melihat beberapa bapak-bapak berbisik, seolah setuju. Aku menghela napas, merasa semakin asing di tengah keramaian. Aku mencintai Fitri bukan karena ia “penurut”, tapi karena ia adalah Fitri—wanita yang membuatku ingin jadi pria yang lebih baik setiap hari. Aku tak bisa membayangkan memperlakukannya seperti yang Habib Hamza sindir, dan di sudut hatiku, aku mulai bertanya-tanya: apakah Fitri, di barisan perempuan, juga mendengar candaan ini, dan apa yang ia rasakan?
---------------------
Pengajian di lapangan alun-alun kota M terus bergemuruh dengan tawa dan sholawatan, namun suasana mulai terasa berbeda bagiku saat Habib Hamza, bersama beberapa gus berjubah yang mendampinginya di panggung, melontarkan candaan yang semakin berani. Hadirin masih larut dalam kegembiraan, mengangguk dan bertepuk tangan, sementara aku, Ardi, duduk di atas tikar rotan, merasakan ketidaknyamanan yang kian menggerogoti. Candaan-candaan sebelumnya tentang istri yang harus penurut sudah membuatku gelisah, tapi apa yang diucapkan Habib Hamza selanjutnya jauh lebih parah, menyentuh ranah yang begitu pribadi dan, bagiku, tak pantas dilontarkan di pengajian.
Habib Hamza, dengan senyum lebar dan nada yang setengah bercanda, berkata, “Para suami, istri itu tugasnya nggak cuma masak dan ngurus anak, lho. Di ranjang, dia harus jadi ‘ratu’, harus pintar memuaskan suami!” Tawa meledak dari barisan laki-laki, beberapa bapak-bapak di dekatku bahkan bersorak, seolah itu adalah nasihat suci. Ia melanjutkan, “Kalau istri nggak bisa goyang dengan lincah, ya, suami bisa bete, kan? Jadi, para istri, belajar goyang yang bikin suami betah di rumah!” Sorak-sorai kembali menggema, dan salah satu gus di sampingnya menimpali, “Betul, Habib! Goyangnya harus seperti tari sufi, penuh jiwa, bikin suami lupa dunia!” Hadirin tergelak, termasuk Pak Slamet yang menyenggolku sambil tertawa.
Candaan itu berlanjut, semakin vulgar meski dibalut nada jenaka. “Istri yang soleha itu,” kata Habib Hamza, “bukan cuma yang sholat lima waktu, tapi yang tahu caranya bikin suami ‘terbang’ tiap malam. Kalau suami pulang capek, istri harus siap dengan ‘tarian’ terbaiknya!” Ia menggerakkan pinggulnya sedikit, pura-pura menari, dan hadirin, terutama barisan laki-laki, riuh dengan tawa dan tepukan. Seorang gus lain menambahkan, “Iya, para istri, jangan cuma diam kayak patung. Goyang pinggulnya, kasih suami alasan buat buru-buru pulang!” Tawa kembali meledak, dan aku melihat beberapa pria di sekitarku mengangguk setuju, seolah candaan ini adalah kebenaran yang harus diterima.
Habib Hamza tak berhenti di situ. “Suami itu, lho, kalau nggak dipuaskan di ranjang, bisa melirik ke luar, kan? Makanya, istri harus punya jurus-jurus spesial. Goyang ke kiri, goyang ke kanan, pokoknya bikin suami nggak bisa tidur!” Ia tertawa lebar, dan hadirin ikut tergelak, bahkan beberapa suara tawa perempuan terdengar samar dari barisan seberang. Aku memandang rumput di depanku, tanganku mencengkeram cangkir kopi yang sudah dingin. Ini pengajian, tempat untuk menyucikan hati, tapi candaan ini terasa seperti mengotori makna pernikahan. Aku membayangkan Fitri di barisan perempuan, mendengar kata-kata ini, dan hatiku semakin tak karuan.
Candaan terakhir yang kuingat malam itu benar-benar membuatku bergidik. “Para istri, dengar ya,” kata Habib Hamza, “tugas kalian itu bikin suami merem-merem tiap malam. Kalau suami bilang ‘lagi, lagi’, istri harus siap dengan goyangan yang lebih hebat! Itu baru istri soleha sejati!” Sorak-sorai dan tawa mengguncang lapangan, seolah semua orang setuju bahwa tugas istri hanyalah memuaskan suami dengan “goyangan”. Aku merasa asing di tengah keramaian ini. Fitri, istriku, adalah wanita soleha bukan karena “jurus ranjang”, tapi karena cinta, kelembutan, dan kekuatannya sebagai ibu dan pasangan. Aku tak bisa membayangkan ia direduksi menjadi sekadar alat pemuas seperti yang mereka sindir.
Di tengah tawa hadirin, pikiranku mulai terbawa candaan itu, meski hanya sesaat. Aku tak bisa menyangkal bahwa Fitri memang luar biasa di ranjang, dan candaan tentang “goyangan” membuatku teringat malam-malam kami yang penuh gairah. Aku tersenyum kecil, membayangkan bagaimana Fitri selalu tahu cara membuatku luluh dengan caranya yang alami, tanpa perlu “jurus” yang dibesar-besarkan seperti kata Habib Hamza. Tapi secepat kilat, kesadaran itu menghantamku: Fitri sudah soleha, bukan karena ia memuaskanku di ranjang, tapi karena ia adalah pasanganku yang setia, yang mencintaiku dengan tulus, yang membuat rumah kami penuh kehangatan. Candaan ini, meski lucu bagi banyak orang, terasa salah, merendahkan makna pernikahan kami.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Fitri memang menggairahkan, dan kehidupan ranjang kami adalah anugerah yang kusyukuri. Hampir setiap malam, di sofa ruang tamu kami, saat Fahri tertidur, Fitri memberikan “goyangan” yang tak pernah gagal membuatku melayang. Ia sering memulai dengan duduk di pangkuanku, pinggulnya bergerak perlahan, seperti tarian lembut yang penuh cinta, rambutnya tergerai menyapu wajahku. Kadang ia membalikkan tubuh, memelukku dari depan, pinggulnya bergoyang dengan ritme yang membuatku kehilangan kata-kata, desahannya pelan tapi penuh perasaan. Posisi favorit kami adalah ketika ia di atasku, mengendalikan irama dengan gerakan pinggul yang lincah namun anggun, matanya menatapku dengan cinta yang membuat setiap detik terasa magis.
Goyangan Fitri bukan sekadar gerakan fisik; itu adalah bahasa cinta kami. Aku tahu ia menikmatinya sama seperti aku, dari caranya memejamkan mata, menggigit bibir, dan sesekali berbisik, “Mas, pelan, nanti tetangga dengar.” Kadang kami mencoba posisi lain, seperti ketika aku memeluknya dari belakang, tanganku memegang pinggangnya yang lembut, dan ia menggerakkan pinggul dengan ritme yang sempurna, seperti menari hanya untukku. Setiap gerakan Fitri penuh perhatian, seolah ia ingin memastikan aku merasakan kebahagiaan yang sama yang ia rasakan. Malam-malam itu bukan hanya tentang kenikmatan, tapi tentang bagaimana kami saling memberikan diri, membangun ikatan yang lebih dalam di tengah kesederhanaan hidup kami.
Tapi candaan Habib Hamza dan para gus membuatku sadar: keindahan hubunganku dengan Fitri bukan sesuatu yang bisa direduksi menjadi “goyangan” atau tugas istri untuk “memuaskan”. Fitri adalah lebih dari itu—ia adalah sahabatku, ibu dari anakku, dan wanita yang membuatku ingin jadi pria yang lebih baik. Aku menunduk, mencoba fokus pada sholawatan yang kembali mengalun, tapi pikiranku tak bisa lepas dari Fitri. Aku ingin segera bertemu dengannya setelah pengajian, memeluknya, dan memastikan ia tahu bahwa bagiku, ia sempurna, bukan karena candaan-candaan murahan ini, tapi karena ia adalah Fitri, cintaku yang tak tergantikan.
-----------------------
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di https://lynk.id/finalfantasy
1 chapter berbayar:
Word Count: 12840
Mins Read: 59
----------------------------------
Lapangan alun-alun kota M semakin bergemuruh saat Habib Hamza, dengan karismanya yang memikat, mengumumkan bahwa ia akan memanggil beberapa hadirin untuk naik ke panggung. Panggung itu sendiri megah, seperti panggung konser besar, terbuat dari kayu kokoh dengan dekorasi kain putih dan lampu sorot yang menyilaukan, menerangi seluruh arena hingga tampak seperti lautan cahaya. Ribuan warga bersorak, beberapa bertepuk tangan, sementara sholawatan mereda untuk memberi ruang pada interaksi ini—kebiasaan Habib Hamza untuk melibatkan hadirin, membuat pengajian terasa hidup dan akrab. Tiba-tiba, namanya disebut: “Fitri dari kampung Melati!” Jantungku, Ardi, hampir berhenti. Aku kaget bukan main saat melihat Fitri, istriku, melangkah dengan anggun menuju panggung, di antara dua perempuan lain yang juga dipanggil. Gamis satin hijau zamrudnya berkilau di bawah lampu, wajahnya yang cerah dan senyumnya yang lembut membuatnya tampak paling cantik di antara mereka, seperti bintang yang bersinar di tengah kerumunan.
Aku memandang Fitri dari barisan laki-laki, dada dipenuhi campuran kebanggaan dan sedikit cemburu. Ia berdiri di panggung dengan sikap tenang, hijabnya tersemat rapi, dan kecantikannya seolah memancar, menarik perhatian ribuan pasang mata. Dua perempuan lain di sampingnya, yang tampak lebih muda, juga berpakaian sopan, tapi Fitri jelas menonjol—kulitnya yang mulus, matanya yang penuh kehangatan, dan postur tubuhnya yang anggun membuatku tersenyum sendiri, meski ada rasa gelisah di hatiku. Pak Slamet di sampingku menyenggolku, berbisik, “Wah, Ardi, Fitri mu itu beneran bidadari, bro! Lihat, semua orang nggak bisa lepas pandang!” Aku cuma mengangguk, tak bisa menyembunyikan rasa bangga, tapi juga bertanya-tanya apa yang akan terjadi di atas panggung itu.
Habib Hamza, dengan senyum lebar, memandang ketiga perempuan itu dan berkata, “Wah, cantik-cantik semua, ya, kayak masih gadis!” Hadirin tertawa, dan aku merasa wajahku memanas ketika ia menatap Fitri lebih lama, menambahkan, “Khususnya yang ini, kayak belum tersentuh, nih!” Tawa kembali meledak, dan aku merasakan campuran bangga dan cemburu yang aneh—bangga karena Fitri begitu memukau hingga Habib Hamza mengira ia masih gadis, tapi cemburu karena perhatian itu terasa terlalu intim. Ia lalu bertanya dengan nada jenaka, “Kalian para wanita, apa yang akan kalian lakukan kalau sudah punya suami nanti?” Pertanyaan itu disambut sorak-sorai, dan aku menahan napas, menunggu jawaban Fitri.
Ketiga perempuan itu, termasuk Fitri, tampak saling pandang sebentar, lalu menjawab hampir serentak, suara mereka kompak dan penuh semangat: “Pintar masak, pintar ngasuh anak, dan pintar memuaskan suami!” Lapangan bergemuruh dengan tawa dan tepuk tangan, seolah jawaban itu adalah mantra yang semua orang harapkan. Fitri, dengan senyum sopan, ikut tersenyum, tapi aku bisa melihat sedikit kegenitan di matanya, seolah ia tahu jawaban itu akan disukai hadirin. Aku tersenyum kaku, bangga dengan keberaniannya, tapi juga merasa ada yang mengganjal—jawaban “memuaskan suami” itu, meski mungkin hanya mengikuti suasana, terasa terlalu dipaksakan, terutama setelah candaan-candaan seksis sebelumnya.
Habib Hamza mengangguk puas, menimpali, “Nah, itu baru istri idaman! Kalau begini, suami pasti betah di rumah!” Hadirin kembali tergelak, dan ketiga perempuan itu, termasuk Fitri, turun dari panggung diiringi tepuk tangan. Aku memandang Fitri melangkah kembali ke barisan perempuan, gamisnya berkibar lembut, dan hatiku dipenuhi perasaan campur aduk. Ia tampak begitu percaya diri, begitu cantik, tapi aku tak bisa mengusir pertanyaan di kepalaku: apakah Fitri benar-benar nyaman dengan candaan dan ekspektasi seperti ini? Dan mengapa, di tengah kebanggaanku, ada rasa gelisah yang mulai merayap di dadaku?
------------------------
533Please respect copyright.PENANAUUuf06436R
Tanpa ragu atau canggung, Habib Hamza merangkul pundak Fitri dengan tangannya, sikapnya terlalu akrab untuk sebuah pengajian. “Kamu, kalau nanti jadi istri soleha, harus bisa apa selain masak dan ngurus anak?” tanyanya dengan nada genit, suaranya menggema melalui mikrofon. Hadirin berisik, bersorak dan tertawa, terutama karena Fitri, dengan gamis satin hijau zamrud yang memeluk tubuhnya dan wajah cantiknya yang memukau, menjadi pusat perhatian. Fitri tampak sedikit gugup, matanya melirik ke samping, tapi ia menjawab dengan suara pelan, “Harus bisa bikin suami puas.” Tawa meledak lagi, tapi aku, Ardi, merasa dadaku sesak, melihat istriku dirangkul di depan ribuan orang.
Habib Hamza tampak tidak puas dengan jawaban Fitri. Dengan senyum yang semakin lebar, ia merangkul Fitri lebih erat, tangannya turun sedikit hingga menyentuh pinggulnya, dan dalam gerakan yang membuat darahku mendidih, tubuhnya menggesek payudara Fitri—payudara istriku—dengan sengaja. “Cara muasin suami tuh kayak gimana, sih?” tanyanya lagi, suaranya penuh godaan, seolah ini adalah permainan yang lucu. Fitri diam, pipinya memerah, matanya menunduk, jelas tidak nyaman namun terjebak di tengah sorak-sorai hadirin yang justru tampak senang dengan interaksi ini. Habib tertawa lebar, diikuti tawa riuh dari lapangan, seolah pelecehan itu adalah hiburan biasa. Aku memandang dari barisan laki-laki, tanganku mencengkeram tikar, merasa dunia seolah runtuh di sekitarku.
Habib Hamza belum selesai. Masih dengan tangannya di tubuh Fitri, ia mengelus-elus bahu dan pinggul istriku dengan gerakan yang terlalu mesra, seolah Fitri adalah miliknya untuk disentuh. Hadirin terus bersorak, beberapa bapak-bapak di dekatku bahkan berbisik, “Wah, Fitri jadi rebutan, nih!” seolah ini adalah lelucon. Akhirnya, Habib mempersilakan Fitri dan dua perempuan lain kembali ke tempat duduk, tapi tangannya masih sempat menepuk punggung Fitri dengan santai sebelum ia melepaskan rangkulannya. Fitri melangkah turun dari panggung, wajahnya masih merah, dan aku bisa melihat ketegangan di bahunya. Aku ingin berlari ke sana, menariknya dari sorot lampu itu, tapi kakiku terpaku, hanya mampu memandang istriku yang kini berjalan kembali ke barisan perempuan, diterpa sorak-sorai yang terasa seperti pisau di telingaku.
Hatiku hancur. Untuk pertama kali, aku melihat Fitri, istriku yang kucintai dengan seluruh jiwaku, disentuh dan dielus-elus dengan mesra oleh laki-laki lain, di depan ribuan orang, dan yang lebih menyakitkan, hadirin justru menikmati itu sebagai hiburan. Fitri, wanita yang setiap malam kupeluk di sofa ruang tamu, yang kulindungi dengan nafkah lahir dan batin, kini berdiri di panggung itu, direndahkan menjadi objek candaan dan sentuhan yang tak sepantasnya.
533Please respect copyright.PENANAVkFHHbcC1K
--------------------------
533Please respect copyright.PENANA2jHKW111vn
--------------------------
533Please respect copyright.PENANAf3mm8aiond
TO BE CONTINUED
533Please respect copyright.PENANAJsOKlOkCUS