Aku, Ardi, duduk di sofa tua rumah kecil kami di kota M, masih tak mampu mencerna mengapa semua ini terjadi—Fitri, istriku yang kucintai selama delapan tahun, kini “menikah” dengan Habib Hamza, direstui oleh orang tuanya, seolah aku tak pernah ada dalam hidupnya. Hatiku hancur, pikiranku kacau, seperti tersesat dalam labirin tanpa pintu keluar. Aku merasa bukan diriku lagi, seperti orang asing yang tak dikenali, seorang pria gagal yang tak bisa menjaga istri dan keluarganya. Gambar Fitri yang dicium Habib di restoran, sorak “sah” yang menggema, dan kata-kata mertuaku tentang restu mereka, berputar di kepalaku seperti badai yang tak reda. Aku menunduk, tanganku gemetar, dan rasa cemburu bercampur keputusasaan membuat dunia ini terasa seperti penjara yang tak bisa kutinggalkan.
Tiba-tiba, emosi yang terpendam meledak. Aku menjambak rambutku sekeras mungkin, jari-jariku mencengkeram hingga kulit kepala terasa perih, otot-otot wajahku menegang, dan wajahku memerah seperti akan meledak. Aku menangis lebih keras, isakku tak lagi bisa kutahan, suara yang parau dan patah-patah memenuhi ruang tamu yang pengap. Air mata mengalir deras, membasahi pipiku, dan setiap tarikan napas terasa seperti menghirup api. Aku ingin berteriak, meminta dunia menjelaskan mengapa Fitri, wanita yang setiap malam kupeluk di sofa ini, kini menjadi milik pria lain, tapi suaraku tenggelam dalam kepedihan yang tak terucapkan. Aku merasa seperti laki-laki yang kehilangan segalanya—harga diri, cinta, dan tujuan hidup.
Fahri, yang tadi asyik bermain dengan truk plastiknya, berhenti mendadak, matanya yang polos menatapku dengan kebingungan. “Yah, Bapak kenapa? Kok nangis?” tanyanya, suaranya kecil namun penuh keprihatinan, tangannya menyentuh lenganku. Aku tak bisa menjawab, hanya menatapnya dengan mata sembab, wajahku basah oleh air mata. Pertanyaan lugunya seperti jarum, mengingatkanku bahwa anakku, satu-satunya yang masih kugenggam, tak tahu betapa hancurnya ayahnya. Aku ingin memeluknya, menjelaskan bahwa Bunda-nya mungkin sudah bukan milik kita lagi, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokan. Aku hanya menggeleng, menyeka air mata dengan lengan baju, dan berusaha tersenyum, tapi wajahku pasti tampak seperti topeng yang retak.
Dengan tubuh yang lemas, aku bangkit dari sofa, langkahku gontai menuju kamar, meninggalkan Fahri yang kembali bermain, meski matanya masih sesekali melirikku. Aku tak sanggup lagi berada di ruang tamu, tempat sofa itu menyimpan kenangan cinta kami yang kini terasa seperti dusta. Di kamar, aku melihat ranjang kecil tempat Fitri tidur semalam, memalingkan tubuhnya dari pelukanku. Aku membuka lemari, tanganku gemetar menyentuh pakaian Fitri—gamis sederhana yang dulu kubelikan, bukan gaun satin mewah yang ia pakai pagi ini. Aku mengambil salah satu gamisnya, yang masih berbau parfumnya yang lama, bukan parfum mahal dari Habib Hamza, dan memeluknya erat, seolah itu bisa mengembalikan Fitri yang kucintai, bukan Fitri yang kini “istri” pria lain.
Aku rebah di ranjang, memeluk gamis Fitri ke dadaku, kainnya lembut namun terasa seperti menghimpit jantungku. Air mata kembali mengalir, membasahi kain itu, dan aku menangis dalam hening, meratapi pernikahan yang kini katanya sah antara Fitri dan Habib Hamza. Aku membayangkan gaun satin biru tua itu, yang memeluk lekuk tubuh Fitri, kini dilepas di kamar mewah bersama Habib, tubuhnya yang indah kini disentuh pria lain, dan senyumnya yang bahagia saat dicium di restoran. Gambar-gambar itu seperti siksaan, tapi aku tak bisa menghentikannya, seolah pikiranku ingin menghukum diriku sendiri atas kegagalanku sebagai suami. Aku merasa seperti orang asing di ranjang ini, di rumah ini, di hidup yang kubangun bersama Fitri.
Fahri masuk ke kamar, truk mainannya masih di tangan, dan duduk di sisi ranjang. “Yah, Bapak sakit?” tanyanya lagi, suaranya penuh kekhawatiran. Aku tak bisa menjawab, hanya memeluk gamis Fitri lebih erat, berharap ia tak melihat air mataku. Aku ingin berkata bahwa Bapak baik-baik saja, tapi kebohongan itu terlalu berat untuk diucapkan. Aku hanya mengangguk pelan, menyuruhnya kembali bermain, dan ia menurut, meski matanya masih penuh tanya. Aku menutup mata, mencium aroma gamis Fitri, aroma yang dulu menenangkanku, tapi kini hanya mengingatkanku pada kehilangan. Aku merasa seperti pria yang tak lagi punya tempat, gagal melindungi keluarganya, gagal mempertahankan cinta yang kuyakini abadi.
Di dalam keheningan kamar, dengan udara yang terasa pengap meski jendela terbuka, aku mencoba tidur, berharap lelap bisa menghapus luka ini, meski hanya sementara. Tapi setiap kali memejamkan mata, aku melihat Fitri—wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih mulus, dan senyumnya yang kini untuk Habib Hamza. Aku membayangkan ijab kabul itu, restu mertuaku, dan ciuman mesra yang kini menjadi tanda bahwa Fitri sudah tak lagi milikku. Aku memeluk gamisnya lebih erat, seolah itu satu-satunya yang tersisa dari Fitri yang dulu, wanita yang mencintaiku dengan sederhana, bukan yang kini mengenakan gaun mewah dan parfum mahal dari pria lain. Air mata kembali mengalir, membasahi bantal, dan aku merasa seperti hantu, terjebak di antara kenangan dan kenyataan yang tak kuterima.
Aku bertanya-tanya, mengapa Fitri membiarkan ini terjadi? Mengapa mertuaku merestui? Apakah aku benar-benar sebegitu tak berartinya hingga mereka memperlakukanku seperti orang asing? Pikiran itu membuatku menjambak rambut lagi, meski tak sekeras tadi, karena tenagaku sudah habis. Aku ingin berteriak, menuntut jawaban, tapi aku tahu tak ada yang akan mendengar. Fahri, di luar kamar, masih bermain, suara truknya berderit, tapi bahkan keceriaannya tak bisa menembus kegelapan yang menyelimutiku. Aku merasa seperti pria yang tersisih, suami yang gagal, dan ayah yang tak bisa menjelaskan pada anaknya mengapa Bunda-nya pergi. Aku hanya bisa memeluk gamis Fitri, berharap tidur akan membawaku ke dunia di mana Fitri masih milikku.
Udara siang kota M mulai panas, suara ayam dan jangkrik dari luar terdengar samar, tapi tak ada yang bisa menghibur. Aku tetap di ranjang, gamis Fitri masih di pelukanku, aroma lamanya bercampur air mataku. Aku mencoba berdoa, “Ya Allah, kembalikan Fitri ke kami, atau berikan aku kekuatan untuk menghadapi ini,” tapi doa itu terasa kosong, seperti berbicara pada dinding. Aku merasa seperti orang yang tak lagi punya tempat di dunia ini, seorang pria yang kehilangan identitasnya sebagai suami. Fitri, yang kini katanya istri Habib Hamza, telah mengambil separuh jiwaku, meninggalkanku dengan luka yang tak terucapkan dan gamis yang kini hanya kenangan dari cinta yang telah sirna.
Aku akhirnya memejamkan mata, tubuhku lelah oleh tangis dan keputusasaan. Dalam setengah sadar, aku masih memeluk gamis Fitri, berharap mimpi akan membawaku kembali ke malam-malam ketika kami berpelukan di sofa, tertawa bersama, dan mencintai dengan tulus. Tapi bahkan dalam tidur, bayangan Fitri dengan Habib Hamza menghantuiku, ciumannya, senyumnya, dan restu yang diberikan mertuaku. Aku terpuruk, antara sadar dan lelap, seorang pria gagal yang tak tahu bagaimana melangkah ke depan, hanya bisa memeluk sisa-sisa Fitri yang kini terasa begitu jauh, di ranjang yang kini dingin tanpa kehangatannya.
----------------------------
Aku, Ardi, terbangun dari tidur yang penuh mimpi buruk, tubuhku terasa berat di ranjang kecil, gamis Fitri masih terlipat di sampingku, aroma lamanya kini bercampur bau airmataku. Cahaya sore menyelinap lewat jendela, menunjukkan waktu sudah larut, dan perutku keroncongan karena belum makan siang. Kepalaku pening, masih dipenuhi bayangan Fitri yang “dinikahi” Habib Hamza, ciuman mereka di restoran, dan restu mertuaku yang seperti menghapusku dari hidup mereka. Aku bangkit dengan langkah gontai, menuju ruang tamu, berharap keheningan rumah bisa menenangkan hati yang remuk. Tapi saat melangkah keluar kamar, aku tersentak—di ruang tamu, suasana tak seperti yang kuharapkan. Ada keramaian kecil yang membuat dadaku semakin sesak, seperti dunia sengaja menertawakanku.
Di sofa tua yang penuh kenangan, Fitri duduk, tapi bukan dengan gamis satin biru tua atau jilbab yang biasa ia pakai. Ia mengenakan daster tipis berwarna krem, kainnya ringan hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah, rambut hitamnya terikat cantik ke belakang, membuatnya tampak lebih memikat namun begitu asing. Di sampingnya, Habib Hamza duduk dengan santai, tangannya merangkul pundak Fitri, jari-jarinya sesekali mengelus paha Fitri di atas daster itu, gerakan yang begitu akrab dan intim. Bapak dan Ibu Suyono, mertuaku, juga ada di sana, duduk di kursi kayu, tersenyum seolah ini adalah pertemuan keluarga biasa. Fahri, anakku, bermain riang dengan kakeknya, mendorong truk mainannya sambil tertawa, tak menyadari ketegangan yang menyelimuti ruangan.
Fitri menyadari aku bangun, matanya sekilas menatapku, tapi ia cepat memalingkan muka, seolah tak ingin bertemu pandang. Wajahnya yang cantik, dengan kulit putih mulus dan rambut terikat rapi, kini terasa seperti milik orang lain, bukan istriku. Habib Hamza, dengan jubah cokelat dan sorban putihnya, menoleh padaku, tersenyum lebar, “Wah, sudah bangun rupanya, Ardi!” katanya dengan suara merdu yang penuh percaya diri, tangannya masih mengelus paha Fitri dengan santai. Aku tak peduli pada sapaan itu, kata-katanya terasa seperti ejekan, mengingatkanku pada ciuman mesra di restoran dan ijab kabul yang menghancurkan duniaku. Dadaku sesak, ingin berteriak, tapi aku hanya berdiri membisu, merasa seperti orang asing di rumahku sendiri.
Bapak Suyono melambai, “Ardi, duduk sini, kita ngobrol,” katanya dengan nada yang terlalu ramah untuk situasi ini. Ibu Suyono menambahkan, “Ayo, bergabung, Nak, kita lagi bahas acara syukuran.” Tapi kata-kata mereka tak masuk akal bagiku. Bergabung? Dengan pria yang kini merangkul istriku, mengelus pahanya di depan mataku? Dengan mertua yang merestui pernikahan Fitri dengan Habib Hamza, seolah aku tak pernah jadi bagian dari keluarga ini? Aku menggeleng pelan, tanganku mencengkeram pintu kamar, mencoba menahan air mata yang kembali menggenang. Fahri melirikku, “Yah, main sama Kakek, yuk!” tanyanya riang, tapi aku tak bisa menjawab, hanya memandang Fitri yang masih memalingkan muka, seolah aku tak ada di ruangan itu.
Aku tak sanggup bertahan di ruang tamu itu. Tanpa sepatah kata, aku berbalik, mengambil kunci motor di meja kecil, dan melangkah keluar rumah. “Ardi, mau ke mana?” tanya Ibu Suyono, tapi aku tak menoleh, tak peduli. Aku butuh angin, atau apa pun yang bisa mengusir rasa sesak ini, meski aku tahu tak ada yang bisa menghapus luka di hatiku. Di luar, udara sore kota M terasa panas dan berdebu, suara jangkrik dan anak-anak tetangga yang bermain samar-samar terdengar. Aku menyalakan motor bebekku, mesinnya berderit, tapi aku tak punya tujuan pasti—mungkin hanya ingin melarikan diri dari pemandangan Fitri dalam daster tipis, dirangkul Habib Hamza, dan restu mertuaku yang membuatku merasa seperti orang tak dikenal. Aku melaju, angin menyapu wajahku, tapi tak bisa mendinginkan api cemburu yang membakar.
Jalanan kota M, dengan warung-warung kecil dan sawah hijau, biasanya terasa akrab, tapi kini seperti dunia lain. Aku membayangkan Fitri di dalam rumah, duduk di samping Habib, mungkin tertawa bersama, sementara tangan pria itu terus mengelus tubuhnya yang hanya dilapisi daster tipis. Gambar itu menyiksa, mengingatkanku pada ciuman mereka di restoran, pada ijab kabul yang katanya sah, dan pada restu mertuaku yang seperti menghapus pernikahanku. Aku merasa gagal sebagai suami, tak bisa memberikan kemewahan seperti Rubicon atau restoran mewah, tak bisa menandingi karisma Habib Hamza yang dipuja semua orang. Aku menjambak rambutku lagi, meski tak sekeras tadi, karena tenagaku sudah habis, hanya menyisakan keputusasaan yang menyelimuti setiap langkahku.
Motor melaju tanpa arah, melewati pasar sore yang mulai ramai, tapi pikiranku tertahan di ruang tamu tadi. Fitri tanpa jilbab, dengan daster tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, terlihat begitu cantik namun begitu jauh. Rambutnya yang terikat ke belakang, yang biasanya kugerai saat kami bercinta di sofa, kini menjadi bagian dari pesona yang ia tunjukkan pada pria lain. Aku membayangkan Habib Hamza, dengan tangannya yang tak henti menyentuh Fitri, mungkin akan membawanya ke kamar nanti, seperti yang kulihat dalam fantasi kelamku. Pikiran itu membuat air mata mengalir lagi, tersapu angin, dan aku merasa seperti pria yang tak lagi punya tempat di hidup istriku sendiri.
Aku teringat Fahri, yang masih riang bermain dengan kakeknya, tak tahu bahwa keluarganya sedang runtuh. Aku merasa bersalah meninggalkannya di rumah bersama mereka, tapi aku tak sanggup menghadapi Fitri, Habib Hamza, dan mertuaku yang seolah merayakan pernikahan baru itu. Aku bertanya-tanya, mengapa Fitri tak lagi memakai jilbab di depan Habib? Mengapa ia begitu nyaman dirangkul, dielus, di rumah kami sendiri? Apakah pernikahan kami benar-benar sudah berakhir, atau ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera usai? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar, tapi tak ada jawaban, hanya luka yang semakin dalam setiap kali aku membayangkan Fitri sebagai istri pria lain.
Jalanan mulai sepi, matahari sore mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat oranye. Aku memarkir motor di pinggir sawah, menatap hamparan hijau yang biasanya menenangkan, tapi kini terasa hampa. Aku ingin pulang, menghadapi Fitri, menuntut penjelasan, tapi aku takut—takut mendengar bahwa ia memang memilih Habib Hamza, bahwa aku memang tak lagi berarti. Aku merasa seperti orang asing, bukan hanya di rumahku, tapi di hidupku sendiri. Aku menunduk, tanganku mencengkeram setang motor, dan air mata kembali jatuh, membasahi tanah berdebu. Aku ingin mencari angin, mencari kedamaian, tapi yang kutemukan hanya kehampaan yang menyelimuti.
Di kejauhan, suara adzan Maghrib mulai terdengar dari masjid kampung, tapi aku tak punya tenaga untuk bergerak. Aku teringat sofa di rumah, tempat aku dan Fitri biasa berpelukan, kini jadi tempat Habib Hamza merangkul istriku. Aku teringat ranjang kami, tempat aku memeluk gamis Fitri tadi siang, kini mungkin jadi tempat Fitri dan Habib akan berbagi keintiman. Pikiran itu seperti racun, membuatku ingin lenyap dari dunia ini, tapi bayangan Fahri, dengan truk mainannya dan senyum polosnya, menahanku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan—pulang dan menghadapi kenyataan, atau terus melaju tanpa tujuan, mencari sesuatu yang bisa mengembalikan Fitri ke pelukanku.
----------------------
Aku, Ardi, menyalakan motor bebek tuaku, mesinnya berderit keras, seolah mencerminkan kegelisahan yang mencabik-cabik hatiku. Setelah meninggalkan rumah yang kini terasa asing, dengan Fitri dalam daster tipis dirangkul Habib Hamza dan mertuaku yang seolah tak lagi menganggapku, aku melaju ke jalanan kota M tanpa tujuan pasti. Angin sore yang membawa aroma sawah dan debu menyapu wajahku, tapi tak mampu mengusir bayangan Fitri, wajahnya yang cantik dengan rambut terikat, dan tangan Habib yang mengelus pahanya di sofa kami. Dadaku sesak, air mata yang tadi mengering kini kembali menggenang, tersapu angin, sementara aku terus memacu motor, seolah kecepatan bisa menghapus luka dari ijab kabul, ciuman di restoran, dan restu mertua yang menghancurkan duniaku.
Jalanan kota M yang mulai gelap, dengan lampu-lampu warung kecil yang menyala di pinggir jalan, terasa seperti labirin yang tak kukenali. Aku melewati pasar sore yang sudah sepi, anak-anak tetangga yang tadi bermain kini sudah pulang, dan suara adzan Maghrib yang sayup-sayup terdengar dari masjid kampung. Aku tak tahu ke mana aku pergi—mungkin mencari angin, mungkin mencari jawaban, atau mungkin hanya ingin melarikan diri dari kenyataan bahwa Fitri, istriku, kini seperti milik pria lain. Pikiranku dipenuhi pertanyaan: mengapa ia membiarkan Habib menyentuhnya di rumah kami? Mengapa mertuaku merestui pernikahan itu? Dan apa statusku sekarang, seorang suami yang ditinggalkan, atau hanya bayangan yang tak lagi dianggap?
Motor terus melaju, melewati sawah-sawah yang kini hanya siluet hitam di bawah langit senja. Aku membayangkan Fahri, yang kutinggalkan di rumah, bermain riang dengan kakeknya, tak tahu bahwa ayahnya sedang tersesat dalam keputusasaan. Aku merasa bersalah meninggalkannya, tapi aku tak sanggup menghadapi Fitri, Habib Hamza, dan mertuaku di ruang tamu itu, tempat sofa kami yang penuh kenangan cinta kini ternoda oleh sentuhan pria lain. Rasa inferior sebagai suami yang tak bisa memberikan kemewahan seperti Rubicon atau restoran mewah kembali menyerang, membuatku merasa kecil, seperti pria yang gagal melindungi keluarganya. Aku menjambak rambutku dengan satu tangan, mencoba menahan isak, tapi air mata tetap jatuh, membasahi jaketku yang sudah usang.
Aku berhenti di pinggir jalan dekat sebuah jembatan kecil, mesin motor kumatikan, dan hanya suara air sungai yang mengalir pelan menemani. Aku menatap langit yang kini berwarna kelam, bintang-bintang mulai muncul, tapi tak ada yang bisa menghibur. Aku ingin pulang, menuntut penjelasan dari Fitri, bertanya mengapa ia mengenakan daster tipis di depan Habib, mengapa ia tak lagi memakai jilbab, dan mengapa ia memalingkan muka dariku. Tapi aku takut—takut mendengar bahwa ia memang memilih Habib Hamza, bahwa pernikahan kami sudah berakhir. Aku menunduk, tanganku mencengkeram setang motor, merasa seperti pria yang kehilangan segalanya, melaju entah ke mana hanya untuk menghindari kenyataan yang terlalu pahit untuk dihadapi.
Udara malam kota M semakin dingin, tapi aku tak peduli, hanya menyalakan motor lagi dan melaju pelan, tanpa arah, seperti jiwa yang tersesat. Jalanan yang kulewati, dengan pohon-pohon mangga dan rumah-rumah sederhana, tak lagi terasa seperti rumah. Aku merasa seperti orang asing, bukan hanya di kota ini, tapi di hidupku sendiri. Bayangan Fitri yang kini “istri” Habib Hamza, dengan daster tipis dan rambut terikat cantik, terus menghantuiku, membuatku bertanya-tanya apakah masih ada harapan untuk kami, atau apakah aku harus melepaskan wanita yang kucintai demi Fahri, anakku, yang masih membutuhkan ayahnya. Motor terus berderit, membawaku entah ke mana, tapi hatiku tetap tertinggal di rumah, di sofa itu, di sisi Fitri yang kini terasa begitu jauh.
538Please respect copyright.PENANAkYF1CoOccm
538Please respect copyright.PENANARCNaWOV6yc