Suara adzan Subuh dari masjid terdekat menggema di udara pagi kota M, menarikku, Ardi, dari tidur yang rapuh di sofa tua ruang tamu. Angin dingin pagi menyelinap lewat jendela, membuatku menggigil, tubuhku masih lemas dari malam yang penuh luka dan doa penuh laknat.
Wajahku perih, memar dan luka kecil di bibir mengingatkanku pada tamparan Habib Hamza dan pukulan yang kuberikan sendiri di depan pintu kamar yang terkunci. Aku bangkit perlahan, bantal kecil yang kugenggam basah oleh air mata yang kering semalam, dan suara hujan yang tadi malam deras kini telah reda, meninggalkan udara segar namun tak mampu membersihkan kepedihan di hatiku.
Aku menatap plafon kayu yang lapuk, masih berharap ini semua mimpi, tapi kenyataan malam tadi—desahan Fitri, tamparan Habib, dan tangis Fahri—terlalu nyata.Pintu kamar berderit pelan, dan aku menoleh, jantungku berdegup kencang. Fitri dan Habib Hamza keluar dari kamar, keduanya tampak loyo, wajah mereka pucat seperti habis begadang semalaman.
Fitri mengenakan daster tipis yang sama, rambutnya acak-acakan namun tetap cantik, dengan rona lelah tapi puas di wajahnya. Habib, dengan sarung dan kaus sederhana, matanya setengah terpejam, berjalan di belakangnya, tangannya sesekali menyentuh pinggang Fitri dengan keakraban yang menyakitkan. Mereka pasti baru selesai bercinta berjam-jam, dan dari langkah mereka yang gontai menuju kamar mandi, sepertinya hendak mandi junub.
Aku menunduk, menghindari pandangan mereka, merasa seperti pecundang yang menyaksikan istriku dan pria lain keluar dari ranjang kami.Aku memegang wajahku, luka di bibir masih terasa, dan bayangan desahan Fitri yang intens, yang tak pernah kuberikan, kembali menghantam. Aku ingin berteriak, menuntut Fitri menjelaskan mengapa ia memilih Habib, tapi aku hanya diam, tenggelam dalam rasa kikuk yang tak terucapkan.
Suara mertuaku, Bapak dan Ibu Suyono, yang mulai bergerak di kasur lipat, mengalihkan perhatianku. Mereka bangun, melipat kasur dengan rapi, wajah mereka segar seolah malam tadi tak ada drama yang menghancurkan menantu mereka. Ibu Suyono tersenyum, “Ardi, ayo solat Subuh,” katanya, suaranya lembut tapi terasa kosong, seperti tak melihat luka di wajahku atau hati yang remuk.Fahri, anakku, juga bangun, menggosok matanya yang mengantuk, truk mainannya masih di tangan. “Yah, solat yuk,” katanya dengan suara polos, tak tahu bahwa ayahnya baru saja menangis semalaman, memohon laknat untuk ibunya dan Habib.
Aku mengangguk, memaksakan senyum, meski wajahku pasti tampak mengerikan dengan memar dan luka. Aku membantu mertuaku menggelar karpet solat di ruang tamu, kain hijau tua yang biasanya Fitri dan aku gunakan untuk berjamaah. Tapi kali ini, suasana berbeda—Habib Hamza melangkah masuk setelah dari kamar mandi, rambutnya basah, wajahnya segar, dan dengan penuh wibawa ia berkata, “Saya jadi imam, ya.” Aku tersentak, merasa seperti tamu di rumahku sendiri.Kami berdiri di belakang Habib, yang kini mengambil posisi imam di karpet ruang tamu.
Fitri berdiri di samping mertuaku, mengenakan mukena putih yang biasa ia pakai, tapi wajahnya masih memalingkan muka dariku, seperti tadi malam. Fahri berdiri di sampingku, tangannya kecil menyentuhku, dan aku merasa sedikit terhibur oleh kehadirannya, meski dadaku sesak. Aku merasa menjadi manusia paling kikuk saat itu, makmum di rumah sendiri, di belakang pria yang baru saja bercinta dengan istriku berjam-jam di ranjang kami.
Suara Habib menggema, lantunan takbirnya merdu, tapi bagiku seperti ejekan, mengingatkanku pada tamparannya tadi malam dan desahan Fitri yang masih bergema di kepalaku.Aku menunduk selama solat, mencoba fokus, tapi pikiranku kacau. Aku teringat doaku semalam, penuh laknat untuk Fitri dan Habib, dan bertanya-tanya apakah Allah mendengar, atau apakah aku berdosa karena kemarahanku.
Setiap gerakan solat terasa berat, seperti membawa beban delapan tahun pernikahan yang kini hancur. Aku melirik Fahri, yang solat dengan khusyuk meski gerakannya masih kaku, dan itu jadi satu-satunya yang menahanku dari ambruk. Mertuaku, di samping Fitri, tampak tenang, seolah restu mereka untuk pernikahan baru ini adalah hal yang wajar.
Aku merasa seperti orang asing, makmum di belakang imam yang telah mengambil istriku, di rumah yang kini terasa seperti penjara.Usai solat, Habib menoleh, tersenyum pada mertuaku dan Fahri, tapi tak menatapku.
Fitri melepas mukena, daster tipisnya kembali terlihat, dan ia bergegas ke dapur, masih menghindari pandanganku. Aku berdiri kaku, merasa tak punya tempat di antara mereka. Fahri menarik tanganku, “Yah, jalan-jalan nanti, ya?” tanyanya lagi, mengingatkanku pada permintaannya semalam. Aku mengangguk, meski hati ini tahu bahwa jalan-jalan dengan Fitri mungkin hanya mimpi. Aku teringat wajah loyo Fitri dan Habib tadi, tanda-tanda malam panjang mereka, dan rasa cemburu kembali membakar, membuat luka di bibirku terasa lebih perih.
Aku membantu melipat karpet solat, tanganku gemetar, mencoba menyibukkan diri agar tak tenggelam dalam pikiran. Mertuaku mulai menyiapkan sarapan, Ibu Suyono memanggil Fitri untuk membantu, dan suara mereka dari dapur terdengar seperti keluarga biasa, seolah aku tak ada. Habib duduk di sofa, tempat aku tidur semalam, mengambil ponselnya dan mengobrol santai dengan Bapak Suyono, seperti tuan rumah yang sejati.
Aku berdiri di sudut ruang tamu, menatap Fahri yang kembali bermain dengan truk mainannya, dan merasa seperti bayangan, manusia paling kikuk yang tak tahu harus berbuat apa di rumah sendiri.Aku teringat ranjang kami, yang pasti masih kusut dari malam mereka, bau asap rokok Habib yang menempel di sprei. Aku membayangkan Fitri dan Habib, loyo setelah bercinta berjam-jam, kini segar setelah mandi junub, siap melanjutkan hari sebagai pasangan baru.
Aku ingin masuk ke kamar, melihat ranjang itu, mungkin mencari sisa aroma gamis Fitri yang dulu kini hilang, tapi aku tak berani—takut melihat jejak mereka yang lebih nyata. Aku teringat doaku semalam, hujan deras dan petir yang seperti menjawab kemarahanku, tapi pagi ini, dengan adzan yang telah usai, aku merasa doaku tak membawa perubahan, hanya meninggalkan luka yang lebih dalam.Aku menatap wajahku di cermin kecil, memar dan luka di bibir masih terlihat, pengingat tamparan Habib dan keputusasaanku sendiri.
Aku merasa seperti pecundang, suami yang gagal, yang tak bisa melindungi istri dan keluarganya dari pria seperti Habib. Aku teringat desahan Fitri, wajahnya yang bahagia, dan bagaimana ia memalingkan muka dariku, seperti aku tak lagi berarti. Fahri, dengan kepolosannya, adalah satu-satunya yang menahanku dari menyerah, tapi bahkan permintaannya untuk jalan-jalan terasa seperti harapan kosong.
Aku ingin berbicara dengan Fitri, menuntut jawaban, tapi melihatnya di dapur, sibuk bersama mertuaku, membuatku merasa tak punya hak lagi.Aku kembali ke sofa, duduk dengan tubuh lemas, menatap karpet solat yang kini dilipat rapi. Angin pagi masih dingin, membawa aroma tanah basah dari hujan semalam, tapi tak bisa menghibur.
Aku teringat solat Subuh tadi, betapa kikuknya aku sebagai makmum di belakang Habib, pria yang kini mengambil alih rumah dan istriku. Aku membayangkan mereka di kamar semalam, berjam-jam dalam keintiman, dan rasa cemburu kembali menyala, meski aku tahu itu tak akan mengubah apa pun. Aku ingin berdoa lagi, tapi kata-kata laknat semalam terasa seperti dosa, dan aku tak tahu apa lagi yang harus kuminta dari Allah.Fahri mendekat, memeluk kakiku, “Yah, Bapak sakit?” tanyanya, melihat memar di wajahku.
Aku menggeleng, memaksakan senyum, “Bapak baik-baik saja, Nak.” Tapi matanya penuh kekhawatiran, dan aku merasa bersalah membuatnya takut lagi. Aku memeluknya, mencium keningnya, berharap kepolosannya bisa menyelamatkanku dari kepedihan ini. Mertuaku dan Fitri mulai menyiapkan meja makan, suara piring berdenting dari dapur, dan Habib masih duduk di sofa, seperti raja di istananya. Aku menatap mereka, merasa seperti tamu yang tak diundang, di rumah yang kini asing.
-----------------------------
Pagi di kota M terasa semakin terang, sinar matahari menyelinap lewat jendela ruang tamu, tapi tak mampu menghangatkan hatiku yang dingin. Aku, Ardi, duduk di sofa tua, wajahku masih perih dari memar dan luka kecil di bibir, sisa tamparan Habib Hamza dan pukulan yang kuberikan sendiri semalam.
Suara piring berdenting dari dapur mengisi keheningan, disusul aroma gorengan yang baru digoreng, membawa sedikit kehangatan ke rumah yang kini terasa asing. Fahri, anakku, bermain dengan truk mainannya di sudut ruang tamu, wajahnya polos, tak tahu bahwa ayahnya baru saja merasa seperti makmum tak diundang di solat Subuh tadi, di belakang Habib yang kini menguasai rumah ini.
Aku menatapnya, berharap kepolosannya bisa menyelamatkanku, tapi luka di hati ini terlalu dalam.Ibu Suyono, yang kini entah masih mertuaku atau sudah jadi mantan mertua, keluar dari dapur dengan nampan berisi gorengan hangat—pisang goreng dan tempe mendoan yang masih mengepul. “Ardi, ayo sarapan,” katanya, suaranya lembut tapi terasa jauh, seperti bicara pada tamu, bukan menantu. Bapak Suyono mengangguk, “Ayo, Nak, makan dulu,” tambahnya, menata gelas-gelas teh hangat di meja tamu.
Aku mengangguk pelan, meski dadaku sesak, bertanya-tanya apakah mereka masih menganggapku keluarga, atau apakah restu mereka untuk pernikahan Fitri dan Habib telah menghapusku dari hidup mereka. Aku tak lagi mengerti statusku di rumah ini, seperti orang asing yang terpaksa duduk di meja keluarga.Fitri muncul dari dapur, membawa piring kecil berisi sambal, daster tipisnya bergoyang pelan, rambutnya yang masih sedikit basah dari mandi junub terikat sederhana.
Ia tak menatapku, seperti biasa, wajahnya memalingkan muka, seolah aku tak ada. Aku ingin memanggilnya, menanyakan mengapa ia begitu dingin, tapi kata-kata tersekat di tenggorokan, terutama saat Habib Hamza masuk, mengenakan kaus sederhana dan sarung, wajahnya masih loyo namun penuh karisma. Mereka berdiri dekat, dan tiba-tiba Fitri memegang tangan Habib, jari-jarinya meremas lembut, seperti pasangan yang baru menikmati malam penuh cinta.
Dadaku seperti ditusuk, tapi aku tetap diam, menatap meja tamu yang penuh gorengan dan teh hangat, berharap bisa menyibukkan diri.Namun, kata-kata Fitri berikutnya menghancurkan sisa harga diriku. “Mas, kita makannya di kamar aja, yuk,” katanya pada Habib, suaranya manja, penuh keakraban, “Aku nggak mau melihat laki-laki itu.” Laki-laki itu—aku tahu ia bermaksud aku, suaminya selama delapan tahun, ayah dari Fahri, tapi kini diperlakukan seperti orang asing yang menjijikkan.
Aku tersentak, menatapnya, mencari secercah penyesalan di wajahnya, tapi ia hanya menunduk, tangannya masih menggenggam Habib. Aku merasa menjadi orang paling hina di sini, lebih rendah dari pecundang, seperti kotoran yang tak diinginkan di rumahku sendiri.
Air mata menggenang, tapi kutahan, tak ingin Fahri atau mertuaku melihatku hancur lagi.Habib mengelus rambut Fitri, gerakannya penuh kasih sayang, seperti menegaskan bahwa ia kini pemilik hatinya. “Iya, Sayang,” katanya lembut, suaranya merdu namun menusuk bagiku. Ia mengambil dua gelas teh yang masih mengepul dari meja tamu, uapnya menari di udara pagi, lalu mengambil sepiring gorengan—pisang goreng dan tempe mendoan yang tadi disiapkan Ibu Suyono.
Dengan langkah santai, ia mengangguk pada mertuaku, seolah mereka tuan rumah dan aku tamu tak diundang, lalu berjalan menuju kamar, Fitri mengikuti di belakangnya, tangan mereka masih bergandengan. Pintu kamar berderit saat mereka masuk, dan aku mendengar bunyi kunci diputar lagi, mengunci aku dari dunia mereka.Aku terduduk di sofa, menatap meja tamu yang kini terasa kosong meski penuh makanan.
Bapak Suyono menepuk bahuku, “Makan, Ardi,” katanya, tapi suaranya tak punya kehangatan, seperti formalitas belaka. Ibu Suyono hanya tersenyum tipis, lalu mengambil sepotong tempe mendoan untuk Fahri, yang kini duduk di sampingnya, matanya cerah, tak tahu bahwa ibunya baru saja menyebut ayahnya “laki-laki itu.” Aku merasa seperti hantu, hadir tapi tak dianggap, di meja sarapan yang seharusnya jadi momen keluarga.
Aku teringat doaku semalam, penuh laknat untuk Fitri dan Habib, dan hujan deras yang seperti menjawab, tapi pagi ini, mereka tetap bersama, bahagia, sementara aku tenggelam dalam kehinaan.Fahri menarik lengan bajuku, “Yah, makan pisang goreng, enak!” katanya, mulutnya penuh, senyumnya polos. Aku memaksakan senyum, mengambil sepotong pisang goreng, tapi rasanya seperti debu di mulutku. Aku teringat permintaan Fahri untuk jalan-jalan, dan itu satu-satunya yang menahanku dari ambruk.
Tapi bagaimana aku bisa jalan-jalan dengan Fitri, yang tak mau melihatku, yang kini sarapan di kamar dengan Habib, menikmati gorengan dan teh hangat seperti pasangan baru? Aku menatap piring di meja, uap teh yang tersisa, dan membayangkan mereka di kamar, mungkin tertawa, berbagi pisang goreng, atau bahkan lebih, di ranjang yang kini ternoda.Aku teringat wajah Fitri tadi, daster tipisnya yang menempel di tubuhnya, tangannya yang menggenggam Habib, dan kata-katanya yang menyebutku “laki-laki itu.”
Luka di bibirku terasa perih lagi, mengingatkanku pada tamparan Habib dan pukulan yang kuberikan sendiri. Aku merasa lebih hina dari malam tadi, ketika aku menguping desahan mereka atau ketika pintu kamar dikunci. Mertuaku, atau mantan mertuaku, tampak tak peduli, mengobrol tentang rencana hari ini seolah aku tak ada. Aku bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar sudah menghapusku dari keluarga ini, atau apakah aku yang gagal mempertahankan Fitri?Aku menyesap teh hangat, tapi rasanya hambar, seperti hidupku kini.
Aku teringat ranjang kami, yang pasti masih kusut dari malam panjang mereka, bau asap rokok Habib yang menempel di sprei. Aku membayangkan Fitri dan Habib di kamar sekarang, mungkin duduk di ranjang, berbagi gorengan, atau berpelukan lagi, melanjutkan keintiman yang membuatku tak punya tempat. Aku ingin masuk, mengetuk pintu, menuntut Fitri menjelaskan mengapa ia begitu membenciku, tapi aku tak berani—takut mendengar lebih banyak kata yang akan menghancurkan.
Aku hanya bisa duduk, menatap meja tamu, merasa seperti orang paling hina di antara keluargaku sendiri.Fahri tiba-tiba memelukku, “Yah, nanti jalan-jalan, ya?” katanya lagi, suaranya penuh harapan. Aku mengangguk, meski hati ini tahu bahwa Fitri mungkin tak akan ikut, bahwa ia lebih memilih Habib, pria yang kini sarapan bersamanya di kamar.
Aku memeluk Fahri erat, kehangatannya adalah satu-satunya yang nyata di tengah kehinaan ini. Mertuaku mulai membersihkan meja, Ibu Suyono membawa piring kotor ke dapur, dan Bapak Suyono membaca koran, seolah pagi ini biasa saja. Tapi bagiku, pagi ini adalah neraka—Fitri yang menyebutku “laki-laki itu,” Habib yang mengelus rambutnya, dan pintu kamar yang kembali terkunci.
Aku menatap sofa, tempat aku tidur semalam di bawah hujan deras, dan merasa seperti tahanan di rumahku sendiri. Aku teringat doa semalam, penuh laknat, dan bertanya-tanya apakah Allah mendengar, atau apakah aku berdosa karena kemarahanku.
Aku ingin berbicara dengan Fitri, tapi kata-katanya tadi, penuh penolakan, membuatku merasa tak punya hak lagi. Aku teringat desahan Fitri, wajahnya yang bahagia, dan tamparan Habib, semua seperti beban yang tak bisa kulepaskan. Aku hanya bisa duduk, menatap gelas teh yang mulai dingin, merasa lebih hina dari sebelumnya, di meja sarapan yang tak lagi terasa seperti milik keluargaku.Udara pagi kota M masih segar, tapi hatiku tetap beku, terperangkap dalam luka yang tak kunjung sembuh.
Aku teringat permintaan Fahri, dan itu jadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan. Tapi melihat pintu kamar yang tertutup, mendengar suara pelan Fitri dan Habib dari dalam, aku tahu bahwa harapan itu rapuh. Aku merasa seperti orang paling hina, tak diinginkan oleh istriku, diabaikan oleh mertuaku, dan hanya dianggap oleh anakku yang polos. Aku ingin lari, melaju dengan motor entah ke mana, tapi Fahri ada di sini, dan aku tak bisa meninggalkannya.
493Please respect copyright.PENANA930SnuOAxR