
Bab 2: Ceramah, Pantai, dan Nafsu yang Tertinggal
1913Please respect copyright.PENANASdpdlSJWVM
Setelah malam itu di tabligh akbar, namaku mulai bergaung.
"Habib Amir dari Hadhramaut."
Orang-orang menyebutnya dengan suara penuh getar, seakan tiap huruf mengandung berkah. Padahal satu-satunya pasir yang pernah aku injak ya di lapangan bola kampung waktu kemarau panjang.
1913Please respect copyright.PENANAZgyXpvzOJt
Tapi hidup harus terus berjalan, apalagi kalau berjalan di atas panggung—pakai sorban, suara mendayu, dan mata yang sedikit sendu. Itu cukup untuk membuat para jemaah percaya, apapun yang keluar dari mulutku adalah sabda.
1913Please respect copyright.PENANAGIiqQRNfXr
Sampai akhirnya, sebuah undangan datang dari Pangandaran.
1913Please respect copyright.PENANAQsbPkCRSAh
1913Please respect copyright.PENANAKx0Gwh29uh
---
1913Please respect copyright.PENANAcQksJqoJwq
Aku diundang sebagai pembicara tamu dalam majelis kecil di sebuah wisma pinggir pantai milik keluarga seorang dermawan. Katanya, mereka rutin mengundang habib muda untuk “menyegarkan rohani” para ibu-ibu yang mengelola koperasi nelayan dan bisnis pariwisata lokal.
1913Please respect copyright.PENANAEx4TFrgj1u
Aku mengiyakan. Bukan karena dakwah—tapi karena sudah lama aku ingin kabur sebentar dari kota dan segala tatapan curiga ustaz-ustaz asli yang mulai bertanya-tanya kenapa aku tak pernah bawa sanad nasab. Pangandaran terdengar cukup jauh... dan cukup aman.
1913Please respect copyright.PENANArUyxXmUV5T
Sesampainya di sana, aku disambut oleh Deden, lelaki paruh baya yang katanya dulunya mantan aktivis rohis yang gagal jadi guru ngaji, lalu banting setir jadi pengelola kebun sekaligus penjaga toko bangunan.
1913Please respect copyright.PENANAlf2ZH38UW6
Orangnya santai, humoris, dan langsung cocok denganku setelah ngobrol beberapa menit.
1913Please respect copyright.PENANAAzv42SzcdF
“Nginep aja di rumah saya, Bib. Gak usah repot bayar hotel,” katanya.
Rumahnya sederhana tapi rapi. Ada pohon belimbing di halaman dan angin laut yang selalu datang tiap sore. Sesuatu yang tak bisa kau beli dengan infak dari jamaah.
1913Please respect copyright.PENANAVzxNHNo52w
Deden ternyata lebih dari sekadar orang lokal ramah.
Di malam kedua, saat kami duduk di teras sambil minum kopi jahe, ia mulai membuka lembar masa lalunya.
1913Please respect copyright.PENANAP8dTY9PjoN
“Gua duda, Bib.”
Kalimat itu diucapkannya datar.
1913Please respect copyright.PENANAgxQTH5PSDF
“Cerai... gara-gara gak kuat ngimbangin nafsu bini gua. Satu-dua ronde gak cukup. Harus tiap malam. Lama. Kadang pagi juga minta. Katanya biar semangat masak.” Deden menghela napas.
Aku diam. Sedikit tertawa dalam hati, karena rasa lelahnya terdengar seperti doa yang tak dikabulkan.
1913Please respect copyright.PENANAUPJqFoGbF1
“Wajah dia gimana?” tanyaku akhirnya.
1913Please respect copyright.PENANAU7vDn7162v
“Manis. Cantik banget malah. Tapi lebih manis kalo udah minta sesuatu di kamar. Badannya... aduh. Pokoknya tiap suaminya pasti kewalahan. Tiga kali nikah, semua cerai.”
Aku makin penasaran.
1913Please respect copyright.PENANAE0Oatk5t8h
“Apa sekarang dia udah kawin lagi?”
1913Please respect copyright.PENANAh8UxJRTwSZ
“Nggak. Tapi dia bantuin kakaknya jaga wisma deket pantai. Namanya Anissa.”
1913Please respect copyright.PENANA1S2PzvCo47
Nama itu seperti alunan rebana yang terlalu lembut tapi meninju dada.
Aku pura-pura tidak tertarik, tapi pikiranku mulai main jauh.
1913Please respect copyright.PENANAzxZidaNdQo
“Boleh dikenalin?” tanyaku sambil memainkan tasbih plastik yang kini kubawa ke mana-mana.
“Siapa tahu bisa dakwah sambil silaturahmi.”
1913Please respect copyright.PENANA8aEamfegSs
Deden tertawa. “Tapi hati-hati Bib... yang ini bisa bikin orang bertobat sambil nahan jeritan.”
1913Please respect copyright.PENANAlPReimrlV8
1913Please respect copyright.PENANAxhys7DPfUT
---
1913Please respect copyright.PENANApltsYuMwA6
Keesokan harinya, aku mampir ke wisma tempat Anissa bekerja. Ia sedang menyapu halaman. Langit mendung, pantai sepi, dan hanya ada suara burung camar dan desiran ombak.
1913Please respect copyright.PENANA6yaIpGVjhx
Anissa... bukan sekadar cantik. Ia punya aura tenang, semacam gabungan antara wanita yang terlalu sering disakiti dan terlalu terbiasa mengendalikan situasi. Sorot matanya tajam, tapi hangat. Bibirnya kecil dan penuh. Gerakannya tenang, tapi terukur.
1913Please respect copyright.PENANAudqvWUWW8C
Waktu dia melihatku, dia hanya tersenyum singkat.
1913Please respect copyright.PENANAkVhDZc0uS7
“Habib dari kota, ya?”
Suaranya bening. Tidak dibuat-buat.
1913Please respect copyright.PENANAa9bv3LL19N
“Panggil Amir aja,” jawabku sambil menunduk, gaya andalan tiap bertemu perempuan—menunduk tapi lirikan mata tetap bekerja.
1913Please respect copyright.PENANAn8nK8GHPDb
Kami ngobrol sebentar. Tidak lama, tapi cukup untuk tahu bahwa Anissa bukan tipe perempuan mudah kagum pada gelar atau sorban. Itu membuatku makin tertarik.
1913Please respect copyright.PENANAxn3qqc3CbD
1913Please respect copyright.PENANAzD6ASBJxiA
---
1913Please respect copyright.PENANAnpw0xTFyz9
Di malam harinya, aku mengisi pengajian kecil di aula wisma. Para ibu duduk manis, beberapa membawa buah tangan, satu-dua mengedip saat aku mulai ceramah tentang cinta Nabi dan Sayyidah Khadijah—tema andalanku.
1913Please respect copyright.PENANACNUiSDUfCD
Di sudut aula, Anissa berdiri sambil menyeduh teh. Tak banyak bicara, tapi sesekali menatapku lama. Bukan seperti jemaah lain. Tatapannya berbeda. Seperti... menguliti kebohongan dari balik jubah.
1913Please respect copyright.PENANAsibFTqo2jT
Aku tahu perempuan seperti itu tidak bisa ditaklukkan dengan kutipan hadis semata. Tapi justru itu yang membuatku ingin mencoba.
1913Please respect copyright.PENANACNh0xAXF1W
1913Please respect copyright.PENANAHLe3AiO6HW
---
1913Please respect copyright.PENANAyizhejvNGe
Di kamar malam itu, aku membuka jendela. Angin pantai membawa aroma garam dan gairah yang tak bisa dijelaskan.
1913Please respect copyright.PENANAkEmKlHNXo0
Dan di antara suara ombak yang menabrak karang, aku menyadari sesuatu:
Di Pangandaran, bukan cuma dakwah yang diuji. Tapi juga nyali.
1913Please respect copyright.PENANAZTCNVoNxDA
Anissa bukan jemaah biasa.
Dia adalah godaan yang menunggu...
Menguji sejauh mana seorang "Habib palsu" mampu menyembunyikan nafsu asli.
Bagi yang butuh akses mudah tanpa CreditCard bisa ke
https://victie.com/novels/menyesatkan_keluarga_sakinah
Cek koleksi cerita lainnya dari suhu suhu saya di
https://t.me/+3OoiCK8fS5swZjY9
Jangan Lupa Follow dan Bookmark di sana ya
Matur Thankyou
ns216.73.216.238da2