
Bab 3: Dua Wajah, Satu Hasrat
1880Please respect copyright.PENANAY1brcRdTeI
Namanya Asanah. Kakak kandung Anissa. Perempuan yang dari cara berdirinya saja kau tahu: ini bukan wanita sembarangan.
Pakaian syar’i, kerudung besar, suara tenang, dan wibawa alami yang tak dibuat-buat. Tapi justru karena semua itu, aku jadi lebih waspada. Bukan karena takut... tapi karena penasaran.
1880Please respect copyright.PENANAfAYcjGr24p
Perempuan seperti Asanah bukan tipe yang mudah disentuh, bahkan oleh kata-kata. Tapi auranya itu auranya yang tak pernah berusaha memikat tapi justru menarik seperti medan magnet spiritual.
1880Please respect copyright.PENANAQRJSCy4GXH
Wajahnya putih bersih, hidungnya mancung, dan yang paling membuatku salah fokus: bulu-bulu halus di tangan dan kakinya, lurus, rapi, dan samar seperti garis kabut di fajar hari. Bukan seperti perempuan desa kebanyakan. Ini... lebih elegan. Lebih mahal.
1880Please respect copyright.PENANAmzDrTgiaQu
"Perempuan berdarah campuran," bisik Deden waktu itu.
1880Please respect copyright.PENANAowh2ZNEqws
"Arab-Jawa. Bapaknya dulu jemaah haji yang nyasar nikah di sini, pulang-pulang bawa anak dua."
1880Please respect copyright.PENANAqLFdHCvr5g
Dan aku percaya.
1880Please respect copyright.PENANAmvNmr3eDEJ
Tak cuma darahnya yang bercampur, kekuasaannya juga menyebar ke banyak bidang. Usaha penggilingan padi, bisnis penyaluran TKW ke luar negeri, bahkan pengelolaan wisma tempat pengajian semuanya dipegangnya. Dengan gaya bicara tegas tapi lembut, dia memimpin dengan cara yang tak perlu mengangkat suara.
1880Please respect copyright.PENANAnqYsYHRSJV
Tapi justru itu yang berbahaya.
Yang tenang seperti laut pasang itu... biasanya menyimpan badai di dalamnya.
1880Please respect copyright.PENANALFWBUIjnfs
1880Please respect copyright.PENANAvetj3JBXTK
1880Please respect copyright.PENANA8MiWrU8X9W
Sejak kedatanganku ke Pangandaran, hubungan dengan Anissa makin dekat. Perlahan tapi pasti, dari obrolan seputar ilmu agama dan kisah Nabi, jadi candaan halus di lorong dapur, lirikan yang sengaja atau tidak terlalu lama tertahan, hingga sentuhan-sentuhan kecil yang pura-pura tak sengaja.
1880Please respect copyright.PENANAYcKJKrhKVh
Dan suatu malam, saat aku selesai mengisi pengajian rutin, Deden tak datang menjemput seperti biasa.
1880Please respect copyright.PENANAFddYiWQkip
“Kata Mbak Asanah, kalau mau lebih nyaman, nginap aja di wisma. Biar lebih dekat dan… karomahnya terasa.”
Begitu pesan yang disampaikan seorang staf perempuan berseragam biru.
1880Please respect copyright.PENANAMLJuiv3dqR
Wisma itu bangunannya kokoh, bertingkat dua, langsung menghadap ke pantai. Di malam hari, suara ombak terdengar seperti dzikir panjang yang mengantuk. Dan malam itu... aku tidak sendiri.
1880Please respect copyright.PENANApS4HqHI0CP
Anissa datang membawa teh panas dan sepiring kecil pisang goreng.
1880Please respect copyright.PENANAFGrht4CDoj
“Ini dari Mbak. Katanya habib jangan tidur perut kosong,” katanya pelan.
1880Please respect copyright.PENANAreBTL1mcPs
Tapi aku tahu, ini bukan sekadar teh dan pisang. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda. Aku duduk di balkon lantai atas. Dia berdiri di ambang pintu. Kami tak saling menyentuh. Tapi jarak itu terasa... sangat panas.
1880Please respect copyright.PENANAwEkGn69fdT
Kami bicara lama. Tentang hidup. Tentang luka. Tentang pilihan.
Dan akhirnya diam.
1880Please respect copyright.PENANAxxH4bSBfxe
Tapi diam kami bukan kosong. Diam itu seperti api yang membakar pelan-pelan, tanpa suara. Angin laut menyapu jilbabnya, memperlihatkan sedikit lehernya, kulit yang begitu bersih seperti porselen.
1880Please respect copyright.PENANAeJ5GURsRE2
Dan malam itu, untuk sesaat yang terasa seperti abadi, aku melihat wajah Anissa yang tak bisa kulihat saat pengajian: wajah seorang perempuan yang haus. Yang menahan terlalu lama. Yang mungkin tak pernah benar-benar merasakan "iman yang menyentuh tubuh."
1880Please respect copyright.PENANAjcjUXNuKU0
Ciuman itu terjadi bukan karena kami ingin. Tapi karena kami terlalu sering menahan. Dan seperti ombak yang menghantam batu karang berkali-kali... akhirnya dia pecah juga.
1880Please respect copyright.PENANABH1qRaOwoo
1880Please respect copyright.PENANAoABr15Ws9k
Esok paginya, suasana kembali tenang. Anissa menyambutku di ruang makan seperti biasa. Jilbab rapi, senyum sopan. Tak ada yang berubah. Kecuali matanya. Kini ia lebih dalam. Lebih tahu.
1880Please respect copyright.PENANAO4UteUWNMk
Dan aku... lebih terikat.
ns216.73.216.238da2