
Bab 3: Dua Wajah, Satu Hasrat
196Please respect copyright.PENANAsFd9uOHVNm
Namanya Asanah. Kakak kandung Anissa. Perempuan yang dari cara berdirinya saja kau tahu: ini bukan wanita sembarangan.
Pakaian syar’i, kerudung besar, suara tenang, dan wibawa alami yang tak dibuat-buat. Tapi justru karena semua itu, aku jadi lebih waspada. Bukan karena takut... tapi karena penasaran.
196Please respect copyright.PENANAskbBcklpwa
Perempuan seperti Asanah bukan tipe yang mudah disentuh, bahkan oleh kata-kata. Tapi auranya itu auranya yang tak pernah berusaha memikat tapi justru menarik seperti medan magnet spiritual.
196Please respect copyright.PENANA0WLwFqLQ8Y
Wajahnya putih bersih, hidungnya mancung, dan yang paling membuatku salah fokus: bulu-bulu halus di tangan dan kakinya, lurus, rapi, dan samar seperti garis kabut di fajar hari. Bukan seperti perempuan desa kebanyakan. Ini... lebih elegan. Lebih mahal.
196Please respect copyright.PENANANmCavraWFu
"Perempuan berdarah campuran," bisik Deden waktu itu.
196Please respect copyright.PENANABNbwqCJYSc
"Arab-Jawa. Bapaknya dulu jemaah haji yang nyasar nikah di sini, pulang-pulang bawa anak dua."
196Please respect copyright.PENANAlRGTdmLaKd
Dan aku percaya.
196Please respect copyright.PENANAwChGSL6vXe
Tak cuma darahnya yang bercampur, kekuasaannya juga menyebar ke banyak bidang. Usaha penggilingan padi, bisnis penyaluran TKW ke luar negeri, bahkan pengelolaan wisma tempat pengajian semuanya dipegangnya. Dengan gaya bicara tegas tapi lembut, dia memimpin dengan cara yang tak perlu mengangkat suara.
196Please respect copyright.PENANAe5KSlaajl0
Tapi justru itu yang berbahaya.
Yang tenang seperti laut pasang itu... biasanya menyimpan badai di dalamnya.
196Please respect copyright.PENANAOCN0fVzvlF
196Please respect copyright.PENANArk31LOEvNA
196Please respect copyright.PENANATHilZz0F3k
Sejak kedatanganku ke Pangandaran, hubungan dengan Anissa makin dekat. Perlahan tapi pasti, dari obrolan seputar ilmu agama dan kisah Nabi, jadi candaan halus di lorong dapur, lirikan yang sengaja atau tidak terlalu lama tertahan, hingga sentuhan-sentuhan kecil yang pura-pura tak sengaja.
196Please respect copyright.PENANAP7lk6Pvr2F
Dan suatu malam, saat aku selesai mengisi pengajian rutin, Deden tak datang menjemput seperti biasa.
196Please respect copyright.PENANAkqo8UDyS9C
“Kata Mbak Asanah, kalau mau lebih nyaman, nginap aja di wisma. Biar lebih dekat dan… karomahnya terasa.”
Begitu pesan yang disampaikan seorang staf perempuan berseragam biru.
196Please respect copyright.PENANAzGgc7TdlRp
Wisma itu bangunannya kokoh, bertingkat dua, langsung menghadap ke pantai. Di malam hari, suara ombak terdengar seperti dzikir panjang yang mengantuk. Dan malam itu... aku tidak sendiri.
196Please respect copyright.PENANAaeSkNVQvA5
Anissa datang membawa teh panas dan sepiring kecil pisang goreng.
196Please respect copyright.PENANAo7UXBONpDj
“Ini dari Mbak. Katanya habib jangan tidur perut kosong,” katanya pelan.
196Please respect copyright.PENANAp3j0WLD97N
Tapi aku tahu, ini bukan sekadar teh dan pisang. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda. Aku duduk di balkon lantai atas. Dia berdiri di ambang pintu. Kami tak saling menyentuh. Tapi jarak itu terasa... sangat panas.
196Please respect copyright.PENANAfnGwNuKiDV
Kami bicara lama. Tentang hidup. Tentang luka. Tentang pilihan.
Dan akhirnya diam.
196Please respect copyright.PENANAeewlFn3oWV
Tapi diam kami bukan kosong. Diam itu seperti api yang membakar pelan-pelan, tanpa suara. Angin laut menyapu jilbabnya, memperlihatkan sedikit lehernya, kulit yang begitu bersih seperti porselen.
196Please respect copyright.PENANAbVCESCUsAT
Dan malam itu, untuk sesaat yang terasa seperti abadi, aku melihat wajah Anissa yang tak bisa kulihat saat pengajian: wajah seorang perempuan yang haus. Yang menahan terlalu lama. Yang mungkin tak pernah benar-benar merasakan "iman yang menyentuh tubuh."
196Please respect copyright.PENANAkjyhbphxbC
Ciuman itu terjadi bukan karena kami ingin. Tapi karena kami terlalu sering menahan. Dan seperti ombak yang menghantam batu karang berkali-kali... akhirnya dia pecah juga.
196Please respect copyright.PENANAVRFJcf096e
196Please respect copyright.PENANAPV2GddXb9B
Esok paginya, suasana kembali tenang. Anissa menyambutku di ruang makan seperti biasa. Jilbab rapi, senyum sopan. Tak ada yang berubah. Kecuali matanya. Kini ia lebih dalam. Lebih tahu.
196Please respect copyright.PENANAJsWyMcwtm7
Dan aku... lebih terikat.
ns216.73.216.3da2