x
Sejak malam itu, suasana di wisma tak lagi sama. Bukan karena Anissa mulai jaga jarak dia masih sering datang membawa teh atau semangka potong saat aku selesai ceramah kecil di mushola samping taman. Tapi ada aura berbeda yang terasa sejak Asanah untuk pertama kalinya memandangku tanpa senyum... tapi juga tanpa marah. Tatapannya diam-diam menggali, seakan membaca kitab besar yang kusembunyikan di balik jubah putihku.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBzV3RKv9Xq
Hari-hari berikutnya, aku mulai menyadari kalau wisma ini bukan rumah biasa.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8LTDuZwOj6
Selain Asanah
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDXfsj4heb7
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqoHmoEA5Iv
dan Anissa,
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡn5qwecgf2z
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlGsDXTuQZl
rumah ini juga dihuni oleh dua gadis muda:
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJys4NXryuY
Siti, si sulung, baru menginjak 17 tahun berwajah lembut, pemalu, dan selalu membawa buku tafsir kemana-mana.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡX6F99vO3LC
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡx8wCBYIjdP
Dan Amelia, 15 tahun, jenaka dan cerewet, sering menatapku diam-diam dari balik tirai ruang tamu.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgsFN95qmAx
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnXGmGCPsvV
Kedua gadis itu, meski muda, sudah belajar menjaga sikap. Tapi sorot mata mereka tidak bisa berbohong: ada rasa ingin tahu besar setiap kali aku bicara di ruang keluarga.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTgcYsLIntp
Di sisi lain, ada pula Maimunah, pembantu rumah tangga berusia 32 tahun yang ikut tinggal di paviliun belakang.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7fIAkNOVAS
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmJ0lFPGtK4
Perempuan bersuara lembut dengan kulit sawo matang dan postur tubuh yang... jujur saja, terlalu berisi untuk disebut "hanya pembantu". Matanya sipit, wajahnya selalu tertutup kerudung kecil, tapi caranya membungkuk saat membersihkan karpet sering membuatku harus segera beristighfar.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeADeHiMNIQ
Rumah ini seperti miniatur dunia perempuan dari berbagai usia semuanya bersih, anggun, tapi menyimpan sesuatu di dalam. Dan aku... seperti dijebak untuk menguji setiap sisi diriku dalam ruang-ruang yang terlalu sempit untuk lari.
Suatu sore, aku sedang duduk membaca kitab kecil di teras depan ketika Asanah menghampiri. Ia tak membawa apa-apa. Tidak teh, tidak buku, hanya dirinya dengan jilbab warna krem dan gamis bersih yang menjuntai tanpa kerut.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡprjNN45Smy
“Habib,” katanya. Suaranya tenang seperti biasa, tapi ada tekanan baru di ujung nadanya.
Aku menoleh. “Iya, Mbak Asanah.”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGolAefgBsb
Matanya menatap kitab yang kupegang. Tangannya menyentuh daun kering di pagar kayu.
“Kadang orang memegang kitab bukan untuk membaca, tapi untuk dilihat sedang membaca.”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoa8A0dVPIo
Aku terdiam. Itu bukan sindiran biasa. Itu tembakan peluru berlapis madu.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡghaEBp669O
“Saya memang belum banyak paham, Mbak. Tapi saya mencoba,” jawabku hati-hati.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEzsbHh2WyA
Dia duduk di kursi seberang. Kakinya disilangkan, matanya menatap laut di kejauhan.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwyFTHIxdAv
“Kamu bukan dari Hadhramaut, kan?”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡW5l7cA7C0X
Jantungku sedikit kaget. Tapi aku pura-pura tersenyum.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhlN9cmdXVB
“Ayah saya berdarah Timur Tengah. Tapi saya lahir di sini.”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOEhfi1DQ3k
“Asal-usul itu bisa dicari. Tapi kebiasaan bicara… lebih jujur daripada silsilah.”
Lagi-lagi tatapannya menusuk.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKVlyMYubMk
“Mbak ragu sama saya?”
“Tidak. Saya hanya paham wajah-wajah yang menyembunyikan sesuatu.”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjXZ3HhUmsE
Ia menghela napas, lalu berdiri. “Tolong jangan ajari anak-anak saya bicara manis kalau ujungnya pahit.”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIusPrDvTin
Aku tidak menjawab. Hanya diam, sambil menatap punggungnya yang perlahan menjauh masuk rumah.
Malamnya, aku makan malam bersama seluruh penghuni rumah. Siti duduk diam, hanya sesekali tersenyum saat aku memuji masakannya.
“Yang masak bukan saya, Habib. Maimunah yang bikin,” katanya pelan.
Di dapur, Maimunah hanya tertawa pelan sambil mengaduk sop, seolah tahu pujian itu bukan buat makanan, tapi untuk kehadirannya yang tak pernah ia nyatakan dengan kata-kata.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFHSsWvWL8o
Amelia, yang duduk di sebelahku, cerewet bertanya tentang cara menghafal hadis pendek.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3YjKpmPzPZ
“Habib, bener gak kalau mau hafal itu harus malam sambil direndam kaki di air dingin?”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfTOnnxp1pY
“Bisa juga sambil ngaji pelan-pelan,” jawabku sambil tersenyum.
“Tapi jangan pakai air dingin. Cukup pakai hati yang dingin... biar gak terbakar semangat doang.”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4K8jucg6FK
Amelia tertawa geli. “Ih, Habib ini kayak guru baru.”
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrx7ttkvkoG
Tapi yang tak tertawa... adalah Asanah, yang duduk di ujung meja sambil memperhatikan obrolan kami seperti kepala sekolah yang sedang menilai santri barunya
Setelah makan, aku kembali ke kamar tamu di paviliun. Tapi malam itu... aku tak bisa tidur.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJTMPy5hzdR
Bayangan wajah Asanah terus membayang. Bukan karena takut, tapi karena tantangan tersembunyi di balik sikap tenangnya. Ia tahu aku pembohong. Tapi tak serta merta mengusirku. Ia membiarkan aku tinggal, berbicara, bahkan makan bersama anak-anaknya. Itu bukan kelemahan. Itu... strategi.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgagjdiGITb
Dan Maimunah... beberapa kali aku menangkap matanya menatapku saat membersihkan kamar. Tatapan yang tak sopan, tapi juga tak bisa kusebut penuh dosa. Mungkin hanya... kosong. Tapi dari kekosongan itu, aku tahu: di rumah ini, semua perempuan melihatku. Tapi dengan cara yang berbeda.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJEMIbzxQ9I
Anissa dengan rindu, Amelia dengan kagum, Siti dengan hati-hati, Maimunah dengan... rasa penasaran yang dalam, dan Asanah dengan pandangan paling berbahaya
Pandangan perempuan cerdas yang tahu pria di hadapannya adalah kebohongan hidup... tapi membiarkannya berkembang.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWT9InE5tB0
Dan aku sadar, tempat paling berbahaya bukanlah panggung pengajian. Tapi ruang makan rumah Asanah, di mana semua mata perempuan bisa membaca ayat dalam hatiku tanpa perlu membuka satu pun lembar kitab.
180Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQ3SQoJNYYI
Bagi yang butuh akses mudah tanpa CreditCard bisa ke
https://victie.com/novels/habib_palsu_nafsu_asli
Cek koleksi cerita lainnya dari suhu suhu saya di
https://t.me/+3OoiCK8fS5swZjY9
MatutThankyou
ns216.73.216.3da2
