
Suatu pagi, saat Anto bekerja sebagai tukang kayu, Nisa sedang menjemur pakaian di halaman. Pak RT lewat dengan map data warga, lalu berhenti. “Pagi, Nisa, cantik sekali seperti biasa,” sapanya dengan senyum genit. Nisa mengangguk sopan, tetap fokus pada jemurannya. Pak RT melanjutkan, “Wanita secantik kamu, mulus, anggun, harusnya dapat laki-laki jantan yang bisa kasih keturunan, sayang kalau enggak.” Ia terkekeh, lalu menambahkan setengah bercanda, “Kalau mau, benih sperma saya bisa dipakai, lho, dijamin subur!” Nisa tersentak, dan saat Pak RT menggoda lebih jauh, “Jangan-jangan kamu belum pernah lihat sperma yang banyak, ya?” Nisa, dengan polos dan sedikit kesal, menjawab, “Belum pernah.” Pak RT tertawa lebar, menganggap itu lucu, lalu pergi sambil menggelengkan kepala, meninggalkan Nisa yang bingung dan dongkol sendiri.
Sore itu, Nisa menceritakan kejadian dengan wajah merona pada Anto saat makan malam. “Aku bilang ‘belum pernah’, To, malu banget,” keluhnya. Anto awalnya terdiam, lalu tertawa kecil, “Ya Tuhan, Nis, kamu polos banget.” Tapi wajahnya segera serius, “Tapi dia kurang ajar, berani ngomong gitu.” Nisa memegang tangannya, “Sudah, To, aku cuma mau dia diam, ternyata malah ketawa.” Anto mengangguk, “Biarin, yang penting kita baik-baik aja.” Mereka lalu makan sambil sesekali tertawa mengenang kejadian itu, lega karena tak membiarkannya merusak hari mereka.
_______________________________
Keesokan paginya, saat Anto kembali bekerja sebagai tukang kayu, Nisa menjemur pakaian di halaman rumah dengan gerakan cekatan. Matahari baru saja naik, menyinari wajah cantiknya yang selalu menarik perhatian. Tiba-tiba, Pak RT muncul, map data warga di tangan, langkahnya santai tapi matanya penuh niat. “Pagi, Nisa, makin cantik aja, payudaramu itu bikin susah lupa, mulus banget,” sapanya dengan nada genit yang tak lagi disembunyikan. Nisa menegang, hanya mengangguk kaku, berharap ia segera pergi. Namun, Pak RT justru mendekat, berdiri terlalu dekat hingga Nisa bisa mencium bau rokok dari napasnya. “Kemarin kita ngobrol soal keturunan, ya? Aku tahu posisi-posisi bercinta yang pasti bikin kamu cepat hamil,” katanya dengan senyum licik, matanya tak lepas dari lekuk tubuh Nisa.
Tanpa menunggu respons, Pak RT mulai berbicara dengan vulgar. “Pertama, posisi misionaris, tapi kakinya harus diangkat tinggi, biar benihnya masuk dalam-dalam. Bayangin pinggulmu yang indah ini,” katanya sambil memandang pinggul Nisa dan memperagakan gerakan pinggulnya maju-mundur dengan genit, “pasti nikmat kalau digoyang begini.” Nisa memerah, jantungan, tapi Pak RT tak berhenti. “Kedua, posisi doggy, ini bagus banget, Nis. Kamu merangkak, payudaramu yang montok itu bergoyang, uh, pasti bikin laki-laki gila,” lanjutnya, mempraktikkan gerakan menyodok ke udara dengan tawa kecil yang menjijikkan. “Terakhir, posisi wanita di atas, kamu naik, gerakkan pinggulmu yang aduhai itu perlahan, pasti langsung hamil,” katanya, memperagakan gerakan duduk dan menggoyang pinggulnya seolah Nisa ada di hadapannya. Nisa menunduk, tangannya gemetar menahan malu dan marah, tapi ia mencoba tetap tenang.
Pak RT melangkah lebih dekat, suaranya merendah, “Coba bayangin, Nis, kalau aku yang jadi suamimu, dengan kecantikanmu, payudara dan pinggul begini, kita pasti udah punya anak banyak sekarang. Rumah kita bakal ramai, tiap malam kita coba semua posisi ini.” Ia tertawa, seolah itu candaan, tapi matanya penuh nafsu. Nisa tak tahan lagi, wajahnya panas karena muak. “Cukup, Pak! Saya hormat sama Anto, dan saya nggak butuh omongan begini,” bentaknya dengan suara tegas meski bergetar. Pak RT terkekeh, mengangkat tangan seolah menyerah, “Tenang, Nis, cuma bercanda. Tapi kasih tahu Anto, suruh dia jadi laki-laki bener, jangan cuma ngukur kayu,” katanya, lalu berlalu dengan tawa menyebalkan, meninggalkan Nisa yang berdiri kaku, jantungnya berdegup kencang.
Sore itu, saat Anto pulang, Nisa menceritakan semuanya dengan suara pelan, matanya berkaca-kaca. “Dia ngomong gitu, To, sampe gerakin pinggul dan bilang soal payudara sama pinggulku. Aku jijik, tapi aku takut kalau ribut jadi masalah,” katanya, menunduk malu. Anto mendengarkan, wajahnya memerah, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar dia, Nis! Besok aku yang hadapi, nggak bisa dibiarkan!” geramnya. Nisa buru-buru memegang lengannya, “Jangan, To, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Kita abaikan aja, yang penting kita baik-baik.” Anto menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri, tapi matanya masih menyala. “Baiklah, tapi kalau dia berani lagi, aku nggak tinggal diam,” tegasnya. Mereka duduk bersama, saling menggenggam tangan, mencoba meredam luka dari kata-kata dan tingkah tak pantas Pak RT. Malam itu, mereka berdoa agar diberi kekuatan menghadapi cobaan yang tak pernah mereka minta.
_______________________________
Keesokan harinya lagi , cuaca tampak mendung, langit kelabu menyelimuti kampung kecil mereka. Angin mulai bertiup kencang, membawa aroma hujan yang sepertinya akan turun deras. Nisa sedang menyapu halaman rumah, membersihkan daun-daun kering yang berserakan akibat angin semalam. Ia mengenakan daster sederhana, rambutnya diikat asal, fokus pada sapu yang digerakkannya perlahan. Tiba-tiba, ia merasa ada yang memperhatikan. Nalurinya membuatnya melirik ke samping, dan benar saja, Pak RT berdiri di dekat pagar, matanya tak berkedip menatap pantat Nisa yang sedikit menonjol saat ia membungkuk menyapu. Nisa buru-buru berdiri tegak, jantungnya berdegup kencang, sapunya ia pegang erat seolah jadi tameng. Pak RT tersenyum lebar, lalu melangkah mendekat, map data warga tetap jadi alibinya.
“Pagi, Nisa, rajin banget nyapu, ya,” sapa Pak RT dengan nada genit yang sudah tak asing lagi, matanya masih sesekali melirik ke bawah. Nisa mengangguk kaku, “Pagi, Pak, cuma bersihin daun,” jawabnya singkat, berharap percakapan berakhir cepat. Tapi Pak RT tak bergerak pergi, malah bersandar di pagar, memandang Nisa dari ujung kepala hingga kaki. “Pantatmu itu, Nis, aduh, bikin orang susah tidur. Apalagi pas nunging tadi, kayak lukisan hidup,” katanya dengan tawa kecil yang menjijikkan. Nisa memerah, marah bercampur malu, tapi ia mencoba menahan diri. “Pak, tolong jaga omongan,” tegurnya dengan suara tegas meski sedikit bergetar, matanya menatap tajam ke Pak RT.
Pak RT tak peduli, malah melangkah masuk ke halaman tanpa permisi. “Tenang, Nis, aku cuma bantu kasih saran lagi. Kemarin kan aku bilang soal posisi, mungkin Anto kurang paham cara prakteknya,” katanya, lalu mulai mengulang omongan mesumnya dari hari sebelumnya dengan lebih santai, seolah itu obrolan biasa. “Misionaris, doggy, sama yang cewek di atas, itu pasti berhasil. Bayangin kalau aku yang ngajarin, rumahmu udah penuh anak sekarang,” lanjutnya, matanya berkilat nakal. Nisa mundur selangkah, tangannya mencengkeram gagang sapu lebih erat. “Pak, cukup! Saya nggak mau dengar ini lagi, pulang sana!” bentak Nisa, suaranya meninggi, tak peduli kalau tetangga mungkin mendengar.
Pak RT terkekeh, mengangkat tangan seolah menyerah, tapi nada sinisnya masih terdengar. “Ya Tuhan, Nis, sensi amat. Aku cuma bantu, kasih tahu Anto biar dia nggak cuma nyapu kayu doang,” katanya, lalu berbalik pergi sambil menggelengkan kepala, seolah Nisa yang salah karena tak terima ‘kebaikannya’. Nisa berdiri di tempat, napasnya tersengal, hati dan pikirannya kacau. Daun-daun yang tadi ia sapu kembali berterbangan ditiup angin, tapi ia tak lagi peduli. Hujan mulai turun perlahan, membasahi wajahnya yang panas karena amarah. Ia masuk ke rumah, duduk di kursi kayu tua, menunggu Anto pulang sambil berusaha menenangkan diri dari gangguan yang kian hari kian tak tahu batas itu.
_______________________________
Tapi tiba-tiba, hujan mulai turun, awalnya gerimis kecil lalu dengan cepat menjadi deras, membasahi halaman dan pakaian Nisa. Daun-daun yang baru disapunya kembali berantakan ditiup angin. Dengan sopan, meski hati bergetar tak nyaman, Nisa berkata, “Pak, hujan deras, berteduh dulu di dalam yuk, bentar aja.” Pak RT mengangguk cepat, senyumnya melebar, seolah mendapat kesempatan emas. Mereka masuk ke ruang tamu kecil, Nisa berdiri dekat pintu, menjaga jarak, sementara Pak RT duduk di kursi kayu tanpa diundang, matanya tak lepas dari Nisa yang basah kuyup, daster menempel di tubuhnya.
“Basah banget kamu, Nis, makin cantik kalau gini,” katanya dengan nada genit, melirik lekuk tubuh Nisa. Nisa buru-buru mengambil kain lap dari dapur, mengelap tangannya, berusaha mengabaikan tatapan itu. “Hujan deres, Pak, bentar lagi reda,” balasnya datar. Tapi Pak RT tak berhenti, “Nisa, aku serius soal posisi-posisi bikin bayi. Aku bisa ajarin, dijamin kamu cepat hamil. Anto nggak bakal tahu, ini demi kebaikan kalian.” Nisa menggeleng tegas, “Pak, nggak, saya nggak mau! Ini salah, saya setia sama Anto.” Pak RT mendekat, suaranya merendah, “Nis, pikirkan, tiga tahun belum punya anak, tetangga udah ngomongin. Aku cuma bantu, nggak usah bilang siapa-siapa. Hujan gini, suasana pas, dingin-dingin enak buat berduaan.” Ia tersenyum licik, memanfaatkan keraguan Nisa yang mulai goyah di tengah tekanan bertahun-tahun.
Nisa menunduk, tangannya gemetar, pikirannya kacau antara rasa bersalah dan omongan tetangga yang selalu menghantuinya. Pak RT terus membujuk, “Cuma sekali, Nis, aku janji nggak bilang. Kita ke kamar, aku tunjukin posisi yang bener, kamu pasti hamil.” Entah kenapa, mungkin karena lelah dengan gunjingan atau rasa putus asa, Nisa akhirnya mengangguk pelan, meski matanya berkaca-kaca. “Cuma ngajarin posisi, ya, Pak, nggak lebih,” katanya lirih, hampir tak terdengar. Pak RT tersenyum lebar, “Tentu, Nis, ayo.” Mereka berjalan ke kamar, hujan di luar semakin deras meski masih pagi, suara air mengguyur atap menciptakan suasana sepi dan dingin. Di dalam kamar kecil itu, suasana terasa berat, dinginnya udara seolah menyelimuti mereka berdua, tapi bagi Pak RT, hujan ini justru terasa seperti undangan untuk sesuatu yang ia dambakan sejak lama.
_______________________________
Nisa berdiri kaku di sudut kamar, jantungnya berdegup kencang saat Pak RT menutup pintu dengan pelan. Hujan di luar semakin deras, suara gemuruh air menghantam atap menciptakan suasana yang makin tegang. Pak RT tak ragu lagi, ia membuka celana panjangnya yang sudah basah, lalu menanggalkan kaos lusuhnya, menyisakan kolor hitam yang ketat. Perutnya buncit, sedikit menggelambir, dan dadanya yang bidang ditutupi bulu-bulu tebal berwarna kelabu. Ia berdiri dengan percaya diri, matanya tak lepas dari Nisa. “Nis, kamu juga buka, biar enak prakteknya. Tinggal BH sama CD aja, lepasin ikat rambutmu, biar aku lihat cantiknya,” katanya dengan nada memerintah, tersenyum genit.
Nisa menunduk, tangannya gemetar, masih ragu meski sudah terlanjur setuju. “Pak, cuma ngajarin posisi, kan?” tanyanya lirih, mencoba memastikan batasan. Pak RT mengangguk, “Iya, Nis, tenang aja, aku janji.” Dengan tangan bergetar, Nisa perlahan melepas daster basahnya, menyisakan bra putih sederhana dan celana dalam yang menempel erat karena hujan. Ia melepas ikat rambutnya, rambut hitam panjangnya tergerai, sedikit basah dan menempel di pundaknya. Tubuhnya yang mulus dan lekuknya yang indah terlihat jelas di bawah cahaya redup kamar. Nisa memeluk dirinya sendiri, merasa telanjang di bawah tatapan Pak RT yang kini berbinar-binar.
“Ya Tuhan, Nis, tubuhmu ini… sempurna banget,” puji Pak RT, suaranya serak penuh nafsu. “Payudaramu kencang, pinggulmu itu bikin orang gila, kulitmu mulus kayak sutra. Anto nggak tahu cara manfaatin ini, sayang banget.” Ia melangkah mendekat, tangannya hampir menyentuh pundak Nisa, tapi Nisa mundur cepat, “Pak, cukup ngomongnya, ajarin aja posisinya!” bentaknya, suaranya tegas meski matanya penuh ketakutan. Pak RT tertawa kecil, “Sabar, Nis, aku cuma kagum. Ayo, kita mulai, aku tunjukin yang bikin kamu cepat hamil.” Hujan di luar tak kunjung reda, dinginnya udara menyelimuti kamar, tapi suasana di dalam terasa panas dan penuh tekanan, membuat Nisa semakin terjebak dalam keputusan yang ia sesali.
_______________________________
Di dalam kamar yang dingin karena hujan deras di luar, Pak RT duduk di tepi ranjang kayu sederhana, kolor hitamnya masih melekat erat di tubuhnya yang buncit. Ia menatap Nisa yang berdiri kaku hanya dengan bra dan celana dalam, rambutnya tergerai basah. “Sayang, sini dekat sama suamimu,” panggil Pak RT dengan nada lembut penuh rayuan, seolah-olah ia benar-benar menganggap dirinya sebagai pengganti Anto. Nisa tersentak, wajahnya memerah karena jijik dan bingung, “Pak, jangan panggil gitu, saya nggak suka!” tolaknya tegas, tangannya memeluk tubuhnya lebih erat untuk menutupi rasa tak nyaman.
Pak RT tersenyum licik, tak mundur sedikit pun. “Nis, ini cuma latihan, biar natural. Kalau aku panggil kamu ‘sayang’, kamu panggil aku ‘mas sayang’, biar suasananya enak. Ayo, coba,” bujuknya, tangannya menepuk-nepuk ranjang di sampingnya, mengundang Nisa mendekat. Nisa menggeleng keras, “Nggak, Pak, ini aneh, saya nggak mau!” katanya, suaranya mulai bergetar. Tapi Pak RT tak menyerah, “Nis, kalau nggak gini, posisinya nggak bakal berhasil. Percaya sama aku, ini demi kamu hamil, cuma pura-pura bentar.” Entah karena tertekan atau bingung, Nisa akhirnya mengalah, menunduk malu, “Ya… mas sayang,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar, wajahnya panas karena malu dan rasa bersalah.
Pak RT tersenyum lebar, puas dengan kemenangan kecilnya. “Nah, gitu, sayang, enak didengar,” katanya, lalu menepuk pangkuannya, “Sini, duduk di pangkuan mas sayang, biar aku ajarin posisinya.” Nisa ragu, tapi dengan langkah berat ia mendekat, akhirnya duduk di pangkuan Pak RT, tubuhnya kaku dan penuh ketegangan. Pak RT langsung bertindak, tangannya mulai mengelus lengan Nisa yang dingin karena hujan, lalu turun ke paha mulusnya, gerakannya pelan tapi penuh maksud. “Lenganmu lembut banget, sayang, paha ini… aduh, bikin mas sayang gemes,” bisiknya, tatapannya tajam dan penuh nafsu, menelusuri setiap inci tubuh Nisa. Nisa menunduk, jantungnya berdegup kencang, terjebak dalam situasi yang ia tak tahu cara keluarnya, sementara hujan di luar terus mengguyur, menambah suasana yang semakin mencekam.
_______________________________
Hujan terus mengguyur di luar, suara air yang deras seolah memutus kamar kecil itu dari dunia luar. Nisa duduk di pangkuan Pak RT, tubuhnya kaku, sementara Pak RT dengan santainya mengelus lengan dan paha Nisa, berusaha mencairkan suasana dengan permainan pura-pura mereka. “Sayang, kamu cantik banget hari ini, basah-basah gini malah tambah manis,” katanya dengan nada manja, tangannya sedikit meremas paha Nisa, matanya tak lepas dari wajahnya. Nisa menelan ludah, mencoba mengikuti ‘latihan’ yang ia sendiri tak yakin lagi batasnya. “Eh… mas sayang juga gagah, badannya berisi gitu,” balasnya pelan, suaranya dipaksakan agar terdengar lembut, meski hatinya bergetar karena rasa salah.
Pak RT tersenyum lebar, dadanya membusung seolah bangga. “Ah, sayangku pinter muji, ya. Mas kan memang kuat, bisa nyanyi buat kamu tiap malam,” sahutnya, lalu menarik Nisa lebih dekat hingga pundak mereka bersentuhan, tangannya kini naik ke pundak Nisa, mengelus dengan gerakan yang semakin berani. “Mas suka banget sama rambutmu, panjang, hitam, kayak sutra, bikin mas pengen nyanyi terus,” lanjutnya, jarinya bermain dengan ujung rambut Nisa yang masih basah. Nisa tersenyum kecut, “Mas sayang juga… eh, suaranya merdu, pasti anak-anak suka kalau mas nyanyi,” jawabnya, mencoba menjaga percakapan tetap pada jalur ‘latihan’, meski kata-katanya terasa asing di lidahnya.
Mereka terus berbalas kalimat manja, seolah benar-benar suami istri. “Sayang, kulitmu ini mulus banget, mas sampai takut pegang, takut rusak,” puji Pak RT lagi, tangannya kini melingkar di pinggang Nisa, menariknya hingga dada mereka hampir bertemu, napasnya terasa hangat di leher Nisa. “Mas sayang juga… baunya enak, kayak orang kerja keras,” balas Nisa, mencium aroma rokok dan keringat dari tubuh Pak RT, tapi ia memaksakan senyum, berusaha menyamarkan rasa jijik. “Ah, sayangku manis banget ngomongnya, mas jadi pengen nyanyi sama kamu tiap hari,” kata Pak RT, lalu mencium pundak Nisa dengan cepat, membuat Nisa tersentak, tapi ia hanya diam, terjebak dalam permainan yang kian sulit ia hentikan. Hujan di luar tak kunjung reda, dinginnya udara kontras dengan panasnya suasana di dalam, membuat Nisa semakin tenggelam dalam pura-pura yang kini terasa terlalu nyata.
4376Please respect copyright.PENANA0XGbBqmy7l
“Sayang, kamu manggil aku ‘suamiku’ dong, biar lebih mesra, kayak beneran.” Pak RT mengelus punggung Nisa perlahan, mencoba mempererat suasana pura-pura yang kian memanas, jarinya bermain di kulit yang dingin karena hujan.
Nisa menegang, wajahnya memucat, kata-kata itu seperti tamparan yang membangunkan sedikit kesadarannya. “Pak… mas sayang, ini cuma pura-pura, nggak usah gitu,” tolaknya pelan, suaranya bergetar, mencoba menegaskan batas yang sudah mulai kabur. Tapi Pak RT tak mundur, ia memandang Nisa dengan tatapan memohon, “Ayolah, sayang, cuma kata-kata, biar enak latihannya. Panggil ‘suamiku’, sekali aja, aku pengen denger dari mulutmu yang manis itu.” Nada suaranya bercampur bujukan dan tekanan halus, tangannya kini turun lagi ke paha Nisa, mengelus dengan gerakan yang lebih berani.
Nisa menunduk, jantungnya berdegup kencang, rasa bersalah dan tekanan bercampur jadi satu. Ia menggigit bibir, lalu dengan suara hampir tak terdengar, ia bergumam, “Suamiku…” Kata itu keluar dari mulutnya seperti bisikan yang dipaksa, penuh penyesalan. Pak RT tersenyum lebar, dadanya membusung penuh kemenangan. “Nah, gitu, istriku, manis banget kedengarannya,” balasnya, lalu menarik Nisa lebih erat, mencium keningnya lagi dengan penuh semangat. “Sekarang kita beneran kayak suami istri, ayo nikmati hujan ini berdua,” katanya, tangannya semakin bebas menjamah, sementara Nisa hanya diam, terjebak dalam permainan yang kini terasa seperti jeratan yang tak bisa ia lepaskan. Hujan di luar makin menderu, seolah menyuarakan kekacauan di hati Nisa.
_______________________________
Setelah mendengar Nisa memanggilnya “suamiku” dengan suara lirih, ia tersenyum lebar, kepuasannya terlihat jelas. “Istriku sayang, kita mulai hubungan badannya yuk,” katanya dengan nada lembut tapi penuh maksud, jarinya kini bermain di pinggang Nisa. Tiba-tiba ia berhenti, menatap Nisa dengan ekspresi pura-pura sabar, “Tapi aku pengen kamu yang minta, aku mau kamu yang mohon supaya aku nafsu. Ayo, sayang, mohon hubungan badan sama aku, sebutin posisi-posisi yang aku ajarin kemarin.”
Nisa tersentak, wajahnya memucat, kata-kata itu seperti petir yang menyambar kesadarannya. “Pak… mas sayang, ini udah keterlaluan,” katanya pelan, suaranya bergetar, mencoba menolak meski tubuhnya terasa lelet karena tekanan. Pak RT menggeleng, tangannya kini mencengkeram pinggang Nisa lebih erat, “Nggak, sayang, ini bagian dari latihan. Kalau kamu nggak minta, aku nggak bakal nafsu, nggak bakal berhasil. Ayo, bilang, ‘Suamiku, aku mohon hubungan badan sama kamu, pake posisi misionaris, doggy, sama aku di atas.’ Bilang gitu, biar aku semangat.” Ia tersenyum licik, matanya menuntut, seolah menikmati setiap detik ketidaknyamanan Nisa.
Nisa menunduk, tangannya mencengkeram bra-nya sendiri, jantungnya berdegup kencang. Rasa bersalah, malu, dan takut bercampur jadi satu, tapi tekanan dari Pak RT dan hujan yang tak reda di luar membuatnya merasa tak ada jalan keluar. Dengan suara yang hampir hilang, ia bergumam, “Suamiku… aku mohon hubungan badan sama kamu… pake posisi misionaris, doggy, sama aku di atas…” Kata-kata itu terucap seperti racun yang ia paksa keluarkan, wajahnya panas, matanya berkaca-kaca.
Pak RT, dengan ekspresi tak puas, menggelengkan kepala, “Sayang, kurang manja tadi, kurang genit. Kalau cuma gitu aku nggak nafsu, lho. Ulangi lagi, sambil merangkul aku, cium aku, terus gesekin dada kamu yang gede itu ke dada aku, biar bener-bener hidup suasananya,” katanya dengan nada memerintah, tangannya mencengkeram pinggang Nisa lebih kuat, matanya penuh harapan mesum.
Nisa menegang, tubuhnya membeku mendengar permintaan itu. “Pak… mas sayang, ini udah cukup, aku nggak bisa,” tolaknya pelan, suaranya bergetar, mencoba mencari celah untuk mundur. Tapi Pak RT tak bergeming, ia menarik Nisa lebih dekat hingga napas mereka hampir bersentuhan, “Nggak, istriku, ini belum apa-apa. Kalau nggak genit, aku nggak bakal semangat, nggak bakal berhasil bikin kamu hamil. Ayo, lakuin, rangkul aku, cium aku, gesekin dadamu, aku tunggu.” Nada suaranya bercampur bujukan dan ancaman halus, jarinya kini bermain di punggung Nisa, menekan agar ia tak bisa menjauh.4376Please respect copyright.PENANAm199WCme0B
4376Please respect copyright.PENANA6k817y24R5
Nisa menunduk, air matanya hampir tumpah, tapi tekanan dari Pak RT dan hujan yang tak kunjung reda membuatnya merasa semakin terpojok. Dengan tangan gemetar, ia perlahan merangkul leher Pak RT, rambutnya yang basah menempel di pundak pria itu. “Suamiku… aku mohon hubungan badan sama kamu, pake posisi misionaris, doggy, sama aku di atas,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada dipaksakan genit, suaranya bergetar penuh penyesalan. Ia memaksa diri mendekat, mencium pipi Pak RT sekilas dengan bibir yang dingin, lalu dengan gerakan kaku menggesekkan dadanya ke dada bidang Pak RT yang berbulu. Pak RT tersenyum lebar, “Nah, gitu, sayangku, sekarang beneran bikin aku nafsu. Ayo, ke ranjang, kita mulai.” Ia menarik Nisa ke atas kasur, tangannya kini bergerak lebih liar, sementara Nisa hanya pasrah, tenggelam dalam keputusan yang kini terasa seperti langkah menuju jurang. Hujan di luar terus menderu, menyamarkan apa yang terjadi di dalam kamar itu.
4376Please respect copyright.PENANAENmvMMItlL
4376Please respect copyright.PENANAkb0FegiXBN
TO BE CONTINUED
ns3.145.168.157da2