
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
------------------------
Cahaya pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah jendela kayu, menerangi kamar kecil di rumah Pak RT, tempat kasur dengan sprei biru kusut menjadi saksi zina mereka, pukul 12:00 di desa yang masih hening. Nisa dan Pak RT, kini bugil, berpelukan erat di kasur yang seharusnya hanya untuk Pak RT dan istrinya, Bu RT, yang masih sibuk memasak di dapur belakang, tak tahu dosa yang terjadi di kamar depan. Kulit Nisa yang mulus menempel di tubuh kekar Pak RT, lingerie renda merahnya sudah terlepas, tergeletak di lantai bersama kaus dan celana pria itu. Mereka kelonan, tangan Nisa mengelus punggung Pak RT, jari-jarinya menelusuri otot-ototnya, sementara pria itu mencium keningnya dengan bunyi “smeck” pelan, “Sayangku, kamu bikin mas nggak mau lepas,” bisiknya serak, matanya penuh nafsu, seolah mereka pasangan sah yang tenggelam dalam cinta.
Nisa tersenyum genit, wajahnya bersemu, “Mas sayang, Nisa cuma pengen gini sama mas, peluk Nisa terus,” desahnya, bibirnya mencari bibir Pak RT, ciuman mereka lembut, bunyi “smeck… slurpp” mengisi kamar, lidahnya menyapu ludah pria itu, penuh keakraban mesum. Tubuh mereka menempel erat, payudara Nisa yang semok menekan dada Pak RT, putingnya mengeras karena gesekan kulit, memeknya masih lumer dari peju tadi, menambah hasrat yang tak kunjung padam. Pak RT mengelus pinggul Nisa, jari-jarinya menelusuri lekuk tubuh wanita itu, “Nisa, kamu bidadari mas, di kasur ini cuma kamu yang mas mau,” katanya, ciumannya turun ke leher Nisa, bunyi “slik” basah mengiringi, membuat wanita itu mendesah pelan, “Mmh… mas, enak…”
Ciuman mereka makin intens, Nisa menarik wajah Pak RT, melumat bibirnya dengan rakus, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” bercampur napas yang memburu, tangannya mencengkeram rambut pria itu, menambah kedalaman ciuman. “Mas sayang, Nisa kangen banget ciuman mas, bikin Nisa lumer,” katanya di sela ciuman, kakinya melilit pinggang Pak RT, menempelkan memeknya ke kontol pria itu yang mulai tegang lagi, pre-cum bening menetes dari ujungnya, licin di kulit Nisa. Pak RT mendesah, “Sayangku, bibirmu ini racun, mas pengen ngelumatin kamu seharian,” balasnya, tangannya meremas bokong Nisa, menariknya lebih erat, kasur berderit pelan di bawah gerakan mereka, sprei biru kusut semakin berantakan.
Nisa merasakan pre-cum Pak RT membasahi pahanya, senyum nakal muncul, “Mas, udah netes nih, kangen sama Nisa ya?” godanya, tangannya turun, mengelus kontol yang berurat, jari-jarinya menyebar pre-cum itu, membuat pria itu menggeliat, “Aduh, Nisa, tanganmu bikin mas nggak tahan,” desah Pak RT, ciumannya beralih ke payudara Nisa, lidahnya menjilat puting dengan bunyi “slik… slurpp,” mengisapnya hingga wanita itu melengkung, “Ahh… mas sayang, terusin…” Kasur kecil itu terasa seperti dunia mereka sendiri, suara wajan dari dapur Bu RT samar-samar terdengar, tapi Nisa tak peduli, tenggelam dalam belaian yang membuatnya merasa dicintai, melupakan Anto yang tidur pulas di rumah.
Mereka terus kelonan, tubuh bugil mereka bergesekan, keringat mulai membasahi kulit, Nisa menjilat leher Pak RT, “Mas, Nisa suka banget gini, kayak istri mas beneran,” katanya manja, tangannya kembali mengelus kontol, pre-cum semakin banyak, licin di jari-jarinya, sensasi itu memicu hasratnya yang liar. Pak RT tertawa serak, “Sayangku, kamu istriku sejati, Bu RT nggak ada apa-apanya dibanding kamu,” katanya, pujian mesumnya membuat Nisa tersenyum, ciumannya kembali buas, melumat bibir pria itu, “Mas sayang, Nisa cuma punya mas, cium Nisa sampe lupa dunia,” desahnya, lidah mereka bertarung lagi, bunyi “slurpp” menggema, kasur berderit lebih keras, nafsu mereka tak terbendung.
Ciuman mereka tak putus, Nisa menggesek memeknya ke kontol Pak RT, pre-cum membasahi jembutnya yang tipis, “Mas, Nisa pengen ngerasa mas lagi, masukin dong,” katanya, suaranya penuh nafsu, matanya berkilat, tangannya memandu kontol ke lubang memeknya yang basah. Pak RT mendesah, “Nisa, kamu binal banget, mas kasih apa yang istriku mau,” katanya, tapi belum sempat masuk, ia menahan, ciumannya turun ke leher Nisa, “Pelan, sayang, mas pengen nikmatin kamu dulu,” tambahnya, lidahnya menyapu kulit wanita itu, membuat Nisa mendesah keras, “Mmh… mas, jangan digantung, Nisa kangen kontol mas…” Kasur kecil itu seperti panggung dosa, sprei biru penuh noda baru, mereka seperti pasangan sah yang tak bisa lepas.
Nisa menarik wajah Pak RT, ciumannya semakin rakus, “Mas sayang, Nisa cuma pengen sama mas, bikin Nisa bahagia,” katanya, tangannya mencengkeram kontol, pre-cum menetes di sprei, licin dan hangat, sensasi itu membuatnya semakin liar, memeknya berkedut, haus kenikmatan. Pak RT meremas payudara Nisa, “Sayangku, kamu bikin suamimu gila, nanti mas genjot sampe kamu jerit,” katanya serak, lidahnya kembali mengisap puting Nisa, bunyi “slurpp” basah mengiringi, membuat wanita itu menggeliat, “Ahh… mas, sekarang, Nisa nggak tahan…” desahnya, kakinya melilit lebih erat, kasur berderit, suara Bu RT dari dapur masih samar, tapi Nisa lupa risiko, hanya ingin tenggelam dalam zina yang terasa seperti cinta.
Ciuman mereka tak berhenti, tubuh bugil mereka bergesekan, pre-cum Pak RT kini membasahi memek Nisa, membuat gesekan semakin licin, “Mas, Nisa pengen mas dalem, plis,” desah Nisa, suaranya hampir memohon, tangannya menarik pinggul Pak RT, ingin kontol itu masuk. Pak RT tertawa, “Sayangku, sabun, mas pengen cium kamu dulu, bibirmu ini bikin mas ketagihan,” katanya, melumat bibir Nisa lagi, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” bercampur desahan, tangannya mengelus memek Nisa, jari-jarinya menyentuh klitoris yang basah, membuat wanita itu mendesah keras, “Mmh… mas sayang…” Kasur kecil itu berderit lebih keras, sprei biru penuh keringat, mereka seperti pasangan yang tak peduli dunia, lupa pada Bu RT di dapur, lupa pada Anto yang tidur pulas.
Nisa tenggelam dalam kenikmatan, setiap ciuman Pak RT, setiap remasan di payudaranya, membuatnya merasa diinginkan, sesuatu yang Anto tak pernah berikan, “Mas sayang, Nisa cuma milik mas, bikin Nisa punya mas selamanya,” katanya, suaranya penuh rindu, ciumannya beralih ke dada Pak RT, jilatannya meninggalkan jejak basah, bunyi “slik” pelan mengiringi. Pak RT mendesah, “Nisa, kamu istriku satu-satunya, mas bakal ngentot kamu tiap hari,” katanya, tangannya mencengkeram bokong Nisa, pre-cum terus menetes, kontolnya berdenyut, siap masuk, tapi ia masih menahan, ingin memperpanjang kemesraan ini, kasur berderit di bawah gerakan mereka, kamar kecil itu panas oleh nafsu, suara wajan dari dapur seperti pengingat risiko, tapi Nisa tak peduli, hanya ingin Pak RT.
-------------------
Tubuh Nisa menempel erat pada Pak RT, keringat mereka bercampur, ciuman mereka buas, bunyi “slurpp… smeck” memenuhi ruang, pre-cum dari kontol Pak RT membasahi memek Nisa yang masih lumer dari kenikmatan sebelumnya. “Mas sayang, Nisa pengen mas dalem, sekarang,” desah Nisa, lidahnya menjilat leher pria itu, tangannya mencengkeram kontol yang berurat, nafsunya tak terbendung meski di kasur yang seharusnya hanya untuk Pak RT dan Bu RT. Pak RT membalas, “Sayangku, kamu bikin suamimu gila,” katanya serak, tangannya meremas payudara Nisa, jari-jarinya mencubit puting, kasur berderit pelan di bawah kemesraan mereka.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari lorong, ringan tapi jelas, mendekati pintu kamar, membuat Nisa tersentak, jantungnya hampir copot. “Mas, itu siapa?” bisiknya panik, wajahnya memucat, tubuhnya kaku, tapi memeknya masih berkedut karena hasrat. Pak RT, juga kaget, mendengarkan sejenak, lalu berbisik, “Tenang, sayang, kayaknya Bu RT, dia pasti mau ke warung beli bumbu dapur, biasa jam segini,” katanya, suaranya berusaha tenang, meski keringat dingin muncul di dahinya. Suara langkah berhenti, lalu terdengar pintu depan terbuka dengan bunyi “krek” pelan, diikuti suara sandal Bu RT menjauh, menandakan ia keluar rumah. Nisa menghela napas, “Ya Tuhan, hampir mati Nisa,” gumamnya, tapi matanya masih berkilat, nafsunya lebih kuat dari ketakutan, “Mas, kita lanjutin, cepet,” katanya, suaranya penuh godaan, tangannya kembali mengelus kontol Pak RT.
Meski keringatan karena panik, Nisa tak bisa menahan hasrat, ia mendorong Pak RT telentang, naik di atasnya dengan posisi woman on top, payudaranya yang semok bergoyang, kulitnya berkilau di bawah sinar matahari. “Ayo, mas sayang, kita lanjutin yang kemarin,” katanya binal, tangannya memandu kontol Pak RT yang licin oleh pre-cum ke memeknya yang basah, bunyi “slik” lembut terdengar saat kontol masuk, membuatnya mendesah, “Mmh… mas, enak banget…” Pak RT menatapnya kagum, “Nisa, kamu bidadari nakal, memekmu ini… aduh,” desahnya, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, membantu menahan posisinya, kasur berderit di bawah gerakan mereka, sprei biru semakin kusut, aroma keringat dan kenikmatan memenuhi kamar.
Nisa mulai menggerakkan pinggulnya, memeknya menjepit kontol Pak RT erat, naik-turun dengan ritme mandiri, setiap dorongan membuat kontol mentok ke rahimnya, sensasi itu membuatnya melengkung, “Ahh… mas sayang, Nisa suka gini,” katanya, suaranya penuh nafsu, tangannya menekan dada Pak RT, jari-jarinya mencakar kulit pria itu. Pak RT menurut, mendorong pahanya ke atas, membuat kontolnya masuk lebih mudah dan dalam, bunyi “plap… slik” dari cairan kenikmatan mengiringi ritme mereka, “Sayangku, genjot kenceng, mas pengen ngerasa memekmu hisap kontol mas,” katanya serak, tangannya meremas bokong Nisa, mendorongnya lebih liar, kasur berderit keras, menandakan zina yang semakin brutal.
Nisa tenggelam dalam kenikmatan, lupa pada Bu RT yang baru saja lewat, lupa pada Anto yang tidur pulas di rumah, pikirannya hanya tentang kejantanan Pak RT yang membuatnya merasa hidup. “Mas, Nisa cuma pengen sama mas, genjot Nisa tiap hari,” desahnya, pinggulnya bergerak lebih cepat, memeknya menjepit kontol dengan rakus, payudaranya bergoyang liar, putingnya mengeras di udara. Pak RT mendesah, “Nisa, kamu istriku sejati, mas bakal ngentot kamu sampe puas,” katanya, tangannya naik, meremas payudara Nisa, jari-jarinya memelintir puting, membuat wanita itu mendesah keras, “Mmh… mas, terusin, Nisa mau mas dalem banget…” Kasur kecil itu seperti panggung dosa, sprei biru penuh noda baru, keringat mereka bercampur.
Ciuman mereka meledak lagi, Nisa menunduk, melumat bibir Pak RT dengan rakus, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” bercampur desahan, ludah bercampur, tangannya mencengkeram rambut pria itu. “Mas sayang, cium Nisa, bikin Nisa lupa semua,” katanya di sela ciuman, memeknya terus menggenjot, menjepit kontol dengan ritme yang semakin liar, sensasi kontol mentok di rahimnya membuatnya haus akan lebih. Pak RT membalas, “Sayangku, bibirmu ini bikin mas ketagihan, ngentot gini selamanya ya,” katanya, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, mendorong pahanya lebih keras, bunyi “plap… plap” semakin basah, kasur berderit nyaris patah, kamar panas oleh nafsu mereka.
Nisa merasakan kontol Pak RT berdenyut di dalam memeknya, pre-cum membasahi dinding rahimnya, menambah licin gerakan, “Mas, kontol mas enak banget, Nisa pengen crot bareng,” desahnya, suaranya penuh nafsu, pinggulnya bergerak lebih brutal, memeknya seperti menghisap kontol, ingin memeras kenikmatan. Pak RT menggeliat, “Nisa, memekmu ini surga, mas nggak tahan lama kalau gini,” katanya, napasnya memburu, tangannya meremas payudara Nisa lebih keras, putingnya merah karena cubitan, tapi wanita itu menikmati, “Ahh… mas, kenceng lagi, Nisa mau ngerasa mas!” desahnya, ciumannya turun ke leher Pak RT, jilatannya meninggalkan jejak basah, bunyi “slik” mengiringi, kasur berderit seperti akan ambruk.
Meski tadi panik karena langkah Bu RT, Nisa kini lupa risiko, nafsunya mengalahkan segalanya, ia hanya ingin Pak RT, pria yang memberi belaian dan genjotan yang Anto tak pernah penuhi. “Mas sayang, Nisa cuma milik mas, bikin Nisa punya mas selamanya,” katanya, suaranya penuh rindu, memeknya menjepit lebih erat, pinggulnya naik-turun dengan penuh tenaga, payudaranya bergoyang di wajah Pak RT. Pria itu tersenyum, “Sayangku, kamu istriku binal, mas bakal kasih lendir kenikmatan tiap hari,” katanya, mendorong pahanya lebih kuat, kontolnya menyodok dalam, bunyi “plap… slik” semakin brutal, sprei biru basah oleh keringat dan cairan kenikmatan, kamar kecil itu seperti dunia mereka sendiri.
Ciuman mereka tak putus, Nisa melumat bibir Pak RT dengan penuh hasrat, “Mas, Nisa suka banget gini, jangan berhenti,” katanya, lidahnya menyapu ludah pria itu, tangannya menekan dada Pak RT, kuku-kukunya mencakar pelan, memeknya terus menggenjot, mengejar puncak. Pak RT mendesah, “Nisa, kamu bikin suamimu nggak bisa mikir, genjot kenceng, sayang,” katanya, tangannya mencengkeram bokong Nisa, membantu ritme yang semakin liar, kontolnya berdenyut, pre-cum terus menetes, menandakan klimaks yang dekat. Kasur berderit keras, kamar panas, suara Bu RT yang mungkin sudah di warung tak lagi terdengar, Nisa dan Pak RT seperti pasangan sah, tenggelam dalam zina yang terasa seperti cinta, lupa pada dunia di luar.
Tengah hari berlalu, desa tetap hening, tak tahu bahwa Nisa, kini di posisi woman on top di kasur Pak RT, telah menjadi pelakor sejati, menggenjot kontol pria itu dengan penuh nafsu, bunyi “plap… plap” dan desahan mereka memenuhi kamar. “Mas sayang, Nisa pengen crot sama mas, kasih Nisa peju lagi,” desah Nisa, suaranya penuh permohonan, memeknya menjepit kontol dengan rakus, payudaranya bergoyang di wajah Pak RT, putingnya menggoda. Pak RT memeluknya erat, “Sayangku, mas bakal crot di dalem, memekmu ini bikin mas gila,” katanya, pahanya mendorong lebih keras, kasur kecil itu nyaris ambruk, sprei biru penuh noda, sementara Bu RT di warung dan Anto tidur pulas tak tahu bahwa Nisa telah menyerahkan tubuh dan hatinya pada Pak RT
-----------------------------
Nisa, yang tadinya menurut dan penuh waswas, kini benar-benar jatuh dalam pelukan Pak RT, tubuh bugil mereka menempel erat, keringat bercampur, aroma kenikmatan memenuhi udara. Nisa, dengan memeknya yang masih lumer dari pre-cum, mendesah pelan saat Pak RT merangkulnya, “Sini, sayang, mas peluk sambil mas genjot memek cantik dan sempit kamu,” bisik pria itu serak, suaranya penuh nafsu, tangannya memegang pinggul Nisa dengan hati-hati, seolah takut gerakan kecil bisa memicu ledakan. Kasur berderit pelan, sprei biru basah oleh keringat, kamar kecil itu seperti dunia terpisah dari Bu RT di warung dan Anto yang tidur pulas di rumah.
Pak RT, meski terlihat mengendalikan, sebenarnya di ambang batas, kontolnya membatu, berurat, dan sperma sudah di ujung, siap muncrat kapan saja, setiap gesekan memek Nisa terasa seperti siksaan nikmat. “Nisa, memekmu ini… aduh, mas nggak tahan,” desahnya, wajahnya memerah, keringat menetes di dahinya, ia memeluk Nisa dengan penuh perhitungan, takut sentuhan lebih akan membuat peju bau amisnya menyemprot tak terkendali. Nisa, tenggelam dalam hasrat, tersenyum binal, “Mas sayang, peluk Nisa kenceng, genjot yang enak ya,” katanya manja, tangannya mengelus dada Pak RT, jari-jarinya bermain di bulu dadanya, memeknya berkedut, haus akan genjotan yang dijanjikan. Ciuman mereka lembut, bunyi “smeck… slurpp” pelan mengiringi, lidah Nisa menyapu bibir pria itu, seolah mereka pasangan sah.
Nisa memposisikan diri di atas Pak RT, posisi woman on top masih terjaga, tapi kini ia menyerahkan kendali, membiarkan pria itu mengatur ritme, memeknya menjepit kontol yang keras, pre-cum membasahi dinding rahimnya. Pak RT mulai menggenjot pelan, pahanya mendorong kontol masuk-keluar dengan hati-hati, bunyi “slik… plap” lembut dari cairan kenikmatan mengisi kamar, “Sayangku, memekmu sempit banget, mas pengen genjot pelan biar tahan lama,” katanya, napasnya tersengal, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, menahan diri agar tak langsung muncrat. Nisa mendesah, “Mmh… mas, enak, Nisa suka gini,” katanya, payudaranya bergoyang pelan, putingnya mengeras di udara, kasur berderit, sprei biru semakin berantakan di bawah gerakan mereka.
Genjotan Pak RT perlahan bertambah kencang, kontolnya menyodok lebih dalam, mentok ke rahim Nisa, sensasi itu membuat keduanya tak bisa menahan suara, “Ahh… mas sayang!” desah Nisa, suaranya lirih tapi penuh kenikmatan, tangannya menekan dada Pak RT, kuku-kukunya mencakar pelan. Pak RT menggeliat, “Nisa, ya Tuhan, nikmatnya… memekmu hisap kontol mas,” katanya, suaranya serak, intensitas genjotannya meningkat, bunyi “plap… plap” lebih keras, cairan kenikmatan membasahi pangkuan mereka, kasur berderit nyaris patah. Ia memeluk Nisa lebih erat, tapi tetap hati-hati, tahu sperma di ujung kontolnya bisa muncrat jika ia lengah, keringat mereka bercampur, kamar panas oleh zina yang kian liar.
Nisa tenggelam dalam pelukan Pak RT, setiap sodokan kontol membuatnya merasa hidup, kejantanan pria ini jauh melebihi Anto yang tak pernah memuaskannya, “Mas, genjot kenceng, Nisa mau ngerasa mas dalem,” katanya, suaranya penuh nafsu, memeknya menjepit lebih erat, seperti ingin memeras kontol itu. Pak RT mendesah keras, “Sayangku, kamu binal banget, mas kasih yang kenceng,” balasnya, pahanya mendorong lebih brutal, kontolnya masuk-keluar dengan ritme yang membuat Nisa teriak kecil, “Ahh… mas, enak banget!” Kasur berderit keras, sprei biru basah total, kamar kecil itu seperti panggung dosa, suara wajan Bu RT di warung tak lagi terdengar, hanya desahan mereka yang menggema.
Ciuman mereka meledak, Nisa menunduk, melumat bibir Pak RT dengan rakus, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” bercampur napas yang memburu, ludah bercampur, tangannya mencengkeram rambut pria itu. “Mas sayang, cium Nisa, bikin Nisa punya mas,” desahnya, memeknya terus menjepit, genjotan Pak RT membuat payudaranya bergoyang liar, putingnya menggoda di wajah pria itu. Pak RT membalas, “Nisa, bibirmu ini bikin mas gila, mas pengen crot di dalem,” katanya, tangannya meremas bokong Nisa, mendorongnya lebih keras, kontolnya berdenyut, sperma di ujung semakin tak tertahan, tapi ia masih mencoba mengendalikan, ingin memperpanjang kenikmatan zina yang indah ini.
Nisa teriak kecil lagi, “Mas, Nisa mau crot, genjot kenceng!” katanya, pinggulnya ikut bergerak, membantu ritme Pak RT, memeknya menjepit kontol dengan penuh tenaga, sensasi kontol mentok di rahimnya membawa ke puncak. Pak RT, nyaris tak kuat, “Sayang, memekmu… mas nggak tahan, peju mas udah di ujung,” desahnya, wajahnya menegang, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, genjotannya semakin brutal, bunyi “plap… plap” basah menggema, kasur berderit seperti akan ambruk, keringat membanjiri tubuh mereka, kamar kecil itu panas oleh nafsu yang tak terbendung, zina mereka terasa seperti puncak keindahan terlarang.
Pelukan Pak RT semakin erat, Nisa merasakan kontol pria itu berdenyut kuat di dalam memeknya, tanda sperma siap muncrat, “Mas sayang, crot di dalem, Nisa pengen peju mas,” desahnya, suaranya memohon, memeknya menjepit lebih rakus, payudaranya menempel di dada Pak RT, putingnya bergesekan dengan kulit pria itu. Pak RT mendesah keras, “Nisa, ya Allah, nikmatnya… mas crot sekarang!” katanya, genjotannya mencapai puncak, kontolnya menyemprot peju bau amis, kental, dan putih deras ke dalam memek Nisa, bunyi “splurt… splurt” pelan terdengar, membanjiri rahimnya, membuat Nisa teriak kecil, “Ahh… mas, pejumu hangat…” Kasur berderit terakhir, sprei biru basah oleh peju dan lendir kenikmatan, mereka terengah-engah dalam pelukan.
Nisa mencapai klimaks, memeknya berkedut-kedut, menyemprotkan squirting lendir kenikmatan, membasahi pangkuan Pak RT, bunyi “splosh” mengiringi cairan yang berceceran, “Mas, Nisa crot… enak banget,” desahnya, tubuhnya lemas, keringat membanjiri dahi dan lehernya, payudaranya naik-turun mengikuti napas. Pak RT memeluknya erat, “Sayangku, kamu bikin suamimu puas, memekmu ini surga,” katanya, ciumannya mendarat di pipi Nisa, bunyi “smeck” lembut mengakhiri momen panas, tangannya mengelus punggung wanita itu, merasakan kulit yang basah keringat. Kamar kecil itu dipenuhi aroma peju dan keringat, sprei biru penuh noda, bukti zina brutal yang mereka nikmati, Nisa tenggelam dalam pelukan, lupa pada Bu RT, lupa pada Anto, hanya ingin Pak RT.
Tengah hari berlalu, desa tetap hening, tak tahu bahwa Nisa, kini lemas dalam pelukan Pak RT, telah menyerahkan tubuh dan hatinya di kasur yang seharusnya suci, peju Pak RT masih menetes dari memeknya, tanda dosa yang kian dalam. “Mas sayang, Nisa cuma pengen sama mas, tiap hari gini ya,” katanya manja, ciumannya kembali mendarat di bibir Pak RT, bunyi “slurpp” pelan mengiringi, tangannya mengelus dada pria itu, rindu akan belaian yang membuatnya hidup. Pak RT tersenyum, “Sayangku binal, mas janji kasih gini tiap waktu, kamu istriku sejati,” katanya, tangannya mencubit pinggul Nisa, membuat wanita itu tertawa kecil, kasur kecil itu menjadi saksi zina mereka.
--------------
Nisa, bugil dalam pelukan pria itu, mendesah lirih saat Pak RT menggenjotnya dengan kasar namun penuh perhitungan, seperti piston mesin yang berisik namun pasti, bunyi “plap… plap” basah dari memeknya yang lumer menggema di kamar. Kontol Pak RT, keras dan berurat, menyodok dalam ke memek Nisa—memek yang haram baginya—dengan ritme yang romantis, penuh kasih sayang mesum, “Sayangku, memekmu ini bikin mas gila,” desahnya serak, tangannya memeluk pinggang Nisa erat, keringat mereka bercampur, kasur berderit keras di bawah genjotan zina yang nikmat.
Nisa, dengan payudara semok bergoyang setiap sodokan, menyerahkan diri sepenuhnya, matanya berkilat nafsu, “Mas sayang, genjot Nisa kenceng, Nisa cuma punya mas,” katanya manja, tangannya mencengkeram punggung Pak RT, kuku-kukunya mencakar pelan, memeknya menjepit kontol dengan rakus, cairan kenikmatan membasahi sprei biru, bunyi “slik… plap” semakin becek. Genjotan Pak RT semakin kasar, pahanya mendorong kontol mentok ke rahim Nisa, setiap hentakan penuh cinta terlarang, seolah mereka pasangan sah yang haus kasih sayang, kamar kecil itu panas, aroma keringat dan peju samar memenuhi udara, sprei kusut menjadi saksi zina yang indah ini.
Ciuman mereka buas, Nisa melumat bibir Pak RT dengan penuh hasrat, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… smeck” bercampur desahan, ludah bercampur, “Mmh… mas, Nisa suka banget gini, cium terus,” desahnya, tangannya menarik rambut pria itu, memeknya berkedut setiap kontol menyodok dalam, sensasi romantis namun liar membuatnya lupa Anto, lupa Bu RT. Pak RT membalas, “Sayangku, bibirmu manis, mas pengen ngentot kamu selamanya,” katanya, tangannya meremas payudara Nisa, mencubit puting yang mengeras, membuat wanita itu teriak kecil, “Ahh… mas, enak!” Kasur berderit nyaris patah, genjotan itu makin memuncak, seperti piston yang tak bisa dihentikan, becek tapi penuh cinta.
Genjotan zina yang nikmat itu mencapai puncak, Pak RT merasakan kontolnya berdenyut kuat, sperma di ujung tak lagi bisa ditahan, “Nisa, mas nggak tahan, peju mas mau keluar!” desahnya, wajahnya menegang, keringat menetes di dagunya, genjotannya semakin brutal, bunyi “plap… plap” basah menggema. Nisa, haus akan kenikmatan, memeluknya lebih erat, “Mas sayang, crot di dalem, Nisa pengen peju mas!” katanya, suaranya memohon, memeknya menjepit kontol dengan penuh tenaga, payudaranya menempel di dada Pak RT, putingnya bergesekan dengan kulit pria itu. Kasur berderit keras, kamar kecil itu seperti dunia mereka sendiri, zina ini terasa indah, penuh kasih sayang terlarang.
Tiba-tiba, Pak RT teriak pelan, “Ya Tuhan, nikmatnya!” dan splurt… splurt… splurt, peju bau amis, kental, putih menyemprot deras ke dalam memek Nisa, memek yang haram baginya, membanjiri rahimnya dengan hangat, bunyi “splat” pelan terdengar, cairan itu meluap hingga menetes di sprei biru. Nisa mendesah keras, “Ahh… mas, pejumu banyak banget…” katanya, memeknya berkedut-kedut, mencapai klimaks, menyemprotkan lendir kenikmatan yang deras, bunyi “splosh” mengiringi squirting yang membasahi pangkuan Pak RT, “Mas, Nisa crot… enak!” desahnya, tubuhnya lemas, keringat membanjiri dahi dan lehernya, payudaranya naik-turun mengikuti napas yang memburu.
Mereka terengah-engah dalam pelukan, Pak RT memeluk Nisa erat, ciumannya mendarat di kening wanita itu, bunyi “smeck” lembut mengakhiri momen panas, “Sayangku, kamu bikin suamimu puas, memekmu ini… aduh, nikmat banget,” katanya, tangannya mengelus punggung Nisa, merasakan kulit yang basah keringat, peju masih menetes dari memeknya, membasahi sprei. Nisa tersenyum lemah, “Mas sayang, Nisa bahagia sama mas, gini tiap hari ya,” katanya manja, ciumannya kembali mendarat di bibir Pak RT, bunyi “slurpp” pelan mengiringi, tangannya mengelus dada pria itu, rindu akan genjotan yang membuatnya merasa dicintai, kamar kecil itu dipenuhi aroma peju dan lendir kenikmatan, bukti zina yang indah ini.
Tengah hari berlalu, desa tetap hening, tak tahu bahwa Nisa, kini lemas dalam pelukan Pak RT, telah menyerahkan tubuh dan hatinya di kasur yang seharusnya suci, peju Pak RT membanjiri memeknya yang haram, tanda dosa yang terasa romantis dan penuh kasih sayang. “Mas sayang, Nisa cuma pengen sama mas, Anto nggak bisa gini,” desahnya, suaranya penuh rindu, ciumannya beralih ke leher Pak RT, jilatannya meninggalkan jejak basah, bunyi “slik” mengiringi. Pak RT memeluknya lebih erat, “Sayangku, kamu istriku binal, mas bakal genjot kamu tiap waktu,” katanya, tangannya mencubit pinggul Nisa, sprei biru penuh noda, kasur berderit terakhir, sementara Bu RT di warung dan Anto tidur pulas tak tahu bahwa Nisa telah menemukan kenikmatan zina yang indah, genjotan seperti piston yang berisik, becek, tapi penuh cinta terlarang, mengikat mereka dalam dosa yang terasa seperti surga.
505Please respect copyright.PENANApG2VQnqS7t
TO BE CONTINUED.
505Please respect copyright.PENANAyfYE8N6EhN
505Please respect copyright.PENANARcdMMOqi4f