
Hujan mengguyur deras di luar, suaranya seperti gemuruh tak henti yang menyelimuti kamar kecil itu, menciptakan dunia terpisah yang penuh tekanan. Nisa duduk di pangkuan Pak RT, tubuhnya kaku, bra dan celana dalamnya terasa semakin tak berarti di bawah tatapan pria itu yang penuh nafsu. Bibirnya masih basah dan sedikit bengkak dari ciuman-cuman sebelumnya, aroma rokok dari napas Pak RT seolah menempel di kulitnya. Pak RT mengelus dagu Nisa dengan jari kasarnya, matanya berkilat, lalu berkata dengan suara serak, “Sayang, air di gelas udah habis, tapi aku masih haus, Nisa, pasangan hidupku yang cantik, aku mau minum ludah dari mulutmu yang manis ini.”
Nisa tersentak, jantungnya berdegup kencang, wajahnya memucat mendengar permintaan yang kian tak masuk akal. “Pak… mas sayang, itu… itu nggak bener, nggak pantas,” gumamnya, suaranya bergetar, nyaris hilang di tengah deru hujan. Pak RT tak bergeming, ia mendekatkan wajahnya hingga hidungnya hampir menyentuh pipi Nisa, napasnya yang panas dan berbau rokok membuat bulu kuduk Nisa berdiri. “Oh, sayangku, apa sih yang nggak pantas buat suami istri? Ludahmu pasti lebih manis dari air, aku cuma mau ngerasain cinta kamu,” bisiknya, tangannya mencengkeram pinggang Nisa erat, seolah tak memberi ruang untuk menolak.
Air mata menggenang di sudut mata Nisa, pikirannya berkecamuk, ingin berteriak tapi tak ada suara yang keluar. Dengan tangan gemetar, ia menunduk, akhirnya membuka mulutnya sedikit, pasrah pada tekanan yang telah menjeratnya begitu dalam. Pak RT tersenyum lebar, lalu menempelkan bibirnya ke mulut Nisa, lidahnya dengan rakus mengisap ludahnya, menghasilkan bunyi basah “slurpp… cht… slup” yang keras dan tak senonoh. “Ya Tuhan, istriku, ludahmu enak banget, bikin suamimu ini ketagihan,” katanya di sela-sela isapan, tangannya meremas pantat Nisa yang montok, jari-jarinya menekan kuat
902Please respect copyright.PENANAkVqjMeJ9ML
-------------------------
Hujan menderu tak henti di luar, suaranya seperti gemuruh abadi yang menyelimuti kamar kecil itu, menciptakan ilusi bahwa dunia telah lenyap, menyisakan hanya Nisa dan Pak RT dalam pusaran nafsu dan penyesalan. Nisa masih duduk di pangkuan pria itu, tubuhnya kaku, bra dan celana dalam tipis yang dikenakannya terasa tak lagi melindungi, bibirnya basah dan bengkak akibat isapan rakus Pak RT. Pria itu semakin liar, lidahnya menyapu ludah dari mulut Nisa dengan penuh nafsu, menghasilkan bunyi basah “slurpp… cht… slup” yang keras dan tak senonoh, seolah ingin menghabiskan setiap tetes yang ada. “Oh, istriku sayang, ludahmu ini lebih manis dari madu, bikin suamimu gila cinta sama kamu,” bisiknya dengan nada mesra yang dibuat-buat, matanya berkilat penuh hasrat, kontras dengan kata-kata lembut yang keluar dari mulutnya.
Kontolnya, yang sudah tegang dan menonjol di balik kolor yang setengah turun, kini ia tabrak-tabrakkan ke memek Nisa, hanya terhalang oleh celana dalam tipis yang basah karena hujan dan keringat. Setiap dorongan dilakukan dengan sengaja, kasar namun penuh perhitungan, menciptakan gesekan yang membuat kain celana dalam itu bergoyang, menghasilkan bunyi pelan “shrr… shrr” bercampur dengan sentuhan kulit. “Sayangku, rasain nih, kontol suamimu pengen nyanyi buat memekmu yang cantik ini,” katanya lagi, suaranya manja namun penuh nafsu, tangannya mencengkeram pinggang Nisa erat, memastikan ia tak bisa mengelak dari setiap tabrakan yang membuat tubuhnya tersentak. Nisa menunduk, air mata menggenang di sudut matanya, tubuhnya gemetar karena sensasi yang tak diinginkannya, namun tak mampu ia tolak sepenuhnya.
Pak RT tak berhenti, gerakannya semakin agresif, dorongan demi dorongan kini lebih bertenaga, seolah ingin menembus batas kain tipis itu, membuat Nisa merasa semakin terpojok. “Nisa, cinta hidupku, lihat betapa aku sayang sama kamu, aku kasih semua buat bikin kamu bahagia,” ucapnya di sela-sela seruputan ludah, kata-kata mesranya terdengar seperti ejekan di tengah tindakan mesumnya. Tangannya tak henti meremas pantat Nisa yang montok, jari-jarinya menekan kuat hingga menghasilkan bunyi pelan “plap… plap” setiap kali kulit bertemu kulit, menambah ritme yang kian tak terkendali.
902Please respect copyright.PENANAWM8EskdXwB
--------------------
902Please respect copyright.PENANAGLXGiIH1lB
Pak RT menatapnya dengan mata penuh nafsu, senyum licik di wajahnya melebar, lalu ia berbisik dengan nada manja, “Gantian dong, Nisaku cantikku, manisku, sekarang kamu yang kenyot air liurku dari lidah aku, my darling.” Tangannya mengelus paha Nisa, mencengkeram erat, seolah tak memberi ruang untuk menolak.
Ia mulai mengumpulkan ludah di mulutnya, menggerakkan lidahnya dengan sengaja untuk menghasilkan busa, ludah yang kental dan berbau menyengat karena aroma rokok dan sisa makanan. “Aku kasih kamu ludah terbaik, sayang, banyak dan spesial buat istriku,” katanya, suaranya serak penuh hasrat, sambil menjulurkan lidahnya sedikit, memperlihatkan ludah yang berbusa itu. Nisa menunduk, wajahnya memucat, jijik dan takut bercampur, tapi tekanan membuatnya hanya bergumam, “Pak… mas sayang, ini… nggak perlu.”
Pak RT tak peduli, ia menarik wajah Nisa mendekat, napasnya panas di kulitnya. “Ayolah, manisku, ini tanda cinta kita, kenyot ludah suamimu biar kita tambah mesra,” desaknya, ludahnya kini menetes sedikit di bibirnya, haram dan kotor. Nisa, dengan air mata menggenang, akhirnya menyerah, bibirnya mendekati mulut Pak RT, mencium lidahnya dengan bunyi “slurpp… cht” yang basah, merasakan ludah berbusa itu, bau dan rasa yang membuatnya mual.
-----------------
Hujan menderu tak henti di luar, suaranya seperti gemuruh abadi yang menyelimuti kamar kecil itu, menciptakan dunia terpisah yang penuh dengan dosa dan keputusasaan. Nisa masih terduduk di pangkuan Pak RT, tubuhnya gemetar di bawah bra dan celana dalam tipis yang basah, bibirnya masih terasa lengket dari ciuman-cuman sebelumnya. Pak RT, dengan mata penuh nafsu yang tak pernah padam, meremas kedua bongkah pantat Nisa yang mulus dan putih dengan kuat, jari-jarinya mencengkeram dalam-dalam, kulitnya yang lembut sedikit memerah di bawah tekanan itu, seolah memberi sinyal bahwa Nisa harus mengenyot ludahnya dengan lebih liar. “Jadilah wanita yang seutuhnya, Nisa cantik, tunjukin ke suamimu betapa kamu bisa bikin aku gila,” bisiknya dengan nada mesra yang dibalut hasrat mesum, wajahnya mendekat, napasnya yang berbau rokok menyapu kulit Nisa.
Nisa, terhipnotis oleh remasan pantatnya yang terasa mesra sekaligus memaksa, merasa dirinya tenggelam dalam arus yang tak bisa ia lawan lagi. 902Please respect copyright.PENANAttP5cGAfrf
Dalam hatinya, ia menjerit—ia tak pernah melakukan ini pada Anto, suaminya, tak pernah melumat mulutnya dengan liar atau menghisap ludahnya seperti ini, bahkan di malam-malam paling intim mereka. Namun, tekanan dan sentuhan Pak RT membuatnya menyerah; dengan wajah memucat dan air mata menggenang, ia mendekatkan bibirnya ke mulut pria itu, lalu melumatnya dengan penuh keterpaksaan yang berubah jadi buas, bibirnya yang lembut menekan keras, lidahnya mencari ludah berbusa itu seperti dipandu oleh dorongan yang tak ia mengerti. Bunyi ciumannya menggema keras, “slurpp… smeck… shlupp,” basah dan tak terkendali, diikuti sedotan liar “sshlurpp” yang panjang saat ia menghisap lidah Pak RT, kenyotannya lebih agresif dari yang pernah dilakukan pria itu, lidahnya menyapu setiap sudut mulutnya, merasakan tekstur ludah yang kental, berbusa, dan berbau rokok yang membuat perutnya mual namun tak bisa ia hentikan.
Pak RT tersenyum lebar, puas dengan semangat tak terduga dari Nisa, nafsunya seolah mencapai puncak melihat wanita itu begitu rakus menghabiskan ludahnya. Bunyi sedotan Nisa terus bergema, “slurpp… cht… shlupp,” setiap kenyotan menghasilkan suara basah yang panjang, seperti seseorang menghirup minuman kental dengan penuh nafsu, kadang diselingi “plop” kecil saat bibirnya melepaskan lidah Pak RT sebelum kembali menyerang dengan lebih buas.
902Please respect copyright.PENANAKea6exzjc5
------------------
902Please respect copyright.PENANAIORDkP4yHK
Hujan terus menderu di luar, suaranya seperti gemuruh lembut yang menyelimuti kamar kecil itu, seolah menyisakan Nisa dan Pak RT dalam dunia terpisah. Nisa masih di pangkuan Pak RT, napasnya tersengal setelah ciuman liar yang penuh ludah, wajahnya memerah karena malu dan penyesalan. Pak RT menatapnya dengan mata yang kini lembut, senyumnya tak lagi penuh nafsu, melainkan hangat seperti suami yang puas dengan pelayanan istrinya. Dengan penuh kasih, ia mengelus kepala Nisa, jari-jarinya menyisir rambut basahnya dengan lembut, seperti tanda cinta yang tulus, bukan hasrat.
“Nisa, istriku sayang, kamu luar biasa, bikin hati suamimu ini penuh bahagia,” katanya mesra, suaranya rendah dan penuh kehangatan, seolah ia benar-benar mencintainya. “Kamu tahu nggak, setiap detik sama kamu rasanya kayak hadiah, aku bangga punya istri sepertimu,” lanjutnya, tangannya terus mengelus kepala Nisa dengan penuh perhatian. Nisa menunduk, wajahnya semakin panas, malu karena pujian itu terasa begitu asing baginya. Dalam hati, ia mengakui Anto, suami sahnya, tak pernah memujinya dengan kelembutan dan ketulusan seperti ini, meski ia tahu pujian ini datang dari tempat yang salah.
“Aku nggak pernah lihat wanita selembut kamu, sayang, kamu bikin rumah ini hidup,” tambah Pak RT, suaranya penuh keikhlasan, matanya menatap Nisa seolah ia satu-satunya di dunia. Nisa menggigit bibir, air mata menggenang di matanya, malu karena kata-kata itu mengguncang hatinya yang rapuh. “Mas… sayang, jangan gitu, aku cuma… biasa aja,” gumamnya pelan, suaranya bergetar, takut mengakui betapa pujian itu menyentuh bagian dirinya yang merindukan penghargaan.
902Please respect copyright.PENANAlkO9dDIm5r
--------------------
Gejolak muncul di hati Nisa, perasaan bahagia yang tak terduga menyelinap di antara rasa bersalah, pujian tulus Pak RT seperti angin sejuk yang menyentuh luka lamanya. Dalam hati, ia sadar Anto, suami sahnya, tak pernah memujinya begini, tak pernah membuatnya merasa begitu dihargai.
Nisa tiba-tiba teringat ciuman penuh ludah tadi, pertama kalinya ia beradu lidah dan berbagi air liur dengan liar, sesuatu yang tak pernah diminta Anto. “Aku nggak pernah ngelakuin ini sama Anto,” pikirnya, tubuhnya lemas, namun ada kehangatan aneh yang menyelimuti hatinya. Ia bahagia, meski malu mengakuinya, karena untuk pertama kali merasa kecantikannya—yang selama ini ia rawat dengan susah payah—dilihat dan dipuja. Hujan di luar terus mengguyur, seolah tak peduli dengan pergolakan batin Nisa yang terjebak antara dosa dan rasa dihargai yang begitu asing baginya.
Tubuhnya sedikit lunglai, tapi bibirnya tanpa sadar membentuk senyum kecil, penuh penyesalan namun juga kelegaan. “Mas… sayang, aku nggak biasa dipuji gini,” gumamnya pelan, suaranya bergetar, matanya menunduk menghindari tatapan Pak RT. Dalam hatinya, ia tahu ini salah, tapi pujian itu seperti air bagi tanah kering, membuatnya merasa hidup sebagai wanita. Pak RT mengelus rambutnya lagi, “Kamu pantas, sayangku, kamu permata yang nggak semua orang bisa lihat,” katanya lembut, menambah gejolak di hati Nisa yang kian terombang-ambing.
902Please respect copyright.PENANAkmnSBEt7Ao
----------------------
Pak RT, masih dengan kelembutan yang pura-pura tulus, menatap Nisa yang duduk di pangkuannya, lalu berbisik, “Nisa sayangku, mau lanjut lagi latihan misionarisnya?” Suaranya hangat, namun ada nada penuh harap di baliknya. Nisa, dengan gejolak bahagia yang kini bercampur di hatinya, mengangguk pelan, wajahnya memerah, berbeda dengan awalnya yang penuh penolakan—kini ada sedikit senyum malu yang tak bisa ia sembunyikan.
Tanpa diminta, Nisa bergerak sendiri, merebahkan tubuhnya di kasur sederhana itu, bra dan celana dalamnya masih menempel, namun ia terlihat lebih rileks, seolah menyerahkan diri pada momen itu. Pak RT tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kepuasan, “Nah, gini dong, wanitaku yang cantik, kamu tahu cara bikin suamimu bahagia,” pujinya dengan nada mesra, tangannya menyentuh pundak Nisa lembut. Ia lalu menunduk, mencium kening Nisa dengan penuh perhatian, kemudian turun ke belahan dadanya yang montok, bibirnya menyentuh kulit lembut itu dengan ciuman pelan yang disertai bunyi kecil “smeck.”
Nisa diam saja, tapi jantungnya bergetar hebat, detaknya terasa hingga ke telinganya sendiri. Dalam hati, ia tanpa sadar bahagia dicium seperti itu, perasaan dihargai dan diinginkan membuatnya melayang, meski rasa bersalah masih mengintai.
902Please respect copyright.PENANAmoMrdX2Dwu
-------------------
Nisa terlentang di kasur sederhana, bra dan celana dalam tipisnya masih menempel, tubuhnya kini lebih rileks, wajahnya memerah dengan senyum malu yang menunjukkan hatinya mulai melunak. Pak RT berlutut di antara kaki Nisa, kolornya setengah turun, matanya penuh hasrat namun dibalut kelembutan pura-pura, “Sayangku, kita mulai lagi latihan misionarisnya, ya, biar suamimu ini bikin kamu bahagia,” katanya mesra, tangannya mengelus paha Nisa dengan lembut.
Nisa mengangguk kecil, “Iya, mas sayang, ajarin aku lagi,” gumamnya lirih, suaranya penuh kepatuhan yang baru, berbeda dari penolakan awalnya. Pak RT menurunkan tubuhnya perlahan, dadanya yang berbulu hampir menyentuh bra Nisa, tangannya memandu kaki Nisa agar terbuka lebar dengan gerakan penuh perhatian, seolah ingin membuatnya nyaman. Ia mulai menggesekkan kontolnya yang tegang ke memek Nisa, masih terhalang celana dalam tipis, gerakannya pelan namun ritmis, seperti ombak kecil, menghasilkan bunyi gesekan kain “shrr… shrr” yang samar, “Rasain, sayang, ini buat cinta kita,” bisiknya, wajahnya mendekat ke leher Nisa.
Nisa, dengan hati yang kian menerima, menuruti kata-kata Pak RT, tangannya gemetar namun mulai merangkul pundak pria itu saat ia berkata, “Rangkul aku, sayang, biar aku tahu kamu sayang sama suamimu.” “Iya, mas sayang,” jawab Nisa lembut, lengannya melingkari leher Pak RT, jari-jarinya menyentuh kulit yang kasar, menariknya lebih dekat hingga napas mereka bercampur. Pak RT mempercepat gesekannya sedikit, pinggulnya bergerak maju-mundur dengan lebih tegas, setiap dorongan disertai tekanan lembut yang membuat Nisa tersentak pelan, tubuhnya tanpa sadar mengikuti ritme, “Kamu manis banget, istriku, bikin aku nggak bisa berhenti,” pujinya, mencium pipi Nisa dengan bunyi “smeck” yang hangat.
Hati Nisa terasa hangat, meski penyesalan masih mengintai, ia merasa dihargai dengan cara yang tak pernah diberikan Anto, membuatnya nurut pada setiap perkataan Pak RT. “Mas sayang, aku… aku suka kalau mas gini,” katanya pelan, suaranya penuh keraguan namun jujur, matanya menatap Pak RT sekilas sebelum menunduk malu. Pak RT tersenyum, tangannya kini membelai rambut Nisa, sementara pinggulnya terus bergerak, gesekan itu kian intens namun tetap terkontrol, “Nah, gitu, sayangku, kamu milik suamimu, kita nikmati ini berdua,” katanya, lalu mencium kening Nisa lagi, membuat jantung Nisa berdegup lebih kencang.
902Please respect copyright.PENANAkMx6ZqpCbX
------------------
Pak RT berlutut di antara kaki Nisa, kolor hitamnya masih membalut tubuhnya, namun kontolnya yang tegang terlihat jelas, menonjol perkasa dengan urat-urat yang membengkak di bawah kain tipis, seolah siap menerobos, menambah aura dominasi pria itu. “Sayangku, lihat betapa suamimu ini siap buat kamu,” katanya mesra, tangannya mengelus paha Nisa, matanya penuh hasrat.
Kontolnya, meski terbalut celana dalam, bergerak pelan-pelan menggesek memek Nisa, yang hanya dilindungi kain tipis celana dalamnya yang basah. Gerakannya lembut namun penuh maksud, setiap gesekan menghasilkan bunyi “shrr… shrr” samar, kain bergoyang saat ujung kontolnya menyapu klitoris Nisa, menciptakan ritme zina yang mereka samarkan sebagai permainan “suami istri.” “Nisa, istriku manis, rasain ini, aku kasih pelan biar kamu nyaman,” bisik Pak RT, suaranya hangat, mencium kening Nisa dengan bunyi “smeck” lembut. Nisa tersentak pelan, jantungnya berdegup, “Mas sayang… aku… pelan aja ya,” gumamnya, suaranya penuh kepatuhan yang bercampur rasa bersalah.
Pak RT terus menggesek, pinggulnya bergerak maju-mundur seperti ombak, kontolnya yang berurat menekan lebih dalam tanpa menembus, kain celana dalam Nisa sedikit bergeser karena gesekan itu. “Kamu sempurna, sayang, memekmu ini bikin suamimu nggak bisa mikir lain,” pujinya, tangannya merangkul pinggang Nisa, menariknya lebih dekat agar gesekan terasa lebih intim. Nisa, yang kini nurut, merangkul lehernya, “Mas sayang, aku cuma pengen mas senang,” katanya lirih, matanya menunduk, bahagia namun terbelah oleh penyesalan.
902Please respect copyright.PENANA4piAMqxXUq
----------------
Hujan terus menderu di luar, suaranya seperti gemuruh yang menutup kamar kecil itu dari dunia, menciptakan suasana penuh dosa yang terasa semakin intim. Pak RT, masih dalam posisi misionaris dengan Nisa terlentang di bawahnya, menatapnya dengan senyum penuh hasrat namun dibalut kelembutan pura-pura. “Sayangku, gantian dong, sekarang kamu yang gesek memekmu ke kontol suamimu, biar aku ngerasain cintamu,” katanya mesra, tangannya mengelus paha Nisa, mendorongnya untuk bergerak. Nisa, dengan hati yang kian nurut meski penuh penyesalan, mengangguk pelan, “Iya, mas sayang, aku coba,” gumamnya lirih, wajahnya memerah karena malu namun patuh.
Nisa mulai bergerak, tetap dalam posisi terlentang, pinggulnya terangkat sedikit untuk menggesekkan memeknya yang tembem ke kontol Pak RT yang tegang di balik kolor hitam. Gerakannya canggung namun penuh ketaatan, celana dalamnya yang tipis melorot sedikit karena gesekan, memperlihatkan jembut hitam yang lebat dari kemaluannya, kontras dengan kulitnya yang putih, terlihat jelas saat ia melayani laki-laki selain suaminya itu. Bunyi gesekan kain “shrr… shrr” bercampur dengan napas Nisa yang tersengal, setiap dorongan membuat kain celana dalamnya semakin bergeser, memperlihatkan lebih banyak. “Mas… sayang, celanaku…,” katanya pelan, wajahnya panas karena malu bukan main melihat jembutnya terekspos, tangannya refleks ingin menutupi.
Pak RT tersenyum lebar, matanya berkilat penuh kekaguman, tangannya dengan lembut menahan tangan Nisa agar tak menutup. “Gapapa, sayang, aku suka memekmu yang berjembut ini, cantik banget, bikin suamimu tambah sayang,” katanya dengan nada penuh kasih sayang, jari-jarinya mengelus jembut itu pelan, merasakan teksturnya yang lembut dengan penuh perhatian. Nisa menunduk, jantungnya berdegup kencang, malu namun anehnya merasa dihargai, “Mas… jangan bilang gitu, aku malu,” gumamnya, tapi ia terus menggesek pelan, memeknya menyentuh kontol Pak RT dengan ritme yang kian teratur.
------------
Hujan terus menderu di luar, suaranya seperti gemuruh lembut yang menyelimuti kamar kecil itu, menambah intimnya suasana penuh dosa itu. Nisa masih terlentang di kasur, memeknya yang tembem menggesek kontol Pak RT dengan pelan, celana dalamnya yang melorot memperlihatkan jembutnya yang lebat. Pak RT, dengan mata penuh hasrat dan senyum genit, tiba-tiba bersenandung dengan nada canda, “Memek Nisa cantik berbulu, dan kontol mas yang jantan beradu, di atas kasur yang syahdu.” Suaranya rendah dan penuh tawa, lagu mesum yang ia buat sendiri terdengar seperti ejekan manja untuk Nisa.
Nisa tersentak, wajahnya langsung memerah, malu bukan main mendengar nyanyian dan candaan vulgar itu. “Mas sayang… jangan nyanyi gitu, aku malu,” gumamnya lirih, matanya menunduk, tangannya refleks ingin menutupi wajahnya, meski pinggulnya masih bergerak pelan karena ketaatan. Bunyi gesekan “shrr… shrr” dari celana dalam mereka bercampur dengan tawa kecil Pak RT, yang jelas menikmati sikap malu-malu Nisa. “Eh, sayangku, malumu itu bikin kamu tambah manis, aku suka banget lihat istriku gini,” katanya genit, tangannya mengelus paha Nisa dengan lembut, seolah menghibur namun penuh maksud.
Pak RT terus tersenyum, matanya berbinar melihat pipi Nisa yang semakin merona, sikap malunya seperti bahan bakar untuk nafsunya. “Nisa, istriku, kamu nggak usah malu, ini kan cuma kita berdua, laguku tadi buat puji kecantikanmu,” katanya lagi, nada suaranya penuh godaan, lalu ia mencium kening Nisa dengan bunyi “smeck” yang hangat. Nisa hanya mengangguk kecil, “Mas… pokoknya jangan nyanyi gitu lagi ya,” pintanya pelan, tapi ada senyum tipis di bibirnya, menunjukkan hatinya yang terombang-ambing antara malu dan perasaan dihargai.
--------------------
Hujan terus menderu di luar, suaranya seperti gemuruh yang menyelimuti kamar kecil itu, menyamarkan dosa yang kian dalam di antara Nisa dan Pak RT. Pak RT menatap Nisa yang terlentang di kasur, matanya penuh hasrat saat ia berbisik, “Geseknya makin keras ya, sayang, biar tambah mesra dan tambah cinta.” Nada suaranya manja, penuh godaan, tangannya mengelus pinggang Nisa, mendorongnya untuk mematuhi. Nisa, dengan hati yang kian nurut meski penuh penyesalan, mengangguk kecil, “Iya, mas sayang,” gumamnya lirih, wajahnya memerah namun patuh pada permainan zina yang mereka samarkan sebagai cinta.
Nisa mulai menggesekkan memeknya yang tembem ke kontol Pak RT dengan kecepatan lebih brutal, pinggulnya bergerak maju-mundur dengan penuh tenaga, membuat celana dalam tipisnya melorot lebih jauh, memperlihatkan jembut lebatnya yang hitam dan kontras dengan kulit putihnya. Bunyi gesekan kain “shrr… shrr” berubah jadi lebih keras, bercampur dengan suara “plap” pelan saat kulit mereka sesekali bersentuhan, intensitasnya menciptakan panas yang tak terelakkan. Nisa merasa nikmat, sensasi gesekan zina yang kian kuat itu mengalir di tubuhnya, membuatnya tersengal, meski pikirannya masih berkecamuk antara malu dan dosa, “Mas… ini… rasanya…” katanya terputus, suaranya penuh keraguan namun tak bisa menyembunyikan kenikmatan yang tak diinginkannya.
Pak RT merasakan kenikmatan yang sama, kepala kontolnya yang tegang dan berurat tergesek memek Nisa dengan ritme yang liar, wanita cantik yang sedari dulu ia rayu-rayu kini ada di bawah kendalinya. “Ya Tuhan, sayangku, memekmu ini bikin suamimu gila, terus gitu, istriku manis!” pujinya dengan suara serak, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, membantu mengatur gerakan agar gesekan itu semakin dalam, matanya berkilat penuh kepuasan. Nisa, meski malu karena jembutnya terekspos, terus bergerak, napasnya memburu, “Mas sayang… aku cuma pengen mas senang,” katanya pelan, kata-kata itu keluar dari bibirnya seperti pengakuan yang dipaksakan, namun tubuhnya tak berhenti menikmati. Hujan di luar terus mengguyur, seolah tak peduli dengan kenikmatan haram yang mereka rasakan, meninggalkan Nisa dan Pak RT dalam pusaran zina yang kian brutal dan tak terhentikan.
902Please respect copyright.PENANA0zFLSmgts7
TO BE CONTINUED
902Please respect copyright.PENANAQzGND2dXLD
902Please respect copyright.PENANAasBx9khR9e
902Please respect copyright.PENANApdTqIom22N