
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di
https://victie.com/app/author/82829
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
---------------------------------------------------
273Please respect copyright.PENANAsWnTTVilBM
273Please respect copyright.PENANAVqSb72sbYe
Malam telah larut, jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, dan desa diselimuti keheningan, hanya suara jangkrik dan angin sejuk sisa hujan yang terdengar di luar. Nisa berbaring di kasur, masih terjaga, matanya menatap langit-langit kamar yang temaram, daster tipisnya sedikit tersingkap, memperlihatkan bra merah yang kini terasa sia-sia. Di sampingnya, Anto mendengkur pelan, tidur lelap dengan punggung menghadapnya, tak menyadari kekecewaan yang menggerogoti hati istrinya. Pikiran Nisa masih dipenuhi penolakan Anto tadi, keinginannya untuk bermanja-manja dan berhubungan badan ditolak begitu saja, membuatnya merasa tak diinginkan, kontras dengan kenikmatan zina bersama Pak RT sore tadi yang terus menghantui, klitorisnya berkedut pelan, terbangun oleh ingatan akan gesekan dan pujian mesum pria itu.
Nisa menggigit bibir, tangannya tanpa sadar merayap ke payudaranya, jari-jarinya menyentuh puting yang mengeras di balik bra, meremas pelan sambil menahan desahan, “Mas sayang… kenapa mas Anto nggak kayak mas RT…” bisiknya dalam hati, suaranya tak terucap, matanya memejam membayangkan tangan Pak RT yang kekar mengelus tubuhnya. Klitorisnya semakin berkedut, sensasi sore tadi begitu nyata—kontol Pak RT yang menggesek tanpa penghalang, pejunya yang membasahi jembutnya, dan kata-kata, “Nisa, kamu istri idamanku,” yang membuatnya merasa hidup. Ia melirik Anto, memastikan suaminya masih terlelap, dengkurannya teratur, tak terganggu oleh gerakan istrinya yang mulai dipenuhi nafsu.
Dengan hati-hati, Nisa menyelipkan tangan kanannya ke dalam celana dalam merahnya, jari tengahnya menyentuh klitoris yang sudah basah, menggosok pelan dengan gerakan melingkar, menghasilkan bunyi “slik” yang sangat samar, nyaris tak terdengar di samping dengkuran Anto. “Mmh… mas RT…” desahnya dalam hati, tubuhnya sedikit bergetar, imajinasinya membawa kembali ke kamar sore tadi, ciuman buas, pelukan erat, dan kenikmatan yang tak pernah Anto berikan. Tangannya yang lain terus meremas payudaranya, menarik-narik puting dengan penuh hasrat, napasnya tersengal, namun ia menahan suara agar tak membangunkan suaminya, rasa bersalah bercampur nafsu membuat jantungnya berdegup kencang.
Gerakan jari Nisa semakin cepat, klitorisnya yang berkedut kini seperti pusat kenikmatan, setiap gosokan membawa ingatan akan Pak RT lebih jelas—wajahnya yang penuh nafsu, suaranya yang serak, dan janji “latihan” besok yang membuatnya tak sabar. “Mas sayang… Nisa pengen lagi…” pikirnya, tubuhnya melengkung pelan, kakinya mengangkang di bawah selimut, memeknya semakin basah, bunyi “slik… slik” sedikit lebih keras namun masih tersamarkan oleh dengkuran Anto. Ia membayangkan Pak RT menindihnya, lidahnya menari di mulutnya, kontolnya menggesek klitorisnya, dan tanpa sadar, ia mendesah pelan, “Ahh…” suaranya hampir lolos, membuatnya buru-buru menutup mulut dengan tangan kiri, matanya melirik Anto, lega karena suaminya tak terbangun.
Nisa tak sampai klimaks, ia menghentikan gerakannya, tangannya basah, napasnya masih memburu, namun rasa bersalah tiba-tiba menyerang, “Nisa, kamu gila, ini di samping suamimu sendiri…” bisiknya dalam hati, air mata hampir tumpah, tapi kenikmatan yang ia rasakan sore tadi terlalu kuat untuk diabaikan. Ia menarik tangan dari celana dalam, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, berbaring menghadap punggung Anto, mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya terus kembali ke Pak RT, ke janji mesumnya, “Besok kita lanjutin, cantik.” Kamar hening, hanya suara dengkuran Anto dan jangkrik di luar, sementara Nisa terjaga, klitorisnya masih berkedut, hatinya terbelah antara cinta pada suaminya dan nafsu yang telah dibangkitkan oleh zina.
273Please respect copyright.PENANAQRvb08YpWe
--------------------------------
Rasa bersalah bercampur nafsu tak tertahankan mendorong Nisa untuk bertindak, tangannya merayap ke celana dalam merahnya, jari tengahnya menyentuh memeknya yang sudah basah, menggosok klitoris dengan gerakan brutal, menghasilkan bunyi becek “slik… slik” yang agak berisik di keheningan kamar, namun Anto tetap terlelap, tak terganggu oleh suara itu.
Nisa memejamkan mata, pikirannya melayang ke Pak RT, ciumannya yang rakus, kontolnya yang menggesek klitorisnya tanpa penghalang, dan pujian, “Nisa, kamu istri idamanku,” yang membuatnya merasa diinginkan. Jari-jarinya bergerak lebih cepat, menggosok klitoris dengan tekanan kuat, memeknya yang basah menghasilkan bunyi “slik… plop” yang semakin keras, cairan kenikmatannya membanjiri tangannya. “Mas sayang… gini lagi…” desahnya dalam hati, tubuhnya melengkung, kakinya mengangkang lebar di bawah selimut, tangan kirinya meremas payudaranya, menarik puting yang mengeras di balik bra, napasnya tersengal, namun ia menahan suara agar tak membangunkan Anto, meski bunyi becek itu terdengar jelas di telinganya sendiri.
Masturbasi Nisa semakin brutal, ia menambahkan jari kedua, menggosok klitorisnya dengan ritme liar, seperti ingin menghidupkan kembali sensasi sore tadi, bayangan Pak RT menindihnya, pejunya yang membasahi jembutnya, membuat nafsunya tak terkendali. “Mas… Nisa pengen mas…” gumamnya dalam hati, pinggulnya terangkat dari kasur, memeknya berdenyut kuat, bunyi “slik… slik” bercampur dengan napasnya yang memburu. Tubuhnya menegang, klitorisnya seperti meledak dalam kenikmatan, dan tiba-tiba ia muncrat, cairan kenikmatan menyembur deras seperti hentakan keran jetpump, membasahi tembok di samping kasur dengan bunyi “splat” pelan dan meninggalkan bercak basah di seprai, cairannya hangat dan banyak, tanda orgasme yang tak pernah ia rasakan bersama Anto.
Nisa terengah-engah, tubuhnya lemas, keringat membanjiri dahi dan lehernya, jari-jarinya basah, napasnya masih tersengal, namun ada kepuasan kecil di hatinya, meski disertai rasa bersalah yang kini muncul kembali. “Ya Tuhan, Nisa gila…” bisiknya dalam hati, matanya melirik Anto, lega karena suaminya masih mendengkur, tak menyadari apa yang baru terjadi. Ia bangkit pelan, kakinya gemetar karena kelelahan, mengambil tisu dari meja kecil untuk membersihkan sisa muncratan di tangannya dan seprai, lalu mengelap bercak di tembok dengan daster lama yang ia temukan di sudut kamar, berusaha menghapus bukti dosa yang masih hangat itu. Kamar kembali hening, hanya aroma keringat dan sisa parfumnya yang tersisa, menyamarkan kenikmatan terlarang.
Dengan tubuh yang lelah, Nisa kembali ke kasur, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, posisinya kini memalingkan Anto, punggungnya menghadap suaminya yang masih terlelap, seolah ingin menjauhkan diri dari kenyataan pernikahannya. Ia meraih guling, memeluknya erat seperti pengganti pelukan yang tak ia dapatkan malam ini, wajahnya masih memerah, pikirannya sebentar melayang ke Pak RT, “Besok… mas sayang janji lanjutin…” gumamnya dalam hati, sebelum kelelahan mengambil alih. Matanya perlahan terpejam, kepuasan dari orgasme tadi bercampur dengan rasa bersalah yang kian samar, membawanya ke tidur nyenyak, tubuhnya rileks dalam pelukan guling, seolah melupakan dunia untuk sementara.
Tidur Nisa begitu pulas, napasnya teratur, kontras dengan kegelisahan yang tadi menguasainya, kamar kecil itu kembali hening, hanya suara dengkuran Anto dan jangkrik di luar yang mengisi malam. Guling yang ia peluk menjadi saksi bisu gejolak batinnya, antara cinta pada suaminya dan nafsu yang telah dibangkitkan oleh Pak RT. Di luar, embun dingin menyelimuti desa, tak ada yang tahu rahasia yang Nisa simpan, orgasme brutal yang ia raih sendirian di samping suami yang tak curiga. Malam berlalu, dan Nisa tenggelam dalam mimpi, mungkin tentang Pak RT, mungkin tentang Anto, tapi yang pasti, esok hari menanti dengan janji dosa yang ia tahu akan sulit ia tolak.
-----------------------------
Pagi menyingsing dengan lembut, cahaya matahari merembes melalui jendela, menerangi kamar kecil Nisa yang masih dipenuhi aroma sisa parfum dari malam sebelumnya. Jam dinding menunjukkan pukul 08:00, Nisa terbangun kesiangan, matanya masih berat, tubuhnya lelah setelah masturbasi brutal semalam yang dipicu kenangan zina dengan Pak RT. Ia meraba kasur di sampingnya, kosong—Anto, suaminya, sudah berangkat kerja, meninggalkannya sendirian tanpa sepatah kata, seperti biasa. Hati Nisa mencelos, sedih karena sikap Anto yang acuh tak acuh sejak semalam, menolak ajakannya untuk bermanja-manja, membuatnya merasa tak diinginkan. “Mas kok gitu sih, nggak bilang apa-apa udah pergi aja,” gumamnya, namun ada bagian dirinya yang mulai bodo amat, lelah dengan dinginnya suami yang tak pernah memanjakannya.
Nisa bangkit dari kasur, daster tipis kremnya sedikit kusut, ia mengikat rambutnya asal-asalan, lalu berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan sederhana—telur dadar dan nasi sisa kemarin. Sambil menggoreng telur, aroma minyak panas mengisi udara, pikirannya melayang, mulai berangan-angan tentang suami ideal yang tak pernah Anto wujudkan. Ia membayangkan seorang pria yang manja, yang akan memeluknya dari belakang saat ia masak, mencium lehernya dengan bunyi “smeck” lembut, dan berbisik, “Sayang, masakannya pasti enak, kayak kamu.” Bayangan itu membuatnya tersenyum kecil, jantungnya berdebar, tapi wajah Pak RT tanpa sengaja muncul dalam imajinasinya, pujiannya yang mesum, “Nisa, kamu istri idamanku,” membuat klitorisnya berkedut pelan, meski ia buru-buru menggeleng, mencoba fokus pada wajan.
Setelah sarapan, Nisa pindah ke bak cuci di belakang rumah, mencuci baju kotor dengan tangan, air sabun membusa di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Bunyi “slos… slos” dari kain yang digosok mengiringi angan-angannya yang semakin liar, ia membayangkan suami yang suka memanjanya, yang akan duduk di sampingnya saat ia mencuci, menggodanya dengan candaan genit, “Sayang, tanganmu lembut banget, nanti malam pijitin mas ya?” Dalam bayangannya, suami itu akan mencuri ciuman di pipinya, membuatnya tertawa, lalu mengajaknya bercanda di rumput, tak peduli baju basah karena sabun. Nisa menghela napas, “Andai mas Anto kayak gitu, nggak cuma kerja, pulang, tidur,” pikirnya, jari-jarinya menggosok kaus Anto lebih keras, seolah ingin melampiaskan kekecewaannya.
Angan-angan Nisa terus mengalir, ia membayangkan suami yang tak dingin seperti Anto, yang akan pulang kerja dengan senyum hangat, membawa bunga murah dari pasar, dan berkata, “Ini buat istriku yang paling cantik.” Ia membayangkan malam-malam penuh keintiman, suami itu akan memeluknya erat di kasur, mengelus rambutnya, dan berbisik mesra, “Sayang, kamu bikin hidup mas bahagia,” sebelum mereka bercinta dengan penuh gairah, tak seperti Anto yang sering kelelahan dan menolaknya. Bayangan itu begitu nyata, Nisa hampir bisa merasakan ciuman hangat di lehernya, tapi lagi-lagi wajah Pak RT menyelinap, sentuhannya yang penuh nafsu, pujiannya yang membuatnya merasa sintal dan diinginkan, “Nisa, kamu bikin mas gila,” dan ia buru-buru mengguncang kepala, “Astaghfirullah, Nisa, berhenti!” katanya pelan, wajahnya memerah.
Sambil menjemur baju di tali jemuran, Nisa terus berangan-angan, kini membayangkan suami yang akan mengajaknya jalan-jalan sore, bergandengan tangan di pinggir sawah, tertawa bersama tanpa beban, sesuatu yang tak pernah Anto lakukan karena selalu sibuk atau lelah. Ia membayangkan suami itu akan memanjakannya dengan perhatian kecil, seperti membelikan jepit rambut baru atau memuji dasternya, “Sayang, kamu cantik banget pake ini, kayak bidadari.” Dalam bayangannya, suami itu akan mendengarkan ceritanya, tak seperti Anto yang sering hanya mengangguk tanpa benar-benar peduli. Nisa menjemur daster tipisnya, teringat bagaimana Pak RT memuji tubuhnya yang menerawang di daster itu, dan meski ia tahu itu zina, ada bagian dirinya yang merindukan perhatian itu, membuat hatinya semakin terbelah.
Kegiatan rumah selesai, Nisa duduk sejenak di beranda, menyeruput teh hangat, matanya menatap langit pagi yang cerah, namun pikirannya masih dipenuhi angan-angan tentang suami ideal yang manja, penuh kasih, dan tak pernah membiarkannya merasa kosong seperti Anto malam tadi. Ia membayangkan hidup dengan pria yang akan membangunkannya dengan ciuman di kening, berkata, “Pagi, sayangku, hari ini mas cuma pengen sama kamu,” dan menghabiskan hari dengan tawa dan keintiman, sesuatu yang Pak RT, meski dalam dosa, telah berikan padanya sore kemarin. “Kalau mas Anto cuma sedikit kayak mas sayang, pasti Nisa nggak bakal begini…” pikirnya, jantungnya berdegup kencang, rasa bersalah bercampur hasrat yang tak kunjung padam, membuatnya menunduk, menatap cangkir teh dengan wajah penuh pertentangan.
Nisa menghela napas, bangkit untuk melanjutkan pekerjaan rumah, menyapu lantai dengan sapu ijuk, bunyi “sret… sret” mengiringi pikirannya yang masih melayang. Ia tahu angan-angannya tentang suami ideal tak akan mengubah Anto, yang selalu lelah dan dingin, tapi kenangan Pak RT, meski salah, terus menggoda, membuatnya membayangkan “latihan” berikutnya, pujiannya, dan sentuhan yang membuatnya merasa hidup. “Nisa, kamu gila, ini dosa besar,” bisiknya pada diri sendiri, namun senyum kecil muncul di bibirnya, teringat janji Pak RT, “Besok kita lanjutin, cantik.”
-------------------
Nisa baru selesai menyapu lantai, daster birunya sedikit basah karena keringat, ketika tiba-tiba pintu depan diketuk pelan. Pak RT berdiri di ambang pintu, senyum licik menghiasi wajahnya, tangannya memegang bungkusan plastik hitam, matanya langsung menjelajahi tubuh Nisa dengan penuh hasrat. “Pagi, Nisa cantik, suamimu udah pergi, kan?” tanyanya dengan nada genit, melangkah masuk tanpa menunggu izin, membawa aroma parfum murah yang tajam. Nisa, yang tadinya kaget, tersenyum kecil, jantungnya berdegup kencang, kenangan zina kemarin membuatnya tak bisa menolak kehadiran pria itu, “Pagi, mas sayang, iya, Anto udah kerja,” jawabnya lembut, matanya menunduk, namun ada binar hasrat di dalamnya.
Pak RT menyerahkan bungkusan itu, tangannya sengaja mengelus pipi Nisa, jari-jarinya turun ke pinggulnya dengan berani, meraba istri orang itu tanpa ragu, “Ini buat kamu, sayang, pakaian khusus buat bikin bayi sama suamimu ini,” katanya dengan tawa mesum, nada genitnya penuh manipulasi, matanya berkilat melihat wajah Nisa yang memerah. Di dalam bungkusan, ada lingerie renda merah berbahan jaring, transparan dan provokatif, yang ia beli semalam melalui pengiriman instan, barang haram yang dipilih untuk menjerat Nisa lebih dalam. Nisa membuka bungkusan, matanya membelalak, tangannya memegang renda halus itu, “Mas, ini… bagus banget, tapi… apa nggak keterlaluan?” tanyanya dengan nada malu-malu, namun senyumnya menunjukkan kegembiraan, jari-jarinya mengelus bahan jaring itu, sudah membayangkan bagaimana lingerie itu akan membalut tubuhnya.
Dengan penuh keberanian, Pak RT mendekat, tangannya kini memegang pinggul Nisa lebih erat, jari-jarinya menelusuri lekuk tubuhnya, “Keterlaluan? Ini kan buat istriku yang paling cantik, biar suamimu ini makin tergila-gila,” katanya, suaranya serak, mencium pipi Nisa dengan bunyi “smeck” yang lembut, sengaja memicu hasrat wanita itu. Nisa tertawa kecil, wajahnya semakin merona, “Mas sayang nakal banget, tapi… Nisa suka sih,” katanya genit, sudah terbiasa dengan sentuhan Pak RT, ia tak lagi menolak, malah memeluk lengan pria itu sekilas, menunjukkan betapa ia terjerat dalam permainan zina ini. Ia mengambil lingerie itu, mencocokkannya di depan tubuhnya, renda merah itu tampak sempurna untuk lekuk tubuhnya yang sintal, “Kayaknya cocok, mas, ini bener-bener pas,” katanya dengan tawa, matanya menatap Pak RT penuh godaan.
Pak RT tersenyum lebar, puas melihat Nisa yang kini tak hanya menerima hadiahnya tapi juga menikmati permainan ini, “Coba pake sekarang, sayang, biar suamimu lihat betapa cantiknya kamu,” godanya, tangannya kini meraba paha Nisa, gerakannya penuh nafsu, tak peduli status Nisa sebagai istri orang. Nisa menggeleng pelan, “Ih, mas, nanti aja, takut ketahuan tetangga,” katanya dengan nada main-main, tapi ia memeluk lingerie itu ke dadanya, seperti menjaga harta berharga, “Nanti malam Nisa coba, mas sayang harus lihat, ya,” tambahnya, suaranya penuh janji mesum, menunjukkan betapa ia telah jatuh ke pelukan Pak RT, zina kemarin membuatnya haus akan perhatian yang tak Anto berikan. Sinar matahari pagi menerangi wajah mereka, seolah tak peduli dengan dosa yang kian dalam.
Nisa mengajak Pak RT duduk di kursi kayu di ruang tamu, masih memegang lingerie itu, “Mas, ini pasti mahal, makasih ya, Nisa nggak nyangka mas sayang se-care ini,” katanya dengan nada manja, tangannya menyentuh lengan Pak RT, jari-jarinya mengelus kulit pria itu, menunjukkan kenyamanannya dengan kehadiran “suami kedua” ini. Pak RT tertawa, “Buat istriku, apa sih yang nggak mas lakuin, asal kamu senang, sayang,” jawabnya, tangannya kembali mengelus pipi Nisa, lalu turun ke lehernya, gerakan yang kini terasa alami bagi keduanya. Mereka berbincang ringan, tawa Nisa menggema, namun di balik senyumnya, ada bayang-bayang Anto yang acuh, dan lingerie merah itu seperti simbol pemberontakan terhadap suaminya, hadiah haram yang membuatnya merasa diinginkan, sesuatu yang Pak RT tahu cara berikan.
-----------------------
Di dalam rumah kecil Nisa, Pak RT duduk santai di sofa kayu sederhana, kakinya selonjor, kaus ketatnya memperlihatkan otot lengan yang kekar, wajahnya penuh senyum licik. Nisa, yang baru saja menerima hadiah lingerie renda merah dari pria itu, berdiri di depannya, daster birunya masih membalut tubuh, namun matanya berkilat penuh godaan. “Mas sayang, mau Nisa bikin teh dulu, nggak? Biar seger,” tanyanya dengan nada manja, pinggulnya sengaja bergoyang pelan saat berbalik ke dapur. Pak RT mengangguk, “Bikin dong, Nisa sayang, teh manis hangat biar suamimu ini tambah semangat,” katanya genit, tangannya mengelus-elus area batang kontolnya di balik celana, isyarat mesum untuk melanjutkan “latihan” kemarin, matanya tak lepas dari lekuk tubuh Nisa.
Nisa tersenyum genit, “Ih, mas sayang udah nggak sabar aja, bentar ya, Nisa buatin yang spesial,” balasnya dengan tawa kecil, lalu berjalan ke dapur, langkahnya sengaja pelan, daster tipisnya tersingkap sedikit, memperlihatkan paha putihnya. Di dapur, sambil menjerang air, pikirannya melayang ke kemarin—ciuman buas, gesekan kontol Pak RT, dan peju yang membasahi jembutnya—membuat klitorisnya berkedut pelan, jantungnya berdegup kencang. Ia buru-buru menggeleng, “Nisa, fokus, jangan kebawa lagi,” gumamnya, tapi senyum nakal tak bisa ia sembunyikan, apalagi teringat lingerie renda merah yang kini tersimpan di kamar. Ia menuang teh manis hangat ke cangkir, aroma gula cair memenuhi udara, namun ia tiba-tiba mendapat ide, “Kenapa nggak sekarang aja pake itu buat mas sayang?” pikirnya, lalu bergegas ke kamar, meninggalkan teh di meja dapur.
Di kamar, Nisa dengan cepat melepas daster, mengenakan lingerie renda merah yang transparan, bahan jaringnya memeluk tubuh sintalnya, bra renda memperlihatkan puting yang samar, dan celana dalam jaring membalut memeknya yang tembem, jembut tipisnya terlihat menggoda. Ia memandang cermin, “Ya Tuhan, ini bener-bener… cocok banget,” gumamnya, tersenyum puas, tubuhnya seperti anak kuliahan yang ranum, siap memikat Pak RT. Membawa cangkir teh manis hangat, ia kembali ke ruang tamu, langkahnya penuh percaya diri, lingerie merah itu bergoyang mengikuti gerak tubuhnya. Pak RT, yang tadinya selonjor santai, langsung duduk tegak, matanya membelalak, “Astaghfirullah, Nisa sayang, ini… kamu bikin suamimu nggak bisa napas!” katanya dengan suara serak, tangannya tanpa sadar mengelus kontolnya lagi, kagum pada penampilan Nisa yang seperti dewi dalam pakaian haram itu.
Nisa tertawa genit, “Gimana, mas sayang, cocok nggak sama istri kecilmu?” tanyanya, sengaja memutar tubuh, memamerkan lekuk payudara dan bokongnya, renda jaring itu seperti menjerat mata Pak RT. Ia langsung melangkah mendekat, tak membuang waktu, dan duduk di pangkuan pria itu, kakinya mengangkang, payudara semoknya yang terbalut renda merah menempel tepat di wajah Pak RT, aroma parfumnya bercampur bau tubuhnya yang hangat. “Mas, Nisa kangen banget sama mas sayang, kemarin itu… Nisa nggak bisa lupa,” katanya manja, lengannya melingkari leher Pak RT, wajahnya mendekat, bibirnya hampir menyentuh bibir pria itu. Pak RT mendesah, “Sayangku, kamu bikin mas rindu tiap detik, ini lingerie… ya Tuhan, kamu kayak bidadari yang nakal,” balasnya, tangannya meraba pinggul Nisa, jari-jarinya menelusuri renda, lalu naik ke payudaranya, meremas pelan dengan bunyi kain “sret” halus.
Nisa menggeliat di pangkuan Pak RT, payudaranya sengaja ditekan lebih erat ke wajah pria itu, “Mas sayang, Nisa pake ini khusus buat mas, biar mas nggak lupa sama istri manismu,” katanya dengan nada mesum, tangannya mengelus dada Pak RT, jari-jarinya bermain di kaus ketat itu, merasakan bulu dadanya. Pak RT tertawa serak, “Lupa? Sayang, kamu udah bikin mas gila, tiap malam mas cuma bayangin kamu, memekmu, ciumanmu,” katanya, tangannya kini berani mencubit puting Nisa melalui renda, membuat wanita itu mendesah pelan, “Mmh… mas, nakal banget, Nisa suka sih kalau mas gitu,” balas Nisa, matanya berkilat, ia mencium pipi Pak RT dengan bunyi “smeck” yang genit, lalu berbisik, “Mas, Nisa rindu ciuman kemarin, yang buas itu… ulang lagi dong.”
Pak RT tak menahan diri, tangannya menarik pinggang Nisa, menempelkan tubuh mereka lebih erat, kontolnya yang mulai tegang di balik celana terasa di paha Nisa, “Sayangku, ciuman buas itu cuma permulaan, mas kangen banget sama bibirmu yang manis,” katanya, lalu melumat bibir Nisa dengan penuh nafsu, ciuman mereka menghasilkan bunyi “slurpp… smeck” yang basah, lidah mereka saling menari, ludah bercampur dalam ritme mesum. Nisa membalas dengan penuh semangat, “Mas… Nisa pengen mas sayang selamanya, cium Nisa terus, jangan berhenti,” desahnya di sela ciuman, tangannya mencengkeram rambut Pak RT, menariknya lebih dalam, payudaranya bergesekan dengan dada pria itu, renda jaring membuat sensasi semakin liar. “Nisa, kamu istriku satu-satunya, mas janji bikin kamu bahagia tiap hari,” balas Pak RT, suaranya penuh janji palsu, tangannya meremas bokong Nisa, menandakan “latihan” mereka akan segera berlanjut.
Cahaya pagi yang terang di luar kontras dengan dosa yang kian tebal di ruang tamu, teh manis hangat terlupakan di meja, kini dingin, sementara Nisa dan Pak RT tenggelam dalam pelukan dan ciuman penuh nafsu, lingerie renda merah menjadi simbol zina yang mereka nikmati. “Mas sayang, Nisa cuma pengen jadi milik mas, ajarin Nisa lagi ya, biar lebih pinter buat mas,” kata Nisa dengan nada manja, wajahnya bersemu, ia menggigit bibir bawah Pak RT, lalu tersenyum genit, “Hari ini mas harus kasih yang lebih dari kemarin, Nisa kangen kontol mas.” Pak RT tertawa, “Sayangku, kamu bikin suamimu nggak sabar, hari ini mas pastiin kamu nggak bisa jalan saking nikmatnya,” katanya mesum, tangannya menyelip ke celana dalam renda Nisa, menyentuh memeknya yang sudah basah, membuat Nisa mendesah keras, “Ahh… mas sayang…” Pagi yang cerah di luar tak peduli, rumah kecil itu dipenuhi tawa genit, desahan, dan janji dosa yang kian dalam, sementara Anto, di tempat kerjanya, tak tahu bahwa istrinya telah menyerahkan tubuh dan hatinya pada Pak RT.
-----------------
Cahaya pagi yang cerah menyelinap melalui jendela, menerangi ruang tamu kecil di rumah Nisa, udara segar sisa hujan kemarin masih terasa di luar, namun di dalam, suasana dipenuhi hasrat yang membara pada pukul 09:15. Pak RT duduk di sofa kayu, kakinya selonjor, kaus ketatnya memperlihatkan otot lengan, matanya penuh nafsu menatap Nisa yang berdiri di depannya, mengenakan lingerie renda merah yang transparan, payudara semok dan memek tembemnya samar terlihat melalui bahan jaring. Dengan senyum licik, Pak RT mencondongkan tubuh, tangannya mengelus paha Nisa, lalu berkata dengan suara serak, “Nisa sayang, kalau mau lanjutin latihan, kamu yang minta, manja-manja gitu. Bilang, ‘Mas, ngentot yuk, genjot nikmat yuk, muncrat lendir kenikmatan bareng lagi yuk.’ Ayo, istriku cantik, buat suamimu ini kegoda.” Nisa tertawa genit, wajahnya memerah, namun matanya berkilat, binalnya kini tak lagi ia sembunyikan, siap memenuhi perintah mesum itu.
Nisa melangkah mendekat, pinggulnya bergoyang sengaja, lingerie renda merah bergesek dengan kulitnya, membuat bunyi “sret” halus, lalu ia duduk di pangkuan Pak RT, kakinya mengangkang, payudaranya yang terbalut renda menempel di dada pria itu. “Mas sayang, Nisa kangen banget sama mas,” katanya manja, tangannya mengelus leher Pak RT, jari-jarinya bermain di rambut pendek pria itu, lalu ia mendekatkan wajah, bibirnya menyentuh cuping telinga Pak RT, berbisik dengan nada genit, “Mas, ngentot yuk, genjot Nisa nikmat yuk, mas muncrat lendir kenikmatan bareng Nisa lagi, plis…” Suaranya penuh godaan, ia menggigit bibir bawahnya, matanya menatap Pak RT dengan penuh rindu mesum, lalu mencium pipinya dengan bunyi “smeck” yang lembut, gesturnya penuh rayuan, tubuhnya bergesek pelan di pangkuan pria itu.
Pak RT mendesah, “Ya Tuhan, sayangku, kamu bikin suamimu nggak kuat, kata-katamu itu… aduh, nakal banget,” katanya, tangannya merangkul pinggang Nisa, menariknya lebih erat hingga payudara Nisa menekan dadanya, kontolnya yang mulai tegang terasa di paha wanita itu. Nisa tersenyum nakal, “Mas sayang, Nisa cuma pengen bikin mas bahagia, ajarin Nisa lagi dong, biar Nisa pinter buat mas,” katanya, tangannya turun, mengelus dada Pak RT, lalu menyelinap ke area selangkangan, jari-jarinya menggoda kontolnya melalui celana, membuat pria itu mendesah keras, “Mmh… Nisa, istriku, kamu bikin mas pengen ngentot sekarang juga!” Nisa tertawa, lalu mencium sudut bibir Pak RT, lidahnya menjilat pelan, bunyi “slik” kecil menggema, intensitas rayuannya semakin liar.
Ciuman mereka cepat berubah buas, Nisa melumat bibir Pak RT dengan penuh nafsu, lidahnya menari di mulut pria itu, menghasilkan bunyi “slurpp… smeck” yang basah, ludah mereka bercampur, tangannya mencengkeram rambut Pak RT, menariknya lebih dalam. “Mas… Nisa rindu ciuman mas, yang bikin Nisa lumer gitu,” desahnya di sela ciuman, lalu ia menjilat leher Pak RT, lidahnya bergerak lambat, meninggalkan jejak basah dengan bunyi “slik… slik,” membuat pria itu menggeliat. “Sayangku, bibirmu ini racun, mas kangen banget ngelumatin kamu,” balas Pak RT, tangannya meremas payudara Nisa melalui renda, jari-jarinya mencubit puting yang mengeras, membuat Nisa mendesah, “Ahh… mas sayang, terusin, Nisa suka banget…” Ia menggesek memeknya yang basah ke pangkuan Pak RT, lingerie jaring itu memperkuat sensasi, bunyi kain “sret” bercampur desahan mereka.
Nisa tak berhenti merayu, ia menarik wajah Pak RT ke payudaranya, renda merah itu seperti undangan, “Mas, cium sini, Nisa pengen ngerasa lidah mas sayang di sini,” katanya manja, suaranya penuh rindu, lalu menekan payudaranya ke wajah pria itu, putingnya samar terlihat melalui jaring. Pak RT tak menolak, lidahnya menjilat puting Nisa melalui renda, bunyi “slik… slurpp” mengisi ruangan, tangannya mencengkeram bokong Nisa, menariknya hingga memeknya bergesek lebih keras ke kontolnya. “Nisa, kamu bikin suamimu gila, payudaramu ini… mas pengen ngelumatin seharian,” katanya mesum, lalu mengisap puting itu, membuat Nisa melengkung, “Mmh… mas, Nisa cuma milik mas, genjot Nisa sekarang, plis…” desahnya, tangannya menyelip ke celana Pak RT, mengelus kontol yang sudah keras, penuh hasrat.
Ciuman dan jilatan mereka semakin intens, Nisa kembali melumat bibir Pak RT, lidahnya menyapu ludah pria itu dengan rakus, bunyi “slurpp… plop” bercampur napas mereka yang memburu, tangannya mencengkeram pundak Pak RT, kuku-kukunya sedikit mencakar, menunjukkan betapa ia tenggelam dalam nafsu. “Mas sayang, Nisa kangen kontol mas, kemarin itu… Nisa pengen ngerasa lagi, mas genjot yang kenceng ya,” katanya, suaranya penuh godaan, ia menjilat bibir Pak RT, lalu menggigit pelan, matanya penuh rindu mesum. Pak RT tertawa serak, “Sayangku, kamu binal banget, mas janji ngentot kamu sampe nggak bisa jalan, lendir kenikmatan kita bakal banjir lagi,” katanya, tangannya menyelip ke celana dalam renda Nisa, menyentuh klitoris yang basah, membuat wanita itu mendesah keras, “Ahh… mas, sekarang, Nisa mau mas sekarang!” Cipokan mereka tak berhenti, lidah mereka bertarung, ludah bercampur, menandakan zina yang kian brutal akan segera dimulai.
Pagi yang cerah di luar kontras dengan dosa yang memenuhi ruang tamu, sinar matahari menerangi lingerie renda merah Nisa, membuatnya tampak seperti dewi dalam pakaian haram, payudaranya bergesek di wajah Pak RT, memeknya menggoda kontol pria itu melalui celana. “Mas sayang, Nisa cuma pengen bikin mas bahagia, ngentot Nisa tiap hari ya, jangan ninggalin Nisa,” katanya manja, ciumannya beralih ke leher Pak RT, jilatannya meninggalkan jejak basah, bunyi “slik” bercampur desahan, “Mas, Nisa rindu lendir mas, muncrat bareng Nisa lagi, plis…” Pak RT memeluk Nisa erat.273Please respect copyright.PENANAEkX7wEl97U
TO BE CONTINUED
273Please respect copyright.PENANACzIMU4YRUm
273Please respect copyright.PENANAwe3ZThSMMF
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di
https://victie.com/app/author/82829
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
---------------------------------------------------
ns3.15.5.27da2