
Hujan terus mengguyur deras di luar, suaranya seolah menutup kamar kecil itu dari dunia, menambah berat suasana yang kian mencekam. Pak RT, yang kini berada di atas Nisa dalam posisi misionaris, menahan gerakannya sejenak, menatap wajah Nisa yang pucat dengan air mata menggenang di sudut matanya. Dengan senyum licik, ia berbisik, “Nisa, istriku sayang, rayu aku dong. Ayo, jadilah istri yang binal, buah aku supaya posisi ini enak banget. Kalau kamu nggak genit, aku nggak nafsu, lho, nggak bakal berhasil.” Tangannya mencengkeram pundak Nisa, menekan agar ia tetap di tempat, sementara matanya menuntut lebih dari sekadar kepatuhan.
Nisa menutup mata, napasnya tersengal, kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. “Pak… mas sayang, aku nggak bisa… ini udah salah,” gumamnya lirih, suaranya bergetar, mencoba menolak meski tubuhnya tak mampu bergerak di bawah tekanan Pak RT. Tapi Pak RT tak menerima penolakan, ia mendekatkan wajahnya hingga napasnya terasa panas di pipi Nisa. “Nggak, sayang, ini belum cukup. Rayu aku, bilang betapa kamu pengen kontolku, pengen aku goyangin memekmu sampe puas. Ayo, binal dikit, biar aku semangat, biar kamu hamil,” desaknya, kata-kata kotor itu diucapkan dengan nada manja yang menjijikkan, tangannya kini turun ke pinggang Nisa, menariknya lebih dekat.
Nisa menggigit bibir, air matanya akhirnya tumpah, tapi tekanan dan rasa putus asa membuatnya tak melihat jalan lain. Dengan suara yang dipaksakan, penuh penyesalan, ia berbisik, “Suamiku… aku pengen kamu, mas sayang, aku pengen kontolmu… goyangin aku biar enak, please…” Kata-kata itu keluar seperti racun, nada genit yang ia tiru dari omongan Pak RT terdengar palsu, tapi cukup untuk membuat Pak RT tersenyum lebar. “Nah, gitu, istriku binal, bikin aku nafsu banget!” katanya, lalu kembali menggerakkan pinggulnya perlahan, memperagakan posisi misionaris dengan lebih semangat, tangannya merayap ke dada Nisa, menekan dengan penuh hasrat.
-------------------------
Walaupun tak terjadi penetrasi, Pak RT dengan sengaja menggesekkan kontolnya yang sudah tegang ke memek Nisa yang masih terlindung celana dalam tipis, gerakannya pelan dan manja, seperti ingin memperpanjang momen itu. Gesekannya lembut namun penuh tekanan, seolah ia sedang mencumbu dengan penuh kasih sayang, tapi di balik itu terasa nafsu maksimal yang tak bisa disembunyikan. “Nih, sayang, rasain kontolku, aku goyang pelan biar memekmu ngerasa sayangnya aku,” katanya dengan kata-kata kotor yang ia bungkus dalam nada lembut, tangannya memegang pinggul Nisa, mengarahkan gerakan agar gesekan itu semakin terasa. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, dada berbulunya hampir menyentuh bra Nisa, napasnya hangat menghembus di leher Nisa, setiap gerakan dirancang untuk memancing reaksi, penuh pura-pura cinta yang sebenarnya hanya topeng nafsunya.
Di pikiran Nisa, awalnya ada rasa jijik yang kuat. Bau rokok dan keringat dari tubuh Pak RT, bulu-bulu kasar di dadanya, dan kata-kata kotornya membuat perutnya mual. Ia membenci setiap detik ini, membenci dirinya yang terjebak dalam situasi yang ia tak pernah bayangkan. Tapi seiring gesekan yang pelan dan terus-menerus, sesuatu dalam dirinya mulai bergeser. Pikirannya yang kacau mulai membandingkan tanpa sadar. Anto, suaminya, selalu lembut dan penuh kasih, tapi Nisa tiba-tiba menyadari bahwa Anto tak pernah menunjukkan nafsu sebegini membara, tak pernah memperlakukannya seperti permata yang dipuja dengan intensitas seperti ini. Pak RT, meski dengan cara yang salah dan penuh manipulasi, membuatnya merasa diinginkan secara fisik dengan cara yang baru baginya. “Sepertinya Anto nggak pernah sesemangat ini,” pikirnya dalam hati, meski seketika rasa bersalah menyerang, membuatnya membenci diri sendiri karena memikirkan hal itu. Ia membuka mata sekilas, melihat wajah Pak RT yang penuh hasrat, dan dengan cepat menutupnya lagi, terombang-ambing antara jijik, penyesalan, dan sensasi asing yang mulai merayap di tubuhnya.
-------------------------2556Please respect copyright.PENANAJSk55hdaxZ
Pak RT, dengan kolornya masih setengah turun, terus menggesekkan kontolnya ke memek Nisa yang terlindung celana dalam tipis, gerakannya pelan namun penuh perhitungan, mencampur nafsu dengan pura-pura kasih sayang. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, napasnya hangat di leher Nisa, lalu berbisik dengan nada bangga, “Begini nih cara memperlakukan istri cantik kayak kamu, sayang. Suami kamu bisa begini nggak?” Kata-katanya penuh ejekan terselubung, seolah ingin menegaskan dominasinya atas Anto yang tak ada di sana.
Nisa membuka mata sekilas, jantungnya berdegup kencang mendengar pertanyaan itu. Di pikirannya, jawaban jujur hampir terucap: “Nggak.” Anto memang tak pernah menunjukkan hasrat seintens ini, tak pernah menggeseknya dengan penuh semangat seperti yang dilakukan Pak RT, meski dengan cara yang salah dan penuh manipulasi. Tapi Nisa menahan diri, bibirnya terkatup rapat. Ia takut, takut merendahkan Anto di mata orang lain, apalagi di hadapan Pak RT yang jelas-jelas mencari celah untuk menghina suaminya. Rasa cinta dan kesetiaannya pada Anto membuatnya memilih diam, hanya memalingkan wajahnya ke samping, berusaha menyembunyikan kekacauan di hatinya. Air mata yang tadi sempat kering kini menggenang lagi, tapi ia menahannya, tak ingin memberi kepuasan lebih pada Pak RT.
Pak RT, tak peduli dengan keheningan Nisa, malah tersenyum, menganggap diamnya sebagai tanda menyerah. Ia menggesek lebih bertenaga, kali ini dengan sengaja mengarahkan kontolnya ke area klitoris Nisa yang menonjol di balik celana dalamnya yang tipis. Gerakannya kini lebih tegas, penuh maksud, setiap gesekan seperti sengaja mencari reaksi. “Kamu suka nggak digesek kayak begini, sayang?” tanyanya dengan nada genit, suaranya serak penuh harapan, matanya menatap wajah Nisa dengan tajam, mencari tanda-tanda kenikmatan. Tangannya mencengkeram pinggul Nisa, menahan agar ia tak bisa mengelak, sementara napasnya semakin memburu. Nisa hanya menggigit bibir, tubuhnya tanpa sadar menegang karena sensasi itu, tapi pikirannya masih berperang—antara jijik, rasa bersalah, dan dorongan fisik yang tak diinginkannya.
-------------------------2556Please respect copyright.PENANAqOrMCRSH90
Hujan terus menderu di luar, suaranya seperti gemuruh yang tak henti, namun tak cukup kuat untuk menenggelamkan ketegangan di dalam kamar kecil itu. Nisa tetap diam, tak menjawab pertanyaan Pak RT tentang apakah ia menikmati gesekan tadi, wajahnya memaling ke samping, matanya tertutup erat seolah ingin menghilang dari kenyataan. Pak RT, yang menganggap keheningan Nisa sebagai undangan, tak membuang waktu. Dengan gerakan penuh percaya diri, ia menindihkan tubuhnya yang buncit dan berbulu ke atas tubuh Nisa, menutupi badannya seutuhnya. Berat tubuhnya menekan Nisa ke kasur, membuatnya sulit bergerak, dada berbulunya bersentuhan dengan bra tipis Nisa, sementara napasnya yang hangat dan bau rokok menghembus di wajahnya.
“I love you, Nisa ku sayang,” bisik Pak RT dengan suara serak penuh hasrat, kata-kata itu terdengar seperti mantra yang ia ulang untuk meyakinkan dirinya sendiri. Ia menundukkan kepala, bibirnya mendarat di leher Nisa yang putih, mulus, dan ditumbuhi rambut-rambut tipis yang hampir tak terlihat. Ciumannya dimulai pelan, tapi segera berubah agresif, bibirnya menekan kuat ke kulit lembut itu, lalu beralih ke kecupan basah yang disertai lidahnya yang menjilat dengan penuh nafsu. Suara kecupan itu mengisi ruangan, spesifik dan intens: “slurp… cht… slup…”—bunyi basah yang berisik, seperti seseorang menghisap buah yang ranum, bercampur dengan suara gesekan lidahnya yang meninggalkan jejak air liur di leher Nisa. Setiap ciuman diikuti denting kecil “plop” saat bibirnya melepaskan kulit, lalu kembali menyerang dengan “slurp” yang lebih keras, menciptakan ritme yang kontras dengan deru hujan di luar.
Leher Nisa kini basah oleh air liur Pak RT, rambut-rambut tipis di kulitnya menempel lengket, dan aroma kulitnya bercampur dengan bau keringat pria itu. Intensitas ciuman dan jilatan itu, yang begitu penuh semangat dan tak terkendali, membuat Nisa tanpa sadar mendesah kecil, “Ah…”—suara yang keluar dari bibirnya hampir tak terdengar, lebih seperti napas tersengal yang tak ia inginkan. Desahan itu muncul dari tubuhnya yang bereaksi di luar kendali, meski pikirannya masih berperang antara jijik dan rasa bersalah. Pak RT, mendengar desahan itu, tersenyum di sela-sela ciumannya, menganggapnya sebagai tanda kemenangan. “Nah, gitu, sayangku,” gumamnya di sela bunyi “cht… slurp…” yang terus menggema.
-------------------------
Bagi Pak RT, suara itu seperti hadiah yang telah lama ia nantikan, sebuah tanda kemenangan yang memicu nafsunya semakin membara. “Nah, gitu, istriku sayang, akhirnya kamu ngerasain juga,” gumamnya dengan nada puas, napasnya memburu, matanya berkilat penuh hasrat. Ia menganggap desahan itu sebagai izin untuk melangkah lebih jauh, hadiah untuk Nisa yang akhirnya ‘menikmati’ perhatiannya.
Semakin bersemangat, Pak RT mengecup leher Nisa yang putih dan mulus dengan brutal, ciumannya kini tak lagi sekadar basah, tapi penuh kekuatan seperti ingin meninggalkan jejak kepemilikan. Bibirnya menekan keras, mengisap kulit lembut itu hingga meninggalkan bekas merah yang samar, disertai jilatan lidah yang kasar dan tak beraturan. Bunyi kecupan basah itu semakin keras, “slurp… cht… plop…” bercampur dengan suara “slep” saat lidahnya menyapu leher Nisa, menciptakan ritme yang berisik dan agresif, seolah ingin mengalahkan deru hujan di luar. Setiap kali ia mendengar napas Nisa tersengal atau desahan kecil lainnya, ia mempercepat ciumannya, menganggap itu sebagai imbalan atas ‘kebaikan’ yang ia berikan. “Ini hadiah buat kamu yang manis, sayang, biar kamu tahu laki-laki beneran kayak apa,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya serak penuh nafsu.
Nisa, yang masih terlentang di bawah tekanan tubuh Pak RT, merasa tubuhnya semakin lelet, pikirannya kacau antara jijik, rasa bersalah, dan sensasi fisik yang tak bisa ia tolak sepenuhnya. Ciuman brutal itu, meski menyakitkan dan penuh paksaan, entah kenapa memicu desahan kecil lainnya, “Mmh…” yang keluar tanpa ia sadari, membuat Pak RT semakin liar. Ia menggigit ringan kulit leher Nisa, lalu menjilatnya lagi dengan bunyi “slurpp” yang panjang, meninggalkan lehernya basah dan lengket.
-------------------------2556Please respect copyright.PENANACjyeaKnDgk
Hujan terus mengguyur di luar, suaranya seperti dinding tak kasat mata yang menutup kamar kecil itu dari dunia luar. Pak RT, yang tadinya menindih tubuh Nisa dengan penuh nafsu, perlahan bangkit dari posisi misionaris, duduk di tepi ranjang sambil memandang Nisa yang masih terlentang, napasnya tersengal. Matanya penuh hasrat, namun kini ia berusaha memainkan peran suami yang lembut, seolah mereka benar-benar sedang menikmati malam pertama sebagai pasangan suami istri. Tangannya yang kasar membelai lengan Nisa dengan gerakan pelan, lalu turun ke pinggangnya, menyusuri kulit mulusnya dengan penuh kekaguman. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada payudara Nisa, belahannya yang terlihat montok, mulus, dan berat di balik bra tipis yang sedikit bergeser karena gerakan tadi. Bagi Pak RT, Nisa seperti aktris film bokep Jepang genre MILF yang doyan selingkuh—penuh godaan dan kelembutan yang menggoda imajinasinya.
Dengan keberanian yang semakin besar, Pak RT tak lagi ragu. Tangannya naik perlahan, membelai sisi payudara Nisa dengan jari-jari yang gemetar karena nafsu, lalu dengan penuh percaya diri meremasnya lembut, merasakan kelembutan dan beratnya yang membuat napasnya memburu. “Istriku sayang, ini… aduh, bikin aku nggak bisa mikir jernih,” gumamnya, suaranya serak penuh puja-puji. Nisa menegang, tubuhnya ingin menolak, tapi desahan kecil yang tadi tak sengaja keluar membuatnya merasa semakin lelet. Sebelum ia bisa berkata apa pun, Pak RT tiba-tiba berhenti, menatapnya dengan senyum manis yang pura-pura. “Istriku sayang, aku haus. Mau ambilkan suamimu ini minum air putih?” tanyanya dengan nada lembut, seolah-olah mereka sedang berbagi momen intim biasa.
Nisa, yang masih terjebak dalam kabut keputusan buruknya, mengangguk pelan, suaranya keluar hampir otomatis. “Iya, suami sayang, sebentar ya,” jawabnya dengan nada yang dipaksakan lembut, kata-kata itu terasa asing di lidahnya, namun ia tak tahu lagi cara melawan arus. Pak RT tersenyum lebar, matanya berbinar mendengar jawaban itu, merasa kemenangannya semakin lengkap. “Nah, gitu, istriku manis,” katanya, lalu dengan gerakan cepat namun genit, tangannya meraih pantat Nisa yang mulus saat ia bangkit dari ranjang, meremasnya dengan kuat namun penuh pujian, “Pantat ini… ya Tuhan, sempurna banget.” Nisa tersentak, wajahnya memerah, tapi ia hanya berjalan keluar kamar dengan langkah gontai, menuju dapur untuk mengambil air.
-----------------------------2556Please respect copyright.PENANATJNpZHenAQ
Nisa kembali masuk ke kamar, membawa segelas air putih di tangannya, langkahnya pelan namun penuh kepasrahan, seperti seorang istri yang melayani suaminya dalam suasana intim. Ia masih hanya mengenakan bra putih berenda dan celana dalam, tubuhnya yang montok dan mulus terpampang jelas di bawah cahaya redup, mempertontonkan keindahan yang membuat udara terasa lebih berat. Payudaranya yang besar bergoyang lembut ke kiri dan kanan setiap kali ia melangkah, gerakannya alami namun tanpa sengaja menggoda, bra tipis itu seolah tak mampu sepenuhnya menahan bobotnya. Nisa menunduk, wajahnya penuh penyesalan, tapi ia terus berjalan menghampiri Pak RT yang duduk di tepi ranjang, menunggunya dengan senyum penuh nafsu.
Pak RT memandangnya tak berkedip, matanya mengikuti setiap gerakan Nisa, terutama pada dadanya yang bergoyang. “Susu kamu itu gondal-gandul pas kamu jalan, cantik banget,” pujinya dengan nada serak, kata-katanya vulgar namun dibalut kekaguman yang pura-pura tulus. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan saat Nisa mendekat, wajahnya kini hanya beberapa inci dari dada Nisa. Dengan gerakan yang sengaja lambat, ia mendekatkan hidungnya ke bra putih berenda itu, mengendus dalam-dalam, seolah ingin menangkap setiap aroma dari tubuh Nisa. “Aku suka aroma toket kamu, istriku sayang,” katanya, suaranya rendah dan penuh hasrat, hidungnya hampir menyentuh kain bra, napasnya hangat terasa di kulit Nisa yang terbuka. Aroma samar sabun dan kulit Nisa bercampur dengan udara lembap akibat hujan, namun bagi Pak RT, itu seperti sesuatu yang memabukkan, menambah bahan bakar untuk nafsunya.
Nisa berdiri kaku, tangannya masih memegang gelas air, jantungnya berdegup kencang mendengar pujian dan merasakan kedekatan wajah Pak RT. Ia ingin mundur, ingin menolak, tapi kakinya seolah terpaku, pikirannya masih berkecamuk antara rasa bersalah dan tekanan untuk terus mengikuti arus. “Ini airnya… mas sayang,” gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar, mencoba mengalihkan perhatian sambil menyerahkan gelas. Tapi Pak RT tak buru-buru mengambilnya, matanya masih terpaku pada dadanya, tangannya kini naik perlahan, menyentuh sisi bra Nisa seolah ingin memastikan apa yang ia lihat dan cium. “Kamu sempurna, sayang, bikin suamimu ini nggak tahan,” katanya.
-----------------
Hujan terus mengguyur di luar, suaranya seperti gemuruh yang tak henti, menciptakan suasana terisolasi di kamar kecil itu. Nisa berdiri di depan Pak RT, tangannya gemetar saat menyerahkan gelas berisi air putih, berharap tindakan sederhana itu bisa mengalihkan perhatian dari ketegangan yang kian memuncak. “Ini airnya… mas sayang,” katanya pelan, suaranya penuh keraguan, wajahnya menunduk untuk menghindari tatapan Pak RT yang tak pernah lepas darinya. Namun, Pak RT tak langsung menerima gelas itu. Ia menggeleng pelan, senyum licik menghiasi wajahnya. “Nggak gitu, istriku sayang. Pasangan suami istri nggak minum kayak gitu. Kita minum dari mulut ke mulut, biar lebih mesra,” katanya dengan nada manja, matanya berkilat penuh maksud.
Nisa mengerutkan kening, kebingungan terlihat jelas di wajahnya. “Mulut ke mulut? Saya nggak pernah tahu gitu,” gumamnya, suaranya kecil, penuh ketidakpastian. Ia mencoba mencerna apa yang dimaksud, tapi pikirannya masih kacau oleh semua yang telah terjadi. Pak RT tersenyum, kali ini dengan ekspresi pura-pura lembut, seolah ia seorang guru yang sabar. “Tenang, sayang, aku ajarin. Ini cara suami istri beneran, bikin kita tambah deket. Sini, duduk dulu di pangkuan suamimu,” katanya, menepuk pangkuannya dengan tangan yang kasar, mengundang Nisa dengan gerakan yang tak bisa ditolak. Nisa ragu, tapi dengan langkah berat, ia akhirnya duduk di pangkuan Pak RT, tubuhnya kaku, bra dan celana dalamnya masih menempel erat di kulitnya yang dingin karena hujan.
Paha mereka bersentuhan, kulit Nisa yang mulus bergesekan dengan paha Pak RT yang berbulu, menciptakan rasa hangat dan intim yang tak diinginkan Nisa. Gesekan itu terasa terlalu dekat, terlalu pribadi, membuat bulu kuduknya berdiri, namun juga memicu panas yang tak bisa ia abaikan sepenuhnya. Pak RT mengambil gelas dari tangan Nisa, meminum dua teguk air dengan pelan, air itu sedikit menetes di dagunya, lalu ia menatap Nisa dengan tatapan penuh hasrat. “Sekarang, sayang, kita ciuman, aku kasih airnya ke mulutmu,” katanya lembut, tapi nada suaranya penuh nafsu. Tanpa menunggu persetujuan, ia menarik wajah Nisa dengan tangan di belakang lehernya, lalu mencium bibirnya dengan kuat, lidahnya mendorong air dari mulutnya ke mulut Nisa. Air itu mengalir perlahan, hangat dan sedikit asin, bercampur dengan aroma rokok dari napas Pak RT, menciptakan sensasi yang aneh dan mengganggu.
Nisa tersentak, matanya membelalak sesaat, tapi ciuman itu terlalu mendadak untuk ia tolak. Air mengalir ke tenggorokannya, dan ia terpaksa menelannya, merasa tubuhnya semakin lelet. Pak RT melepaskan ciumannya dengan bunyi kecil “plop,” lalu tersenyum lebar, “Cara minum suami istri tuh kayak gini, cantik,” katanya dengan nada puas, tangannya kini turun ke pantat Nisa yang montok, meremas-remas dengan gerakan yang penuh semangat namun genit. “Manis banget mulutmu, sayang, bikin aku pengen lagi,” lanjutnya, jarinya menekan kuat, merasakan kelembutan kulit Nisa yang mulus. Nisa hanya diam, napasnya tersengal, pikirannya berkecamuk antara jijik, rasa bersalah, dan kebingungan atas ‘pelajaran’ baru yang kian menjeratnya.
-------------------
Hujan terus mengguyur deras di luar, suaranya seperti gemuruh abadi yang menyelimuti kamar kecil itu, menciptakan ilusi bahwa dunia luar telah lenyap. Nisa duduk di pangkuan Pak RT, tubuhnya yang hanya mengenakan bra dan celana dalam terasa telanjang di bawah tatapan pria itu yang penuh nafsu. Setelah menepuk pantat Nisa hingga menghasilkan bunyi “plak” yang keras, Pak RT menyerahkan gelas air kepadanya, matanya menuntut. “Yuk, sayang, berikan minum untuk suamimu ini, mulut ke mulut, biar mesra,” katanya dengan nada genit, tangannya masih mengelus pantat Nisa yang montok. Nisa, dengan hati penuh penyesalan, tak mampu menolak. Ia meminum satu teguk air putih, rasanya hambar dan dingin di tenggorokannya, lalu menatap Pak RT sekilas sebelum mengangguk kecil, menyerah pada tekanan yang menjeratnya.
Dengan gerakan ragu, Nisa mendekatkan wajahnya ke wajah Pak RT, bibirnya yang lembut dan penuh ketegangan kini hanya berjarak beberapa senti dari bibir pria itu yang kasar dan berbau rokok. Mereka berdua memonyongkan mulut mereka satu sama lain, bibir mereka membentuk lengkungan yang binal dan tak senonoh, seperti adegan dalam film bokep yang penuh nafsu. Nisa memulai ciuman itu, bibirnya menyentuh bibir Pak RT dengan pelan, namun segera menekan lebih kuat agar air yang ia pegang di mulutnya tak tumpah. Bunyi ciuman pertama terdengar lembut, “mmph… cht,” saat bibir mereka saling bertemu, lalu berubah jadi lebih basah dan berisik, “slup… smeck,” saat mulut mereka mengunci erat, menciptakan segel agar air tetap terjaga di antara mereka.
Lidah mereka tak bisa dihindari saling bersentuhan, lidah Nisa yang kecil dan lembut bertemu dengan lidah Pak RT yang kasar dan agresif, bergerak seperti ingin menjelajahi setiap sudut. Sentuhan lidah itu menghasilkan bunyi “slurpp” yang licin dan panjang, bercampur dengan suara air yang bergoyang di antara mulut mereka, menciptakan ritme yang intens dan penuh nafsu. Air dari mulut Nisa, bercampur dengan liurnya yang tak sengaja ikut mengalir, perlahan mengalir ke mulut Pak RT, rasanya hangat dan sedikit asin, teksturnya licin seperti sirup tipis. Bibir mereka terus mengunci, monyong dan saling menekan, tak ada celah untuk air itu tumpah, hanya sesekali terdengar bunyi “plop” kecil saat tekanan bibir mereka sedikit longgar sebelum kembali mengunci. Proses itu terasa sangat lambat, penuh dengan gerakan mulut yang binal—bibir Nisa mendorong air dengan lidahnya, sementara Pak RT dengan rakus menerimanya, lidahnya sesekali sengaja menyapu lidah Nisa, memperpanjang kontak yang tak perlu.
Mata mereka saling bertatapan selama transfer air dan liur haram itu berlangsung. Mata Nisa penuh penyesalan, berkaca-kaca, namun tak bisa memalingkan wajah karena takut air tumpah, sementara mata Pak RT berkilat penuh kepuasan, seperti predator yang menikmati mangsanya. Ciuman itu akhirnya selesai dengan bunyi basah “slupp… cht,” saat bibir mereka berpisah, sisa air menetes sedikit di dagu Pak RT, meninggalkan kilau di bawah cahaya redup. “Manis banget, sayang, liurmu bikin suamimu ini ketagihan,” katanya dengan tawa kecil, tangannya kembali menepuk pantat Nisa, menghasilkan bunyi “plak” yang lebih lembut kali ini, lalu meremasnya dengan penuh semangat. Nisa hanya diam, napasnya tersengal, wajahnya panas karena malu.
--------------
Hujan terus mengguyur deras di luar, suaranya seperti dinding tak berujung yang memisahkan kamar kecil itu dari dunia, menambah berat suasana yang penuh dengan nafsu dan penyesalan. Nisa masih duduk di pangkuan Pak RT, napasnya tersengal setelah ciuman penuh air dan liur yang baru saja berakhir dengan bunyi basah “slupp… cht.” Bibirnya terasa basah dan sedikit bengkak karena tekanan ciuman yang brutal, wajahnya memerah penuh malu. Pak RT menatapnya dengan mata berkilat, senyum puas terpampang di wajahnya yang kasar. “Aku sayang, aku suka banget minum dari mulutmu,” katanya dengan suara serak, penuh hasrat yang tak tersembunyi lagi, jarinya mengelus dagu Nisa, merasakan sisa kelembapan dari ciuman tadi.
Tanpa menunggu reaksi Nisa, Pak RT mendekatkan wajahnya lagi, kali ini dengan gerakan yang lebih agresif. Lidahnya menjulur, menjilati sisa air yang masih menempel di bibir Nisa, gerakannya lambat namun penuh nafsu, seperti ingin menikmati setiap tetes. Bunyi jilatannya terdengar jelas, “slurpp… cht,” basah dan lengket, mengisi ruangan yang sempit itu. Ia tak berhenti di situ, bibir Nisa yang penuh dan lembut menjadi sasaran berikutnya. Dengan brutal, ia mengenyot setiap bagian mulutnya—bibir atas, lalu bibir bawah, bahkan sudut-sudut kecil di samping—setiap kenyotan menghasilkan bunyi “smeck… slup” yang keras dan tak senonoh, seperti seseorang menghisap permen dengan rakus. Lidahnya sesekali menyapu bagian dalam bibir Nisa, mencari sisa rasa air dan liur, meninggalkan jejak basah yang berkilau di bawah cahaya redup.
“Enak banget, sayang,” gumam Pak RT di sela-sela kenyotannya, suaranya terputus oleh bunyi “slurp… plop” saat bibirnya melepaskan bibir Nisa sebelum menyerang lagi. Tangannya, yang tak pernah diam, kini meremas-remas pantat Nisa yang montok dengan penuh semangat, jari-jarinya menekan kuat, merasakan kelembutan kulitnya yang mulus. Setiap remasan menghasilkan bunyi pelan “plap” saat kulit bertemu kulit, menambah ritme mesum di antara mereka. Nisa hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menutup erat untuk menghindari kenyataan, tapi setiap kenyotan dan remasan itu membuat napasnya tersengal, meski ia berusaha menahannya. Pikirannya berkecamuk, penuh jijik dan penyesalan, namun tubuhnya terjebak dalam permainan yang kian brutal ini. Hujan di luar terus mengguyur, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi, meninggalkan Nisa dalam pusaran yang semakin dalam dan tak terelakkan.
2556Please respect copyright.PENANAuGbZwslNrH
2556Please respect copyright.PENANAvoEzE85q1v
2556Please respect copyright.PENANAqM3mueN201
2556Please respect copyright.PENANA4QkCuWo5Ul
TO BE CONTINUED
2556Please respect copyright.PENANAKfAxiyCSUR
2556Please respect copyright.PENANAomVnUq0UdI
2556Please respect copyright.PENANAxG4YAyVusF
2556Please respect copyright.PENANAHkLaWUjGFH