Tubuh Riska masih gemetar meski Rian sudah menarik diri perlahan. Suara cairan yang menetes ke kursi kulit membuat pipinya kembali merona, malu, tapi tak bergerak untuk langsung bersih-bersih. Ia hanya terduduk lemas, tangannya menyentuh pahanya sendiri... seolah mencari sisa-sisa getar yang belum mau pergi.
4114Please respect copyright.PENANAwpg6GX7htQ
“Kenapa... beda ya rasanya…” bisik Riska lirih, setengah bicara ke dirinya sendiri.
4114Please respect copyright.PENANAbpGYJh8SwW
Rian menyandarkan tubuh ke kursi, masih memandanginya dengan sorot tenang yang menusuk. “Beda gimana?”
4114Please respect copyright.PENANArqre2AMq3z
Riska tak langsung menjawab. Matanya kosong, tubuhnya berkedut pelan seiring sisa orgasme yang menyusup di pangkal perutnya. Ia menunduk, jari-jarinya tak sengaja menyentuh celana dalamnya yang sudah penuh cairan. Basah, leleh, hangat.
4114Please respect copyright.PENANAM1x7sQku4L
“Sama suami… aku juga pernah digituin. Tapi rasanya... gak kayak tadi,” suaranya parau. “Tadi tuh... kayak... kayak nyetrum dari bawah terus naik ke dada. Kepala aku kayak kosong. Aku… gak bisa mikir…”
4114Please respect copyright.PENANAOdd4odShZF
Rian tersenyum pelan. “Itu namanya orgasme.”
4114Please respect copyright.PENANAJRcePCLLUi
Riska menoleh cepat, matanya membelalak. “Or... orgasme? Tapi aku udah nikah… masa baru sekarang…”
4114Please respect copyright.PENANACoR0Q4KOIa
“Bukan salah kamu. Banyak perempuan ngerasain itu. Kadang suaminya terlalu buru-buru. Gak ngerti cara bikin kamu panas dulu. Gak ngerti titik-titik tubuh kamu. Dia masuk... keluar... selesai.”
4114Please respect copyright.PENANApojDNG0X6x
Riska menelan ludah. Perkataannya... benar. Jaka selalu begitu. Ciuman sebentar. Sentuhan singkat. Lalu langsung masuk. Dan dia selalu diam, tak pernah berani protes.
4114Please respect copyright.PENANA1EVxh7PHBr
Rian mendekat lagi, membelai punggung Riska pelan, menunduk dan berbisik di lehernya. “Tapi tubuh kamu gak salah. Dia cuma nunggu seseorang yang tahu cara membukanya.”
4114Please respect copyright.PENANAzs7uBblLZR
Riska menggigil.
4114Please respect copyright.PENANANR7a3ovEJD
“Makanya tadi kamu bisa keluar banyak gitu. Karena dari awal... kamu cuma diajarin nahan, bukan ngelepas.”
4114Please respect copyright.PENANAMFSJGrk9G1
Ia menggigit bibir bawahnya. Ingatan tadi—saat tubuhnya meronta, saat ia sendiri yang membuka pahanya lebar-lebar, saat desahan itu keluar tanpa ia tahu kenapa—membuat pipinya panas. Tapi bukan karena malu. Tapi karena kenikmatan yang belum tuntas.
4114Please respect copyright.PENANAv1IQ9AKyDD
“Jadi itu... orgasme ya… Tapi kenapa bisa begitu enak… beda banget dari yang dulu-dulu…”
4114Please respect copyright.PENANAKvxHumCA7k
Rian mengusap pipinya dengan ibu jari. “Bisa jadi karena aku tahu cara makainya. Bisa juga karena ukuran. Atau mungkin… kamu emang butuh lebih dari sekadar pelukan sayang.”
4114Please respect copyright.PENANAAfANlXmnFO
Riska tertunduk. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata itu... menusuk. Tapi tak bisa dia bantah.
4114Please respect copyright.PENANARbqxmU8zlN
“Ukuran...?” gumamnya pelan.
4114Please respect copyright.PENANAgHzAcOcyqf
Rian terkekeh, menarik tangannya ke paha Riska, lalu menekan lembut lipatan panas yang masih berdenyut. Riska refleks mencengkeram tangan Rian, tapi tidak menyingkirkan. Tubuhnya malah kembali merapat.
4114Please respect copyright.PENANAylO0d0Qs9e
“Kamu sendiri yang tahu jawabannya. Tadi kamu teriak... minta jangan berhenti. Padahal kamu yang buka sendiri pahanya.”
4114Please respect copyright.PENANA8NG00GifEd
Riska menutup mata, menggeleng kecil. “Jangan ngomong gitu, Pak… nanti saya... makin gak bisa lupa…”
4114Please respect copyright.PENANAWHEdYE05Ka
“Tapi kamu pengen ngelakuin lagi, kan?”
4114Please respect copyright.PENANAAVhrp0GrAW
Pertanyaan itu menggantung. Riska diam lama. Tapi pipinya merah, dan matanya mulai basah.
4114Please respect copyright.PENANA0yIinjQwGw
“Aku takut dosa... tapi kalau rasanya kayak tadi...” suaranya melemah, “aku gak tahu bisa nolak atau enggak…”
4114Please respect copyright.PENANABYBYkiDbZ5
Rian mencium pipinya. “Gak usah buru-buru nolak. Kamu kan baru tahu rasanya. Nikmatin dulu aja. Lagipula... kamu belum pernah diajarin cara jadi perempuan yang utuh.”
4114Please respect copyright.PENANAw1AAXMlAkd
Kalimat itu seperti mantra.
4114Please respect copyright.PENANAoFhrdoVKkM
Riska tak tahu apa artinya jadi "perempuan yang utuh", tapi tubuhnya—yang basah, gemetar, dan masih mencari sentuhan—seakan berkata: aku ingin tahu lebih jauh..
Aku duduk di kursi kantor yang terasa dingin meski AC ruangan tak menyala kencang. Tangan gemetar di pangkuanku, menekan-nekan ujung jari sendiri tanpa arah. Pandanganku jatuh ke lantai, lalu ke meja, lalu—tanpa sadar—ke sosok yang berdiri hanya beberapa langkah dariku.
4114Please respect copyright.PENANAvOeEtIRoB3
Pak Rian.
4114Please respect copyright.PENANAI5jXViy5zx
Dia hanya mengenakan kemeja putih yang sedikit terbuka di bagian atas, dengan lengan digulung sampai siku. Wangi maskulin yang samar tercium tiap kali dia berjalan melewatiku. Wangi itu... menggangguku.
4114Please respect copyright.PENANAc6VropxXq0
Aku menelan ludah. Kenapa jantungku berdebar seperti ini? Aku sudah menikah. Aku mencintai suamiku. Tapi kenapa... kenapa tubuhku justru bereaksi seperti ini?
4114Please respect copyright.PENANAtC1t4m5YSi
"Teh-nya belum diminum?" Suaranya pelan tapi berat, seperti celupan magnet yang menarik pikiranku makin jauh dari batas logika.
4114Please respect copyright.PENANA0wsbMycrcC
Aku hanya mengangguk pelan. Tangan kanan menyentuh gelas, tapi tak kuangkat. Jari-jari ini malah bergetar sedikit. Sial... kenapa aku jadi begini?
4114Please respect copyright.PENANAGh9wQfkkqz
"Kalau kamu gugup, nggak usah dipaksa bicara dulu. Aku cuma pengen ngobrol, santai aja," katanya lagi, duduk di meja seberangku. Matanya tak lepas dari wajahku. Sorotnya tak sekadar melihat, tapi seperti membaca.
4114Please respect copyright.PENANAWMLJRE8sGW
"Aku nggak gugup, kok," kataku pelan. Tapi bahkan aku sendiri bisa mendengar suara itu goyah. Kecil. Rapuh.
4114Please respect copyright.PENANAcL7MSSSy1g
Dia hanya tersenyum kecil, lalu menyandarkan tubuh di kursi. "Kamu tipe yang jujur, tapi nggak pandai menutupi rasa. Itu bagus, tapi kadang bahaya juga."
4114Please respect copyright.PENANAtHChTnbUTF
Aku menoleh padanya. "Bahaya kenapa?"
4114Please respect copyright.PENANAtSUYC7qZT8
"Nah, itu dia. Rasa itu kayak api. Kalau kecil, hangat. Kalau dibiarkan, bisa jadi bara," ujarnya, santai. Tapi caranya bicara... membuat tengkukku dingin. Tegang. Dan entah kenapa... ada sedikit sensasi lain yang menyeret pelan ke arah yang tak kukenal.
4114Please respect copyright.PENANA0Pzh48V2bN
Aku tertawa gugup. "Saya nggak ngerti, Pak."
4114Please respect copyright.PENANAmFHBXRBWn9
Dia membungkuk sedikit, mendekat. Napasnya terasa di kulit pipiku yang tiba-tiba menghangat. "Enggak semua rasa harus dimengerti, Sari. Kadang... cukup dirasain aja."
4114Please respect copyright.PENANA6TXNqVmVLY
Dada ini sesak. Tapi bukan sesak yang menyakitkan. Rasanya seperti... dibungkus oleh selimut tebal di tengah malam hujan. Aman. Tapi juga sesat.
4114Please respect copyright.PENANAPORcPVbB0O
Aku mengalihkan pandangan. "Saya harus pulang sebentar lagi. Suami saya pasti nunggu."
4114Please respect copyright.PENANAxQjB36Gn2v
Dia diam. Lalu perlahan berdiri, berjalan ke arahku.
4114Please respect copyright.PENANA99LhvU1ocM
"Sari," panggilnya. Suaranya lebih rendah. Lebih berat. "Kamu pernah ngerasa... ada sesuatu dalam dirimu yang pengen keluar, tapi kamu tekan terus karena takut dianggap salah?"
4114Please respect copyright.PENANA3BJSf2JbTx
Aku menoleh perlahan. Pertanyaannya menggantung seperti kabut tipis yang menutup seluruh ruang ini. Dan aku... aku seperti tersedak dalam kabut itu.
4114Please respect copyright.PENANAWBLfXtvGFC
"Aku... aku nggak tahu, Pak."
4114Please respect copyright.PENANA4MeEqdmn7I
"Tapi kamu ngerasa, kan?"
4114Please respect copyright.PENANAXDuakTnzIb
Aku menggigit bibir bawah. Tanganku mengepal di bawah meja. Entah mengapa, tubuhku tak mau bergerak menjauh darinya. Aku tahu ini salah. Tapi kenapa... kenapa ada bagian dalam diriku yang diam-diam... menginginkannya tetap dekat?
4114Please respect copyright.PENANAkABSuj4NK2
"Aku perempuan baik-baik," kataku pelan. Seperti membisikkan mantra untuk menenangkan diri sendiri.
4114Please respect copyright.PENANAEkH1keprTO
Dia hanya menatapku lama. "Aku tahu. Dan justru karena itu... kamu terlalu sering memaksa dirimu untuk diam, patuh, dan menyangkal. Padahal... rasa itu bukan dosa."
4114Please respect copyright.PENANASSlUqMK5Rd
Aku gemetar. Suaranya, caranya bicara, dan cara dia melihatku—semuanya mengikis pertahananku yang rapuh. Tapi aku masih mencoba berdiri. Menjaga jarak.
4114Please respect copyright.PENANAjzfq6BLzT5
"Maaf, Pak. Saya harus pergi." Langkahku cepat. Tapi saat melewatinya, dia tak menahan. Hanya berdiri diam, menatapku lewat sudut mata.
4114Please respect copyright.PENANAouAiLQbs3a
"Tiap orang punya titik rapuh, Sari. Tapi yang bikin bahaya... itu saat kita mulai menikmati rasa bersalah itu," katanya lirih.
4114Please respect copyright.PENANAhAE9UKjJiK
Aku menggigit bibir. Kalimat itu menancap dalam. Aku melangkah keluar ruangan, tapi hatiku tertinggal di belakang.
4114Please respect copyright.PENANAMT8nb8q4Cb
Dan sepanjang jalan pulang... aku tak bisa berhenti menggenggam sisi dada sendiri. Jantungku berdetak tak karuan. Aku ingat suamiku. Senyum lembutnya. Tapi kenapa... bayangan Pak Rian yang terus terlintas di kepala?
4114Please respect copyright.PENANAudgnRXfk3c
Aku merasa bersalah.
4114Please respect copyright.PENANA2O7XoAhtEN
Tapi juga... basah oleh rasa yang belum pernah aku kenal
ns3.147.103.244da2