Aroma yang Menggoda
Jaka menatap layar laptop dalam gelap. Hanya suara kipas kecil yang terdengar di kamar. Folder CCTV dari kantor Riska terbuka satu per satu. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia cari—kebenaran? Kepastian? Atau sekadar bukti bahwa ia tak sedang dibohongi?
Video dari ruang lounge kantor sore itu mulai diputar.
Riska terlihat masuk sendirian, mengenakan blouse putih yang mulai basah di bagian punggung dan ketiak karena keringat. Ia meletakkan botol minum di meja dan mengibaskan jilbabnya sedikit, mencoba menyejukkan diri. Tak lama, Rian masuk.
Rian, rekan kerja sekaligus atasan muda yang terlalu akrab. Senyumannya selalu terlalu santai, tatapannya selalu terlalu lama saat melihat tubuh wanita.
"Ris, lo habis naik tangga ya?" tanyanya sambil duduk di sofa, menatap Riska dari bawah.
"Iya, liftnya rusak. Capek banget, Mas," jawab Riska sambil menghela napas.
Rian tertawa kecil, lalu berkata, "Lo tuh aneh ya... keringetan tapi kayaknya malah makin wangi."
Riska tertawa, "Yee... jangan gombal, Mas."
"Nggak gombal. Sumpah. Gue sampe penasaran, itu keringat lo aromanya beneran enak gak sih... atau gue doang yang halu."
Ia berdiri perlahan, mendekat. "Coba deh... angkat tangan dikit. Mau buktiin aja."
Riska tampak kaget. "Hah? Ngaco, Mas."
"Tapi lo pengen tahu juga, kan? Siapa tahu lo emang punya daya tarik alami..."
Sejenak, Riska terdiam. Lalu... dengan gerakan ragu, ia mengangkat lengannya. Blouse-nya agak tersingkap, memperlihatkan kulit ketiaknya yang lembap.
Rian mendekat. Menghirup dalam-dalam. "Hmm... gila... ini... ini tuh aroma yang bikin laki-laki gila."
Wajah Riska mulai merah, tapi ia tidak menurunkan tangannya. Matanya justru tampak bingung... dan penasaran.
Rian duduk kembali, membuka celananya pelan, lalu berkata setengah berbisik, "Gue masih kebayang baunya... bantuin dikit dong... buat tenangin."
Tangannya menggenggam tangan Riska, membimbing ke arah yang terbuka.
Riska tampak ingin menolak, tapi tidak menarik tangannya. Jarinya menggenggam batang itu—dingin, berdenyut, dan asing. Ia mulai menggerakkan tangannya, pelan, mengikuti irama yang dituntun oleh Rian.
"Aduh, Ris... lo tuh bahaya," desah Rian. "Lugu tapi gila... cocok banget."
Riska menunduk. Gerakannya makin cepat. Nafasnya memburu. Ada percikan aneh di wajahnya—antara takut, terangsang, dan ingin tahu lebih dalam.
Rian menahan napas. "Dikit lagi, Ris... dikit lagi... ah—!"
Dan saat semburan putih itu keluar, Riska karena terkejut malah reflek mengarahkan batang itu ke mulutnya. Cairan itu masuk... deras langsung ke mulutnya dia menelan. Perlahan. Lalu tanpa sadar menjilat sisa2 sperma di ujungnya, seolah nalurinya memandu tanpa pikir panjang. Riska malah menghisap lebih kuat se akan ingin merasakan rasa sperma itu lagi.
Setelahnya, ia hanya diam. Tak ada ekspresi jijik. Malah seperti sedang menikmati rasa asing yang baru dikenalnya.
Rian pun terduduk lemas dengan perasaan puas yang amat sangat.
Setelah cairan putih itu mengalir habis ke dalam mulutnya, Riska masih berlutut di depan Rian, menjilat sisa-sisa yang menempel di ujung batang. Nafasnya masih belum teratur, dan matanya terlihat setengah kosong—seperti terhipnotis oleh rasa dan sensasi asing yang baru saja ia alami.
Rian menyandarkan tubuhnya ke sofa, terengah, sambil menatap Riska dengan puas.
“Lo cocok banget Ris... asli, nggak nyangka.”
Riska menunduk. Wajahnya merah, tapi tak ada raut penyesalan. Yang ada hanya keheningan, dan sesekali lirikan aneh dari sudut matanya.
Beberapa menit kemudian, ia berdiri. Mengambil tisu, membersihkan tangan dan wajahnya. Lalu bercermin sebentar, merapikan jilbab dan blouse-nya.
“Udah jam berapa ya...” gumamnya sambil memeriksa ponsel.
Rian menghampiri, mencium pipinya sekilas. “Lo jaga rahasia kita ya. Nanti kita sambung lagi.”
Riska hanya mengangguk kecil—seperti tidak benar-benar sadar atas apa yang baru saja terjadi.
8848Please respect copyright.PENANAF5w4tEeUxf
---
Di perjalanan pulang, Riska membuka kaca jendela mobil. Angin malam menerpa wajahnya. Tapi pikirannya tidak tenang. Di lidahnya masih ada sisa rasa... asin, hangat, agak pahit. Aneh... tapi memabukkan. Dan itu... membuatnya berdenyut diam-diam di bawah sana.
Tiba di rumah, Jaka langsung menyambut dari ruang tamu.
“Capek banget, Sayang?” tanyanya, mencium pipi Riska.
“Lumayan,” jawab Riska pelan. “Tadi lembur dikit.”
Mereka makan malam seadanya. Lalu masuk kamar.
Di dalam kamar, Jaka tampak lebih agresif dari biasanya. Tangannya langsung memeluk dari belakang, menciumi leher dan pundak istrinya.
“Udah lama nggak kayak gini ya...” bisiknya.
Riska tertawa kecil. “Yah... capek banget loh, Mas.”
“Sebentar aja. Aku kangen kamu.”
Tangan Jaka mulai meraba ke bawah, mencari celah. Tapi tubuh Riska kaku. Ia tidak membalas. Ia hanya menahan, lalu menepis pelan.
“Besok aku harus pagi banget,” katanya sambil memundurkan diri. “Aku juga belum mandi. Lengket banget badanku.”
Jaka masih mencoba membujuk. Tapi kemudian ia memandang wajah istrinya, lalu berbisik lirih, “Sayang... kamu pernah gak sih... isepin aku? Sekali aja...”
Riska menatapnya cepat, alisnya terangkat.
“Ih, Mas... jijik banget sih ngomongnya! Enggak lah. Aku gak mungkin lakuin itu...”
Jaka membeku. Kata-kata itu terdengar terlalu kejam.
“Kenapa?” tanya Jaka pelan. “Kamu jijik sama aku?”
“Bukan gitu... aku cuma... ya aku nggak bisa aja. Itu kotor... aku gak suka yang kayak gitu.”
Jaka hanya mengangguk. Tapi di dalam pikirannya, rekaman itu kembali muncul. Wajah Riska saat membuka mulutnya untuk Rian. Lidahnya yang menjilat. Cairan itu yang mengalir lancar, dan tidak ada satu detik pun ekspresi jijik—justru... kenikmatan.
Dalam hati Riska memang risih bila harus menghisap nya
Sedangkan sebenarnya dirinya sendiri mulai menyukai aroma kelamin laki2 dan rasa sperma hanya blm brani untuk menghisapnya langsung
Jaka antara emosi cemburu tapi juga merasa sangat trangsang oelh ke tidak mauan riska tersebut.
Apakah ini tanda2 Kebinalan Riska mulai muncul ?
ns18.118.171.161da2