
Chapter 1: Riska yang Kukenal
30904Please respect copyright.PENANA3fA325KNpL
Namaku Jaka. Seorang suami biasa dengan hidup yang... sampai beberapa bulan lalu, rasanya adem-adem aja. Aku kerja kantoran, gajian tiap bulan cukup buat hidup layak. Istriku, Riska, wanita paling kalem yang pernah aku kenal. Lulusan kampus Islam, pintar, lembut, dan—kalau boleh jujur—terlalu baik buat dunia ini.
Riska itu tipe perempuan yang kalau aku ajak ngobrol agak ‘dewasa’ aja langsung bilang, “Mas... astaghfirullah.” Bahkan waktu malam pertama dulu, dia malu-malu banget. Sering kali aku yang harus ngerem diri sendiri, karena dia terlalu takut ‘dosa’.
30904Please respect copyright.PENANApbptI8KHDF
Tapi aku suka itu. Aku suka Riska yang polos, sholehah, dan selalu menunduk kalau bicara sama lawan jenis. Dia bikin aku ngerasa tenang. Rumah jadi kayak surga kecil.
Lalu dia mulai kerja lagi.
Awalnya aku yang mendorong dia balik ke dunia kerja. Sayang ilmunya kalau nggak dipakai. Setelah nganggur dua tahun lebih, akhirnya dia dapat kerja di kantor distributor alat kesehatan. Posisi administrasi, katanya nggak terlalu berat.
30904Please respect copyright.PENANAyzvKU7cuYu
Dari awal dia masuk, aku bisa lihat semangatnya. Tiap pagi dandan lebih rapi, kadang pakai lipstik tipis yang nggak pernah dia sentuh waktu jadi ibu rumah tangga.
30904Please respect copyright.PENANA28T7UtUV01
Aku bangga, tapi juga... jujur aja, mulai ada rasa asing. Tapi kubuang jauh-jauh. Mungkin cuma aku yang terlalu sensitif.
30904Please respect copyright.PENANAl9wo8XV4lR
Setelah beberapa minggu kerja, Riska mulai sering cerita soal teman-teman kantornya. Ada satu nama yang paling sering disebut: Nina.
“Nina itu rame banget, Mas. Orangnya asik, suka becandain aku. Tapi kadang... agak frontal,” katanya sambil senyum-senyum sendiri.
“Frontal gimana?”
“Ya... suka bahas hal-hal yang agak ‘nakal’. Tadi aja dia cerita soal cowoknya yang suka minta difoto pakai lingerie. Aku sampe kaget, ‘Astaga, Na! Kamu ngomong gitu ke aku?’ Eh dia malah bilang, ‘Ris, kamu tuh kudu belajar nakal dikit, masa iya suami kamu nggak penasaran?’”
Aku ketawa hambar. “Terus kamu jawab apa?”
30904Please respect copyright.PENANAw89BAWudKI
“Aku bilang, ‘Gila kamu, Na. Aku mana bisa kayak gitu.’ Tapi terus dia godain lagi, katanya, ‘Justru karena kamu polos, makanya seru kalau dicoba.’”
Riska ketawa. Tapi aku cuma diam.
Aku tahu Riska masih polos. Tapi dari caranya cerita, dari cara dia ketawa—ada yang berbeda. Seakan... dia nggak sepenuhnya nolak obrolan itu.
Beberapa malam kemudian, Riska ngajak nonton film barat yang biasanya nggak dia lirik.
30904Please respect copyright.PENANAWRasAAtQdq
“Katanya bagus ceritanya,” ujarnya sambil buka laptop.
30904Please respect copyright.PENANAzx6dg1QdsF
Film itu... ya, memang bagus. Tapi ada beberapa adegan ranjang yang cukup eksplisit. Biasanya Riska langsung tutup mata. Tapi kali ini dia nonton aja, meski agak kaku.
30904Please respect copyright.PENANA6azQOVSQ39
“Geli ya?” tanyaku, coba ledek.
30904Please respect copyright.PENANA8QXbSxFaM8
Dia nyengir. “Enggak. Cuma... penasaran aja. Di kantor suka dibahas juga.”
30904Please respect copyright.PENANAPr4KTaFBdk
Aku mengangguk pelan, tapi pikiranku nggak bisa tenang. Ini udah beda dari Riska yang biasa ngerasa berdosa kalau cuma denger lagu cinta terlalu romantis.
30904Please respect copyright.PENANA34U8eeiHSp
30904Please respect copyright.PENANAnHhnjnaBgQ
---
30904Please respect copyright.PENANAUomGNtb6Rk
Suatu sore, aku jemput dia karena hujan turun deras dan dia ketinggalan jas hujan. Kantornya sepi, tinggal beberapa orang.
30904Please respect copyright.PENANAs5ZL4X5yrz
Dari jauh aku lihat Riska lagi ngobrol sama seorang pria—tinggi, necis, wajahnya tenang dan karismatik. Aku tahu dari ceritanya, itu pasti Pak Arman, atasannya.
30904Please respect copyright.PENANAeGa0yWinJc
Pak Arman menyodorkan map sambil tersenyum. Tangannya sempat menyentuh lengan Riska, sekilas aja. Tapi cukup bikin dadaku hangat—bukan karena cinta, tapi karena cemburu.
30904Please respect copyright.PENANACaOhmtZHw1
Riska kaget waktu lihat aku. “Mas? Tumben jemput.”
30904Please respect copyright.PENANA3TyI42pA8H
“Hujannya deres,” jawabku datar.
30904Please respect copyright.PENANAFl8XvLx6bU
Pak Arman melirikku. “Wah, suami siaga, nih. Istri Ibu Riska ini rajin banget. Beruntung Bapak.”
30904Please respect copyright.PENANAXbDNJLJIBC
Aku senyum sopan. Tapi hati rasanya nggak nyaman.
30904Please respect copyright.PENANAGK0IeZ10dZ
Di perjalanan pulang, aku tanya, “Itu Pak Arman ya?”
30904Please respect copyright.PENANA9WcCZ2sg0v
“Iya. Orangnya baik, profesional kok. Nggak macem-macem.”
30904Please respect copyright.PENANARG11PPAhv9
Aku cuma mengangguk. Tapi tetap aja, ada rasa nggak enak. Aku tahu tipe-tipe pria seperti dia. Sopan di luar, tapi licin kalau ada celah.
Malamnya, aku lihat Riska pegang HP sambil senyum-senyum kecil. Kupikir dia lagi chatting sama Nina. Tapi pas dia ke kamar mandi, notifikasi masuk: “Kang Ujang OB: hehe iya Bu, saya ingat yang kemarin...”
Aku nggak sempat baca lanjutannya. Dan aku juga nggak nanya. Belum.
Mungkin cuma obrolan biasa. Mungkin juga bukan apa-apa.
30904Please respect copyright.PENANAyqRD0700Vl
Tapi rasanya... semua yang terjadi belakangan ini, kayak potongan puzzle yang belum nyatu. Riska yang makin sering tertawa sendiri. Riska yang mulai terbuka bahas hal-hal yang dulu dia anggap tabu. Riska yang... bukan lagi Riska yang kukenal dulu.
Tapi apakah ini cuma perubahan biasa? Atau... awal dari sesuatu yang lebih dalam?
Entahlah.
Untuk sekarang, aku cuma bisa mengamati. Dan berharap... semua ini cuma pikiran berlebih dari seorang suami yang terlalu mencintai istrinya.