
Lagi—satu hari lagi tanpa kabar dari Bima terasa seperti sebulan penuh bagi Nadira.
23Please respect copyright.PENANAnDeyzwWmLG
Rasanya kosong, menggantung, dan menyiksa. Bukan karena ia tidak terbiasa sendiri, tapi karena sekarang ia tahu rasanya dimiliki, dirangkul, disentuh dan dicintai.
23Please respect copyright.PENANAlDPnGa0gRf
Dan saat semua itu menghilang tanpa kabar, yang tersisa hanyalah keraguan dan kegelisahan yang mengikis dirinya pelan-pelan.
23Please respect copyright.PENANA1KARlN0rWj
Ia mencoba fokus bekerja. Menghadiri rapat, menyusun laporan, menanggapi chat kantor. Tapi bahkan ketika Rani atau Dina mencoba mengajaknya bicara, Nadira hanya bisa tersenyum seadanya. Suaranya tak keluar dengan leluasa seperti biasanya. Ia menyimpan semuanya di dada. Termasuk perasaan bahwa Bima seolah sengaja menjauh.
23Please respect copyright.PENANAejVA1JyCy8
Sore itu, Nadira memandangi jam dinding kantornya. Jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. Pukul enam lebih lima puluh. Ruang kantor mulai lengang. Ia mengambil tasnya dan segera meninggalkan gedung. Tanpa banyak berpikir, ia memesan taksi daring. Tujuannya satu: rumah Bima.
23Please respect copyright.PENANAKONgGNAjMv
Dia tahu, kalau ia menunggu lebih lama lagi, pikirannya akan dihantui oleh kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Ia tidak ingin menebak. Ia ingin melihatnya langsung. Meski sedikit takut, ia lebih takut tenggelam dalam ketidaktahuan.
23Please respect copyright.PENANAmgbXxDyozk
Perjalanan ke rumah Bima memakan waktu empat puluh menit. Sepanjang jalan, Nadira menatap kosong ke luar jendela. Jakarta dalam mode malam memang cantik, tapi baginya semua lampu kota tak berarti jika perasaan di dalamnya buram. Dulu, setiap lampu malam mengingatkannya pada tawa Bima, pada tangan hangat yang menggenggamnya di trotoar. Kini, yang terasa hanya jarak.
23Please respect copyright.PENANAQUh4jI4U6o
Mobil berhenti di depan gerbang rumah minimalis dua lantai milik Bima. Ia turun, membetulkan rambutnya yang sedikit acak-acakan karena angin AC mobil. Lalu menekan tombol bel.
Tak lama, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Nadira mengenalnya. Asisten rumah tangga Bima, Mbak Ririn.
23Please respect copyright.PENANAhm1CZ2qmRK
“Oh, Mbak Nadira,” sapa Ririn ramah, tapi sedikit terkejut. “Mau ketemu Mas Bima?”
“Iya, Mbak. Dia ada?” tanya Nadira, mencoba terdengar tenang.
“Sebentar, ya. Tunggu di ruang tamu dulu.”
23Please respect copyright.PENANAfiyNF69JbB
Nadira duduk di sofa ruang tamu yang rapi. Aromanya masih sama—maskulin dan bersih, seperti aroma tubuh Bima setiap selesai mandi. Tangannya saling menggenggam, menahan rasa gugup. Lima menit terasa seperti sejam, sampai akhirnya suara langkah pelan terdengar dari tangga.
23Please respect copyright.PENANAZIAq09iGka
Dan di sanalah dia.
23Please respect copyright.PENANAfxYwpfWDaY
Bima berdiri di ambang ruang tamu dengan wajah yang tidak pernah Nadira lihat sebelumnya. Lusuh. Pucat. Mata yang lelah tanpa semangat. Rambutnya sedikit acak, kaus hitamnya longgar, dan celana training abu-abu yang terlihat seperti belum diganti seharian.
23Please respect copyright.PENANAsFAaRpFhMu
Nadira langsung berdiri. Matanya memerah. Ia tak tahan.
23Please respect copyright.PENANAO65utGdav3
“Bim…” bisiknya.
23Please respect copyright.PENANAD1gs8dLlLa
Baca lengkapnya di >> https://victie.com/novels/wanita_karir_pecinta_manhwa
ns18.217.13.162da2