
Nadira pulang malam itu dengan kepala penuh pikiran. Di balik blazer yang masih rapi dan make-up yang nyaris tak luntur, ada denyut berirama dari kenangan barusan yang terus menampar pikirannya.
27Please respect copyright.PENANA6xp0crHyLO
Bahkan ketika ia membuka pintu apartemen dan mencampakkan sepatu ke sudut ruangan, tubuhnya masih terasa hangat. Bukan hanya karena orgasme yang baru saja ia capai, tapi karena orang itu. Yanto.
27Please respect copyright.PENANAJQXCT85RgU
Seorang OB dengan logat kampung, perut buncit, dan tatapan penuh gairah yang anehnya membekas di pikirannya. Nadira merebahkan diri di kasur, memandangi langit-langit yang diam. Ia ingin memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia membiarkan seseorang seperti Yanto menyaksikan dirinya dalam keadaan seperti itu? Tapi kemudian, ada sesuatu yang lain.
27Please respect copyright.PENANAWsP9kMtSQp
Sesuatu yang lebih jujur dari semua penyesalan itu. Ia mengingat ekspresi Yanto. Primitif. Kaget. Tapi juga lapar. Dan justru itu yang mengguncang dirinya.
27Please respect copyright.PENANAmCGwFAkPrN
"Lo udah sinting, Nad," bisiknya, menutup wajah dengan bantal. Tapi bayangan batang Yanto yang sudah ia rasakan itu, tak bisa hilang sepenuhnya dari ingatannya. Warnanya gelap, bentuknya padat, dan kesan liar dari tubuh Yanto yang perutnya buncit itu. Membuat tubuh Nadira kembali menggeliat tak nyaman. Ada sesuatu yang berbeda dari kenikmatan itu. Bukan karena hebat. Tapi karena terlarang. Tidak pantas. Dan justru karena itu, lebih membakar gairah.
27Please respect copyright.PENANA3es9ASFhzz
Hari-hari setelahnya, Nadira berusaha bersikap biasa. Ia masuk kantor seperti biasa, menyapa seperlunya, dan menghindari area pantry, tangga darurat, atau lift servis. Ia tidak ingin berpapasan dengan Yanto. Ia bahkan pernah menunggu lima menit lebih lama di toilet hanya karena mendengar suara pel lantai dari luar. Tapi meskipun ia berusaha menghindar, pikirannya tetap mengembara ke kejadian di rooftop. Setiap malam saat ia menyentuh dirinya dengan vibrator, sensasi paling tajam justru muncul ketika ia membayangkan Yanto berdiri di depannya sambil berkata, “Waduh… sange Mbak?”
27Please respect copyright.PENANA09MOKFIKXn
Sudah empat hari berlalu sejak kejadian itu. Nadira merasa sedikit lebih tenang. Yanto tidak muncul di lantai kerjanya. Mungkin memang kebetulan saja. Atau mungkin pria itu cukup tahu diri.
Hingga siang itu datang. Nadira merasa lapar dan butuh udara. Ia turun ke lantai 10, tempat cafe kecil berada. Ia memilih sandwich dan lemon tea, lalu berdiri menunggu di sisi bar.
27Please respect copyright.PENANASpGv1q1nAz
“Wah, Mbaknya lagi.” Suara itu membuat jantungnya langsung mencelup ke perut. Nadira menoleh pelan—Yanto.
27Please respect copyright.PENANAT62J2lWESg
Masih dengan seragam kerjanya yang sama seperti hari itu. Masih dengan senyum sedikit miring dan mata nakal. Ia membawa nampan berisi botol air galon dan beberapa sendok plastik. Tatapan mereka bertemu sekilas, lalu Nadira buru-buru menoleh ke kasir.
27Please respect copyright.PENANAvvsRuLSN9p
27Please respect copyright.PENANAbrB91oxidt
27Please respect copyright.PENANAORSgZoU0aD
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.27Please respect copyright.PENANAHdzIN3oczg