
Sudah seminggu berlalu sejak email ancaman itu masuk ke inbox pribadi Nadira. Sebuah email tanpa nama pengirim, tapi Nadira tahu persis siapa dalangnya. Arya. Tidak ada yang lain. Ia tidak menduga kalau orang itu akan bermain kotor, permainan psikologis yang dibungkus dengan ancaman sunyi. Dalam satu file terlampir: sebuah video berdurasi satu menit duapuluh dua detik. Ia dan Bima. Di ranjang. Semua terekam jelas meskipun sedikit samar, termasuk suara desahannya yang menyerah dan penuh gairah. Wajahnya jelas. Bima pun. Itu bukan editan. Itu nyata. Dan itu bisa menghancurkannya.
Namun dalam tujuh hari terakhir, tidak ada kabar susulan. Tidak ada kiriman ulang. Tidak ada teror baru. Hanya sunyi. Tapi justru itu yang membuat Nadira makin gelisah. Keheningan adalah bentuk ancaman paling jahat.
Selama seminggu itu pula, dua berita besar menghantam jagat media: kematian Bu Ratih dan tidak dinyatakan bersalahnya Arya. Surat kabar mencetaknya dengan huruf besar-besar: "Ratih Kusumawardhani Ditemukan Tewas, Diduga Bunuh Diri!" dan "Arya Pratama Tidak Terbukti Bersalah!". Dunia seolah jungkir balik. Mereka yang tahu kebenaran hanya bisa menelan amarah.
Kantor Nadira, meski tetap bertahan, mulai sedikit goyah. Hubungan profesional dengan Agra Group membeku. Semua project bersama perusahaan itu resmi ditangguhkan. Tapi para klien lain tetap bertahan, menyelamatkan kredibilitas perusahaan dan posisi Nadira. Ia dipanggil oleh BOD—diminta bersaksi dalam penyelidikan internal. Ia lakukan. Jujur, tapi tetap diplomatis. Hasilnya, ia hanya mendapat hukuman ringan, dan kepercayaan yang nyaris utuh dari manajemen.
Namun di balik semua formalitas itu, Nadira merasa kosong. Tak ada lagi pelampiasan. Tak ada lagi pelindung. Tak ada lagi pria yang bisa ia manfaatkan untuk menumpahkan hampa dalam dirinya. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri dan kebiasaan baru yang perlahan berubah menjadi ketergantungan.
Setiap malam, Nadira mengulang rutinitas yang sama. Ia menutup pintu apartemennya, melempar tas kerja ke sofa, lalu langsung menuju kamar. Di laci samping tempat tidurnya, vibrator kecil berwarna pink itu sudah menunggu. Ia selalu memastikan baterainya penuh. Seolah alat itu adalah teman yang paling setia, yang tak pernah menuntut, tak pernah pergi, dan selalu siap kapan pun dibutuhkan.
Pada awalnya, itu hanya pelarian. Tapi kini, Nadira merasa kehilangan kendali. Ia menggunakannya bukan lagi untuk sekadar memuaskan diri, tapi untuk bertahan. Tanpa itu, malam terasa terlalu panjang. Hening terasa terlalu menyakitkan. Ia tidak lagi menghitung berapa kali dalam semalam ia menyalakannya. Dua, tiga, bahkan empat kali. Kadang sampai tertidur dengan alat itu masih tergenggam erat di tangannya.
Ia mencoba berbagai aktivitas lain untuk melawan rasa kosong itu. Membaca, menonton, bahkan sempat ikut kelas yoga online. Tapi semua itu tak memberi efek apa-apa. Hanya vibrator dan manhwa yang benar-benar membuatnya merasa hidup, walau hanya sesaat.
Satu malam, Nadira bahkan duduk di lantai kamar dengan tubuh telanjang, punggung bersandar pada samping kasurnya, kakinya terbuka, dan alat kecil itu bergetar di antara pahanya. Di depannya, ponsel memainkan ulang video bersama Bima. Ia menonton dirinya sendiri mendesah, memohon, tubuhnya terguncang di bawah tubuh pria yang kini sudah tiada. Dan anehnya, itu membuatnya tenang.
"Aku kangen Bim… Aku kangen banget dipake sampe kayak gini," katanya pelan sambil menatap layar, seperti berbicara pada Bima.
24Please respect copyright.PENANAl9G33GXIGm
24Please respect copyright.PENANAK4ZFZS6wVt
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.24Please respect copyright.PENANA7fYwikMWeU