
Lagi—satu hari lagi tanpa kabar dari Bima terasa seperti sebulan penuh bagi Nadira.
62Please respect copyright.PENANAWk25Od7tfl
Rasanya kosong, menggantung, dan menyiksa. Bukan karena ia tidak terbiasa sendiri, tapi karena sekarang ia tahu rasanya dimiliki, dirangkul, disentuh dan dicintai.
62Please respect copyright.PENANAM3v6dhbMUN
Dan saat semua itu menghilang tanpa kabar, yang tersisa hanyalah keraguan dan kegelisahan yang mengikis dirinya pelan-pelan.
62Please respect copyright.PENANAeGRJywdvvq
Ia mencoba fokus bekerja. Menghadiri rapat, menyusun laporan, menanggapi chat kantor. Tapi bahkan ketika Rani atau Dina mencoba mengajaknya bicara, Nadira hanya bisa tersenyum seadanya. Suaranya tak keluar dengan leluasa seperti biasanya. Ia menyimpan semuanya di dada. Termasuk perasaan bahwa Bima seolah sengaja menjauh.
62Please respect copyright.PENANASZL0hIfpaM
Sore itu, Nadira memandangi jam dinding kantornya. Jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. Pukul enam lebih lima puluh. Ruang kantor mulai lengang. Ia mengambil tasnya dan segera meninggalkan gedung. Tanpa banyak berpikir, ia memesan taksi daring. Tujuannya satu: rumah Bima.
62Please respect copyright.PENANAJfFc8rub3u
Dia tahu, kalau ia menunggu lebih lama lagi, pikirannya akan dihantui oleh kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Ia tidak ingin menebak. Ia ingin melihatnya langsung. Meski sedikit takut, ia lebih takut tenggelam dalam ketidaktahuan.
62Please respect copyright.PENANAHgTHBYxLcv
Perjalanan ke rumah Bima memakan waktu empat puluh menit. Sepanjang jalan, Nadira menatap kosong ke luar jendela. Jakarta dalam mode malam memang cantik, tapi baginya semua lampu kota tak berarti jika perasaan di dalamnya buram. Dulu, setiap lampu malam mengingatkannya pada tawa Bima, pada tangan hangat yang menggenggamnya di trotoar. Kini, yang terasa hanya jarak.
62Please respect copyright.PENANAV56rtBPn1b
Mobil berhenti di depan gerbang rumah minimalis dua lantai milik Bima. Ia turun, membetulkan rambutnya yang sedikit acak-acakan karena angin AC mobil. Lalu menekan tombol bel.
Tak lama, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Nadira mengenalnya. Asisten rumah tangga Bima, Mbak Ririn.
62Please respect copyright.PENANAH3aHzZXxeu
“Oh, Mbak Nadira,” sapa Ririn ramah, tapi sedikit terkejut. “Mau ketemu Mas Bima?”
“Iya, Mbak. Dia ada?” tanya Nadira, mencoba terdengar tenang.
“Sebentar, ya. Tunggu di ruang tamu dulu.”
62Please respect copyright.PENANA2D9mAnsNQP
Nadira duduk di sofa ruang tamu yang rapi. Aromanya masih sama—maskulin dan bersih, seperti aroma tubuh Bima setiap selesai mandi. Tangannya saling menggenggam, menahan rasa gugup. Lima menit terasa seperti sejam, sampai akhirnya suara langkah pelan terdengar dari tangga.
62Please respect copyright.PENANAQSsiYxM0ag
Dan di sanalah dia.
62Please respect copyright.PENANAjacFDp9FTw
Bima berdiri di ambang ruang tamu dengan wajah yang tidak pernah Nadira lihat sebelumnya. Lusuh. Pucat. Mata yang lelah tanpa semangat. Rambutnya sedikit acak, kaus hitamnya longgar, dan celana training abu-abu yang terlihat seperti belum diganti seharian.
62Please respect copyright.PENANArATE0VKGfj
Nadira langsung berdiri. Matanya memerah. Ia tak tahan.
62Please respect copyright.PENANAyIG7Is6dUk
“Bim…” bisiknya.
62Please respect copyright.PENANA5KjtkUa7XZ
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.
ns216.73.216.197da2