x
Suara tangis samar terdengar di lorong rumah sakit itu.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTKoy1XJ3so
Udara di ruang tunggu lantai dua itu begitu dingin, tapi keringat mengucur dari pelipis Nadira. Tangannya mencengkeram erat-erat tas kerja yang bahkan tadi tertinggal di ruangannya. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ia duduk di bangku panjang bersama Dina, Rani, Evan, dan Bu Ratih—semua diam, kecuali isak pelan yang pecah dari Dina sesekali.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡy9Z9WUvg1C
Jam menunjukkan pukul 11:27
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOewi4gF2UT
Belum ada kabar apapun dari ruang Intensive Care Unit. Sejak datang setengah jam lalu, Nadira hanya sekali bertanya ke perawat yang berjaga, dan jawaban mereka membuat napasnya tercekat,
“Kondisinya sangat tidak stabil. Dokter masih berusaha sekuat mungkin.”
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOB8GJ0WQWj
Satu-satunya orang yang terlihat tenang adalah Bu Ratih. Duduk tegak, tangannya saling menggenggam di atas pangkuannya, tak ada ekspresi panik atau syok. Entah kenapa, justru hal itu membuat Nadira semakin resah.
Lalu pintu itu terbuka.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4idDwM0UTg
Dokter laki-laki paruh baya keluar dari ruang ICU, melepas masker dari wajahnya. Tatapannya menyapu sejenak ke arah mereka semua, lalu berjalan perlahan mendekat.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWHHwFvu7AD
“Siapa keluarga pasien atas nama Ario Pradipta?”
Semua menoleh ke Bu Ratih secara refleks. Bu Ratih berdiri, pelan, tangannya menggenggam kuat tali tas. Bibirnya bergetar.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡu59LP1CWSh
“Saya… saya bukan keluarga… tapi saya atasannya. Bagaimana kondisinya, Dok?”
Dokter itu menghela napas, menunduk sebentar, lalu berkata dengan suara pelan dan dalam.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb9kATlDnRt
“Maaf… pasien tidak tertolong. Luka dalam dan pendarahannya terlalu parah. Kami sudah melakukan yang terbaik.”
Seketika dunia menjadi hening bagi Nadira. Suara tangis Dina pecah duluan, disusul Rani yang langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. Evan menghela napas keras, menunduk, lalu memukul dinding di belakangnya dengan kepalan tangan.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZdXDza2rzE
Tapi Nadira tidak menangis. Tidak langsung.
Ia hanya berdiri kaku. Menatap ke lantai. Kepalanya menunduk.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqZDdnbD2Pa
Lalu…
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqq5LDlj5hK
“Enggak…ini enggak mungkin” Isakan kecil keluar dari bibirnya. Tubuhnya mulai goyah.
Dina langsung memegang lengannya.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhMdj9qqrSM
“Enggak bisa gini… Dia janji… dia janji masih mau bahas hasil investigasinya…” ucapnya dalam hati.
Dan akhirnya, Nadira jatuh bersimpuh. Di lantai dingin rumah sakit itu, ia menangis keras. Tangis yang pecah dari dada terdalam, dari rasa kehilangan yang belum sepenuhnya terobati sejak Bima.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrJHzUr8gqD
“Kenapa lagi… Kenapa lagi harus kayak gini…” ucapnya dalam hati ditengah tangisnya.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSW135DNwhi
Evan ikut berjongkok, memeluk bahu Nadira. “Sabar, Nad… Sabar… kita semua juga gak nyangka…”
Bu Ratih hanya menatapnya, wajahnya nyaris tak tergoyahkan. Seperti sedang menyaksikan berita cuaca.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYrDpu1IRX7
“Kenapa semua orang yang gue… yang pernah dekat dengan hati gue, pergi satu-satu…” ucapnya lagi di dalam hatinya.
Lorong itu bergema oleh tangis. Udara menjadi lebih dingin. Lebih sunyi.
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMn98ngMOhQ
26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcqjPatVVsd
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.26Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzg0iWbm1F6
