
Siang itu, matahari tak terasa menyengat. Di kamar yang remang, Nadira tergeletak pasrah di atas ranjang. Tubuhnya terengah, basah oleh peluh, dan helaan napasnya belum kembali stabil. Matanya setengah terbuka, menatap langit-langit dengan pandangan kosong yang tenang. Rambutnya menjuntai di bantal, sebagian menempel di pipi dan leher karena keringat.
40Please respect copyright.PENANAQINA6vSQSk
Biasanya, tubuhnya akan penuh bercak kemerahan, tanda kepemilikan dari laki-laki yang memperlakukannya kasar, meninggalkan jejak di kulitnya seolah tubuh itu bukan miliknya sendiri. Tapi kali ini berbeda. Tak ada jambakan. Tak ada kata-kata kotor yang memaksa gairah. Tak ada kehinaan yang menyulut birahi. Yang ada hanya peluh, pelukan, dan tubuh yang seakan larut dalam irama yang tenang tapi menghujam.
40Please respect copyright.PENANAnm1s3crijW
Nadira membiarkan dirinya telentang, lengannya terentang lemas ke sisi ranjang. Ia masih bisa merasakan keberadaan Pak Yanto di atasnya, dada pria itu sesekali menyentuh kulitnya yang masih hangat. Mereka belum berpindah posisi sejak tadi. Yanto masih dalam dirinya, bergerak lembut, tak terburu-buru menarik diri. Nafas keduanya menyatu, saling berbagi kehangatan.
40Please respect copyright.PENANAyUlpTNkZXI
Posisi mereka sederhana—Missionary, klasik, tapi terasa begitu personal. Pak Yanto menatap wajah Nadira yang terhampar di bawahnya, rambutnya kusut dan membingkai wajah seperti lukisan yang tak ingin dihapus. Tangan Yanto naik menyusuri pipi Nadira, menyeka sisa keringat di sana, lalu dengan lembut mengusap dahi dan menyelusup ke belakang telinga. Jari-jarinya menyusuri garis rahang Nadira, lalu turun ke leher, dada, dan berhenti di payudaranya yang naik turun karena napas yang belum teratur. Ia meremasnya perlahan, bukan sekadar menuntut, tapi seperti sedang mengagumi sesuatu yang ia syukuri. Nadira memejamkan mata, dan tubuhnya menegang halus saat jempol Yanto bermain di sekitar putingnya, memutar, menekan, lalu mengusap perlahan.
40Please respect copyright.PENANA236j4aso5B
"Pak...," desah Nadira, nyaris tak terdengar. Tubuhnya menggeliat, punggungnya melengkung ringan, seperti menyambut setiap elusan itu.
40Please respect copyright.PENANAQw0FZXaO0N
Yanto membungkuk, mencium pelipisnya, lalu turun ke bibir, mencium dengan perlahan, lalu mendalam. Ciuman itu disambut Nadira sepenuh hati. Tangan Yanto tak berhenti menjelajah. Ia menyusuri pinggang Nadira, lalu turun ke perut, meremas sisi tubuhnya yang lembut, memberi tekanan penuh rasa namun tidak menyakitkan. Lalu ia kembali ke dada, memijat dengan irama yang memabukkan, hingga puting Nadira semakin mengeras dan tubuhnya mengejang kecil.
40Please respect copyright.PENANAucylOmkUv6
Nadira membuka mata, menatap Yanto yang kini berhenti di atasnya. "Pak Yanto... kalau Bapak mau, boleh loh pakai saya kasar. Saya nggak akan nolak. Saya udah pasrah... mau Bapak apain aja, bebas... Saya mau muasin Bapak."
40Please respect copyright.PENANAMiuEyYv7K1
40Please respect copyright.PENANAZvccBCMtFu
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.40Please respect copyright.PENANACSTBLpt0Ro